Bandung : Antara Persib dan Kang Dada…

Siapa yang belum tahu bagaimana cintanya masyarakat Bandung kepada Persib? Rasa cinta ini tak hanya dituangkan dengan menjadi bobotoh fanatik yang hadir dalam seragam biru setiap Persib bertanding, namun juga lewat pengungkapan uneg-uneg, saran, kritik, dukungan untuk Persib di media lokal, yang aksesnya melalui sms. Kecintaan masyarakat Bandung kepada Persib tampil dalam gaya bahasa yang polos dan mengundang tawa. Ada yang benar-benar menganalisis layaknya komentator bola, ada yang mengkritik lewat bahasa Sunda yang logat dan mimiknya sangat khas Priangan, bahkan ada juga yang tetap berusaha mengeksiskan diri seperti, “…..(kritik)…muat, ya! Pulsanya minjem nih. Malu kalo nggak dimuat.” Hehehe. Saya juga masih ingat masa SMP saya yang saya lewati dengan bobotoh Persib. Ketika guru absen, yang mereka lakukan adalah menciptakan yel-yel untuk pertandingan Persib, yah minimal mengaransemen musik baru yang lebih heboh. Hmmm, tak diragukan, Persib begitu memasuki hati orang Bandung.

Hal yang umum, memang, apabila warga kota mencintai tim sepak bolanya. Nah, bagaimana dengan hal ini, adakah kota yang begitu mencintai walikotanya hingga lagu untuk walikota pun diciptakan?

Tentu saja ada, Bandung-lah kota itu.

Beberapa hari yang lalu ada satu lagu yang menggelitik saya. Awalnya saya mengira lagu bergenre rock tersebut hanyalah lagu iklan, namun ternyata anggapan saya salah. Lagu tersebut benar-benar lagu sebagaimana lagu popular lainnya. Hanya saja liriknya sangat spesifik merujuk kepada satu orang, yakni walikota Bandung, Dada Rosada yang akrab disapa kang Dada. Sayangnya saya belum tahu apa judul lagu itu, siapa penyanyinya –tapi saya yakin penyanyinya masih dapat dikatakan sebagai pemuda–, dan siapa penciptanya meskipun lagu tersebut cukup sering diputar di radio.

Satu lagi, jangan salah, radio yang memutarnya pun bukan radio yang penuh dengan percakapan politis, namun radio yang selalu memutarkan lagu fresh dari Indonesia dan negara luar. Segmennya memang bukan kalangan remaja belasan tahun, tapi bila memerhatikan perjalanan radio tersebut yang selalu memutarkan lagu popular terbaru, cukup menakjubkan juga mendengar lagu untuk Kang Dada diputar di sana.

Berikut petikan lirik lagu tersebut,

....

....

Bandung bersatu, ayo terus maju

Prestasi jitu tanpa pandang bulu

Bersih makmur taat bersahabat

Dengan tujuh program strategis lima gerakannya

Dukunglah Kang Dada sebagai walikota

Agar tercipta bahagia, Bandung yang bersahaja

Dialah Kang Dada, figur walikota

Yang bisa merubah kita

Warga Bandung makmur sejahtera

Yang saya lihat, rasa cinta kepada Kang Dada ini timbul karena interaksi yang intens antara warga dengan Kang Dada. Salah satu media lokal Bandung-lah pahlawannya. Media yang juga menampung uneg-uneg untuk Persib ini setiap hari memuat surat pembaca yang berisi masukan, saran, kritik, dan laporan keadaan Bandung yang ditujukan kepada Kang Dada. Uniknya lagi, pada hari tertentu media ini memuat tanggapan Kang Dada. Tak hanya itu, segala kegiatan Kang Dada dan rencana strategisnya pun dimonitor oleh media ini sehingga masyarakat Bandung benar-benar mengetahui sosok pemimpinnya.

Lagu di atas bagi saya memiliki dua arti. Pertama, penghimpun kepercayaan masyarakat Bandung untuk Kang Dada, apalagi lagu tersebut dibawakan oleh pemuda yang saat ini pengaruhnya cukup besar. Kedua, lagu tersebut merupakan cerminan bahwa Kang Dada telah dipercaya masyarakat Bandung untuk membawa Bandung ke arah yang lebih baik. Logikanya, kecil kemungkinannya apabila lagu itu muncul tanpa ada rasa hormat yang tulus kepada Kang Dada. Rasa hormat itu tentu timbul karena telah adanya kepercayaan kepada Kang Dada.

Bagaimana dengan kota lain? Adakah yang seperti Bandung? Suatu hal yang positif tentunya apabila tak hanya Bandung yang memiliki masyarakat yang begitu loyal. Akibat jangka panjangnya, hal tersebut diharapkan meluas hingga timbul sense of belonging terhadap Indonesia. Bila hal ini tercapai, tak sulit nampaknya untuk membangun Indonesia. Alasannya sederhana, karena salah satu kunci pembangunan adalah adanya kecintaan dan kepercayaan rakyat kepada pemimpin serta instrumen kehidupan bernegara lainnya.

Ark. Feb’08

Bandung yang Kurindukan…

Hehe, beginilah imbas mahasiswa yang kuliah di Jatinangor, Kangen Bandung dan langsung bertingkah kampungan kalau main ke Bandung. Balas dendam, enam tahun hidup di angkot Cileunyi-SMP 7-SMA 3 ternyata akhirnya terdampar di Nangor juga.

Okei, petualangan ke Bandung dimulai pada siang hari, pukul 11.00. Seperti biasa, halte perkumpulan adalah Kantin SMAN 3, tepat di bangku paling pojok, paling belakang. Petualangan di Bandung sempat terancam gagal karena tiba-tiba hujan turunnnnnnnnn dengan derasnya. Bener-bener deressssss. Cukup lama, sekitar satu jam.

Setelah hujan diyakini benar-benar berhenti, akhirnya lima gadis jebolan 2 ipa 2 ini memulai perjalanan. Rutenya Belitung-Braga-Asia Afrika-KoKem alias Kota Kembang. Benar-benar perjalanan, soalnya emang jalannya pake kaki. Naik angkot juga sih, tapi cukup sampai Braga. Selebihnya? Pakai kaki...! Backsound-nya umpatan Be Es yang antijalan kaki. Hehe.

Tapi sayangnya, karena rute ini nggak direncanakan alias spontan muncul waktu hujan, akhirnya ngga ada prepare apa-apa. Nggak bisa diabadikan dan dipamerkan di sini, deh jadinya!

Jalan-jalan kali ini benar-benar jalan-jalan yang sempurna. Biasanya nggak pernah kayak gini. Rutenya nggak pernah sampai ke Braga. Cukup sampai ke BIP dan tamat.

Diawali di Braga. Trotoar Braga dalam balutan kelembaban sisa hujan terpantulkan dengan cantik di kaca etalase pertokoan yang tertata manis. Meskipun tidak ada satu pun dari gerombolan saya yang berniat mampir memasuki salah satu toko, mmmm saya, Acid, Be Es, dan Meru cukup puas memerhatikan berbagai barang yang ada di sana –yang kelihatan dari etalase dan yang ada di pinggir jalan.— Lukisan, buku-buku, handycraft khas Jawa Barat, bahkan roti khas zaman dulu. Ups, bukan roti basi yang disimpan dari zaman abad 18, tapi roti-roti dengan bentuk khas abad kolonial Belanda yang diproduksi fresh from the oven. Toko ini yang bikin nggak nahan. Coba kalau ada yang punya duittttt. Hehehe.

Hal lain yang menarik perhatian adalah lukisan. Lukisan yang paling banyak dipajang oleh seniman-seniman adalah lukisan Braga tempo doeloe. Barangkali jawara khas Braga adalah lukisan itu. Tentang lukisan lainnya, hampir tidak ada perbedaan dengan lukisan di tempat lain. Mmmm, tapi ada satu hal yang dengan kompaknya melintasi otak saya dan teman-teman saya saat melewati deretan lukisan. Melintasi Braga dan menikmati lukisannya langsung membuat kenangan Bali terputar. Uuuuuuuugh. Beneran, deh, satu bagian di Braga itu berhasil membuat suasana khas Bali terbawa di Bandung.

Tamat menjelajahi Braga, Asia Afrika pun terbentang. Hoho. Mumpung lagi ada kesempatan. Ayo kita ke KoKem alias Kota Kembang! Kota Kembang ini adalah sentra ’dosa.’ Kenapa? Karena di sinilah surga MP3, CD, DVD, dan VCD bajakan. Harga? Musik 5000 rupiah. Film 6000 rupiah. Mau cari musik dari tahun berapa juga ada. Dari genre apa pun ada. Dari negara apa juga ada. Film juga gitu. Mau dari zaman jadul sampai zaman Drama Asia Timur sekarang? Lengkap. Berbagai genre. Dari ceramah ustad sampai yang dewasa only. Dari kumpulan konser Michael Jackson sampai konser AFI. Apa aja ada. Heuheu. Langsung klimaks gini alurnya. Hehe.

Kota Kembang yang terletak di Alun-alun masih sama seperti dulu, saat saya mengulasnya di blog saya yang lama. Penuh oleh pedagang kaki lima yang menjual berbagai aksesoris khas kaum girly, pedagang kue-kue kecil, pedagang sandal, dan parkir motor. Bangunan yang ada di sisinya pun masih pertokoan. Full. Pakaian, kain, sepatu, sandal, boneka, masih jadi juara di sini. Harganya pun sangat nggak logis alias murah. Apalagi kalau punya bargaining power tingkat V-V, Very Violent, yang bisa nawar sampai harganya mati. Uuugh. Tergiur, kan? Hehehe. Tapi sayang, saya nggak punya duit, jadi ya menikmati pajangan aja.

Dan masih seperti dulu juga, Alun-alun masih dipenuhi oleh manusia. Kota Kembang apalagi. Meskipun tempatnya merakyat, tapi jangan salah, yang datang ke sini bukan cuma kumpulan manusia tidak bermodal seperti saya dan sahabat SMA saya, tapi juga orang-orang yang ditilik dari tingkat kehalusan kulitnya pasti berasal dari golongan menengah ke atas. Semua berjubel di sini.

Ada hal yang kurang nyaman waktu itu di sana. Masa saya ditawarin film yang begituan, ya...?? Argh! Ceritanya saya masih nunggu Meru yang lagi hunting film. Melongo lah saya di kios itu. Tiba-tiba si penjualnya ngedatengin, ”Mau cari film yang mana, Neng? Yang pake handy cam atau HP?”

Awalnya belum sadar kalau yang dimaksud si penjual itu ya film yang begituh. Waktu ditanya ya saya mesem garing aja, soalnya nggak ngerti. Lah, ternyata keennggakngertian saya itu disalahartikan. Dikiranya saya mau! Ya Oloh...si penjualnya malah bilang ke pegawainya gini, ”Itu kasih si Neng film yang bagus, yang baru tuh ada, ambilin...”

Hiyyyyya...baru saat itu saya nyadar kalau maksudnya ya film yang itu. Bretttttttttttt....ngacir langsung. Pindah ke tempat MP3.

Waktu saya cerita ke Meru. Meru ketawa. Dia juga bilang tadi dia kaget. Katanya sekarang para pedagangnya berani-berani. Film yang begitu dipajang satu meja dengan film biasa. Ow ow. Dulu belum seberani sekarang. Dulu, sih filmnya disimpan tersendiri, baru dikeluarkan kalau ada yang nanya. Lah sekarang malah pembelinya yang ditanya.

Kesimpulannya, kalau memang nggak tertarik sama film yang begitu, daripada diajak sama si penjualnya dan dipaksa-paksa (terutama buat laki-laki), jangan nongkrong di tempat film. Nunggu di luar KoKem atau tunggu di tempat MP3. Sibukkan diri dengan cari MP3.

Well, setelah Meru selesai hunting film, perjalanan pun berakhir. Hmmmmm, kapan ya bisa ke Bandung lagi...? dan nggak cuma terdampar di kantin SMA 3 dan BIP, tentunya...

Ark. Feb’08

Kisah Cinta yang Makin Merata…

Mari kita membicarakan tentang cinta! Bukan karena mau Valentine tapi karena mau tiga bulanan sama pacar saya. Hiehe. Mengeksiskan hubungan pribadi. Sebenernya engga juga sih, ini karena lagi sering denger cerita adek saya tentang teman-teman SMP dan SMA-nya yang dilanda dilema cinta. Aw aw.

Saya juga bingung ya, kenapa ada gap cukup lebar antara angkatan adek saya dengan angkatan saya. Saya baru tau istilah ’Kecengan’ itu sekitar kelas 1 SMP. Sedangkan temen-temen adek saya, umur segitu tuh udah menjalani apa yang dinamakan pacaran. Malah katanya tiap istirahat dan pulang sekolah ada yang istilahnya ’pacaran berjamaah’ di lapangan sekolah. Maksudnya gara-gara saking banyaknya yang pacaran di forum umum. Itu waktu dia masih SMP, nah sekarang waktu dia udah SMA, yang pacaran berjamaah gitu bertambah membludak lagi jumlahnya. Uwawww. Ekstrim sekaliy nampaknya, terutama mengingat bahwa...sejujurnya sampai sekarang pun saya nggak pernah ngerasain pacaran depan umum. Heuheu. Eh, pernah ding...tapi bukan pacarannya, cuman pas tengkarnya. Ya abis si mantan sayanya nyebelin. Heuheu. Masa saya harus bareng sama dia terus? Ya kan saya nggak mau, ya udah saya tinggalin, lahhhhh malah dikejar mpe ke lapangan basket, mpe ke Vertex, mpe ke tukang soto Kismuji depan sekolah. Maluuuuuuuuu. Tiap hari tuh kayak gitu, untung cuman satu setengah bulan. Hehehe.

Ngomongin masalah kecengan pertama saya, oh itu agak nggak logis juga. Si kecengan pertama saya itu si Ahda. Bukan karena suka pada pandangan pertama tapi suka karena omongan selanjutnya. Heuheu gini maksudnya. Menurut desas desus cewek di kelas saya, Ahda itu ganteng. Mereka itu suka ngomongin si Ahda sampai mampusssss, dari kelas sampai angkot Panghegar-Dipati Ukur. Misalnya, hari ini makan gorengan sama berapa cabe, hari ini derajat kemiringan poni lemparnya mencapai kisaran berapa, berapa besar angin yang meniupkan auranya ke arah kita yang terpesona lihat dia ngerjain soal di papan tulis, hari ini dia nyoret-nyoret tulisan apa di bangku, hari ini dia ngobrol apa sama temen sebangkunya, atau hari ini dia abis menang tanding CeEs sama siapa. Nggak penting deh pokoknya. Lah saya kan sering denger omongan mereka, kepengaruh deh untuk ngecengin dia. Waktu anak-anak cewek pada ilfil sama Ahda gara-gara katanya si Ahda judes banget dan suaranya ga merdu (Iya, sih...yang saya inget dari Ahda tuh suaranya yang kayak suara Sinchan), saya juga nggak tau kenapa ikutan ilfil. Bubar deh itu Serikat Cewek 1-H yang Suka Ahda. Keceng mengeceng pun berlanjut pada kisah selanjutnya.

Kecengan kedua saya si Ifan anak Bu Esih, wali kelas 2i, tapi ya gitu aja. Saya cuman ngceng doang dan saya nggak pernah ngobrol atau tegur sapa sama Ifan padahal selama kelas 3 SMP saya sekelas sama Ifan. Gerakan ngeceng saya cuman sebatas nelpon bilang selamat ulang tahun kalo Ifan ulang tahun (Selamat Ulang Tahun ya, Fan..klik.tutup telepon), sama berusaha nyamain jam naik angkotnya Ifan supaya bisa seangkot sama dia, hehe.

Nah karena itulah saya ngerasa lucu sama anak-anak generasi adek saya yang bisa sampai sindir-sindiran dan gencet-gencetan untuk ngecengin cowok yang ternyata sama sekali nggak menaruh perhatian kepada dua belah pihak.

Hihihihihi. Geli banget, deh kalo denger adek saya nyeritain temen-temennya. Sebenarnya bukan niat ngegosipin mereka, tapi hal kayak gini kebongkar waktu saya lagi minjem hp adek saya, ternyata smsnya dipenuhi sama curhatan temen-temennya, cewek sama cowok, tentang cinta. Kocak bener. Dari yang masi ngarep cinta (ngarepin kecengannya putus dari pacarnya, ngarepin bisa jadian sama kecengannya, GR kalo tadi kecengannya ngelihatin dia, dll), sampai yang mau selingkuh gara-gara pacarnya nyebelin, ga care, ga sms, terlalu agresif, terlalu sensitif, dan centil sama orang lain. Heuheu. Meski smsnya nggak dibales sama adek saya, ternyata aliran sms kayak gitu masih terus mengalir. Curhatlah, biasa. Curhat memang buta, kayak cinta. Hehe.

Mmmm, cinta barangkali udah merasuki semua lapisan usia. Merata lah sekarang mah si cinta teh. Hehe. Denger-denger sekarang anak SD juga banyak yang udah ngerasain cinta. Uuuufh. Tapi omong-omong, kalau cinta bisa merasuk sampai anak SD, apa yang mereka cari dari cinta itu sendiri? Apa yang membuat mereka menyimpulkan bahwa mereka memiliki perasaan berbeda terhadap seseorang? Kenapa bisa?

Hummmmm..

Dalam pandangan saya sekarang, cinta atau rasa tertarik terhadap lawan jenis itu ada karena dua alasan. Pertama, karena lagi masa puber. Kedua, ada kebutuhan untuk berkembang biak..upssssss maksudnya melestarikan keturunan. Alasan pertama termasuk ke dalam usia SMA. Nah, bagi saya kalo ngerasain suka atau cinta pas masa SMA sih lumrah...lagi umur perkenalan cinta ke tahap selanjutnya, soalnya. Terus kalau cinta pas masa zaman kuliah atau selepas kuliah juga sama, itu lumrah, soalnya udah ada kebutuhan pelestarian keturunan.

Nah, kalau dikaitkan dengan kasus cinta yang makin merata sampai ke kalangan anak SD, alasan pertama kalau dipaksa-paksain, bisa kayaknya. Tapi kalau gitu, cepet juga ya proses puber anak zaman sekarang...SD gituh..Nggak bisa nyalahin mereka juga, sebenernya. Lingkungan sekitar mereka sendiri udah menanamkan budaya itu. Zaman sekarang sinetron cinta udah banyak, film dengan judul yang memancing juga lagi trend, lagu-lagu sekarang juga didominasi lagu cinta, bahkan ada satu lagu cinta yang model video klipnya anak SD. Gimana bisa mereka menolak alert-alert tentang cinta?

Dan lagi, kalau dibalikkin ke kasus saya yang pertama ngeceng itu kelas satu SMP karena terpengaruh lingkungan sekitar, ya cepat lambatnya puber seseorang memang dipengaruhi oleh lingkungannya. Perilaku mereka dalam ngeceng atau pacaran pun dibentuk oleh lingkungan. Saya lupa siapa yang ngungkapin teori ini, yang katanya individu adalah produk lingkungannya, karena apa yang lakukan ia pelajari dari lingkungannya. Ditambah lagi, pada prakteknya, pengaruh dari unsur biologis seseorang itu sangat kecil dibanding dengan pengaruh dari lingkungannya. Aplikasinya dalam hal ini, meskipun hormon puber itu ditakdirkan aktif umur 16, tapi kalau lingkungan udah memaksa sesorang untuk dekat dengan hal perpuberan pada umur 11, ya si hormon nggak bisa bilang apa-apa. Bahkan si hormon juga bisa keluar lebih cepat, ngikutin perintah lingkungan.

Nah, ini bisa dikaitin lagi sama penyebab kenapa sekarang gaya pacaran anak-anak ’makin hebat’ padahal mereka tahu kalau gaya pacaran kayak gitu nggak bakal disetujui sama orang tuanya. Pada dasarnya, semua anak takut dan punya kecenderungan untuk patuh sama orang tua, tapi sayangnya mereka nggak atau jarang dikasih model pacaran yang baik sama orang tuanya. Gimana mereka bisa bertingkah sesuai dengan amanat orang tuanya kalau mereka sendiri nggak punya contoh untuk dijadikan primbon?

Larangan orang tua yang abstrak dan frekuensinya sangat jarang ini kalau dibandingkan sama intensnya interaksi mereka sama lingkungan, kayak tsama emen mereka yang pacaran dan artis-artis yang berakting pacaran, jelas kecil. Hal yang paling berpengaruh buat dijadikan pegangan ya dari lingkungan mereka sendiri. Larangan orang tua cuman dijadikan pagar supaya jangan sampai ketahuan.

That’s it.

Huahhhhhhhhhhh, Cinta...cinta...jadi seriusan gini padahal tadi niatnya cuman mau ngebeberin aib temennya si adek. Hehehe. Ya sudahlah, udah malem juga lagian. Semoga kajian saya bermanfaat...Dwadaaahhhh...

(ark.Feb’08)

Tips Seputar Ujian Nasional 2008…


Hiyaaaaa…bulan apa sekarang? Ternyata sudah Februari. Preparation buat anak kelas 6 SD, 3 SMP, 3 SMA yang mau ujian akhir, nih! Ihiy, UAN? Apaan tuh? Makanan jenis apa tuh? Hehehe. Blagu. Padahal baru juga keluar SMA setaun lalu. Hehe.

Okei, bagi adik-adik tercinta, khususnya yang kelas 3 SMA yang April nanti akan menghadapi UAN, berikut ini adalah pengalaman dari saya. Yah, walopun nilai saya cuma 26,3 dari 3 mata pelajaran, nggak kayak anak-anak lain di SMA saya tercinta yang 27 bahkan 29, coba disimak dengan baik ya...

1. Jangan Pernah Nongkrongin Warnet Untuk Alasan Nyari Kisi-Kisi UAN.

Kenapa? Nggak guna. Bener. Serius. Udah pernah dicobain soalnya. Hehe. Sebenernya waktu itu saya dan lima temen saya iseng doang main ke warnet buat tujuan nista kayak gitu. Kita sering curi denger dari penumpang angkot yang lagi ngobrol kalau soal-soal UAN itu ada di internet. Penasaran tuh. Akhirnya dicobain. Lahhhhh gugling dengan berbagai keywords pun hasilnya nihil. Kita emang sempat nemu soal-soal dari Diknas dan blog-blog guru se-Indonesia, tapi ya nggak guna. Malah jadi ngebuang waktu dan duit. Tapi kalau niatnya buat nyari tips sukses dan latihan soal sih masih boleh lah, ya..belum terlambat, sekalian buat nambah strategi belajar.

2. Belajar, Itu yang Terpenting!

Ya iyyyyyyyalahhhhhhhhhhhhhhhhh....semua juga tahu, rajin pangkal stres, hemat pangkal laper...hehehe. Nggak, ding..maksudnya Rajin Pangkal Pandai. Tapiiiiiii...rajin sama pandai apa dulu, nih? Maknanya kan luas. Misalnya, Rajin nyontek pangkal pandai nyontek. Rajin bolos pangkal pandai ngabur. Rajin telat pangkal pandai boongin guru piket. Rajin baca buku pangkal pandai Open Book di kolong bangku. hehehe. Ya, intinya nggak mungkin kita mengabaikan hal esensial satu ini. Sesedikit apa pun porsi kita dalam memegang buku apalagi membuka, membaca, dan mencermati isinya, tetep aja itu namanya belajar. Tapi masalahnya harus belajar kayak gimana sih supaya bisa mencapai hasil yang maksimal?

Kalau jaman dulu banget waktu saya masih ngerasain bangku perSMAan, belajar itu, selain di rumah, juga di kelas dan di kantin. Widihhhhhh. Bantai banget deh. Tapi itu bukan saya yang belajar, itu mah temen-temen saya. Hehe. Di kelas yang biasanya kalau lagi ngga ada guru diisi dengan main SOS, TTS, Kucing Sumput alias Petak Umpet, Poker, Gitar-gitaran mpe mampus tiba-tiba tergantikan dengan pembantaian buku 1001 Soal dan Kumpulan UAN. Insaffffff semua warga kelas. Untung saya nggak termasuk. Saya mah mainnya ke perpus. Ngenet. Frenster. Hehehe.

Di kantin juga penuh dengan sarasehan UAN. Giliran lagi matematika mah saya dianggurin. Ntar pas giliran Bahasa Indonesia sama Bahasa Inggris baru dipanggil jelasin konsep. Emangnya saya jurusan Sastra di SMA 3 apah...??? Uhhhhh. Ah gapapa deh. Matematika kan saya nggak bisa. Hehe.

Tapi suer banget, suasana nista antibelajar yang sudah berdiri sejak tahun pertama masuk SMA itu langsung sirna begitu masuk semester dua. Kantin penuh sama pembaca buku. Koridor diisi sama debat terbuka pengerjaan soal. Kelas jadi ajang pertukaran soal dan perang jawaban. Mentoring diisi sama berbagai motivasi meraih impian lulus UAN dan SPMB. Masjid penuh sama yang solat Duha. Wah, UAN memang determinan untuk mendorong masyarakat berperilaku irasional. Hehehe.

Saya sih nggak suka belajar di depan umum gitu. Bagi saya belajar paling efektif itu di rumah. Ngoprek buku sendirian malem-malem dan nemuin jawaban. Asik deh.

Di sekolah sih yang saya lakuin buat belajar ya yang ada di bawah ini. Gitu-gitu aja.


3. Ikut Program Perbaikan Pra-UAN Di Sekolah

Jangan terlalu PD sama hasil pra-UAN yang bagus. Kalau di sekolah kalian ada program perbaikan nilai pra-UAN buat anak-anak yang nilainya ancur-ancuran, hal yang positif banget kalau kalian ikutan nimbrung. Jangan pernah gengsi buat gabung karena di program itu kalian bakal dapet penjelasan lebih sabar dan jelas dari guru-guru senior kalian. Jelas berguna.

Pertama, sih kalian bisa minta izin sama guru kalian untuk ikutan program itu, bilang aja waktu pra-UAN mah nyontek atau lagi beruntung, itungan kancing ABCDEnya pas, pokoknya bilang aja kalian nggak puas sama hasil kemarin. Paksa aja deh gurunya. Rayu rayu gituh. Hehe. Nah kalau nggak bisa, nyerobot aja. Hehehehe. Tapi kalian juga harus tau diri. Kan status kalian nyerobot kelas, jangan sampai juga nyerobot bangku. Duduk di bawah aja kalau kursinya ngga cukup. Hehe. Bheuh, sungguh ya...perjuangan demi UAN.


4. Tongkrongin Tempat Fotokopian Sekolah

Nah ini yang paling sering dilakuin saya dan geng saya waktu SMA. Kita selalu ngamatin siapa aja yang masuk ke tempat fotokopian sekolah dan bawa apa aja mereka. Untungnya sempet kongkalikong juga sama tukang potokopaynya. Jadi kalau ada orang yang bawa soal, si pempotokopay bakal motokopiin satu soal buat diperbanyak. Hehehe. Pencuriankah? Bisaaaaa. Tapi ujungnya juga tanpa tukang potokopinya memperbanyak tanpa ijin, soal-soal itu akan beredar dengan sendirinya di sekolah. Siapa yang nyebarin? Ya si orang yang bawa itu sendiri.

Oia, tambahan...dengan keadaan yang saya bocorkan demikian, maka dapat diputuskan bahwa...Kalau kalian punya soal super rahasia, jangan difotokopi di sekolah atau di manapun yang deket sama sekolah, sekalipun itu sekolah tetangga kalian. Bener, deh. Fotokopi aja yang jauh. Ke timbuktu sekalian. Hehehehe.


5. Bawa Pulang Semua Buku di Kolong Meja

Buat para pelajar malas seperti saya yang suka ninggalin buku pelajaran di kolong bangku kelas...,udah hari deket UAN dan SPMB gini bawa pulang semua buku kalian! Dulu kita boleh ngerasa, siapa sih yang bakal nyuri ilmu? Nah, hapuslah anggapan ituh...sekarang prinsip ekskludabilitas alias sifat suatu barang yang dapat mencegah orang lain untuk memanfaatkannya itu sudah hilang! Setiap orang lagi butuh ilmu sebanyak-banyaknya dengan gratis.

Yah, buat yang pengen untung secara nista sih saran saya, tengokin aja setiap kolong bangku, siapa tahu nemu buku nganggur yang belum sempat disadari untuk diselamatkan. Hiehehehehe.


6. Nimbrung di Tiap Diskusi Kupas Soal Dengan Manusia Jenius


Wajib hukumnya!

Kalau kalian punya beragam soal yang sulit dipecahkan, jangan gengsi menunjukkan soal yang kalian anggap susah itu ke orang jenius di sekolah atau di kelas. Biasanya sih mereka ini tipe anak DKM gitu. Nah, jangan males juga untuk nungguin dia selesai solat Duha atau solat Duhur terus cecar mereka untuk ngerjain soal itu. Kita perhatiin kenapa otak dia bisa jenius sedangkan kita engga (Kita??? Wah, gue nggak ikutan bagian ini mah..hehe). Tapi kalian juga harus pilih-pilih anak jenius. Nggak semua anak jenius mau bantuin secara ikhlas tanpa ngerasa lebih tinggi derajatnya daripada kalian. Orang jenius kaya gitu mah tinggalin aja. Cari anak jenius yang low profile dan sabar. Dari situ kita tambah ngerti tanpa kelihatan bodoh dan dia pun bisa mengamalkan ilmunya. Heuheu. Tetep ya, harga diri. Hehe.


7. Latihan Soal Tahun Lalu

Ini penting. Biasanya soal yang muncul tuh pengulangan dari tahun lalu. Bukan pengulangan full, sih. Perhatikan tipe soal yang muncul. Misalnya, ada berapa soal dari dimensi tiga, tipenya dimensi tiga yang gimana. Statistika berapa soal dan statistika bagian mana yang keluar. EYD mana yang paling sering muncul. Segi apa yang sering ditanyakan pada bab Prosa Lama. Tipe wacana apa yang akan ditanyakan dalam Bahasa Inggris. Dan lain-lain. Bukan ngapalin soalnya tapi ngapalin tipe dan frekuensi soalnya. Apa gunanya? Supaya kalian nggak terlalu berat ngapalinnya. Rugi banget kalau kalian ngapalin tapi yang muncul bukan itu. Sekarang bukan waktunya untuk mengerti tapi mendapat nilai.

Menjauhkan tujuan dari proses belajarkah pandangan saya itu? Nggak. Bagi saya, tujuan dari proses belajar harus sudah dicapai sebelum UAN. Penyalahan pada UAN yang mendiskreditkannya sebagai ujian yang tidak mengukur kemampuan siswa sesungguhnya bukanlah hal yang bijak. Kenapa? Karena seharusnya apa yang hendak dicapai dari proses belajar-mengajar sudah tercapai sebelum UAN. Jika hal tersebut terpenuhi, maka ketika UAN sebagai kuantitator kognitif datang, kita dan guru kita sudah siap.

Jauhkan semua kutukan pada UAN karena itu nggak akan membantu kita dalam menghapal. Bagi saya, kutukan pada UAN disebabkan oleh ketidaksiapan kita dalam menyiapkan UAN. Kalau kita udah siap, pasti nggak bakal ada yang kayak gitu.


8. Kenali Kemampuan Kalian dan Mulai Susun Strategi


Gali dimana kelebihan kalian dan dimana kekurangan kalian. Mampukah kelebihan itu kalian jadikan pentolan dan mampukah si kelemahan itu kalian eliminasi. Contoh, oke saya lagi. Yang saya tau, jangan pernah kasih soal dimensi tiga untuk saya. Sumpah, nggak bisa! Harga mati, beneran deh. Dari tiga puluh soal yang diberikan dalam Matematika, saya cuma jawab 27 soal, sisanya yang nggak saya jawab itu soal dimensi tiga.

Kenapa saya pilih menyerah ? Karena saya tau waktu yang saya gunakan untuk belajar dimensi tiga akan terbuang percuma. Makanya waktu itu saya nggak belajar dimensi tiga tapi mengalihkannya ke bab lain dan pelajaran yang saya rasa bisa dijadikan andalan. Itu cara saya.

Lain lagi dengan cara adik saya yang juga tahun kemarin mengalami UAN SMP. Dia lemah dalam semua bab matematika, nilai pra-UANnya ancur banget deh. Tapi dia rajin. Dari Januari sampai hari H UAN, dia nggak lepas dari Matematika. Hasilnya? Nilainya malah 100. Whaha. Tapi di bidang bahasa nilai si adik standar aja, cuma 8.

Nah, silakan pilih mau pakai cara saya yang mengalokasikan waktu seefisien mungkin atau yang bantai semua dengan tekun kayak adik saya.


9. Minta Alumni untuk Bantuin

Kalau kalian punya kenalan alumni yang bisa diajak belajar, ajakin si alumni nongkrong di tempat PeWe buat belajar bareng geng kalian. Temen-temen saya malah sampai nongkrong di kantin sekolah sampai jam 3 pagi buat ngerjain soal-soal dan belajar sama alumni. Jangan pikir mereka anak-anak freak. Sama sekali engga. Mereka justru ’preman sekolah’ alias tipe pria yang produktif dalam membuat rekor panggilan wali kelas dan konseling yang nampak malas belajar. Tapi ternyata mereka punya cara sendiri yang efektif. Luasnya koneksi mereka dengan alumni yang nggak lebih normal dari mereka dimanfaatkan untuk menambah ilmu mereka. Hasilnya? Si Dika aja dapet 28 tuh. Buseeeeeettttt. Dapet darimana tuh, Dik...???? Hehehehe.

10. Jangan Mikir UAN itu Susssssahhhhh


Walaupun nilai saya cuman 26 lebih dikit, kalian harus percaya sama saya kalau... UAN itu nggak susah! Jangan terlalu mendewakan UAN. Santai aja. Ini kan ujian dengan skala nasional, tingkat kesulitannya nggak begitu pantas untuk menstreskan kita. Saran saya, jangan mempelajari tipe soal yang rumit. Logikanya gini, para pembuat soal itu tahu sampai mana kualitas soal dengan standar sedang yang bisa diselesaikan dalam waktu 2 jam, makanya soal-soal yang mereka buat itu bukan soal induksi matematika yang harus pakai perhitungan superpanjang. Dengan alokasi waktu yang singkat, nggak mungkin juga mereka ngasih soal yang sulitttttttt dan rumitttttttnya bisa bikin gila. Percaya deh sama mereka. Mereka nggak bakal mempersulit kita kok.

11. Berdoa

Paling penting yang ini. Sebelum ujian berdoa supaya lancar dan setelah juga berdoa biar cita-cita kita tercapai. Sebagai manusia lah, apa sih yang bisa kita kuasai, ya nggak..??

12. Jangan Percaya Kunci Jawaban

Ini penting nih buat hari H. Kunci jawaban tuh bisa menyesatkan, apalagi kalau kunci jawaban itu terdiri atas banyak kode. Widih. Jauhin hal demikian ya... Selama UAN tahun lalu, saya dapat peredaran kunci jawaban. Semua mata pelajaran. Kuncinya itu nggak cuman satu kode, paling engga ada tiga kode, malah matematika ada delapan kode. Bingung kan luh? Huh um. Hehe. Nggak saya aja yang dapet, pastinya. Rahasia umum bangetlah yang kayak ginian mah. Saya aja udah jadi tangan keberapa dari mata rantai setan itu.

Waktu itu karena penasaran, kuncinya saya tulis di meja pakai spidol warna warni, tapi yang warnanya nggak mencolok. Nulisnya di pinggiran meja biar nggak ketauan, hehe. Setelah selesai mengerjakan UAN, saya cek dengan jawaban kunci. Teryata semua kode itu menunjukkan jawaban yang berbeda dengan jawaban saya. Sempet takut juga. Walahhhhh jangan-jangan gue yang salah. Tapi waktu saya cocokkan dengan soal, saya tetap yakin dengan jawaban saya. Nah, ternyata hasilnya...? Jawaban saya nggak salah kok.

Kesimpulannya, jangan percaya sama kunci jawaban. Dosa, jelas. Bikin bingung dengan berbagai kodenya, pasti. Belum tentu jawaban dia bener, itu yang paling penting buat diingat. Meskipun itu bikinan oknum terpercaya, tetep ajalah, coba pikir, dia cuman punya waktu berapa lama untuk ngerjain? Kemungkinan human errornya gede kan? Mending kalau langsung dari kunci jawaban negaranya. Hehehe.

Sippppp, tuh tips mau UAN-nya...

Jangan pernah menyerah, ya...

Selamat belajar buat UAN...

Semoga hasilnya lebih bagus daripada hasil yang saya dapat.

Amin.

(Ark.Jan’08)


Mengenai UN, dari Siswa

(tulisan ini dibuat tahun 2007 lalu dan menjadi juara III Lomba Penulisan Artikel tentang UN yang diadakan oleh Universitas Pasundan, Bandung)

Mengupas Ujian Nasional atau UN yang April lalu baru saja kita lewati, tak adil rasanya bila kita hanya merenungkannya sebagai indikator betapa tidak bersihnya lingkungan Indonesia hingga ritual sesakral ini pun diwarnai dengan kecurangan. Justru dengan banyaknya kasus kecurangan yang terumbar media dan dengan kenyataan yang sama-sama diketahui siswa bahwa kasus kecurangan ini adalah kasus gunung es, seharusnya mata dan telinga kita terbuka untuk dapat merasakan beban psikologis yang diderita siswa-siswa kelas tiga dengan diberlakukannya UN sebagai standar kelulusan mereka.

Ada Apa dengan UN?

Ditetapkannya UN sebagai standar kelulusan tak ayal membuat siswa terbebani. Beban ini makin berat lagi saat mereka mengetahui bahwa mata pelajaran yang diujikan adalah Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Walaupun mereka masih bisa bernafas lega karena bukan Fisika yang diujikan, namun beban berat masih tak terelakkan mereka rasakan.

Ada lebih dari dua puluh bab yang harus mereka kuasai dalam Matematika. Ada kejelian yang harus mereka miliki untuk dapat menentukan tema, topik, ide pokok, gagasan utama, dan unsur intrinsik dalam wacana Bahasa Indonesia. Ada lebih dari sepuluh jenis wacana dalam Bahasa Inggris yang harus dapat mereka bedakan. Terakhir sekaligus yang paling berat adalah mereka harus mampu menjawab benar minimal 50% dari total soal agar mereka lulus.

Beban mereka juga masih ditambah lagi dari sekolah ketika sekolah menyediakan soal-soal praUN. Siapa yang tidak tahu bahwa soal praUN jauh lebih sadis dibandingkan dengan soal UN sesungguhnya? Kumpulan soal UN tahun-tahun sebelumnya serta soal-soal prediksi guru tersebut jarang dapat mereka lalui dengan skor 80%. Salah siswakah untuk hal ini jika mereka sendiri mengeluhkan bahwa soal-soal praUN ini dihiasi dengan pilihan jawaban yang bias dalam soal Bahasa Indonesia, terlalu cepatnya pembacaan soal Listening dan sulitnya vocabulary serta seribu langkah yang harus mereka lalui untuk dapat menemukan jawaban soal Matematika?

Dua hal ini pada akhirnya menjadi faktor mengapa sampai ada kecurangan dalam UN. Penyebabnya jelas, karena mental siswa terganggu. Mereka cemas dan pesimis dalam menghadapi UN karena di tangan UN-lah nasib mereka bergantung.


Merah-Hitam UN, Guru, dan Siswa

Sejak awal siswa telah mendapat pukulan mental dari jeleknya nilai praUN dan ditetapkannya UN sebagai standar kelulusan, pukulan ini buruknya telah merusak psikologis mereka dengan mengubah mereka menjadi pribadi yang gampang cemas, pesimis, dan putus asa. Pukulan ini lalu bertambah subur lagi bersemayam dalam alam pikiran mereka saat mereka mendiskusikannya dengan teman-teman mereka yang juga mendapat nasib yang sama. Bukannya membantu namun diskusi ini akan berujung pada kecemasan dan kepesimisan massal.

Terkadang guru membantu memulihkan ketidakpercayaan mereka pada kemampuan mereka sendiri dengan meyakinkan mereka bahwa soal UN pasti bisa dikerjakan. Namun sayangnya hiburan ini akan berujung pada syarat, “Kalau kalian mau belajar,” dan akan berakhir dengan akibat, “Kalau nggak belajar ya pasti nggak bisa.” Kalau begini, bagaimana bisa siswa-siswa 'sakit' ini sembuh?

Bayangan pendahulu mereka yang gagal pada tahun-tahun sebelumnya juga ikut menambah panjang derita mereka. Ketakutan akan mengikuti jejak kelam tersebut tak diragukan telah membuat mereka jauh lebih dalam terperosok pada ketakutan menghadapi UN yang dijadikan standar kelulusan.

Tak ada api maka tak ada asap, prinsip ini dapat menganalogikan bahwa kecurangan-kecurangan dalam UN bukan datang tanpa sebab. Tentu ada alasan yang mengiringi siswa-siswa yang rajin mengunjungi warnet untuk menjelajahi dunia maya dan berharap mendapat kisi-kisi hingga soal, kebocoran soal UN, dan beredarnya sms berisi kunci jawaban.

Menghukum kepala sekolah atau guru, ujian ulang, dan pencabutan keputusan lulus bagi siswa yang terbukti curang tidak akan membawa pengaruh apapun kecuali semboyan lebih apik lagi melangkah curang tahun depan, karena itulah pembinaan yang tepat adalah pembinaan -atau tepatnya pencegahan- yang mampu menyembuhkan psikologis siswa. Kecemasan dan kepesimisan mereka yang muncul dari ketidakmampuan mereka dalam mengerjakan soal praUN, putusan 'pasti gagal', 'sulit', 'pasti nggak bisa' yang mereka cap pada diri mereka sendiri, contoh kasus kegagalan kakak-kakak mereka, dan keputusasaan mereka untuk terus mencoba mengakrabkan diri dengan materi adalah terdakwa utama yang seharusnya diperhatikan dan dibina untuk disembuhkan.

Siswa harus diyakinkan seyakin mungkin bahwa setelah mereka menempuh pendidikan selama tiga tahun mereka pasti akan bisa menyelesaikan tiga puluh dan lima puluh soal UN dengan hasil yang baik, itu satu-satunya cara untuk menyembuhkan psikologis siswa yang ketakutan dengan UN. Usaha ini tentunya takkan lepas dari peran guru, karena itulah guru harus dapat berperan sebagai pendidik, tidak hanya sebagai pengajar.

Ada kekurangan guru yang sering saya temukan, yakni mereka terlalu menyamaratakan kemampuan semua siswanya. Semua dianggap bisa karena tidak ada yang bertanya, padahal mereka tidak bertanya karena mereka memang tidak mengerti dengan apa yang diterangkan guru. Kadang materi selanjutnya diteruskan padahal masih ada siswa yang belum memahami betul materi yang telah diulangankan. Ada juga guru yang mengetahui kekurangan siswanya tapi mereka tidak memberikan tindakan responsif nyata. Mereka memang menanyakan mengapa si siswa ini sampai bisa mendapatkan nilai jelek, mereka juga menasihati siswa tersebut agar lebih rajin lagi belajar, namun sebenarnya bukan ini yang dibutuhkan oleh para siswa yang kemampuannya belum terlalu mantap. Mereka membutuhkan uluran tangan nyata dari guru untuk meningkatkan kemampuan mereka. Tidak adanya uluran tangan tulus dari guru ini pada akhirnya akan menambah lagi daftar beban psikologis siswa.



Ujung dari UN : Serangan Mental Permanen

Tak cukup dengan membawa dampak psikologis berupa kecemasan, pemberlakuan UN sebagai standar kelulusan juga membawa dampak panjang dan berpotensi permanen yakni lahirnya generasi calon pemimpin yang bermental instan.

Keterbatasan waktu pengerjaan soal UN dan banyaknya materi yang harus mereka kuasai untuk dapat menorehkan minimal angka 5 di ijazah secara langsung telah membuka jalan untuk mencari cara penyelesaian soal yang paling cepat. Tidak salah juga sebenarnya, mengingat bahwa rumus-rumus cepat ini menginduk pada konsep dasar. Namun sayangnya, ada guru yang tidak menerangkan bagaimana rumus itu bisa terlahirkan dan ada juga siswa yang tidak mau mendengarkan penjelasan guru sehingga pada akhirnya rumus cepat ini mengubah kepribadian merka menjadi kepribadian yang cenderung lebih nyaman dengan mendapatkan segala sesuatu secara instan.

Dua hal yang patut dicermati dengan adanya rumus-rumus cepat ini adalah, pertama, siswa tidak menghargai sekolah. Siswa yang terlanjur mencintai rumus cepat ini akan lebih menghargai bimbingan belajar karena di bimbingan belajar mereka bisa mendapat banyak rumus cepat. Dengan tidak menghargai sekolah maka akhirnya mereka pun tidak lagi menghargai proses pendidikan. Sekolah hanyalah alat untuk memperoleh ijazah setelah mereka dinyatakan lulus UN. Ini sangat memprihatinkan, UN sebagai standar kelulusan yang merupakan produk pendidikan malah menghilangkan nyawa dari penyelenggara pendidikan sendiri.

Kedua, berkaitan dengan akibat jangka panjang, adanya rumus cepat ini juga akan berakibat munculnya generasi yang tidak dapat memimpin masyarakat dengan baik. Adanya rumus cepat mau tidak mau pasti akan mengikis kemampuan bernalar secara sistematis mereka. Pertanyaannya, mau dibawa kemana masa depan negara kita bila dipimpin oleh mantan-mantan siswa yang bermental instan tersebut?



Masih Haruskah Ia Ada?

Ujian Nasional atau UN, biar bagaimanapun ia harus tetap ada. Tetap harus ada suatu standar nasional yang definitif untuk mengetahui sampai dimana kemampuan siswa setelah menempuh tiga tahun pendidikan dan sampai dimana keberhasilan sekolah menjalankan fungsinya. Nah, Inilah yang harus digarisbawahi, UN memang perlu namun hanya sebagai standar saja. Standar yang memperlihatkan kepada siswa bahwa selama tiga tahun mereka belajar inilah hasil yang mereka capai dan inilah perbandingan dengan siswa-siswa lain yang juga selama tiga tahun belajar. UN sebagai standar juga merupakan alat pengukur prestasi sekolah dan daerah dalam mendidik siswanya. Sekolah atau daerah yang siswanya mendapat hasil yang baik dalam UN dijadikan percontohan dan bagi sekolah atau daerah yang anak didiknya belum mendapat hasil yang baik akan mendapat perhatian dan pembinaan serius dari pusat agar prestasinya dapat terangkat.

Dengan menjadikan UN sebagai standar pengukur prestasi saja maka pendidikan merata di seluruh Indonesia akan terwujudkan. Selain itu, dampak buruk bagi psikologis siswa juga dapat dihindari. Siswa akan menjalani UN dengan tanpa beban dan pendidikan akan ternilai dari proses, bukan hasil. Akibat lebih jauhnya adalah Indonesia akan memiliki generasi pemimpin masa depan yang berkualitas, secara mental dan akademis.

Sungguh suatu awal yang baik dari pemerintah yang akhirnya pada tahun ini berkebijakan tidak menjadikan UN sebagai satu-satunya alat ukur kelulusan siswa, namun juga mempertimbangkan nilai-nilai yang diperoleh siswa dalam ujian sekolah. Semoga secara bertahap kelak UN hanya akan dijadikan standar untuk mengevaluasi prestasi sekolah dalam mendidik siswanya dan sebagai alat refleksi diri siswa sampai dimana kemampuannya setelah melalui tiga tahun proses pendidikan. Lagipula, pemberlakuan UN sebagai standar kelulusan siswa sangatlah tidak adil karena sampai saat ini bangsa Indonesia masih terlalu heterogen untuk disamaratakan dalam selembar ijazah.

(Ark.Mei'07)


Beliau Wafat Karena Kelucuan Bangsanya…

Awal tahun selalu membawa kejutan bagi bangsa Indonesia. Setidaknya dalam dua tahun terakhir ini. Setelah awal tahun 2007 lalu dihiasi dengan hilangnya pesawat Adam Air, kini, awal tahun 2008, muncul kabar kehilangan yang lebih mengguncang. Bangsa Indonesia kehilangan bapaknya yang telah berjasa 32 tahun mengasuh. Bapak Haji Muhammad Soeharto atau yang kita kenal sebagai Pak Harto wafat pada hari Minggu, 27 Januari 2008.

Kabar ini bagi saya merupakan bantahan riil dari Tuhan atas tudingan pihak-pihak ‘penuntut keadilan’ yang menyangsikan kebenaran sakitnya Pak Harto sejak kelengserannya dua belas tahun silam. Tidak cukup bagi mereka untuk melihat lambaian lemah dan senyum lesu Pak Harto, barangkali, hingga Tuhan pun harus turun tangan menutupkan usia beliau, sekaligus menutupkan telinga beliau dari hujat rakyat yang makin berlebihan.

Memaknai masa akhir Pak Harto yang dihabiskan dengan pemberitaan demonstrasi penyeretan Pak Harto ke meja hijau, saya melihat bangsa ini sebagai bangsa yang lucu. Lucu karena terdapat ketidaksinkronan antara tuntutan dengan sikap, itu yang pertama. Pada saat para penuntut menuntut keadilan pengungkapan semua kasus Pak Harto, mereka juga melarut-larutkan proses peradilan dengan membuat sakit Pak Harto bertambah parah. Bagaimana peradilan dapat terjalankan dengan kondisi Pak Harto yang bahkan tidak sanggup merintihkan sakitnya sendiri ?

Dalam perspektif saya, lumrah apabila Pak Harto sakit. Bukan karena ’kualat’ atau ’karma’ seperti yang dicemoohkan publik selama ini melainkan karena kebertubian hujatan setelah beliau lengser. Tiga puluh dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk ditabahkan kehilangannya, terutama bila ia hilang lewat hadirnya tuntutan anarkis rakyat dan desakan elit yang selama ini nampak tunduk-tunduk saja. Belum sembuh juga rasa kehilangan itu, beliau juga harus menyaksikan gelombang hujatan yang bertubi dilayangkan untuknya. Nonstop. Bahkan hingga detik sebelum kewafatannya.

Mengenang masa ordenya yang bertahan begitu lama, bahkan dalam sejarah perpolitikan dunia, presiden setelah era Soekarno ini telah berhasil membagi perspektif rakyat Indonesia dalam dua wacana kontras. Segala kebijakan dalam orde tiga dekade yang beliau lahirkan memancing kekritisan rakyat, dalam diam maupun dalam ungkap, dan dalam kajian argumentasi yang beragam, yang tentu dilandasi bukti realita namun sayang masih kabur batasan obyektif-subyektifnya.

Pada saat pandangan negatif yang menuntut hukuman terberat bagi Pak Harto hadir bersama segudang bukti fisik dan logika, ada simpati kemanusiaan yang mengiyakan bahwa Orde Baru melahirkan korban bagi sekelompok masyarakat. Namun simpati ini mempertanyakan lagi hal yang menggelitik, apakah mungkin tuntutan peradilan berdasar bukti yang obyektif tersebut lahir murni tanpa ada subyektivitas dendam dari para keluarga dan kerabat korban?

Jika mereka benar-benar obyektif didasari nama kemanusiaan, mengapa dalam penuntutannya mereka mengabaikan prinsip kemanusiaan? Mengapa Pak Harto dipojokkan sedemikian rupa bahkan terkesan mengabaikan kondisi fisik Pak Harto yang membutuhkan bantuan mekanik? Mengapa kebebasan berpendapat yang dibidani oleh reformasi malah menjurus pada kebebasan menyakiti secara verbal?

Pun dalam pandangan positif yang mengaku lebih nyaman berada dalam asuhan Pak Harto. Pengelu-eluan capaian signifikan dalam ekonomi tersebut perlu ditanyakan kemurnian obyektivitasnya. Apakah mungkin melepaskan pandangan demikian dari sangkaan ketidakpuasan terhadap orde pemerintahan yang kini? Apakah mungkin pandangan itu tetap bertahan apabila pemerintah reformasi dapat memberikan kondisi yang lebih memuaskan dibanding tiga dekade tersebut? Atau bila keadaannya demikian, mungkinkah keterkotakkan seluruh perspektif bangsa dalam kutub negatif terjadi? Pak Harto dipukul rata sebagai sejarah kelam bangsa.

Kita tentu tidak bisa melepaskan diri dari dua pandangan tersebut setiap saat kita mengangkat permasalahan bapak bangsa ini atau bapak bangsa yang lain. Tidak ada manusia yang murni putih dan murni hitam, yang jelas. Dengan demikian, bagi saya sendiri, kecaman dan pujian bagi Pak Harto adalah hal yang lumrah. Yang tidak lumrah adalah pada saat kita membicarakannya dalam bingkai yang cacat. Kita hanya membicarakan sisi negatifnya tanpa menyinggung sisi positifnya, begitu pula sebaliknya, pada saat kita hanya membatasi diri dalam pujian untuk beliau tanpa kita membuka mata kepada sekelompok yang mengaku bahwa dirinya korban, itu kelucuan kedua.

Kecacatan bingkai inilah yang selama ini saya lihat dalam menyikapi jejak sejarah Pak Harto. Inilah yang membuat bangsa kita terkotakkan dalam perspektif yang kontrasnya tajam. Inilah yang membuat Pak Harto makin parah sakitnya, pandangan negatif sebagian masyarakat yang didirikan di atas pandangan positif yang dianut Pak Harto dan sebagian masyarakat lain. Akhirnya, inilah yang membuat proses peradilan yang dituntut keberadaannya terhambat dan utamanya, inilah yang ’membunuh’ Pak Harto.

Saya sendiri berpendapat bahwa dua argumentasi baik dan buruk dalam kepemimpinan Pak Harto adalah sebuah rentetan yang saling mendukung, saling berjalan, dan saling memberi alasan. Nothing’s free such a free lunch, mengutip pakar ekonomi AS, Mankiw, alias tidak ada yang gratis di dunia ini. Semua memiliki resiko dan mengharuskan adanya pihak yang mengalah, jika tidak ingin disebut korban.

Dalam permasalahan ini, keberhasilan ekonomi dan pembangunan ternyata mengharuskan ada sekelompok yang mengalah. Hak-hak yang seharusnya dinikmati oleh kelompok ini ternyata harus dijadikan alat pembayaran bagi penikmatan hak-hak orang lain, yang kastanya sama seperti mereka, yang lebih rendah, dan yang lebih tinggi. Kesimpulannya, di balik pengorbanan mereka, kita melihat adanya hasil, dan sebaliknya ternyata dalam hasil yang dinikmati oleh suatu lapisan, ada lapisan lain yang kehilangan haknya.

Lapisan kedua inilah yang kini bersuara. Menceritakan pengorbanan mereka yang tak terungkap dan menuntut kompensasi atas luka mereka yang selama ini disembunyikan dalam gaun patuh (baca:diam). Proses peradilan dijadikan alat tumpuan pengobat mereka. Namun lagi-lagi kembali pada penekanan saya sebelumnya, kaum ini terlalu subyektif dan egois menyuarakan geloranya. Rasa sakit hati rupanya telah menutup hati mereka dari kenyataan positif yang berhasil dibangun Pak Harto dan menutup hati mereka untuk menyuarakan kebungkaman tiga dekade mereka dalam kaidah yang tidak memprovokasi serta tidak kebablasan.

Gelombang demi gelombang hujatan terus berdatangan. Memojokkan Pak Harto dan pegawainya. Bahkan hingga Pak Harto dinyatakan sakit pun masih ada yang berspekulasi bahwa hal tersebut adalah strategi untuk menghindari hukum. Jika mereka dapat mengatakan Pak Harto harus diadili demi kemanusiaan, lalu dimana kemanusiaan mereka sendiri? Siapa yang mereka perjuangkan dalam penuntutan penyelewengan kekuasaan Pak Harto? Semua kaum mereka atau hanya mereka sendiri, dalam arti memuaskan dendam dari mereka yang jadi korban?

Jika Pak Harto kini bukannya meninggal tapi hidup, sehat wal afiat dan kuat sehingga bisa menghadiri persidangan sampai muncul putusan hukum, akankah mereka akan puas dengan putusan tersebut? Atau mereka akan berebut menjadi hakim agar legallah aksi main hakim sendiri?

Di sinilah alasan ketiga mengapa bangsa ini begitu lucu dalam perspektif saya, mengatasnamakan kepentingan golongan demi kepentingan pribadi. Agregasi latar belakang yang sama-sama terpinggirkan hanya dijadikan kumpulan statistik untuk meyakinkan diri bahwa tuntutan pribadi legal disuarakan dan kesewenang-wenangan Pak Harto (dalam perspektif mereka) sah digembar-gemborkan dan dicaci-caci.

Sungguh bangsa ini bangsa yang lucu namun sayangnya kelucuan ini tidak membuahkan kerileksan bagi Pak Harto dan proses hukumnya. Kelucuan ini malah mengorbankan nyawa mantan pemimpin bangsa yang mereka cap otoriter dan otomatis menutup semua misteri latar belakang tindakannya dalam era Supersemar hingga Supermoneter satu dekade lalu.

Kelucuan bangsa ini membuat saya berpikir bahwa inilah alasan mengapa Tuhan harus memanggil Pak Harto dalam kondisi peradilan yang masih menggantung. Tuhan Maha Tahu apa yang akan terjadi bila Pak Harto diadili bangsa yang lucu ini. Tuhan Maha Menyayangi makhluk-Nya, termasuk Pak Harto. Ia-lah yang akan mengadili Pak Harto tanpa perlu meghujat Pak Harto, seperti bangsa ini.

(Ark.Jan’08)

Menuju Komunitas ASEAN 2015

ASEAN sebagai komunitas yang terintegrasi pada tahun 2020 adalah hal yang paling penting dari Bali Concord II yang diusulkan oleh Indonesia. Komunitas ini akan memiliki tiga pilar utama, yakni ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, and ASEAN Socio-Culture Community, yang kesemuanya saling berhubungan.

Dalam pandangan para pemimpin ASEAN, pembentukan Komunitas ASEAN ini merupakan transformasi lanjutan dari keberhasilan ASEAN dalam menjadi region paling stabil di dunia. Jika kita membandingkan keadaan ASEAN dengan keadaan region lain, seperti di Timur Tengah, Semenanjung Korea, atau Afrika, pencapaian yang sering kita rasakan sebagai hal normal ini masih dirasakan oleh region tersebut sebagai capaian yang masih jauh diraih. Hal inilah yang menyemangati para pemimpin ASEAN untuk mengakselerasi pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015.

Berbeda dengan para pemimpinnya, rakyatASEAN sendiri nampak tidak memiliki kepedulian terhadap ASEAN. Dalam pandangan mereka, ASEAN hanyalah organisasi regional yang penuh oleh dialog dan pertemuan namun kurang dalam implementasi. Selain itu, ASEAN kerap diasosiasikan sebagai hubungan G-to-G atau Government to Government. Semangat ‘We Feeling’ yang selama ini sering dideklamasikan para pemimpin ASEAN dalam setiap pertemuan hanya mereka maknai sebagai slogan.

Kekontrasan tersebut memancing usikan untuk mempertanyakan dua hal esensial ini. Pertama, mengapa kontras tersebut bisa terjadi? Kedua, dengan keadaan acuh dari masyarakatnya, adakah peluang bagi ASEAN untuk mewujudkan cita-cita komunitasnya?

Komunitas : Sebuah Cita-Cita Lanjutan

Memulai perjalanannya empat puluh tahun lalu lewat penandatanganan deklarasi oleh Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand, ASEAN kini telah menjadi organisasi yang berpengaruh, tidak hanya di kawasan Asia Pasifik, namun di seluruh dunia. Pencapaian tersebut terlihat misalnya dalam keberhasilan menyelesaikan konflik di Kamboja pada dekade 90’an, menyusun AFTA secara progresif hingga pada realisasi, dan keikutsertaan Australia, Selandia Baru, Kanada, AS, Rusia, Cina, Jepang, Korea Selatan, India, Pakistan, EU, UNDP, dan PBB sebagai mitra wicara. Bahkan seorang Kofi Anand pun dalam masa kepemimpinannya di PBB sempat berkomentar demikian,

Today, ASEAN is not only a well-functioning, indispensable reality in the region. It is a real force to be reckoned with far beyond the region. It is also a trusted partner of the United Nations in the field of development” (Kofi Anan dalam catatan Marty M. Natalegawa’s, ASEAN Selayang Pandang, Deplu RI, 2005).

Lumrah apabila pencapaian yang digenggam oleh ASEAN kini dianggap sebagai suatu kebanggaan. Dahulu sebelum Deklarasi Bangkok dicetuskan, kondisi hubungan antarnegara di Asia Tenggara selalu diwarnai dengan persengketaan dan konflik, yang tentu mengganggu atmosfer nasional. Kondisi ini lambat laun menyadarkan para lima pendiri ASEAN mengenai perlunya sebuah organisasi yang dapat mempersatukan mereka dalam satu visi bersama untuk mencapai keadaan regional yang stabil sehingga negara di Asia Tenggara dapat hidup dalam perdamaian dan meraih kepentingan nasional mereka. Dan akhirnya, ASEAN-lah organisasi tersebut.

Dalam masa awal pendiriannya, kegiatan ASEAN lebih dikonsentrasikan pada pembangunan rasa percaya di antara para negara anggotanya. Kini, saat kepercayaan itu telah terbangun dan ASEAN telah diakui berhasil menjadi region yang stabil, kebutuhan ASEAN pun bertambah. ASEAN kini membutuhkan suatu interaksi yang lebih dekat dan intens yang melibatkan seluruh elemen ASEAN. Inilah yang ingin dicapai oleh ASEAN dengan kerangka Komunitasnya. Sebuah integrasi dalam segala segi interaksi.

Antara Pemerintah dan Rakyat

Mengakselerasikan komunitas ASEAN pada tahun 2015 adalah hal yang ingin dicapai oleh para pemimpin ASEAN.

Dalam pandangan mereka, ASEAN adalah lingkaran konsentris bagi setiap kebijakan luar negeri masing-masing negara. Setiap hal yang didiskusikan dalam dialog, forum atau pertemuan ASEAN adalah proyeski dari kepentingan nasional mereka. Membicarakan mengenai kepentingan nasional, tentu hal tersebut tak dapat dipisahkan sebagai kepentingan rakyat. Hal ini menjadikan kesimpulan bahwa apa yang dibicarakan di ASEAN adalah segala sesuatu tentang rakyat. Jika demikian, seharusnya ASEAN disadari bukan hanya sebagai G-to-G, namun P-to-P alias People to People. Hanya saja, dalam hal ini subjek ‘P’ diwakili oleh ‘G.’

Sayangnya kenyataan tersebut tidak disadari oleh kebanyakan orang ASEAN. Media massa kerap memunculkan pertanyaan seperti ini, ”Apa hasil konkrit yang bisa didapat rakyat dari ASEAN?”, dimana pertanyaan ini mengindikasikan bahwa rakyat masih mencari apa pentingnya ASEAN bagi mereka. Padahal, ketika mereka mempertanyakan hal tersebut, mereka sebenarnya telah menikmati salah satu hasil konkrit dari ASEAN. Bagaimana dengan nafas yang mereka nikmati tanpa rasa khawatir adanya perang seperti yang dirasakan oleh rakyat di kawasan lain?

Hal menggelikan lain yang terlihat dari reaksi masyarakat yang sering geram dengan langkah konsensus dan dialog ASEAN adalah ketidaksadaran mereka akan adat timur. Konsensus dan dialog yang diadakan ASEAN merupakan produk Timur. Tentu lebih bijak apabila kita mempergunakan dialog atau konsensus dalam menyelesaikan pertikaian ketimbang dengan perang. Dan lagi, mereka kurang menyadari bahwa dua hal ’sepele’ dan ’lemah’ ini masih sangat sulit dilakukan oleh pemerintah di region belahan dunia lain.

Namun bagaimanapun, kita tidak dapat menutup mata atas kenyataan bahwa kepesimisan rakyat tersebut berasal dari ketidakpercayaan mereka akan kemampuan ASEAN dalam menyelesaikan permasalahan internal lewat otoritas yang kuat. Sampai sekarang masih ada beberapa permasalahan dalam internal ASEAN yang diselesaikan secara bilateral atau dengan bantuan UN. Inilah awal dari berbagai pertanyaan/kritik seputar keberadaan ASEAN, yang entah bermakna pengharapan kehadiran ASEAN yang bisa mereka rasakan atau hanya sebagai ejekan. Dimana ASEAN? Mengapa hanya berbagai cita-cita saja yang serius dibicarakan sedangkan rencana resolusi tidak ditempatkan seserius cita-citanya?

Kelemahan lain dari ASEAN yang dapat menghambat akselerasinya dalam integrasi komunitas 2015 adalah minimnya kepedulian rakyat ASEAN akan ASEAN. Di benak mereka ASEAN hanya mampir sebagai akronim organisasi di region Asia Tenggara. ASEAN bukanlah identitas mereka. ‘We Feeling’ yang bermakna dalam bagi pemimpin ASEAN ternyata bukanlah apa-apa bagi mereka. ‘We Feeling’ hanyalah slogan bagi mereka. Stereotype ASEAN sebagai G-to-G forum ternyata benar-benar telah menghilangkan semangat ke-ASEAN-an dalam rakyatnya.

Menghubungkan kelemahan dari sisi rakyat yang sedang dihadapi ASEAN dengan label G-to-G, dalam pandangan saya, hal tersebut bukan murni kesalahan pemerintah atau rakyat. Untuk menemukan jawabannya, kita harus kembali menelusuri perjalanan ASEAN selama empat puluh tahun ke belakang.

Pada awal masa berdirinya, ASEAN memang lebih dikonsentrasikan pada pembangunan rasa percaya di antara pemimpinnya sebagai perwakilan negara. Hubungan yang intens antara pemimpin ASEAN memang telah membawa ASEAN pada pencapaian perdamaian dan kestabilan region, namun ternyata di balik keberhasilan ini harga yang harus dibayar ASEAN adalah stereotype G-to-G yang melemahkan kepercayaan rakyat terhadap ASEAN.

Terdapat sebuah kesalahpahaman antara pemimpin dan rakyatnya pada poin di atas. Harapan para pemimpin untuk meresapkan kepercayaan di antara mereka kepada rakyatnya ternyata dianggap oleh rakyatnya sebagai keegoisan pemimpin dalam memiliki ASEAN. Ketika pemimpin ASEAN dalam menyelesaikan permasalahannya melibatkan pihak luar, rakyat pun bereaksi ‘mencemoohkan’ ASEAN. Ketika realisasi Action Plan dirasakan lambat oleh rakyat, kritik pun kembali dilancarkan. Satu hal yang perlu dimaklumi dari keadaan ini adalah keadaan negara-negara di ASEAN sendiri masih dalam taraf berkembang, dimana rakyat masing-masing negara aktif mengoreksi gerak-gerik pemimpinnya. Pemandangan tersebut tidak akan jauh berbeda dengan pemandangan hubungan antara pemimpin ASEAN dan rakyatnya karena keadaan di ASEAN merupakan agregasi keadaan nasional.

Kesimpulannya, hal yang perlu digarisbawahi sebagai penyebab lemhanya kepercayaan dan kepedulian rakyat ASEAN akan ASEAN adalah kesalahpahaman tujuan pemimpin dan budaya kritik yang masih hangat diusung rakyat.

ASEAN Community by 2015, Here We Come!

Saat ini ASEAN sedang memasuki gerbang tahapan baru dalam kiprahnya. Setelah empat puluh tahun berhasil menancapkan bendera keberhasilan timbulnya rasa saling percaya antara pemimpin, kini saatnya mengajak rakyatnya menancapkan bendera yang serupa. Kesalahpahaman tujuan confidence measures building harus berhasil dibayar pada tahapan baru ini, terutama menyadari bahwa Komunitas ASEAN akan datang hanya dalam tujuh tahun lagi. Harus tercipta rasa saling percaya dari rakyat terhadap ASEAN secara keseluruhan, dari rangka hierarkinya sampai alur kebijaksanaannya.

Langkah paling utama untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan menghapuskan stereotype G-to-G. Rakyat harus intens terlibat dalam setiap kegiatan ASEAN, baik sebagai subjek maupun objek, baik sebagai pelaku maupun penonton. Rakyat juga harus mengetahui bahwa sebagian dari kebijakan nasional pemerintahnya merupakan hasil pembicaraan di forum ASEAN. Mulai pada tahap post-empat puluh tahun ini ASEAN harus benar-benar merakyat. Andai saja dalam per-ASEAN-an rakyat terlibat tidak hanya sebagai pembaca kegiatan ASEAN di koran dan sejarah ASEAN di buku pelajaran, namun juga sebagai pembuat berita tentang ASEAN dan pembuat sejarah tentang ASEAN, pastilah ‘We Feeling’ akan tertancap di hati mereka. Akhirnya, dengan tertanamnya ‘slogan’ tersebut, cita-cita komunitas 2015 bukan sekedar rumusan KTT Cebu.

Membiarkan rakyat ASEAN dalam keacuhannya sama saja membiarkan ASEAN bertambah tua tanpa menjadi dewasa. Komunitas yang dicita-citakan dan digariskan dengan penuh perhitungan hanya akan menjadi target yang utopia. Di sinilah pentingnya penambahan rencana aksi penghapusan stereotype G-to-G sebagai agenda persiapan Komunitas. Mindset rakyat ASEAN tentang masa depan ASEAN harus berubah. ASEAN bukan hanya milik pemerintah seperti apa yang dipikirkan dulu, itu hal pertama yang harus tertanamkan. ASEAN adalah milik kita karena semua yang ada di ASEAN merupakan tentang kita. Masa depan ASEAN bukan lagi tergantung pada usaha pemerintah, namun tergantung pada usaha kita untuk mau menerima ASEAN dengan pikiran terbuka dan respon positif.

(Ark.Feb’08)