Kenapa Harus Karnaval Kebaya pada Hari Kartini?

Barusan saya nonton Opera Van Java yang Sule-nya pakai kebaya. Bukan nonton juga sih, tadi pas lagi mau ngambil minum kebetulan ngelewatin ruang keluarga terus keliatan deh ada Sule pakai kebaya. Karena saya nggak nonton secara lengkap episode OVJ 21 April ini, saya nggak akan ngebahas kebaya yang dipakai Sule meskipun siapa tau kebaya itu rancangan Anne Avantie feat Dedi Dores. Hal yang akan saya bahas di sini adalah kenapa tanggal 21 April yang menjadi hari kelahiran pahlawan wanita legendaris, ibu kita Ibu Kartini, selalu diidentikkan dengan kebaya, sampai-sampai Sule pun harus pakai kebaya di episode OVJ.

WHY….?


Kartini yang Begitu Menggemparkan

Nggak bisa dipungkiri, saya dan pastinya Teman-teman pembaca anaksawah hidup pada zaman yang memberi kelonggaran kepada perempuan untuk bersekolah dan berkarya. Nah, karena kita terbiasa hidup pada zaman yang kayak begitu, waktu kecil, waktu belum tahu apa-apa soal kesetaraan gender, pernah nggak sih kita mempertanyakan, “Emang Kartini hebat di bagian mananya sampai buku Habis Gelap Terbitlah Terangnya sangat fenomenal?”

Saya pernah mempertanyakan itu, bahkan hingga SMA. Saya sih dari TK sampai SMA nggak pernah absen ikut upacara dan pawai kebaya tiap Kartinian tapi ya saya nggak pernah dapat esensi, seberapa pentingnya sih Kartini?

Saya akhirnya sadar juga bahwa ternyata Tante Kartini ini sangat hebat! Kesadaran ini begitu menggugah! Sama menggugahnya ketika akhirnya saya mengamini bahwa kunci perdamaian Asia Tenggara adalah ASEAN! Ternyata setelah ditelisik lebih dalam, Kartini adalah sosok orang yang bisa think out of the box dan do out of the pattern!

Kartini dalam benak saya yang baru tercerahkan merupakan sosok wanita yang sangat cerdas. Cerdas karena ia mampu merasa janggal dengan keadaan yang dirasa nyaman-nyaman saja oleh wanita yang hidup sezaman dengannya dan dengan kejanggalan yang ia rasakan tersebut ia mempergunakan otaknya untuk mencari tahu kenapa dan harus apa. Proses pencariannya pun tidak hanya ia lakukan dalam satu kali berpikir. Ketika ia melihat perempuan diperistri hanya sebagai syarat pelengkap status sosial laki-laki tapi perempuan itu malah merasa senang, Kartini melihat bahwa kebahagiaan perempuan tersebut bukanlah murni suatu kebahagiaan melainkan ejawantah dari kepasrahan perempuan kepada laki-laki untuk menjamin hidupnya karena perempuan itu sendiri sebenarnya tidak bisa berjuang untuk hidupnya sendiri. Kepasrahan tersebut merupakan buah dari tekanan yang dialami perempuan yang diturunkan turun temurun dan diwacanakan sebagai kodrat. Hasilnya, ya perempuan begitu-begitu aja. Terkungkung dalam kebodohan dan nggak punya daya untuk keluar dari lingkaran mitos kodrat.

Itulah. Saya kagum dengan Kartini bukan karena ia wanita dari golongan menak yang mau turun ke rakyat dan membangun sekolah untuk rakyat berjenis kelamin perempuan dan digenderkan sebagai feminin. Saya juga bukan kagum karena ketika mengajar ia masih menggunakan kebaya. Oke, mungkin alasan saya kagum terlalu masuk ke golongan Naïve Deductive Theory, tapi nggak apa-apa lah, daripada saya bilang saya kagum dengan atribut kebaya Tante Tini. Kekaguman saya kepada Kartini lebih didasari pada pandangan saya yang melihat bahwa Kartini merupakan orang cerdas yang mau mempergunakan otaknya secara maksimal. Dari ide yang out of the box, ia mampu membuat sebuah perubahan. Do out of the pattern.


Relasi dengan Kebaya?

Nah, karena saya melihat Kartini sebagai tonggak kemerdekaan berpikir, saya jadi nggak bisa melihat relasi dan relevansi antara kebaya dengan Kartini.

Bagi saya ya itu, kepahlawanan Kartini bersumber dari otaknya, bukan dari kebayanya. Apa sih yang mau kita teladani dari atribut kebaya yang digunakan Kartini? Bukankah memang sudah sewajarnya Kartini mengenakan kebaya karena dia memang putri seorang bangsawan yang pastinya nggak mungkin kalau dia pakai baju kemben dan jarik ala pemeran figuran Tutur Tinular yang jadi rakyat jelata? Dan apakah Kartini menyisipkan pesan khusus tentang emansipasi melalui kebayanya? Saya nggak menemukan pesan khusus mengenai emansipasi dari mitos kebaya itu. Saya melihat Kartini dengan kebayanya yaaaaa sepintas seperti saya melihat saya pakai celana jins pas kuliah karena udah kultur dan tren berpakaiannya seperti itu. Kalau pun di dalam kebaya itu makna konotatif, makna konotatif tersebut saya lihat tidak ada sangkut pautnya dengan dukungan terhadap emansipasi. Malah saya melihat bahwa kebaya merupakan hal yang kontroversi dengan pemikiran Kartini!

Pertama, kebaya beserta sanggulnya merupakan simbol keningratan. Nggak semua orang bisa membeli kebaya dan memakaianya secara lengkap beserta sanggul dan selop setiap hari, kan? Nah, di sini saya melihat kebaya sebagai symbol keningratan. Dengan status itu, maka kita melihat sebuah pembeda atau ketidaksetaraan antara wanita itu sendiri. Dengan kebaya beserta sanggulnya yang rapi itu, Kartini tetap bertindak sebagai menak yang derajatnya lebih tinggi daripada rakyat yang ia ajar. Melalui kebaya tersebut malah Kartini menindas kultur wanita yang berkultur rakyat jelata. Ya, memang, Kartini dengan hasil pengamatan dan perenungannya memang menyimpulkan suatu penindasan yang dialami perempuan dan berkeinginan untuk memupus semua itu. Tapi permasalahannya, pandangan tersebut terlalu subjektif. Terlalu berpusat pada dirinya. Ketika Kartini membuat suatu wadah untuk mengentaskan perempuan dari penindasan, ia membuat metode yang benar dan tepat menurut dirinya, menurut kelasnya, tanpa melepaskan atribut keningratannya. Ia tidak melepas kebayanya lalu menggantinya dengan penampilan yang lebih merakyat, yang lebih bisa menyentuh dan mewakili penindasan yang dialami mayoritas perempuan rakyat jelata. Kartini tetap dengan kebaya tersebut. Kartini tetap melihat keadaan perempuan dari kacamata ia sendiri, yang ia rasa janggal dan harus dientaskan.

Kedua, kebaya menuurut saya adalah symbol pembatas bagi perempuan yang justru disematkan sebagai symbol keanggunan dan kebanggaan bagi perempuan. Keanggunan dan kebanggaan itu mitos! Ada makna konotatif lain di dalam kebaya. Saya sering mendengar ucapan manis dari banyak narasumber yang disiarkan oleh media massa bahwa kebaya dan jarik sebenarnya tidak membatasi gerak kita, perempuan. Ya, secara kasat mata memang demikian. Kita masih mungkin kok jogging pakai kebaya, itu kan hanya masalah pengikatan jarik dan model kebayanya saja bagaimana. Tapi, masalahnya bukan dari signifier tersebut melainkan dari signified atau ide dari alat budaya tersebut. Dengan menggunakan kebaya, meski kita masih bisa ikut terjun payung atau rock climbing, kita terikat oleh ide bahwa perempuan yang memakai kebaya itu harus behave supaya terlihat anggun dan memesona.

Nah, terus apa salahnya gituh kalau perempuan nggak terlihat anggun dan memesona? Kita nggak pernah dapat jawaban pasti dari pertanyaan ini. Kalau saya tanya ke nenek saya, nenek temen saya, nenek murid saya, nenek guru saya, dan nenek Teman-teman pembaca anaksawah, jawabannya ga bakal beda jauh walaupun mereka nggak pernah ikutan training kebaya se-Indonesia, “Perempuan itu kalau nggak anggun sulit dapet jodoh…”

Argh! Apakah keanggunan dan keelokan yang saya perjuangkan melalui kaki yang rapat di balik jarik *padahal saya terbiasa jalan ngangkang* dan perut yang sok rata karena stagen *padahal sebenarnya perut saya buncit akibat makan malam* hanya bermuara pada JODOH aka PRIA?

Ini lho yang membuat saya bertanya-tanya kenapa sih kebaya harus kita bawa-bawa ketika kita merayakan kelahiran Bu Tini. Kebaya itu justru controversial dengan emansipasi. Ketika kita terikat dengan ide anggun ketika memakai kebaya, kita terikat pada ketergantungan kita kepada laki-laki sekaligus terikat pada pembatasan bahwa hidup kita nanti akan dibaktikan kepada laki-laki sehingga ngga ada alasan bagi kita untuk memaksimalkan kompetensi hidup kita. Susah amat sekolah toh juga nanti bakal hidup di depan kompor, kalau mau hari tua bahagia, dapatkan pria mapan dengan menjaga keanggunan, pemikiran itu yang tertanam dari balik kebaya. Ketika Kartini membuka sekolah dan mengajar dengan menggunakan kebaya, Kartini juga sebenarnya nggak bebas-bebas amat dalam berpikir karena dia masih terikat pada mitos yang ia anggap day to day life saja. Mungkin yang ada di benak Kartini, “Lha wong baju saya cuman kebaya dan saya terbiasa pakai kebaya terus mau ngapain?”

Tapi justru ini kekurangan Kartini. Kartini ternyata cerdas dalam melihat penindasan tapi kurang jeli dalam melilhat makna konotatif. Kalau Kartini bangun dari kuburnya, semoga Jumat pukul 09.40 dia mau mampir ke kelas Studi Budaya deh.

Dengan poin kedua mengenai kebaya tersebut, saya jadi melihat bahwa kebaya merupakan salah satu alat untuk memperkukuh maskulinitas dan superioritas pria. Ya, kebaya memang bukan pakaian pria, tapi justru dengan pengidentifikasian kebaya dengan wanita itulah laki-laki memperkuat supremasi maskulinitas dan superioritasnya terhadap perempuan. Karena dengan kebaya dan idenya yang membuat kita terbatasi secara gerak fisik dan gerak otak, kita sulit turun tangan ke ranah yang dikuasai pria. Masalahnya lagi, meski saat ini kita nggak tiap hari pakai kebaya, ide mengenai keanggunan ala kebaya itu tertanam dengan kuat di otak kita. Kita terbatasi secara fisik dan mental. Kita terdoktrin untuk menjadi perempuan ala kebaya. Kalau kita nggak jadi perempuan kebaya, jangan harap bisa nikah muda dengan pria mapan yang aduhai. Kebaya adalah kepasrahan dan pengakuan kita secara tidak langsung bahwa kita definitely needs men! Both for money and affection. Kebutuhan kita yang begitu mutlak dan terikat itu justru bertabrakan dengan ide emansipasi, ide kebangkitan. Dan penindasan yang begitu halus tersebut lahir dari sebuah kebaya yang malah kita pakai setiap Kartinian.


Saya Cinta Kebaya, kok, tapi Hanya sebagai Benda Budaya

Ya, di sini saya bukan mau mengatakan bahwa kebaya adalah hal buruk yang harus kita tumpas. Sama sekali enggak. Saya cinta kok sama kebaya. Saya juga suka kalau saya pakai kebaya. Namun, kecintaan saya pada kebaya hanya sebatas pada kebaya sebagai benda budaya. Secara ide, dengan argumentasi yang tadi saya paparkan, sampai saat ini saya menyimpulkan bahwa kebaya adalah salah satu pembatas bagi perempuan yang bersumber dari keinginan pengukuhan maskulinitas dan superioritas pria.

Secara ide, saya kurang setuju dengan pemakaian kebaya pada hari Kartini. Pertama, jelas kebaya adalah salah satu tanda budaya yang tidak disadari oleh Kartini sebagai hal yang berseberangan dengan ide emansipasinya padahal jelas kebaya adalah symbol keningratan dan kepasrahan wanita. Nah, karena itulah di sini harus kita pahami bahwa pengidentikkan kebaya dengan Kartini adalah sebuah salah kaprah. Kartini sendiri sepertinya tidak meninggalkan pesan melalui kebayanya. Ia memakai kebaya sepertinya karena ia nggak ikutan kuliah Stubud pada zamannya. Nah, itu alasan kedua. Kebaya mah jangan dibawa-bawa dalam perayaan hari Kartini soalnya Kartininya juga nggak melihat sinyal bahaya dari kebaya jadi pemikiran dia jangan disangkutpautkan dengan sehelai kebaya dan sehelai jarik.

Nah, kalau melihat fenomena pengidentifikasian kebaya dengan dua puluh satu April, saya jadi mikirnya gini, kayaknya nih kita-kita orang Indonesia senengnya merayakan sesuatu hal secara seremonial, belum secara substantive. Karena Kartini atributnya pakai kebaya, makanya kita bikin karnaval kebayaan biar mirip Kartini. Tapi sebenarnya yang harus kita teladani dan renungi kan bukan kebayanya Tante Kartin, emangnya dia model Anna Avantie dan Dedi Dores.

Yang harus kita teladani dan sempurnakan adalah pemikiran dan semangatnya untuk mengentaskan penindasan, meski ya memang itu masih sangat subjektif dari pengamatannya sendiri sehingga ia mencari metode yang sesuainya sama kalangan dari kelas sosial dia sendiri. Kita tuh sebenarnya tahu masalah ini, tapi kita terlalu senang untuk memvisualisasikan suatu hal yang abstrak melalui simbol-simbol. Tapi salah. Simbol yang kita agungkan sebenarnya tidak relevan dan memliki relasi yang sangat kecil dengan substansi yang seharusnya kita rayakan.

Ini baru dari segi kebaya. Belum dari segi kenapa harus tanggal 21 April? Itu kan ulang tahunnya Kartini. Apa hubungan antara hari ulang tahun dengan pemikiran seseorang? Kenapa kita nggak merayakan hari Kartini pada tanggal ketika Kartini membuka sekolah untuk perempuan atau ketika buku Habis Gelap Terbitlah Terang terbit dan menggugah hati manusia lain yang hidup sezaman dengannya? Kenapa sih harus 21 April? Kurang mengenai sasaran menurut saya.

Yah, begitulah. Jadi bingung mau ngomong apa lagi. Saya kagum terhadap pemikiran Kartini, bukan terhadap kebayanya. Namun bukan berarti pula saya ingin membinasakan kebaya sebagai benda budaya, saya cuman pengen ide yang melekat di kebaya itu memudar seiring dengan perkembangan emansipasi.


Ark.Apr’10.

Menghindari Kenyataan

Saya baru sadar kalau selama ini saya terlalu banyak menghindari kenyataan dengan mencurahkan pikiran dan tenaga ke pekerjaan, tugas kuliah, dan urusan kepanitiaan/organisasi. Saya kira melalui pengalihan otak dan tenaga tersebut saya sedang belajar menghadapi kenyataan, tapi ternyata itu cuman penghindaran dan pengendapan. Ketika tiba-tiba secara terpaksa dan tak disangka saya dihadapkan dengan objek yang coba saya lupakan, tiba-tiba mood saya seharian berubah jadi jelek. Hmmm. Itu artinya saya masih dalam proses mengendapkan tapi belum bisa menerima, hehehe.

Ah, permasalahan itu makin pelik kalau udah menyangkut cinta. Ya, sebenernya nggak cinta doang sih, hampir di setiap bidang saya selalu kayak begituh kelakuannya. Tapi kalau udah masalah cinta, aihhhhhhh mood euy mood! Terpengaruh sekali!

Tapi nggak ada jalan lain untuk mengubah perilaku selain dengan menghadapkan diri pada objek yang paling pengen kita hindari. Aaaaaaah, saya males ketemu Estu tapi udah setaun kayak begini, buang muka dan pura-pura nggak kenal tapi pas Estunya udah jauh mood saya jadi rusak seharian, jadi mau sampai kapan ngehindarin….?

Okei, akhirnya saya usahain bener-bener usahain untuk nggak buang muka kalau ketemu orang itu. Beneran deh saya belain nggak buang muka, kalau dia nyapa juga saya usahain nganggukin kepala, kalau dia nanya mau kuliah apa juga udah saya usahain buat ngejawab aga dikitan panjang..hoek. Hahaha. Yah, walaupun berat tapi ternyata lebih melegakan lho! Hahha. Seengganya mood saya nggak rusak kayak kalau saya buang muka. Hahaha. Oia, sekarang juga saya udah berteman sama Estu. Hahha.

Terus kayak misalnya saya nggak suka sama sifat atau ceplosan temen saya. Nah, biasanya sih saya diem aja, ngesot dikit trus pindah tempat, dan kalau dalam radius 5km saya liat dia mendekat ke arah saya, langsung saya ngibrit atau kalau nggak sempet ya pura-pura sibuk. Tapi nggak bisa kayak gitu melulu. Akhirnya kalau misalnya dia ngomong atau bertindak nyebelin ya saya usahain buat bales perkataan dia, hahha, atau bilang keenggasukaan saya. Sejauh ini sih lebih melegakan. Hahha.

Bos saya nyebelin soalnya hobi nyuruh saya nanganin hampir seluruh kelas padahal saya juga harus bagi waktu kuliah, ngurus organisasi, makan, tidur, dan bersenang-senang? Oh no problemo. Pasti saya bilang langsung ke si Bapak kalau saya nggak bisa dan sesekali menyindir kenaikan gaji, hahha. Eh tapi manjur lho. Walaupun gaji belum naik secara signifikan tapi saya dapet jatah makan siang. Uhuy. Terus kalau misalnya saya nggak bisa ngajar ya bilang nggak bisa, mau dikasih iming-iming atau muka jutek si Bapak kek, hmmmm, nggak takut deh.. Daripada bilang iya bisa tapi pas ngajar bawaannya bete? Bheuh.

Ya jadi intinya, hadapi permasalahan karena itu akan lebih melegakan dan menyenangkan, tentunyaaaaa! Hahaha.

Ark. Apr’10.

Sindiran Sosial dalam Pemakanaan Godzilla secara Konotatif

Dari beres kuliah Cultural Studies Jumat dua pekan lalu sebenernya saya udah gatel buat posting tapi pas depan komputer entah kenapa tiba-tiba saya lupa saya mau nulis post apa. Hehe. Sekarang mumpung ingat, mari saya tulis! Haha.

Akhirnya setelah ditunggu-tunggu sekian lama, kuliah Cultural Studies akhir Maret lalu diramaikan oleh model yang dibawa Bima. Bukan model macam perempuan ramping atau pria berperut six packs dengan bentuk udel yang menggoda melainkan film documenter dari Bima. Film itu menceritakan budaya Jepang, khususnya budaya film horror.

Jepang memiliki terminology horror yang berbeda dengan kita. Saya juga baru mengetahuinya setelah Bima mempresentasikan intisari film dokumenter buatan BBC Inggris tersebut. Horor bagi Jepang tidak melulu tentang hantu. Film macam Godzilla juga termasuk dalam genre horror kalau di Jepang mah.


Rentetan Cerita Godzilla

Nah, ini kajian saya yang pertama. Horror kan artinya menakutkan, nah ketika Jepang memasukkan film Godzilla ke dalam genre horror, maka kita akan melihat persepsi orang Jepang akan rasa takut.

Kalian masih hapal jalan cerita Godzilla kayak apa? Kita mulai dari sosok Godzilla itu sendiri. Godzilla sih jelas banget itu fiktif. Tapi melalui kefiktifan tersebutlah kita bisa melihat gambaran ketakutan orang Jepang itu seperti apa.

Bayangkan lagi seperti apa Godzilla. Godzilla itu monster. Godzilla itu gede. Godzilla itu mampu menghancurkan kota dengan sekali tebas, libas, rengkuh, gigit, dan remas. Godzilla juga ga mempan senjata konvensional. Nah, lalu dari jalan cerita. Godzilla itu lahir dari kadal yang terkena radiasi nuklir warisan Hiroshima Nagasaki. Godzilla itu gara-gara suatu masalah yang diakibatkan oleh keteledoran manusia akhirnya tersulut kemarahannya lalu menyerang kota. Ingat kota, bukan desa. Dia menginjak-injak dan meluluh leburkan pusat modernitas Jepang macam gedung pencakar langit, stasiun bawah tanah, pusat perbelanjaan, apartemen, mobil, kereta Shinkansen, dan beragam pusat peradaban lainnya. Namun sebenarnya Godzilla tidak jahat. Kemarahannya hanya disebabkan jika ia diganggu duluan. Godzilla malah menjadi pahlawan bagi Jepang. Ketika Jepang diserang oleh makhluk luar angkasa yang entah dari mana, Godzilla muncul dari lautan lalu melawan si alien sampai aliennya kalah.


Sindiran Sosial

Nah, mari kita runut. Penggambaran Godzilla yang begitu seram dan besar tersebut mengisyaratkan bahwa orang Jepang memiliki ketakutan yang sangat besar terhadap suatu sosok yang memiliki kekuatan untuk menghacurkan pusat modernitas Jepang. Parahnya, si sumber ketakutan tersebut juga tidak mempan dengan segala macam persuasi dan ancaman, ini terlihat dari kekebalan Godzilla yang sudah dikasih ratusan peluru dan bahan peledak. Tapi, Godzilla yang kita anggap sebagai sumber ketakutan orang Jepang tidak tinggal di luar territorial Jepang. Ia malah tinggal di laut wilayah Jepang. Saya melihat hal ini sebagai pertanda bahwa ancaman yang ditakuti orang Jepang tersebut tidak berasal dari luar tetapi dari dalam negerinya sendiri.

Lalu kita runut lagi dari sejarah terciptanya Godzilla. Dari radiasi nuklir! Radiasi nuklir dari bom atom yang dijauhkan sepuluh hari sebelum hari kemerdekaan Indonesia itu ternyata mampu mengubah seekor kadal yang tidak tahu apa-apa menjadi mutan mengerikan. Saya melihat hal tersebut sebagai symbol bahwa bom atom yang dijatuhkan Sekutu karena keserakahan Jepang menambah daerah jajahan mengakibatkan korban dari kalangan masyarakat yang tidak tahu apa-apa. Luka Hiroshima dan Nagasaki tersebut mengubah kehidupan mereka dengan begitu pesatnya, dari awalnya kadal menjadi Godzilla, hingga mereka pun terpaksa mengungsi dari tempat tinggalnya.

Coba kita lihat dimana tempat tinggal Godzilla, di laut kan? Kita sendiri tahu bahwa laut merupakan tempat luas yang tenang tapi menyimpan bahaya gelombang dan badai. Nah, di tempat seperti itulah mutan korban Hiroshima Nagasaki tinggal.

Nilai yang dapat kita tarik dari Godzilla adalah Godzilla merupakan bagian masyarakat Jepang yang menjadi korban langsung perang dunia yang berpotensi menghancurkan Jepang karena protes mereka atas modernitas Jepang. Pasca-PD II, Jepang menjadi negara yang tidak berkapabilitas militer karena ia dijamin oleh Amerika Serikat namun pesat dalam ekonomi. Simbol kepesatan ekonomi sendiri adalah modernitas Jepang. Selepas peristiwa menyerahnya Jepang kepada Sekutu, Jepang yang tradisional dan lekat dengan nilai budaya local malah menjelma menjadi negara modern, maju, dan kaya. Bisa jadi Godzilla adalah representasi masyarakat yang masih ingin mengedepankan budaya local ketimbang modernitas.
Lalu ketika Godzilla tidak mempan ditembaki peluru dan bahan peledak, nilai yang bisa kita ambil adalah betapa kuatnya masyarakat adat Jepang memegang tradisi, nilai, dan ideologinya. Seperti apapun bujukan dan rayuan serta sekuat apapun tekanan yang dialamatkan kepada mereka, mereka tidak akan goyah menentang modernitas Jepang.

Namun demikian, ada yang perlu kita catat dari keberadaan Godzilla ini. Di satu sisi mereka memang menakutkan. Mereka adalah sumber ketakutan masyarakat Jepang pada umumnya. Di sisi lain, kita harus mencatat bahwa satu, kedatangan Godzilla ke pusat peradaban tidak sekonyong-konyong saja, tapi setelah dipicu suatu sebab. Ini menyiratkan bahwa para kaum adat ini juga sebenarnya tidak jahat. Kemarahan mereka hanya muncul apabila ada faktor pengganggu. Lalu dua, saat kita melanjutkan tontonan hingga pada bagian kedatangan alien yang hanya dapat dilawan oleh Godzilla, dimana saya melihat alien ini sebagai symbol kedatangan budaya, pengaruh, ancaman, tekanan dari luar teritori Jepang dan Godzilla sebagai pemegang adat local yang sangat kuat, maka nilai yang bisa kita tarik adalah sebenarnya betapa besar potensi yang dimiliki oleh nilai lokal Jepang untuk menangkal bahaya dari luar.

Saya sendiri pada akhirnya melihat film Godzilla made in Japan ini sebagai suatu sindiran sosial bahwa,
  1. Keserakahan Jepang di masa lalu dalam hal wilayah menyebabkan Jepang mengorbankan rakyat yang tidak tahu apa-apa dan tidak berambisi apa-apa
  2. Perubahan Jepang menjadi negara yang super modern sebenarnya tidak didukung oleh seluruh rakyat Jepang
  3. Jepang kerap menekan masyarakat yang menganut nilai lokal dengan kuat melalui berbagai cara, halus maupun keras karena mereka dianggap sebagai musuh internal Jepang
  4. Jepang tidak menyadari bahwa tidak selamanya hal yang berasal dari luar merupakan hal yang baik. Justru hal tersebut sebenarnya adalah ancaman bagi Jepang sendiri.
  5. Kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan diri dari serangan dari luar, baik serangan fisik maupun ide, adalah dengan menjunjung nilai-nilai local, yang sayangnya sering dilupakan oleh pemerintah dan rakyat Jepang lainnya.

Bermain dalam Pemaknaan

Sama seperti Sinchan, ternyata Godzilla yang sangat fiktif ini memiliki pesan sosial yang tinggi. Pesan sosial tersebut hanya akan dapat terlihat jika kita mau melihat Godzilla berdasarkan pemaknaan yang konotatif, bukan lagi sekedar pemaknaan yang denotative yang tampak dengan mudah dalam bentuk isual, deskriptif, dan literal. Ini yang membedakan film bagus dan film jelek. Pada film yang bagus, tingginya sisi idealis dalam pesan moral tersebut terkadang membahayakan pembuat film tersebut karena memang bermaksud untuk menyindir pemerintah dan kaum mayoritas, namun hal tersebut tidak lantas membuntukan idealisme tersebut. Pesan moral berupa sindiran sosial tersebut bisa mereka selimuti dengan visualisasi yang netral dan imajinatif. Bayangkan, Godzilla, si makhluk jelek mengerikan, dan bau amis ini, siapa yang akan menyangka bahwa ia adalah sindiran betapa buruknya citra yang dimiliki oleh kaum adat di mata kaum modernis. Orang Jepang pun pintar dalam memilih jalur imajinatif fiktif sefiktif-fiktifnya sebagai wadah penyaluran sindiran. Dengan jalan cerita yang penuh petualangan dan imajinasi tersebut, mereka bebas mengeksplorasi imajinasinya untuk menyuarakan sindirannya sekaligus menyebarkan sindiran tersebut dengan bebas tanpa control dan sensitivitas pemerintah dan kaum mayoritas.

Pada film jelek, ada dua kemungkinan. Satu, pesan moral atau sindiran sosialnya tidak ada. Ini yang sering terjadi di industri perfilman Indonesia. Film yang dikeluarkan kebanyakan film yang memiliki muatan komersil yang tinggi meski dengan melecehkan kaum-kaum marginal. Pemaknaannya benar-benar denotative dan sulit dieksplorasi bagaimana makna konotatifnya. Kedua, film tersebut kurang mengeksplorasi imajinasi-imajinasi yang bisa membalut pesan sosial sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan resistansi dari banyak golongan. Ini juga sering terjadi di Indonesia. Saya sendiri sebagai penulis melihat bahwa penulis cerita dan penulis scenario di Indonesia terlalu vulgar dalam menyampaikan sindiran sosial. Akibat yang didapat, film tersebut mengalami penyensoran yang tentu mengerdilkan pesan sosial yang sebenarnya ingin ia sampaikan. Belum lagi meski kita menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, kita belum menyatu dalam kesatuan ideologi media. Tidak ada keseragaman yang terlihat dari industri film Indonesia.

Sebenarnya film, karya sastra, manga merupakan sarana yang potensial untuk menyuarakan sindiran sosial secara bebas. Namun permasalahannya, sejauh mana kita bisa menggali symbol-simbol yang sesuai dengan kebutuhan kita sehingga symbol tersebut bisa mewakili pesan sosial yang ingin kita sampaikan tanpa menimbulkan resistensi. Itu yang harus kita temukan. Ada banyak hal-hal yang anomaly di sekitar kita, daripada kita turun ke jalan dan berdemonstrasi namun tidak membawa perubahan apa-apa, mengapa kita tidak meneladani Jepang yang telah mampu menyampaikan sindiran sosial dalam pemaknaan konotatif?


Ark. Apr’10.

Pilihan

Ada satu hal yang menarik pada Rabu silam. Ada seorang dosen yang ingin mengetahui kecenderungan mahasiswanya dalam berorientasi melalui semacam tes psikologis. Jadi begini, menurut dosen tersebut, manusia itu terbagi dalam tiga golongan. Pertama, golongan tradisional. Golongan ini memiliki orientasi yang berpatokan pada kejayaan masa lalu. Misalnya ketika ia diharuskan memilih bupati, ia akan memilih berdasarkan pertimbangan bahwa calon bupati tersebut merupakan keturunan ningrat yang pasti mempunyai takdir pantas jadi pemimpin. Lalu kedua adalah orang ambivalen. Orang seperti ini memilikii berkecenderungan hanya memikirkan keadaan pada hari ini, Ketika ia diminta memilih bupati, ia akan memilih bupati yang saat ini memiliki kekayaan dan aset berlimpah sehingga jika nanti bupati tersebut terpilih, maka orang tersebut akan terciprat keuntungan. Ketiga adalah golongan modern. Golongan ini memiliki orientasi ke masa depan. Pertimbangan yang ia ambil ketika harus memilih bupati adalah karena calon bupati tersebut memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dan mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat.

Nah, uniknya, dalam menguji para mahasiswanya, dosen saya ini nggak menyodorkan tes-tes apalah itu yang macam ada tes bahasa, matematika, dan lain-lain selayaknya tes psikologi. Ia hanya menanyakan kepada kami (dan tentu saja harus kami jawab dalam di atas kertas lalu dikumpulkan), jika kami harus menikah dengan orang yang jauh jauh jauh jauhhhhhhhhhhhh lebih tua dari kami, pertimbangan apa yang kami pikirkan hingga kami mau menikah dengan orang yang jauh lebih tua tersebut.

Sepintas kami tertawa, namun beliau dengan cepat mengingatkan. Tujuan ia menyodorkan soal bahwa kami harus menikahi orang yang jauhhhhhh lebih tua adalah perumpamaan jika suatu saat nanti kami jadi pemimpin kami disodori pilihan yang sangat sangat sangat buruk dan nggak sesuai harapan namun harus kami ambil. Ketika kami mengiyakan pilihan buruk tersebut, tentu banyak alasan yang melatari, nah tapi kira-kira alasan apa yang paling mendominasi keputusan kita tersebut.

Beliau juga berkata bahwa tidak ada jawaban yang salah dan benar dari pilihan jawaban kami. Ia menghormati tipe manusia seperti apakah kami. Namun yang jadi permasalahan adalah kami harus bisa menyimpulkan sendiri manusia seperti apakah kami. Dengan pertimbangan-pertimbangan yang kami tuliskan, apakah pertimbangan tersebut sesuai dengan kesimpulan/penilaian kami terhadap diri kami sendiri. Nah, inilah yang akan jadi penilaian kedua bagi dosen saya. Ketepatan kami dalam menilai diri sendiri. Kalau bahasa di novel Maryamah Karpov mah jangan sampailah kita overvalued dalam menilai diri sendiri. Haha.

Tapi lalu saya berpikir lagi. Hmmmm, kali ini saya ingin menarik hal besar yang dikemukakan dosen saya menjadi refleksi bagi diri saya sendiri. Jadi kali ini posting saya agak beda. Kita bermain mikro deh sekarang.

Nilai pertama yang saya dapatkan dari sana terinspirasi ketika saya dan Bima diminta dosen tersebut untuk menghitung hasil jawaban. Ternyata tidak ada satu pun teman saya yang memiliki jawaban seragam. Satu, mereka memiliki jawaban sendiri atas pertimbangan mereka. Ada yang mengakui bahwa mereka orang tradisional, orang ambivalen, dan banyak sekali yang mengaku modern. Dua, meski mereka terbatasi tiga pilihan yang membuat mereka termasuk dalam golongan tertentu, mereka memiliki pertimbangan yang berbeda dalam menyimpulkan bahwa diri mereka termasuk golongan A, B, dan C. Lalu dengan ditambah perkataan dosen saya mengenai kebebasan kami untuk memilih dan tidak ada jawaban benar atau salah atas pilihan jawaban kami, saya pun jadi berpikir, ternyata kita ini memang diciptakan berbeda. Setiap kepala memiliki pertimbangan yang berbeda sesuai dengan pengalaman, kebutuhan, dan pandangan hidupnya. Ketika mereka disodorkan hal yang sama, mereka ada yang memilih dan ada pula yang tidak. Pada saat mereka terkumpul menjadi satu golongan karena memilih jawaban yang sama, pertimbangan mereka sebenarnya pun sebenarnya saling berbeda. Nah, ini yang seharusnya kita mengerti. Apapun yang mereka pilih, tidak ada yang salah. Jangan karena pilihan mereka berbeda dari pilihan kita lalu kita menilai bahwa mereka salah. Lebih parah lagi kalau kita nggak cuman menyalahkan tapi juga berusaha mengubah dia untuk sama dengan kita.

Secara teoritis dan dalam tataran wacana, hal tersebut pasti kita pahami, tapi saya yakin pasti pasti pasti banget kalau aplikasinya di lapangan akan sulit terwujud dengan mudah, semudah kita mengerti konsep itu.

Saya akan menariknya ke masalah cinta. Cailah. Haha. Sesi curhat sedang akan dilangsungkan, mari baca curhat saya jika demikian. Haha. Seingat saya, hahha sok sok lupa, saya pernah jadi orang yang nggak dipilih. Oke, saya yang udah pacaran sama dia dalam kurun waktu yang nggak bisa dibilang sebentar tiba-tiba harus mendapat cobaan di siang bolong pas lagi adzan duhur yaitu ketika si pacar yang saya cinta itu mengutarakan maksudnya untuk membina hubungan pertemanan saja dengan saya. Selidik punya selidik, dia ternyata sudah menemukan belahan jiwanya yang lain. Nggak habis pikir aja gituh. Gila, gue udah pacaran gitoh sama dia terus kita harus putus gara-gara ada cewek yang baru dia kenal. Oh my goat. Haha.

Cobaan yang panas pun datang silih berganti waktu teman-teman saya ikutan menginvestigasi latar belakang cewek itu. Menurut mereka, cewek itu sekolah di tempat yang sangat biasa, dia juga bukan orang yang rajin dan cerdas, dia juga nggak feminim seperti layaknya mitos-mitos bahwa cewek itu harus lembut dan tersipu malu, malah cewek itu tomboy abissssss!! Rambutnya pendek, hobi pake celana pendek, kaos, topi, dan beragam atribut mitos kemaskulinan lainnya. Cewek itu juga termasuk dalam kasta alay *hahaha, hinaan makin parah*. Yah begitulah. Kenyataan tentang cewek itu membuat saya dan teman-teman saya nggak habis pikir nyari alasan kenapa sih si pacar saya itu milih cewek itu. Kita sempat terjebak perkiraan mistis yang tolol abis. Jangan-jangan main dukun tuh cewek. Hahha. Beragam cara pun dilakukan untuk membuat si pacar yang sudah jadi mantan itu untuk kembali berpaling ke saya. Cara yang paling sering dihembuskan adalah…tebak apa????

Menasihati pacar saya itu dengan kalimat,“Banyakkin solat sama baca Quran deh supaya kamu bisa terbebas dari kekuatan sihir dan bisa melihat mana yang baik mana yang benar lagi.”
Hahaha.

Kalau saya kaji sekarang, hahhaha, aduh itu sumpah tolol abis. Nggak ada hal yang salah dengan keputusan pacar saya untuk memilih cewek itu gitu loh. Setelah dia jalan sama saya dalam kurun waktu yang lama itu pasti otak dia terbuka. Tipikal cewek seperti apakah saya, cocok nggak saya sama kriteria dia, kuat nggak dia hidup sama saya, dan apa sih yang sebenernya dia cari dalam suatu hubungan di usia awal 20-an. Yang salah justru saya yang nggak bisa memahami orientasi hidup dia itu seperti apa, tradisionalkah, ambivalenkah, atau modern, dan dalam waktu yang bersamaan saya juga nggak bisa melihat sisi positif dan negatif saya itu termasuk sisi yang dapat memenuhi kebutuhan golongan tradisional, ambivalen, atau modern. Ketika kita nggak memahami konsep orientasi hidup seseorang dan kita sendiri, ketika itu pulalah kita udah menyiksa diri kita dengan berbagai ketidakterimaan dan berjuta kutukan. Kita boleh aja punya segudang prestasi, muka yang cantik, badan yang aduhai, harta yang melimpah, kesabaran tiada tara, kesantunan luar biasa, kesucian yang tak tersentuh, kemampuan masak tak terkira, dan banyak lagi, tetapi yang perlu kita pikirkan, sesuaikah apa yang kita miliki dengan orientasi seseorang yang kita cintai?

Kelebihan-kelebihan tersebut nggak berarti kalau si orang yang kita cintai itu nggak butuh, nggak nyari, dan nggak merhatiin. Saya jadi inget deh petuah ibu saya. Katanya, mencari baju itu harus yang sesuai. Percuma punya baju bagus dan mahal kalau kita nggak pernah diundang ke pesta. Percuma juga punya baju yang seksi dan cantik kalau badan kita nggak sesuai dengan postur yang diinginkan baju itu. Baju itu cuman indah aja dipajang dan dilihat tapi nggak pernah bisa kita pakai. Mubazir, kan? Ngapain coba kalau begitu? Mending cari baju yang emang fungsional dan yang sesuai dengan postur kita. Akan lebih bermanfaat dan cantik kalau dipakai.
Ini yang suka kita lupakan. Nggak salah ketika kita menilai bahwa kita lebih baik daripada orang lain, tapi kita juga harus ingat bahwa kita nggak boleh menyalahkan pilihan orang yang nggak memilih kita, si orang yang lebih baik.

Begitu pun sebaliknya jika kita sedang memutuskan bahwa si A nggak baik untuk kita, yaudah lakukan dengan ringan, jangan bawa-bawa perasaan nggak enak apalagi kasihan. Hidup ini kan kita yang menjalani, kita yang merasakan, dan kita yang merefleksikan. Kita punya kebutuhan, pandangan, pengalaman, dan keinginan. Go fighting for it! Perasaan-perasaan nggak enak itu malah bikin kita tersiksa dan terkekang. Nggak sehat aja gituh. Jadilah manusia yang bebas memilih dan menghormati pilihan orang. Pada akhirnya kita bakal menemukan jalan hidup yang terbaik untuk kita. Mungkin nanti kita akan ketemu sama jodoh impian atau bisa juga akhirnya kita memilih untuk sendirian. Hmmmm, itu yang pertama. Tapi ingat, walaupun saya hanya memberi refleksi dari aspek cinta, hal ini juga bisa kita refleksikan dalam aspek lainnya. Seperti apa? Pikirlah, Nak. Saya cape ngetik. Hehe.

Kita lanjutkan pada nilai kedua. Ehem, okei, ketika dosen saya berkata bahwa hal yang ia nilai adalah kesesuaian pertimbangan dengan kesimpulan yang kami buat, nilai yang saya tarik adalah sepertinya kita kerap menemui kesulitan dalam menilai dan menyimpulkan tindakan dan pemikiran yang keluar dari diri sendiri. Kayak yang tadi saya bilang, bisa jadi kita sering overvalued dalam menilai diri kita. Kita menganggap kita ini golongan A tapi ternyata yang kita lakukan tuh nggak A banget atau ketika kita baru melakukan suatu hal kecil, kita sudah menilainya sebagai hal yang besar. Malu banget sih harusnya orang yang kayak gitu tapi sayangnya orang seperti itu mah banyak. Orang-orang yang cari muka demi kepentingan rezeki. Hmmmm. Bisa juga sebaliknya, kita sering nggak sadar bahwa kita telah melakukan hal yang besar. Namanya mah bukan rendah hati tapi bego. Keenggasadaran bahwa kita telah melakukan hal besar akan membuat kita dimanfaatkan pihak-pihak licik ala kapitalis yang melihat peluang untuk mengeruk laba sebanyak-banyaknya dari keenggasadaran kita.

Nah, dalam menilai, kita harus mampu menilai dengan kadar yang pas. Jika kita hanya melakukan hal kecil, akuilah hal tersebut sebagai hal kecil dan jika kita melakukan hal besar, akuilah bahwa itu hal besar yang penting. Nggak salah kok untuk menilai diri kita ini seperti apa. Salah banget kalau kita nggak bisa menilai. Ketidakmampuan kita untuk menilai diri sendiri ini yang menurut saya menjadi penyebab mengapa banyak pengangguran di Indonesia. Banyak orang yang sok tinggi dan nggak mau menyadari bahwa dia itu nggak hebat-hebat amat. Banyak orang yang menilai kemampuannya biasa saja padahal dia kalau masukkin lamaran ke tempat yang benar, dia punya prospek karir yang cerah. Ini lho hal yang sering kita abaikan. Kemampuan kita untuk menilai diri kita sendiri dengan kadar yang tepat dan benar.

Hmmmmm. Kuliah yang hanya dua SKS tapi memiliki refleksi sampai dalam hati. Oia, pertanyaan itu adalah pertanyaan UTS mata kuliah Politik Luar Negeri RI I. Yap, mungkin Pak Sumpena adalah orang yang sangat mempercayai konsep bahwa negara sebagai individu yang sangat bergantung pada sosok kepala negara. Mungkin ia juga meresapi benar factor idiosinkratik dalam polugri. Saya juga mengamini konsep tersebut. Faktor kepemimpinan merupakan factor yang penting dalam polugri. Dan sepertinya itulah alasan mengapa Pak Sumpena memberikan pertanyaan UTS seperti itu. Dia ingin tahu seperti apakah kondisi negara Indonesia sepeninggal ia sebagai dosen ketika nanti dipimpin kami.

Hmmmmm. Sepertinya ini UTS yang berfungsi sebagai penerawangan masa depan. Semoga teman-teman saya mampu melihat sisi yang lebih besar dari pertanyaan UTS tersebut ketimbang menertawakannya.


Ark. Apr’10.