Makan Malam


Saya lagi senang bikin omelet dengan dua telur, kornet, mie rasa ayam panggang 50gr, sosis, dan sambal ABC, makan Jacob’s serta minum Milo. Sehat sekaliiiiiiii…..

Kalau bahan-bahan omelet sedang hilang dari peredaran kulkas, sebagai gantinya saya senang menggoreng peuyeum dengan mentega putih lalu ditaburi gula putih. Ada yang tahu apa nama makanan ini?

Colenak.

Hmmm, yummy….

Aslinya colenak, sih, nggak sesederhana itu, haha, tapi apa daya di kulkas cuman ada itu.

Senin-Jumat, makanan-makanan tersebut asyik disantap sambil menikmati Bioskop TransTV atau Big Movies di Global TV, sedangkan hari Sabtu sambil mengupas Apocalypse di MetroTV.

Saya suka sekali makan malaaaammmmm!!!

Oke, itu memang nggak sehat tapi sumpah, saya lapar. Lagipula, urusan perut nyaman, saya pun bisa berpikir dengan lancar.

Hahaha.

Akhir pekan ini lagi-lagi saya tidak pergi kemana-mana. Tapi jangan salah, alasan kali ini cukup mulia. Saya mau belajar menghadapi UAS semester enam! Aw aw…! Saya akan segera menjadi mahasiswi semester tujuh yang mengajukan Usulan Penelitian.

Oke, selesaikan UAS dengan baik dan tetapkan tiga tema untuk UP! Setuju?

Apa yang akan kalian lakukan pada pekan ini?

Oh iya, titip salam, buat Kawan-kawan HI Unpas, semangat ya buat PSNMHI-nya! Semangat juga buat delegasi dari Unpad!

Oke, sapaan sudah cukup, selamat berakhir pekan pada pekan (hampir) terakhir Mei, Teman-teman!

Ark.Mei’10.

Manusia ?

Beberapa jam lalu saat sedang jeda The Promotor, saya menyempatkan diri membaca koran nasional yang terbit pada Kamis, 20 Mei 2010 ini. Awalnya biasa saja sampai akhirnya saya menemukan kutipan yang sangat menohok. Sejurus kemudian, saya hanya bisa bertanya pada diri saya sendiri, “Masihkah serdadu militer dianggap manusia?”

Kecewa

“Hidup sederhana harus menjadi ciri Tentara Indonesia. Jika prajurit terbiasa hidup mewah, itu akan menyulitkan mereka sendiri saat harus bertempur dalam kondisi yang serba terdesak. Pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas prajurit tetapi pada dasarnya menjadi tentara adalah mengabdi. Tentara tidak boleh mudah tergoda dengan hal-hal yang ada di depan mata.” (Tentara, Bertahan dengan Kesederhanaan, Kompas, 20 Mei 2010)

Secara spontan, mata saya langsung terbelalak dan hati saya terpanggil untuk segera berkomentar. Secara umum, saya miris dan tidak setuju dengan ungkapan Panglima tersebut. Namun demikian, saya juga tidak menutup mata atas kondisi keuangan negara kita. Akan tetapi, saya rasa akan lebih baik jika Panglima tersebut tidak selurus itu memberikan pandangannya. Saya benar-benar kecewa dengan pernyataan Bapak Panglima saat menjawab masalah kesejahteraan. Jika saja Pak Panglima menjawabnya dengan kalimat yang lebih singkat seperti, “Pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas tentara,” saya rasa posting ini tidak akan saya lahirkan dan hati saya tidak usah risau selama iklan IM3 J-Rocks diputar di dalam jeda The Promotor.

Prajurit dan Kesederhanaan

Hidup sederhana harus menjadi ciri Tentara Indonesia.

Tidak hanya tentara tentu saja yang harus hidup sederhana, tetapi kita semua harus hidup sederhana. Namun, bukankah hidup sederhana adalah hidup sesuai dengan kebutuhan? Samakah makna yang dipakai oleh Sang Panglima dengan makna yang seharusnya melekat pada kesederhanaan? Saya malah melihat bahwa istilah sederhana yang dipakai oleh panglima tersebut merupakan bentuk ameliorasi dari kenyataan yang dipaparkan dalam paragraf-paragraf awal.

  1. Inti paragraf 1 : Seorang Kapten yang tidak menyangka bahwa kehidupan sebagai tentara akan dipusingkan oleh urusan cicilan rumah dan kebutuhan sehari-hari karena ia pikir ia hanya akan berurusan dengan pertempuran membela bangsa dan negara.
  2. Inti paragraf 2 : Kapten tersebut baru menyadari kehidupan serba pas-pasan ketika ia beranjak dewasa.
  3. Inti paragraf 3 : Namun apa pun pangkat dan gajinya, Kapten tersebut akan selalu bersyukur.
  4. Inti paragraf 4 : Hidup sederhana merupakan kunci untuk bertahan dengan gaji 3juta/bulan.
  5. Inti paragraf 5 : Kapten tersebut sangat menikmati hidup sebagai tentara.
  6. Inti paragraf 6 : Sersan Satu yang bernasib sama dengan kaptennya, harus mencukupi kebutuhan hidup dari gaji yang tidak seberapa.
  7. Inti paragraf 7 : Sersan Satu tersebut sangat menikmati karya bakti dengan masyarakat
  8. Inti paragraf 8 : Hidup sederhana memang harus jadi ciri Tentara Indonesia.
  9. Inti paragraf 9 :Menjadi tentara adalah mengabdi.

Dengan menyimpulkan tujuh paragraf yang mengawali pernyataan Panglima KOdam III/Siliwangi, kesederhanaan yang dipakai oleh Sang Panglima sepertinya hanya ungkapan diplomatis yang menutupi dan menyangkal kondisi memprihatinkan para prajuritnya. Ia mengesankan bahwa hidup sederhana adalah suatu hal yang berguna bagi tentara padahal sebenarnya ia sadar bahwa ‘kesederhanaan’ yang ia ungkapkan tersebut adalah mitos. Hal tersebut bisa kita lihat dari pemaparannya kemudian yang menyebutkan bahwa pemerintah sedang berupaya untuk mengingkatkan kesejahteraan dan profesionalitas parajurit.

Hal lain yang mengganjal adalah pernyataan, …pada dasarnya menjadi tentara adalah mengabdi. Nah, apakah kata pengabdian yang bagi saya adalah kata sakral nan mulia ini harus pula meletakkan pengabdinya pada kondisi yang menyusahkan dirinya?

Nonmaterial
Saya yakin ada beberapa di antara Teman-teman yang menganggap kritik saya ini sangat nggak penting karena toh prajurit-prajurit TNI yang gagah berani itu, menurut penuturannya kepada wartawan, tidak merasa terbebani dengan gajinya yang tidak sebanding dengan kebutuhannya sehari-hari. Dalam inti-inti paragraf yang tadi saya kemukakan pun malah Teman-teman akan mengamini bahwa mereka ternyata sangat senang sekali mengabdi.

Hmmm, saya juga sebenarnya hampir sependapat dengan kalian,

“Lah, prajuritnya aja nggak pusing, ngapain gue ikut pusing, nggak ganggu kehidupan gueee jugaaaa…”

Namun, Teman-teman, permasalahan yang paling memiriskan saya adalah orang-orang yang berdiri di belakang tentara-tentara tersebut.

Siapa lagi kalau bukan anak dan istrinya?

Di satu sisi, ya tentara adalah pengabdi. Karena dia pengabdi, maka ia harus mau dan ikhlas menuruti semua perintah, kebijakan, dan keadaan yang ditujukan padanya. Nah, tapi jangan lupa, tentara ini ternyata juga manusia yang memiliki keluarga. Ia juga adalah laki-laki yang terikat pada sistem patriarki. Keterikatannya dengan patriarki yang begitu otomatis setelah ia berijab kabul dengan anak mertuanya mewajibkan dia untuk menafkahi anak dan istrinya.

Jadi, Teman-teman, jika kita bertemu dengan seorang tentara yang berstatus kawin, kita juga harus melihat sisinya yang lain, sisinya yang harus kita pandang sebagai sisi manusia. Bagaimanapun juga, tentara masih memiliki sisi sebagai manusia berjenis kelamin laki-laki yang terikat dengan sistem patriarki sehingga ia masih memiliki tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya.

Saya tidak memungkiri besarnya keberadaan nasionalisme yang menjadi pendorong utama para tentara itu untuk mengabdi. Saya yang tidak menjadi tentara pun punya rasa nasionalisme yang begitu besar yang mendorong saya untuk lebih memilih bekerja menjadi PNS dengan gaji yang susah buat dipakai bertahan hidup dengan gaya foya-foya di Jakarta daripada bekerja di perusahaan asing yang gajinya bisa membuncahkan rekening saya yang selama ini nggak pernah mencapai nominal tujuh digit. Nasionalisme para tentara itu mungkin serupa dengan nasionalisme saya. Pertimbangan mereka barangkali sama dengan pertimbangan saya. Namun, keadaan yang mengitari saya dan tentara tersebut berbeda. Itulah masalahnya. Saya nggak punya kewajiban untuk menafkahi suami dan anak-anak saya, sedangkan mereka si tentara laki-laki punya kewajiban itu. Itu yang harus dipertimbangkan negara! Negara seharusnya memafhumi itaran patriarki itu.

Ya, namun seperti yang saya utarakan tadi, negara memiliki begitu banyak agenda di atas kenyataan bahwa anggaran pemasukan masih berada di bawah permintaan pengeluaran. Negara kita yang begitu besar dan luas ini juga tak melulu hanya memikirkan persoalan keamanan. Ketika ia memikirkan keamanan pun, ia juga tidak melulu hanya memikirkan prajurit. Ada begitu banyak agenda, Teman-teman. Kedaulatan kita harganya mahal. Namun tetap saja otak saya senantiasa mempertanyakan dua hal sejak saya membaca artikel yang ditujukan untuk merayakan hari ulang tahun Kodam III/Siliwangi itu,

  1. Minimalisasi gaji prajurit berpangkat rendah di antara tugasnya yang berat dalam menjaga kedaulatan negara hingga negara tersebut masih berdiri dengan kokoh dan gagah tepatkah bila saya persamakan dengan gaji buruh yang juga minimal padahal mereka menyumbang besar pada proses produksi yang menghasilkan keuntungan bagi produsen? Tepat jugakah bila saya melihat bahwa tentara juga mengalami alienasi tak ubahnya seperti buruh? Bukankah tentara tak bisa dengan sempurna menikmati kedaulatan negara yang ia perjuangkan?
  2. Apakah nasionalisme yang menyamankan para prajurit untuk tetap menjadi prajurit padahal ia tahu menjadi prajurit itu sulit dan beresiko juga bisa saya lihat sebagai kekerasan simbolik seperti yang dikatakan Gramsci ketika membahas kebetahan para buruh untuk tetap menjadi buruh padahal ia tahu ia teralienasi?

Hmmmm….

Saya sama sekali nggak menghimbau para tentara untuk melakukan revolusi atau berontak dengan sistem yang melihat mereka sebagai pengabdi negara. Sama sekali engga. Saya hanya ingin memperlihatkan kepada negara bahwa betapa hebat tentara-tentara ini. Mereka benar-benar mencintai negaranya, bagaimanapun keadaan negara itu dan bagaimanapun negara itu memperlakukan mereka. Kesungguhan mereka ini seharusnya menggugah negara untuk juga mencintai mereka dan peduli dengan orang-orang yang berada di balik punggung tentara itu.

Negara harus ingat bahwa mereka adalah tentara yang juga manusia berjenis kelamin laki-laki yang tidak lepas dari ikatan patriarki sehingga mereka memiliki peran ganda, sebagai individu yang berada di garis depan dalam menjaga kedaulatan negara dan sebagai pria yang harus mengayomi keluarga. Mereka sendiri lebih banyak menjaga kedaulatan negara, dengan demikian jelas bahwa negara tidak hanya berutang pada mereka tetapi juga pada keluarga yang ditinggalkan oleh mereka.

Pada kalimat hampir terakhir dari paragraf terakhir diungkapkan bahwa pemerintah, sebagai pelaksana negara, sedang berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas tentara. Saya menyambut baik cetusan itu. Namun demikian, tentu saya akan lebih senang lagi jika negara benar-benar merealisasikan upaya tersebut. Saat ini saya sedang menunggu negara untuk membuktikan salah satu cirinya yang rasional yaitu dapat mempertimbangkan dan memilih dengan baik prioritas yang harus dibiayai. Semoga di masa mendatang tidak ada lagi tentara yang teralienasi.

Yah, begitulah, Teman-teman…Ini hanya pemikiran dari seorang perempuan yang belum lulus S1….Monggo mau disetujui atau mau dimaki.


Ark.Mei’10.

Totalitas

Saya nggak peduli setelah baca postingan kali ini kalian bakal mencap saya sebagai anak abege labil atau perempuan yang mudah tergiur dengan sosok pengisi dunia hiburan. I don’t care. Bagi saya, selama sosok itu mampu memberi pelajaran yang baik, saya pasti bakal mendukung dia. Ehm, tapi sekedar catatan, walaupun setiap saya googling jurnal saya suka kepeleset googling dan youtubing kabar dan aksi terbaru orang itu, saya nggak pernah sedikit pun kepikiran jadi gadis-gadis yang berteriak,

“Kyyyyaaaaa, kyaaa, oppa, oppa!!! Saranghae, oppa…!!!”

pas lagi konser atau jumpa fans. Kayaknya kalau saya ketemu dia saya bakal speechless dan kembali ke kodrat saya yang awal, PENDIAM. Hahaha.

Orang yang saya kagumi saat ini adalah sosok yang sama mayoritas pria bakal dicibir sebagai sosok pria cantik a.k.a pretty boy.

Hmmm, sungguh cibiran yang sangat dangkal.

Kenapa?

Oke, oke, putih, tinggi, kurus, rambut lembut, dan fashionable adalah hal yang nggak umum bagi pria, tapi bagi saya, apa ada yang salah, toh orang itu adalah artis yang harus jadi pusat perhatian? Di antara garis linear ekstrem yang sisi kirinya memuat pendapat pretty boy, metroseksual, dan gay-look-alike dari mayoritas pria dan sisi kanannya memuat pujaan dan histeria ganteng dari mayoritas wanita, satu poin yang ingin saya tekankan di sini adalah kita nggak seharusnya melihat orang secara dangkal. Kita harus melihat nilai-nilai yang ia miliki sebelum kita memutuskan untuk mencibir atau memuja.

Saya memang bisa dikategorikan sebagai perempuan yang sama seperti fans-fans lain yang sempat pengen bunuh diri atau minimal mengiris jari gara-gara kegantengannya, tapi saya rasa itu pantas karena si orang yang mulai saya idolakan pada bulan ini nggak cuma punya kegantengan yang bisa memperdaya wanita, tapi juga nilai totalitas dalam melakukan pekerjaannya.

Cekidot, guys!


Ganteng

Agak kejam memang, tapi saya selalu punya pembagian penilaian buat manusia-manusia yang lewat di depan mata saya dan bertahan beberapa lama hidup di dekat saya, entah sebagai kawan, lawan, atau pacar. Penilaian tersebut berlaku untuk laki-laki dan perempuan, sebenarnya, tapi karena sekarang saya mau ngomongin laki-laki jadi terminologi yang saya pakai di sini adalah ganteng. Oke, setuju? Baik, mari kita mulai.


Tabelnya oke sekali, bukaaaan?

Jadi bagi saya, intinya manusia yang berjenis kelamin laki-laki itu ada empat kelompok. Kalau dilihat dari ekspresi smiley dan kuantitas smiley tersebut, pasti kalian sudah langsung menyimpulkan bahwa di dalam otak saya, orang yang paling menyebalkan adalah orang yang nggak ganteng dan nggak pernah sungguh-sungguh dalam suatu sistem, sebaliknya orang yang paling ideal dan paling saya inginkan untuk jadi jodoh saya adalah orang yang secara fisik ganteng dan dia juga memiliki totalitas dalam suatu sistem. Yap! Benar!

Ujian pertama yang pasti akan selalu dilewati oleh manusia adalah uji fisik.

Kejam?

Okei, memang kejam, tapi ini kenyataan. Fisik adalah hal yang paling dapat terlihat secara jelas meski mata kita mengalami rabun senja, rabun jauh, atau rabun dekat. Mata menangkap bayangan orang yang lewat di depannya lalu meneruskan penilaian ganteng atau nggak ganteng ke proses subjektivitas yang ada di otak. Setiap orang pasti punya kriteria ganteng dan nggak ganteng masing-masing yang bergantung pada konstruksi yang mengelilinginya. Konstruksi-konstruksi yang mengungkung kita secara nggak sadar itu lalu menciptakan generalisasi dan pengelompokkan mana yang ganteng dan mana yang nggak ganteng.

Saya nggak tahu proses apa yang terjadi di dalam otak Teman-teman setelah melakukan uji fisik pada orang yang lewat di depan mata Teman-teman, tapi kalau saya sendiri setelah uji fisik masih ada uji lain yang akan menentukan berapa nilai dia di mata saya. Uji kedua adalah uji tanggung jawab. Uji tanggung jawab inilah yang saya ungkapkan dalam tabel di atas sebagai totalitas dalam suatu sistem. Ini ujian yang penting, Teman-teman.

Penghargaan tertinggi tentu hanya akan saya berikan kepada orang-orang yang total. Bisa dilihat, kan di dalam tabel? Ada pertanyaan? Oh, kenapa antara orang yang nggak ganteng dan ganteng ada selisih satu smiley? Ada tiga pertimbangan,

1. Ya iya dong, kan orang yang ganteng itu udah bisa mencuri hati dari awal, beda sama yang biasa-biasa aja. Kayak begini, deh, meskipun pada akhirnya mereka berdua mendapat nilai sembilan pada tes kedua, tapi kan pada tes pertama yang ganteng udah dapat nilai delapan, sedangkan yang nggak ganteng nilainya masih tujuh. Nah, nilai total mereka berbeda, kan?

2. Saya mempertimbangkan bahwa sedikit sekali orang ganteng yang sadar bahwa dirinya ganteng tapi tetap mau berusaha untuk terus-menerus membangun potensinya di bidang selain wajah dan tubuh. Kebanyakan orang ganteng yang sadar dirinya ganteng lebih memilih hanya mengoptimalkan kegantengan tersebut sebagai jalan penghidupan padahal ia punya potensi lain yang bisa ia kembangkan untuk menopang hidup dan memberi kebahagiaan. Satu hal yang selama ini saya perhatikan, keputusan untuk tetap berjuang di atas anggapan dan penilaian orang lain yang sudah menganggap cukup merupakan keputusan yang berat. Ini poin yang sangat keren yang dimiliki oleh tipe ganteng dan selalu total bekerja.

3. Selisih satu poin lebih sedikit bagi orang yang nggak ganteng tapi selalu bertanggung jawab dalam setiap pekerjaannya saya berikan karena sepengalaman saya sebagai orang yang nggak cantik, pilihan untuk memenangkan persaingan hidup dan menjadi salah satu orang yang diperhitungkan dalam suatu sistem yang harus kita akui lebih memihak pada wajah dan penampilan tampan atau ayu ya hanya dengan mengoptimalkan diri di bidang nonfisik. Jadi, bagi saya, perjuangan mereka yang diungkapkan lewat tanggung jawab yang besar dalam setiap pekerjaan merupakan perjuangan yang memang sudah seharusnya mereka lakukan dalam dunia yang sudah menghapuskan apartheid namun tetap mengusung nilai diskriminasi antara yang ganteng dengan yang nggak ganteng.

Alasan pada poin kedua membuat saya memberi penilaian dua smiley muram pada orang ganteng yang nggak total dalam pekerjaan nonfisik. Ya, karena memang itulah yang umum terjadi. Banyak, deh orang ganteng yang lebih sibuk jadi playboy daripada sekolah dan bantuin orang tuanya dengan baik dan benar, sama banyaknya kayak artis ganteng yang kemampuan nyanyi dan aktingnya bikin saya lebih memilih hidup di zaman prasejarah aja sekalian biar nggak usah nonton tivi. Kasihan aja gituh.

Ya, mereka memang ganteng, tapi selain ganteng, apa lagi yang mereka punya untuk bekal mereka di kemudian hari agar tetap bertahan hidup? Meski kita hidup dalam dunia yang memihak pada orang ganteng, kita juga harus mahfum dunia ini memiliki batasan sampai kapan seseorang tetap bisa dianggap ganteng. Saat mereka didepak dari penjara konstruksi ganteng yang selama ini menyamankan mereka dengan berbagai pujaan menggila dari sejuta umat wanita dan senyum penghormatan takzim dari pelayan-pelayan toko, apa yang bisa mereka lakukan untuk tetap dapat berdiri tegak dengan penuh kepercayaan diri di kemudian hari?

Hal lebih memiriskan akan dialami oleh orang-orang nggak ganteng dan tidak pula memiliki totalitas dalam pekerjaan yang mereka tekuni. Mereka sudah kalah dua set. Kalau mereka nggak memutuskan untuk bunuh diri melalui tiang gantung, mereka juga pasti akan mati dibunuh zaman. Congrats!


Idola

Nah, pertanyaannya, adakah orang ganteng dan memiliki totalitas di dunia ini?

Hampir dua puluh satu tahun hidup di dunia, akhirnya pada bulan Mei yang penuh berkah ini saya menemukan orang tersebut! Alhamdulilah, seengganya saya bisa menapaki usia dua puluh satu tahun dengan harapan suatu saat bisa bertemu orang yang demikian sebagai jodoh, meski orang itu bukan orang yang saat ini menyadarkan saya bahwa orang ganteng dan total dalam bekerja itu ada di kehidupan nyata!

Siapakah ia…?

Toreng toreng toreng…

Aduh jadi malu nulisnya…

Hahahha.

Pria ini saya lihat aktingnya dalam DVD yang dibeli adik saya awal bulan lalu. Dalam film ini, dia memerankan sosok penyanyi yang galak *ya tipikal lah seperti film biasanya*, yang bajunya sangat fashionable *aih, agak geli juga, ini fashionablenya berlebihan*, dan yang dalam beberapa episode dia pakai tata rambut yang agak mengganggu karena poninya nutupin salah satu matanya.

Norak?

Yak, silakan kalian bermain dengan cibiran dangkal kalian, saya nggak peduli. Awalnya saya juga beranggapan demikian, namun kehidupan saya yang tenang ketika belum menonton film itu akhirnya terusik setelah saya menonton tuntas film itu.

Hei, di balik penampilannya yang ‘biasa’ tersebut, saya melihat suatu magnet yang terpancar dari dirinya. Suatu maget yang berasal dari nilai totalitas. Cara dia memerankan sosok yang galak dari episode satu sampai episode enam belas itu sungguh dalam sekali. Penghayatannya sangat apik! Saya juga makin menyadari bahwa penampilan dia yang mau pakai baju fashionable berlebihan dan poni yang menusuk mata adalah salah satu totalitas dia dalam dunia peran. Selain itu, hal ketiga yang membuat saya kagum adalah kemampuannya dalam bernyanyi. Mendengar suaranya yang khas dan teknik vokalnya yang tepat, saya pikir dia adalah penyanyi yang loncat jadi actor.

Ups, ternyata saya salah.

Mbah Google sama sekali nggak ngasih data album dia waktu saya semedi di warnet.
Ternyata dia memang bukan penyanyi yang mengeluarkan album. Dia hanya nyanyi di film-filmnya yang ternyata sudah segudang sejak tahun 1997 waktu dia masih SD. Bagi dia, karena dalam banyak filmnya ia kebagian peran jadi penyanyi maka ia merasa perlu untuk mengolah vokalnya. Baginya lagi, itu adalah salah satu totalitasnya dalam menjadi aktor.
Kepenasaranan saya akannya terus berlanjut.

Saya relakan mendata warnet-warnet yang koneksinya cepat hanya untuk mendownload youtube-nya dan menyingkirkan harga diri saya untuk mengubek-ubek rak drama Asia di depan cibiran mata pedagang DVD dan pembeli pria yang asyik memilih film Barat.

Voila, saya jadi nemu banyak hal mengagumkan dari orang itu. Pertama, di umurnya yang hampir seumur dengan saya, dia sudah banyak membintangi film. Kedua, peran yang dia dapat tidak monoton. Oke, dalam beberapa film ia didaulat untuk memerankan tokoh penyanyi, namun secara keseluruhan, peran dia bervariasi seperti peran sebagai anggota gangster, anak presiden, orang gila, pembunuh psikopat, konduktor sebuah orkestra, bisu tuli, dan masih banyak lagi (nggak tahu soalnya filmnya belum ketemu semua). Posisi dia yang selalu menjadi tokoh utama dalam film juga menunjukkan bahwa dia memiliki nilai jual dan kemampuan mumpuni dalam berakting.

Saya juga dibisiki Mbah Google bahwa dalam wawancara yang dimuat di berbagai media massa yang berhasil dihimpun oleh Mbah Google dalam satu keyword, secara tersirat dia selalu menyuguhkan kesungguhannya dalam seni akting. Secara dangkal, kita akan menilainya sebagai orang yang terlalu ambisius tapi justru di situlah letak kesungguhannya. Lagipula, keambisiusan dia untuk selalu menampilkan yang terbaik dan selalu berkembang dari waktu ke waktu juga bukan sekedar isapan jempol. Dalam film-filmnya, saya selalu melihat perkembangan dia yang signifikan , baik dalam seni peran maupun olah vokal.

Hal yang mengagumkan lagi adalah penampilannya yang selalu sejalan dengan tuntutan peran. Ketika jadi penyanyi pop yang diidolakan, ia memakai pakaian yang superfashionable; ketika menjadi penyanyi rock, ia tampil dengan gaya sangar; ketika menjadi anak presiden, ia tampil dengan dandanan santun; ketika jadi anak bisu tuli, ia mengupayakan mimik dan bahasa yang dikuasai penderita bisu tuli asli; ketika jadi pembunuh psikopat, penampilan terbaik tidak hanya ia suguhkan melalui aksen Meksiko dalam dialog-dialognya yang menggunakan Bahasa Inggris, tapi juga dari gestur serta sorot matanya yang misterius. Jaim, menurutnya dalam suatu wawancara yang mengkritik kenapa sebagai orang yang tampan ia mau menanggalkan image manis, adalah sumber utama ketidaktotalan seorang aktor. Sebagai aktor, orang tersebut harus mau menampilkan peran semaksimal mungkin dan menghilangkan gap antara dirinya yang asli dengan karakter yang ia mainkan.

Nah, tapi ada juga poin yang mengganjal hati saya. Biasanya, orang yang terlampaui total dalam pekerjaan akan menomorduakan masalah cinta, baik dalam bentuk keengganannya pacaran apalagi menikah maupun dalam sepak terjangnya yang menganggap wanita dan cinta adalah mainan. Faktor itu juga yang membuat saya berhati-hati dalam menyukai orang yang total bekerja. Namun demikian, si idola saya yang satu ini mampu menepiskan asumsi tersebut. Totalitasnya tidak hanya ia tuangkan dalam pekerjaan, tapi juga dalam urusan cinta. Sebagai aktor yang dikelilingi aktris cantik nan bening dan groupies yang rela melakukan apa saja, ternyata ia terikat dalam hubungan perpacaranan yang telah berlangsung melampaui periode empat tahun.

Nah, itulah Teman-teman, itulah yang saya katakan sebagai sebuah totalitas! Bagi saya, orang seperti dia merupakan orang ideal! Ganteng dan bertanggung jawab dalam pekerjaan dan cinta!


Pekerjaan

Ayo ngaku, pasti banyak di antara Teman-teman yang menyepelekan pekerjaan di dunia hiburan. Malah pasti banyak yang menganggap bahwa menjadi aktor dan aktris bukanlah suatu pekerjaan. Hayoloh hati-hati. Ada murid saya yang bilang ke saya setelah dia malu-malu bilang kalau dia sebenarnya pengen merantau ke Jakarta dan menjadi artis di sana kayak Raffi Ahmad dan Irwansyah,

“Jadi artis itu jangan dikira gampang dan santai lho, Bu. Di sana kita dituntut professional dan jangan kaget aja kalau Ibu ngelihat ada artis terkenal dimarah-marahin sama kru film. Sepintas, sih, kita ngelihat kalau kehidupan artis itu glamor, tapi sebenarnya keglamoran mereka itu bukan tanpa perjuangan. Lagian juga mereka sebenernya tersiksa sama keglamoran tersebut. Keglamoran bagi mereka bukan sebagai bonus, tapi sebagai beban untuk mempertahankan nilai jual mereka.”

Hmmmm. Ya, saya setuju banget sama pendapat murid saya yang tahun lalu ikut pertukaran pelajar ke Turki selama setahun itu. Tampil di layar kaca itu adalah pekerjaan. Jadi artis ya sama kayak jadi diplomat, jadi guru, jadi penulis, jadi wartawan, jadi dosen, jadi menteri, jadi apoteker, jadi dokter. Profesi tersebut menuntut profesionalitas dan tentu saja totalitas. Kalau kita mau jadi pemenang dalam pekerjaan tersebut, kita harus total mengeksplorasi potensi diri kita. Meskipun kita ganteng atau cantik, kalau kiita nggak total dan nggak berani mengeksplor potensi yang bisa mendukung totalitas kita dalam pekerjaan tersebut, ya mati aja.

Nggak ada satu pun dari kita yang nggak terikat dalam sistem. Orang-orang yang secara jelas terikat dalam sistem namun tidak berjuang sekeras mungkin pasti akan tersisih. Idola saya yang dari tadi saya bicarakan dalam posting ini secara tidak langsung mengajarkan pada saya mengenai pentingnya sebuah totalitas.

Secara fisik, dia tampan, tapi ada banyak orang tampan di industri perfilman. Tampan saja nggak cukup bagi dia walaupun memang dalam sistem perfilman, tampan merupakan prasyarat tak tertulis yang sebaiknya dipenuhi untuk menjadi nilai jual pertama, “Eh, artisnya ganteng, nih. Nonton, yuk!” Karena tampan saja nggak cukup untuk dijadikan daya tarik dan lagian ada banyak orang tampan di negaranya, ia pun berjuang dengan keras untuk nggak cuman dikenal sebagai artis yang tampan tapi juga dikenal sebagai aktor berkemampuan akting mahadewa dan serbabisa.

Kesalahkaprahan juga acapkali dibuat oleh orang-orang yang ingin memenangkan persaingan dalam pekerjaan. Mereka ganteng, serbabisa, tapi sayang cacat dalam cinta, jadi playboy atau perempuan penggoda yang nggak mau kehilangan pemuja, atau kalau nikah gampang banget bilang cerai, atau malah sama sekali nggak nikah karena takut sama komitmen. Ini kesalahan juga. Secara pekerjaan, memang mereka total, tapi secara kehidupan keseluruhan, mereka nggak total.

Jangan sepelekan masalah cinta, deh. Kayak gini, sama kayak PNS, semua pekerjaan punya batas umur. Ada saatnya mereka harus pensiun. Sama kayak ketampanan dan kecantikan, pekerjaan juga nggak berlangsung selamanya. Ketika seseorang nggak terlatih dalam bertanggung jawab dalam masalah cinta, hidup dia nggak bakal bahagia di hari tua. Itu kalau kita bicara masalah hari tua, tapi cinta juga nggak cuman berguna di hari tua, lho.

Pekerjaan merupakan hal yang paling banyak mengandung resiko dan beban. Banyak orang jahat, banyak hal kotor, banyak ketegangan, intinya banyak hal yang membuat kita cape tenaga, hati, dan otak. Sebagai manusia, kita butuh perdamaian dan ketenangan. Perdamaian dan ketenangan yang tulus itu nggak bisa upayakan secara mandiri, tapi melalui kerja sama dengan orang lain. Landasan kerja sama yang damai adalah ketulusan, ketulusan sendiri akarnya dari cinta. Nah, dengan demikian, maka untuk mencapai kehidupan yang membahagiakan, kita nggak bisa melepaskan diri yang namanya cinta.

Karena cinta berurusan langsung dengan orang, kita juga nggak sepatutnya bermain-main dengan masalah ini. Sama kayak pekerjaan yang menuntut totalitas, cinta juga membutuhkan totalitas. Totalitas ini nggak akan tercapai dengan sendirinya dan tanpa perjuangan. Saya mengamini sekali bahwa totalitas dalam masalah cinta merupakan hal yang sulit dicapai, oleh karena itu saya sangat menghargai orang-orang yang mampu total dalam pekerjaan sekaligus total dalam cinta. Seperti idola saya dan saya, tentunya. Hahaha.

Yah, begitulah Teman-teman, intinya bagi saya, semua orang yang total dalam pekerjaan dan cinta adalah orang yang mengagumkan. Saya sangat menghargai orang-orang seperti itu, apalagi kalau dia tampan atau cantik. Sebaliknya, saya mengutuk keras orang-orang yang nggak total dalam menjalankan perannya dalam sistem.

Ayolah, Tuhan Maha Adil memberikan potensi kelebihan dan tidak ingatkah kalian akan amanah bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi? So, why don’t you turn your as-long-as-I-can-finish-it’s habit and start a more responsible life?



Ark.Mei’10.

Totalitas

Saya nggak peduli setelah baca postingan kali ini kalian bakal mencap saya sebagai anak abege labil atau perempuan yang mudah tergiur dengan sosok pengisi dunia hiburan. I don’t care. Bagi saya, selama sosok itu mampu memberi pelajaran yang baik, saya pasti bakal mendukung dia. Ehm, tapi sekedar catatan, walaupun setiap saya googling jurnal saya suka kepeleset googling dan youtubing kabar dan aksi terbaru orang itu, saya nggak pernah sedikit pun kepikiran jadi gadis-gadis yang berteriak, “Kyyyyaaaaa, kyaaa, oppa, oppa!!! Saranghae, oppa…!!!” pas lagi konser atau jumpa fans. Kayaknya kalau saya ketemu dia saya bakal speechless dan kembali ke kodrat saya yang awal, PENDIAM. Hahaha.

Orang yang saya kagumi saat ini adalah sosok yang sama mayoritas pria bakal dicibir sebagai sosok pria cantik a.k.a pretty boy. Hmmm, sungguh cibiran yang sangat dangkal. Kenapa? Oke, oke, putih, tinggi, kurus, rambut lembut, dan fashionable adalah hal yang nggak umum bagi pria, tapi bagi saya, apa ada yang salah, toh orang itu adalah artis yang harus jadi pusat perhatian? Di antara garis linear ekstrem yang sisi kirinya memuat pendapat pretty boy, metroseksual, dan seperti gay dari mayoritas pria dan sisi kanannya memuat pujaan dan histeria ganteng dari mayoritas wanita, satu poin yang ingin saya tekankan di sini adalah kita nggak seharusnya melihat orang secara dangkal. Kita harus melihat nilai-nilai yang ia miliki sebelum kita memutuskan untuk mencibir atau memuja. Saya memang bisa dikategorikan sebagai perempuan yang sama seperti fans-fans lain yang sempat pengen bunuh diri atau minimal mengiris jari gara-gara kegantengannya, tapi saya rasa itu pantas karena si orang yang mulai saya idolakan pada bulan ini nggak cuma punya kegantengan yang bisa memperdaya wanita, tapi juga nilai totalitas dalam melakukan pekerjaannya.

Cekidot, guys!


Ganteng
Agak kejam memang, tapi saya selalu punya pembagian penilaian buat manusia-manusia yang lewat di depan mata saya dan bertahan beberapa lama hidup di dekat saya, entah sebagai kawan, lawan, atau pacar. Penilaian tersebut berlaku untuk laki-laki dan perempuan, sebenarnya, tapi karena sekarang saya mau ngomongin laki-laki jadi terminologi yang saya pakai di sini adalah ganteng. Oke, setuju? Baik, mari kita mulai.


Tabelnya oke sekali, bukaaaan?
Jadi bagi saya, intinya manusia yang berjenis kelamin laki-laki itu ada empat kelompok. Kalau dilihat dari ekspresi smiley dan kuantitas smiley tersebut, pasti kalian sudah langsung menyimpulkan bahwa di dalam otak saya, orang yang paling menyebalkan adalah orang yang nggak ganteng dan nggak pernah sungguh-sungguh dalam suatu sistem, sebaliknya orang yang paling ideal dan paling saya inginkan untuk jadi jodoh saya adalah orang yang secara fisik ganteng dan dia juga memiliki totalitas dalam suatu sistem. Yap! Benar!
Ujian pertama yang pasti akan selalu dilewati oleh manusia adalah uji fisik.
Kejam?
Okei, memang kejam, tapi ini kenyataan. Fisik adalah hal yang paling dapat terlihat secara jelas meski mata kita mengalami rabun senja, rabun jauh, atau rabun dekat. Mata menangkap bayangan orang yang lewat di depannya lalu meneruskan penilaian ganteng atau nggak ganteng ke proses subjektivitas yang ada di otak. Setiap orang pasti punya kriteria ganteng dan nggak ganteng masing-masing yang bergantung pada konstruksi yang mengelilinginya. Konstruksi-konstruksi yang mengungkung kita secara nggak sadar itu lalu menciptakan generalisasi dan pengelompokkan mana yang ganteng dan mana yang nggak ganteng.
Saya nggak tahu proses apa yang terjadi di dalam otak Teman-teman setelah melakukan uji fisik pada orang yang lewat di depan mata Teman-teman, tapi kalau saya sendiri setelah uji fisik masih ada uji lain yang akan menentukan berapa nilai dia di mata saya. Uji kedua adalah uji tanggung jawab. Uji tanggung jawab inilah yang saya ungkapkan dalam tabel di atas sebagai totalitas dalam suatu sistem. Ini ujian yang penting, Teman-teman.
Penghargaan tertinggi tentu hanya akan saya berikan kepada orang-orang yang total. Bisa dilihat, kan di dalam tabel? Ada pertanyaan? Oh, kenapa antara orang yang nggak ganteng dan ganteng ada selisih satu smiley? Ada tiga pertimbangan,
Ya iya dong, kan orang yang ganteng itu udah bisa mencuri hati dari awal, beda sama yang biasa-biasa aja. Kayak begini, deh, meskipun pada akhirnya mereka berdua mendapat nilai sembilan pada tes kedua, tapi kan pada tes pertama yang ganteng udah dapat nilai delapan, sedangkan yang nggak ganteng nilainya masih tujuh. Nah, nilai total mereka berbeda, kan?
Saya mempertimbangkan bahwa sedikit sekali orang ganteng yang sadar bahwa dirinya ganteng tapi tetap mau berusaha untuk terus-menerus membangun potensinya di bidang selain wajah dan tubuh. Kebanyakan orang ganteng yang sadar dirinya ganteng lebih memilih hanya mengoptimalkan kegantengan tersebut sebagai jalan penghidupan padahal ia punya potensi lain yang bisa ia kembangkan untuk menopang hidup dan memberi kebahagiaan. Satu hal yang selama ini saya perhatikan, keputusan untuk tetap berjuang dia atas anggapan dan penilaian orang lain yang sudah menganggap cukup merupakan keputusan yang berat. Ini poin yang sangat keren yang dimiliki oleh tipe ganteng dan selalu total bekerja.
Selisih satu poin lebih sedikit bagi orang yang nggak ganteng tapi selalu bertanggung jawab dalam setiap pekerjaannya saya berikan karena sepengalaman saya sebagai orang yang nggak cantik, pilihan untuk memenangkan persaingan hidup dan menjadi salah satu orang yang diperhitungkan dalam suatu sistem yang harus kita akui lebih memihak pada wajah dan penampilan tampan atau ayu ya hanya dengan mengoptimalkan diri di bidang nonfisik. Jadi, bagi saya, perjuangan mereka yang diungkapkan lewat tanggung jawab yang besar dalam setiap pekerjaan merupakan perjuangan yang memang sudah seharusnya mereka lakukan dalam dunia yang sudah menghapuskan apartheid namun tetap mengusung nilai diskriminasi antara yang ganteng dan cantik dengan yang nggak ganteng dan nggak cantik ini.
Alasan pada poin kedua membuat saya memberi penilaian dua smiley muram pada orang ganteng yang nggak total dalam pekerjaan nonfisik. Ya, karena memang itulah yang umum terjadi. Banyak, deh orang ganteng yang lebih sibuk jadi playboy daripada sekolah dan bantuin orang tuanya dengan baik dan benar, sama banyaknya kayak artis ganteng yang kemampuan nyanyi dan aktingnya bikin saya lebih memilih hidup di zaman prasejarah aja sekalian biar nggak usah nonton tivi. Kasihan aja gituh.
Ya, mereka memang ganteng, tapi selain ganteng, apa lagi yang mereka punya untuk bekal mereka di kemudian hari agar tetap bertahan hidup? Meski kita hidup dalam dunia yang memihak pada orang ganteng, kita juga harus mahfum dunia ini memiliki batasan sampai kapan seseorang tetap bisa dianggap ganteng. Saat mereka didepak dari penjara konstruksi ganteng yang selama ini menyamankan mereka dengan berbagai pujaan menggila dari sejuta umat wanita dan senyum penghormatan takzim dari pelayan-pelayan toko, apa yang bisa mereka lakukan untuk tetap dapat berdiri tegak dengan penuh kepercayaan diri di kemudian hari?
Hal lebih memiriskan akan dialami oleh orang-orang nggak ganteng dan tidak pula memiliki totalitas dalam pekerjaan yang mereka tekuni. Mereka sudah kalah dua set. Kalau mereka nggak memutuskan untuk bunuh diri melalui tiang gantung, mereka juga pasti akan mati dibunuh zaman. Congrats!

Idola
Nah, pertanyaannya, adakah orang ganteng dan memiliki totalitas di dunia ini?
Hampir dua puluh satu tahun hidup di dunia, akhirnya pada bulan Mei yang penuh berkah ini saya menemukan orang tersebut! Alhamdulilah, seengganya saya bisa menapaki usia dua puluh satu tahun dengan harapan suatu saat bisa bertemu orang yang demikian sebagai jodoh, meski orang itu bukan orang yang saat ini menyadarkan saya bahwa orang ganteng dan total dalam bekerja itu ada di kehidupan nyata!
Siapakah ia…?
Toreng toreng toreng…
Aduh jadi malu nulisnya…
Hahahha.
Pria ini saya lihat aktingnya dalam DVD yang dibeli adik saya awal bulan lalu. Dalam film ini, dia memerankan sosok penyanyi yang galak *ya tipikal lah seperti film biasanya*, yang bajunya sangat fashionable *aih, agak geli juga, ini fashionablenya berlebihan*, dan yang dalam beberapa episode dia pakai tata rambut yang agak mengganggu karena poninya nutupin salah satu matanya.
Norak?
Yak, silakan kalian bermain dengan cibiran dangkal kalian, saya nggak peduli. Awalnya saya juga beranggapan demikian, namun kehidupan saya yang tenang ketika belum menonton film itu akhirnya terusik setelah saya menonton tuntas film itu.
Hei, di balik penampilannya yang ‘biasa’ tersebut, saya melihat suatu magnet yang terpancar dari dirinya. Suatu maget yang berasal dari nilai totalitas. Cara dia memerankan sosok yang galak dari episode satu sampai episode enam belas itu dalam sekali. Penghayatannya sangat apik! Saya juga makin menyadari bahwa penampilan dia yang mau pakai baju fashionable berlebihan dan poni yang menusuk mata adalah salah satu totalitas dia dalam dunia peran. Selain itu, hal ketiga yang membuat saya kagum adalah kemampuannya dalam bernyanyi. Mendengar suaranya yang khas dan teknik vokalnya yang tepat, saya pikir dia adalah penyanyi yang loncat jadi actor.
Ups, ternyata saya salah.
Mbah Google sama sekali nggak ngasih data album dia waktu saya semedi di warnet.
Ternyata dia memang bukan penyanyi yang mengeluarkan album. Dia hanya nyanyi di film-filmnya yang ternyata sudah segudang sejak tahun 1997 waktu dia masih SD. Bagi dia, karena dalam banyak filmnya ia kebagian peran jadi penyanyi maka ia merasa perlu untuk mengolah vokalnya. Baginya lagi, itu adalah salah satu totalitasnya dalam menjadi aktor.
Kepenasaran saya akan dia terus berlanjut.
Saya relakan mendata warnet-warnet yang koneksinya cepat hanya untuk mendownload youtube-nya dan menyingkirkan harga diri saya untuk mengubek-ubek rak drama Asia di depan cibiran mata pedagang DVD dan pembeli pria yang asyik memilih film Barat.
Voila, saya jadi nemu banyak hal mengagumkan dari orang itu. Pertama, di umurnya yang hampir seumur dengan saya, dia sudah banyak membintangi film. Kedua, peran yang dia dapat tidak monoton. Oke, dalam beberapa film ia didaulat untuk memerankan tokoh penyanyi, namun secara keseluruhan, peran dia bervariasi seperti peran sebagai anggota gangster, anak presiden, orang gila, pembunuh psikopat, konduktor sebuah orkestra, bisu tuli, dan masih banyak lagi (nggak tahu soalnya filmnya belum ketemu semua). Posisi dia yang selalu menjadi tokoh utama dalam film juga menunjukkan bahwa dia memiliki nilai jual dan kemampuan mumpuni dalam berakting.
Saya juga dibisiki Mbah Google bahwa dalam wawancara dia yang dimuat di berbagai media massa yang berhasil dihimpun oleh Mbah Google dalam satu keyword, secara tersirat dia selalu menyuguhkan kesungguhannya dalam seni akting. Secara dangkal, kita akan menilainya sebagai orang yang terlalu ambisius tapi justru di situlah letak kesungguhannya. Lagipula, keambisiusan dia untuk selalu menampilkan yang terbaik dan selalu berkembang dari waktu ke waktu juga bukan sekedar isapan jempol. Dalam film-filmnya, saya selalu melihat perkembangan dia yang signifikan , baik dalam seni peran maupun olah vokal.
Hal yang mengagumkan lagi adalah penampilannya yang selalu sejalan dengan tuntutan peran. Ketika jadi penyanyi pop yang diidolakan, ia memakai pakaian yang superfashionable; ketika menjadi penyanyi rock, ia tampil dengan gaya sangar; ketika menjadi anak presiden, ia tampil dengan dandanan santun; ketika jadi anak bisu tuli, ia mengupayakan mimik dan bahasa yang dikuasai penderita bisu tuli asli; ketika jadi pembunuh psikopat, penampilan terbaik tidak hanya ia suguhkan melalui aksen Meksiko dalam dialog-dialognya yang menggunakan Bahasa Inggris, tapi juga dari gestur serta sorot matanya yang misterius. Jaim, menurutnya dalam suatu wawancara yang mengkritik kenapa sebagai orang yang tampan ia mau menanggalkan image manis, adalah sumber utama ketidaktotalan seorang aktor. Sebagai aktor, orang tersebut harus mau menampilkan peran semaksimal mungkin dan menghilangkan gap antara dirinya yang asli dengan karakter yang ia mainkan.
Nah, tapi ada juga poin yang mengganjal hati saya. Biasanya, orang yang terlampaui total dalam pekerjaan akan menomorduakan masalah cinta, baik dalam bentuk keengganannya pacaran apalagi menikah maupun dalam sepak terjangnya yang menganggap wanita dan cinta adalah mainan. Faktor itu juga yang membuat saya berhati-hati dalam menyukai orang yang total bekerja. Namun demikian, si idola saya yang satu ini mampu menepiskan asumsi tersebut. Totalitasnya tidak hanya ia tuangkan dalam pekerjaan, tapi juga dalam urusan cinta. Sebagai aktor yang dikelilingi aktris cantik nan bening dan groupies yang rela melakukan apa saja, ternyata ia terikat dalam hubungan perpacaranan yang telah berlangsung melampaui periode empat tahun.
Nah, itulah Teman-teman, itulah yang saya katakan sebagai sebuah totalitas! Bagi saya, orang seperti dia merupakan orang ideal! Ganteng dan bertanggung jawab dalam pekerjaan dan cinta!

Pekerjaan
Ayo ngaku, pasti banyak di antara Teman-teman yang menyepelekan pekerjaan di dunia hiburan. Malah pasti banyak yang menganggap bahwa menjadi aktor dan aktris bukanlah suatu pekerjaan. Hayoloh hati-hati. Ada murid saya yang bilang ke saya setelah dia malu-malu bilang kalau dia sebenarnya pengen merantau ke Jakarta dan menjadi artis di sana kayak Raffi Ahmad dan Irwansyah,
“Jadi artis itu jangan dikira gampang dan santai lho, Bu. Di sana kita dituntut professional dan jangan kaget aja kalau Ibu ngelihat ada artis terkenal dimarah-marahin sama kru film. Sepintas, sih, kita ngelihat kalau kehidupan artis itu glamor, tapi sebenarnya keglamoran mereka itu bukan tanpa perjuangan. Lagian juga mereka sebenernya tersiksa sama keglamoran tersebut. Keglamoran bagi mereka bukan sebagai bonus, tapi sebagai beban untuk mempertahankan nilai jual mereka.”
Hmmmm. Ya, saya setuju banget sama pendapat murid saya yang tahun lalu ikut pertukaran pelajar ke Turki selama setahun itu. Tampil di layar kaca itu adalah pekerjaan. Jadi artis ya sama kayak jadi diplomat, jadi guru, jadi penulis, jadi wartawan, jadi dosen, jadi menteri, jadi apoteker, jadi dokter. Profesi tersebut menuntut profesionalitas dan tentu saja totalitas. Kalau kita mau jadi pemenang dalam pekerjaan tersebut, kita harus total mengeksplorasi potensi diri kita. Meskipun kita ganteng atau cantik, kalau kiita nggak total dan nggak berani mengeksplor potensi yang bisa mendukung totalitas kita dalam pekerjaan tersebut, ya mati aja.
Nggak ada satu pun dari kita yang nggak terikat dalam sistem. Orang-orang yang secara jelas terikat dalam sistem namun tidak berjuang sekeras mungkin pasti akan tersisih. Idola saya yang bermarga depan Jang yang dari tadi saya bicarakan dalam posting ini secara tidak langsung mengajarkan pada saya mengenai pentingnya sebuah totalitas.
Secara fisik, dia tampan, tapi ada banyak orang tampan di industri perfilman Korea. Tampan saja nggak cukup bagi dia walaupun memang dalam sistem perfilman, tampan merupakan prasyarat tak tertulis yang sebaiknya dipenuhi untuk menjadi nilai jual pertama, “Eh, artisnya ganteng, nih. Nonton, yuk!” Karena tampan saja nggak cukup untuk dijadikan daya tarik dan lagian ada banyak orang tampan di negaranya, ia pun berjuang dengan keras untuk nggak cuman dikenal sebagai artis yang tampan tapi juga dikenal sebagai aktor berkemampuan akting mahadewa dan serbabisa.
Kesalahkaprahan juga acapkali dibuat oleh orang-orang yang ingin memenangkan persaingan dalam pekerjaan. Mereka ganteng, serbabisa, tapi sayang cacat dalam cinta, jadi playboy atau perempuan penggoda yang nggak mau kehilangan pemuja, atau kalau nikah gampang banget bilang cerai, atau malah sama sekali nggak nikah karena takut sama komitmen. Ini kesalahan juga. Secara pekerjaan, memang mereka total, tapi secara kehidupan keseluruhan, mereka nggak total.
Jangan sepelekan masalah cinta, deh. Kayak gini, sama kayak PNS, semua pekerjaan punya batas umur. Ada saatnya mereka harus pensiun. Sama kayak ketampanan dan kecantikan, pekerjaan juga nggak berlangsung selamanya. Ketika seseorang nggak terlatih dalam bertanggung jawab dalam masalah cinta, hidup dia nggak bakal bahagia di hari tua. Itu kalau kita bicara masalah hari tua, tapi cinta juga nggak cuman berguna di hari tua, lho.
Pekerjaan merupakan hal yang paling banyak mengandung resiko dan beban. Banyak orang jahat, banyak hal kotor, banyak ketegangan, intinya banyak hal yang membuat kita cape tenaga, hati, dan otak. Sebagai manusia, kita butuh perdamaian dan ketenangan. Perdamaian dan ketenangan yang tulus itu nggak bisa upayakan secara mandiri, tapi melalui kerja sama dengan orang lain. Landasan kerja sama yang damai adalah ketulusan, ketulusan sendiri akarnya dari cinta. Nah, dengan demikian, maka untuk mencapai kehidupan yang membahagiakan, kita nggak bisa melepaskan diri yang namanya cinta.
Karena cinta berurusan langsung dengan orang, kita juga nggak sepatutnya bermain-main dengan masalah ini. Sama kayak pekerjaan yang menuntut totalitas, cinta juga membutuhkan totalitas. Totalitas ini nggak akan tercapai dengan sendirinya dan tanpa perjuangan. Saya mengamini sekali bahwa totalitas dalam masalah cinta merupakan hal yang sulit dicapai, oleh karena itu saya sangat menghargai orang-orang yang mampu total dalam pekerjaan sekaligus total dalam cinta. Seperti idola saya dan saya, tentunya. Hahaha.
Yah, begitulah Teman-teman, intinya bagi saya, semua orang yang total dalam pekerjaan dan cinta adalah orang yang mengagumkan. Saya sangat menghargai orang-orang seperti itu, apalagi kalau dia tampan atau cantik. Sebaliknya, saya mengutuk keras orang-orang yang nggak total dalam menjalankan perannya dalam sistem.
Ayolah, Tuhan Maha Adil memberikan potensi kelebihan dan tidak ingatkah kalian akan amanah bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi? So, why don’t you turn your as-long-as-I-can-finish-it’s habit and start a more responsible life?


Ark.Mei’10.

Memahami


Sebenarnya niat utama saya saat menyeduh Milo, membawa camilan (baca : mie instant), dan membuka laptop (MS Word) pada Minggu sore yang sedikit mendung dan berkabut ini bukan untuk menulis tema posting ini tapi ngga tau nih gara-gara apa kok saya bisa nyasar ke tema ini. Pfuiiiih. Insidental sekali, nih kayak cerita cinta di film-film.


Bajingan aka OP

Tahu bajingan itu apa?

Bajingan adalah akronim dari Bahan Gunjingan. Istilah ini dipopulerkan pertama kali sekitar satu setengah tahun lalu dan sempat mendapat reaksi keras dari masyarakat, tentu saja masyarakat yang merasa digunjingkan. Mungkin mereka menginginkan nama yang lebih catchy daripada sekedar Bajingan. Ehm, entahlah, yang jelas benar juga, sih pada masa yang beradab ini kata bajingan memang kurang layak didengar saluran Eustachius. Kesimpulannya? Kita ganti saja jadi OP, okeh? Objek Pergunjingan.

Posting saya kali ini ingin mengajak Teman-teman pembaca anaksawah untuk mencari alasan sekaligus mencoba memahami mengapa pergunjingan bisa terjadi, mengapa seseorang atau sekelompok menjadi objek pergunjingan, dan mengapa sampai turun hadis yang mengatakan bahwa menggunjingkan orang lain sama seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Posting yang akan sangat menarik sekali, bukan?

Oia, satu catatan lagi perlu saya ketengahkan. Jika anda adalah laki-laki, jangan beranjak dari posting ini. Alasan pertama, saya yakin anda pasti pernah bergunjing, meski secara terselubung, meski secara ilmiah, meski secara curi dengar, meski secara tidak sadar, meski secara kebetulan, dan meski secara-secara yang lain. Alasan kedua, saya yakin nggak ada satupun dari anda yang tidak pernah dijadikan Bajingan atau OP oleh kawan anda! Okei? Jangan beranjak.


Manusiawi

Bagi saya, bergunjing adalah suatu hal yang manusiawi.

Kenapa?

Pertama, karena kita hidup di tengah orang-orang dan lingkungan yang begitu beragam. Keberagaman memang nggak salah, namun sebenarnya keberagaman mereka merupakan hal yang asing bagi kita, baik secara individu maupun secara berkelompok. Kayak misalnya saya. Saya nggak pernah punya niat ke kampus setiap hari dengan tampilan yang dressed up plus full make up karena saya nggak merasa jelek dan kurang terhadap diri saya sendiri sehingga saya juga nggak memprioritaskan uang saya untuk dandan. Namun, saya hidup di tengah masyarakat yang begitu majemuk. Ada yang sepemikiran dengan saya sehingga mereka persis sama kayak saya, nggak dandan tiap ke kampus, tapi ada pula yang pemikirannya berbeda sehingga mereka memprioritaskan pengeluarannya untuk masalah penampilan.

Nah, pergunjingan terjadi ketika keberagaman yang seharusnya biasa saja ini ditanggapi secara mendalam oleh orang-orang yang merasa dirinya normal. Yes, like me. Saya yang hidup dengan asumsi-asumsi dan pengalaman sendiri merasa bahwa kondisi saya adalah kondisi yang normal. Saya menutup mata bahwa asumsi dan pengalaman saya itu nggak universal. Bagi saya, orang-orang yang aneh dan saya gunjingkan adalah orang-orang nggak normal padahal alasan utama mengapa mereka bisa berbeda dari saya adalah mereka memiliki asumsi dan pengalaman yang berbeda dari asumsi dan pengalaman saya. Nah, tapi apakah orang-orang seperti saya yang suka bergunjing ini tahu dan paham apa yang mendasari keputusan mereka yang digunjingkan sehingga mereka berpenampilan berbeda dari yang lain?

Jawabannya ada dua. Satu, dua pihak berbeda ini saling nggak tahu dan saling nggak paham sama asumsi dan pemikiran yang mendasari keputusan mereka. Dua, sebenernya tahu dan paham tapi mau gimana lagi, bergunjing itu asyik! Nah, hati-hati, itu yang kejam. Setara kayak pengkhianatan atau pagar makan tanaman atau menusuk dari belakang. Kita akan bahas keduanya.


Saling Memahami

Dalam masalah pertama, ketidaktahuan dan ketidakpahaman, bergunjing bisa menjadi suatu hal yang permisif. Lha wong nggak tahu kok, jadi apa salahnya! Tapi apakah ketidaktahuan dan ketidakpahaman ini mau terus-terusan kita pelihara? Kenapa ketika kita menggunjingkan si A, kita malah menumpukkan bahan gunjingan yang lain tanpa sedikit pun kita menyelipkan diskusi, tebak-tebakan, sok-sok tauan, analisis, dan fakta-fakta yang bisa membuat kita terbuka akan kemungkinan alasan yang melatarbelakangi perbedaan mereka dari kita?

Hmmmm. Kenapa coba? Ada yang bisa bantu?

Saya juga sebenarnya nggak tahu jawaban dari pertanyaan saya, sih. Saya, sih di sini juga lagi bingung sama perilaku saya, teman-teman saya, dan tentu saja perilaku Teman-teman pembaca. Hehehe.

Nah, permasalahan makin kejam kalau kita ternyata tahu apa yang melatari seseorang atau sekelompok dalam melakukan suatu tindakan tapi kita tetap menggunjingkannya seolah kita nggak tahu apa-apa. Okei, katakan si A adalah musuh kita sehingga kita ngerasa males banget dah ngebela dia. Tapi permasalahannya, ini bukan soal bela-membela tapi mencoba untuk memahami. Memahami juga bukan berarti membuat dia menang, sih kalau kata saya mah. Dengan memahami dia, kita juga bisa menghancurkan dia. Lah, ini apa bedanya dengan mengkhianati yak???? Hahha. Ehem, kebanyakan baca buku perang. Haha. Nggak, saya nggak bermaksud ngajarin jahat, tapi saya cuman ingin menyoroti mengapa kita lebih suka untuk membesar-besarkan perbedaan ketimbang memahami perbedaan.


Makan Bangkai Saudara Sendiri

Memakan bangkai saudara sendiri? Ya, saya yakin Teman-teman tahu bahwa ini bukan makna denotatif. Pasti ada makna kiasan dari hadis tersebut. Saya, sih bukan ahli hadis atau ahli Bahasa Arab, orang saya ngomong Bahasa Indonesia aja masih tertatih-tatih, yah walaupun nilai UN Bahasa Indonesia saya nggak sekian koma sekian lah *tuh kan nggunjing lagi*, tapi saya rasa saya harus memaknai hadis ini dengan makna yang nggak sekedar makan bangkai itu bau, menjijikan, dan harus dihindari. Pemahaman yang begitu doang mah nggak akan menjauhkan kita dari kegiatan gunjing-menggunjing.

Bagi saya, alasan bahwa bergunjing merupakan kegiatan berbahaya yang harus kita hindari adalah, pertama, bergunjing merupakan prasangka. Kalau udah yang namanya prasangka, syukur-syukur kalau benar, nah kalau salah, bukankah kita sendiri yang malu? Contoh dari kasus tersebut bisa kita simak dari film-film box office atau cerpen-cerpen di Majalah Bobo. Alasan kedua, bergunjing tanpa analisis untuk mencoba memahami merupakan kegiatan yang bisa memecah belah persatuan bangsa. Ingat sila ketiga Pancasila! Jangan main-main sama Pancasila. Ada banyak kejadian yang berawal dari ketidaksalingpahaman lalu pergunjingan lalu pertempuran di dunia ini. Nah, kalau kita nggak pernah mau belajar untuk memahami, kita nggak akan pernah lepas dari keadaan konflik. Alasan ketiga, bergunjing adalah pengkhianatan kalau kita sebenarnya tahu asumsi dan pengalaman yang melandasi seseorang untuk berbeda dari kita. Jahat aja gitu, kenapa kita nggak menghormati perbedaan tetapi malah justru mempermasalahkan perbedaan itu dan memaksakan suatu persamaan asumsi dan pengalaman menjadi sebuah norma yang benar dan normal?

Inti permasalahan dari bergunjing sebenarnya adalah perbedaan. Nah, bagi saya, mengapa bergunjing ini menjadi salah satu hal yang disoroti dalam hadis karena bergunjing sebenarnya merupakan ejawantah dari ketiadaan penghormatan atas perbedaan padahal dalam ayat Qur’an sendiri dikatakan bahwa Allah menciptakan makhluknya dengan berbagai keragaman. Ketidakhormatan kita atas perbedaan padahal kita diciptakan dengan keadaan yang berbeda-beda ini merupakan precursor yang sangat empuk dalam menciptakan keadaan perang. Hmmm.

Ya sebenarnya cukup menjawab, sih. Cukup menjawab mengapa kita diminta untuk menjauhi pergunjingan tapi saya juga belum puas. Saya belum nemu apa pertalian makna bagai memakan bangkai saudara sendiri dari beberapa makna yang tadi saya kemukakan.

Ah, ya sudah, barangkali ada yang bisa membantu?

Bukan membantu bergunjing tepatnya. Saya cuman minta bantuin cari arti memakan bangkai saudara sendiri. Setelah kita tahu dan sepakat atas makna tersebut, mari kita kurangi bergunjing meski seperti yang saya bilang tadi, bergunjing adalah sikap yang sangat manusiawi.

Eh, susah deh ya kayaknya?

Hayooooolooooh.

Hahaha.



Ark.Mei’10.

Sedih

Halooooo, pembaca anaksawah yang budiman dan diberkahi kasih sayang oleh para paman dan bibi sedunia! Bagaimana kabar kalian? Apakah baik-baik saja? Sudah berapa kali kalian menyapu lantai rumah kalian pada hari ini? Lalu bagaimana pula kelanjutan dari serangan semut rangrang yang menimpa meja makan kalian? Apakah sudah tertumpas habis? Oke, saya harap semua keadaan yang kalian hadapi sesuai dengan prediksi dan kuasa kalian.

Hufff, pembaca, akhir-akhir ini sedang nggak enak hati euh. Posting kali ini akan sedikit memuat unsur kelam. Siapkan senter kalian!

Hal pertama yang merisaukan saya adalah hujan. Mmmm, saya tahu hujan itu berkah, saya tahu hujan itu rizki, saya tahu hujan itu anugerah, tapi sumpah saya nggak pernah bisa tenang kalau hujan turun, apalagi kalau hujannya gede dan kilat+gunturnya gede-gede. Suasana kayak gitu bisa menjepit saya secara maksimal. Hmmm, nggak tahu juga ya kenapa, saya cuman nggak suka aja sama hujan. Pokoknya bagi saya, hujan itu mengandung unsur ancaman yang besar dan berisik. Arsh! Hujan akan makin menyebalkan jika saya sedang berada tidak di rumah dan saya harus menembus hujan tanpa jas hujan, tanpa sandal jepit, tanpa lampu sorot yang terang, tanpa kaca helm yang terang, dan tanpa ada niat dari hujan itu untuk sedikit saja meredakan rinainya!

Hati saya juga nggak enak karena situasi di sekeliling saya. Hmmmm, akar dari semua keenggaenakan hati kayaknya ini, nih, iniiiiii!!! Ada suatu hal yang dari kecil sampai sekarang menyusahkan saya tapi nggak pernah bisa saya tangani. Ah, saya kesal sama diri saya sendiri! Tapi saya akan terus belajar mengatasinya! Semangat!!!

Nah, nah, nah, ini penyebab kerisauan saya yang paling tolol. Haha. Apa coba? Denger lagu! Hmmm, karena laptop dipakai bareng-bareng sama saya dan adik-adik saya, maka playlist winamp di laptop juga playlist campur-campur. Nah, kebetulan pula ada banyak lagu bernada sendu dan berlirik keji mengiris hati entah milik adik saya yang mana. Huhu, saya jadi ikutan sedih gara-gara kena suasana lagu itu. Udah gitu udah gitu, saya lebih sedih lagi waktu saya sadar,

“Lah, ini gue ikutan sedih gara-gara lagu kisah cinta tak sampai begini emangnya gue punya kecengan gituh?”

Hahaha. Iya itu dia, secara nada dan lirik sih udah dapet banget tuh nuansa sedihnya, tapi yang lebih menyayat hati adalah lagu sedih itu cuman sekedar lagu tanpa sebuah ide yang melekat. Saya nggak bisa neriakkin ini ke diri saya sendiri,

“Eh, ini lagu nasib gua banget, nih!”

Penyebabnya satu, saya nggak punya kecengan. Karena saya nggak punya kecengan maka saya juga nggak punya kisah cinta tak sampai. Huhu sedihnya, ada lagu bagus yang saya lewatkan gara-gara saya sedang tidak menaruh hati kepada siapa-siapa. Hahaha. Kurang afdol, nih kalau denger lagu tapi nggak ada objeknya! Aduh kayaknya biar saya nggak sedih-sedih kayak begini melulu saya harus ganti itu playlist dengan lagu macam Maju Tak Gentar dan Bagimu Negeri, deh! Hmmm, seengganya saya masih punya negara dan bangsa yang saya cintailah. Haha.

Ya, begitulah kisah kesedihan saya yang begitu menghimpit. Hihi. Haha. Tapi nggak apa-apa, dong. Kan saya juga manusia yang diberi kelenjar air mata dan kemampuan untuk merasakan sakit. Ouch! Haha. Eh, meski sedih, yang penting kita harus tetap sehat! Salam men sana in corpore sano!


Ark. Mei’10.

Mitos di Sekitar ASEAN


Selepas kuliah THI beruntun pada hari Jumat dan Senin awal Mei lalu yang mengkritisi berbagai mitos yang mengitari hidup kita, saya jadi mikir kenapa pengetahuan kita tentang ASEAN selalu didasari pada penjelasan yang top-down dan sangat realis sekali. Hmmm, ada, sih pendekatan yang lebih dalam dari sekedar keinginan bersama lima negara Asia Tenggara (Indonesia, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Filipina). Namun demikian, pendekatan paling dalam yang saya temukan hanya satu lapis di bawah realis yakni neorealist. Saya pengen tahu apakah memang kenyataannya demikian atau ada hal-hal bottom-up yang melandasi terbentuknya ASEAN namun ditutupi sedemikian rupa sehingga tidak terlihat oleh outsider macam kita?

Ini juga yang akan menjawab pertanyaan saya sejak dulu kala mengenai alasan utama ASEAN sangat terobsesi dengan peningkatan interdependensi ekonomi di antara sepuluh negara anggotanya. Kenapa keinterdependensian ini begitu melegenda kepentingannya padahal saya yakin para pemimpin ASEAN sama-sama tahu keadaan mereka yang hampir sama, dari mulai keadaan geografi, kualitas SDM, hasil alam, sampai sumber daya alam. Kesamaan keadaan ini seharusnya dijadikan kemahfuman, dong bahwa ASEAN jangan dititikberatkan pada bidang ekonomi. Kalau yang saya baca dari literature, sih konon interdependensi bisa mengeratkan ASEAN.

Ah, masa, sih?

Pertama, apakah hanya interdependensi yang mampu mengeratkan kesatuan suatu organisasi? Kedua, kalau begitu ASEAN selama ini dipandang belum erat, dong. Nah, kalau belum erat, mengapa mereka harus bekerja sama? Terus, dari keeratan yang konon katanya akan tercapai melalui interdependensi, apa sih misi utama ASEAN? Apa tujuan yang ingin ia capai setelah ia erat? Butir-butir dalam ASEAN Charter-nyakah? Untuk siapa dan untuk apa tujuan itu harus dicapai? Untuk seluruh negara ASEAN atau beberapa atau bahkan satu negara saja? Dan benarkah hanya negara yang berkepentingan di sana? Atau ada aktor lain?

Hmmmm. Pertanyaan di otak saya makin berkembang, nih! Ah, sudah sudah sudah hentikan! Pertanyaan-pertanyaan tersebut pasti akan berujung pada pertanyaan menampar macam ini, “Hayoloh, sebenernya saya mau jadi praktisi atau mau jadi akademisi?” Huaaaaa!!!!

Ark.Mei’10.

mau jadi anak gaul

Sepertinya selama hidup lebih dari dua dekade, saya belum pantas-pantas jua menyandang sebutan Anak Gaul.
Indikator :
  1. Nongkrong After School : Kantin dan beberapa tempat makan sekitar Jatinangor
  2. Begajulan : Mall doang, itu juga sendirian dan karena ada yang mau dibeli
  3. Nonton konser : NEVER
  4. Nonton bioskop : Kalau punya pacar doang, ehm pengecualian untuk Ayos. Ayos adalah satu-satunya teman laki-laki yang saya terima ajakannya buat nonton. Cuman dua kali itu jugaaa waktu saya ke Surabaya. Just watched Bourne and My Name is Khan.
  5. Koleksi buku : Buku yang berbau kuliah
  6. Koleksi Novel : Pinjeman semua
  7. Alasan pulang malam : RAPAT
  8. Koleksi DVD : Nggak punya
  9. Situs favorit : Fesbuk, blogspot
  10. Liburan : Tidur
  11. Jadwal main : enam bulan sekali sama sahabat segeng waktu SMA
  12. Top News sms : Jarkom rapat, reminder ngajar
  13. Top News email : TUGAS KULIAH
Hidup macam apa ini?????
Apa seperti yang dibilang Alex, Bayu, dan Gigih, "Faklah hidup ini!" ?
Hahhaha.
However, I love being meeeeee!!!!!

Happy Mayyyyy!!!

Feminisme Bukan Perjuangan Menang-Kalah


Apa, sih, yang ada di benak Teman-teman kalau mendengar kata PERJUANGAN? Perjuangan kemerdekaan, perjuangan mendapatkan sesuap nasi, perjuangan mengentaskan kemiskinan, perjuangan hidup, hingga perjuangan pergerakan perempuan? Sama nggak, sih, perjuangan sama peperangan? Bagi saya, perjuangan memiliki arti dan citra yang berbeda dari peperangan. Sama kalau kita membicarakan konflik dan perang. Beda tapi kita cenderung menyamakannya dan menjadikannya dua istilah yang bisa saling menggantikan).

Nah, dalam masalah perjuangan yang kali ini saya mau bahas, saya menyesalkan padanan kata perjuangan dengan peperangan. Banyak sekali teman-teman saya atau bahkan Teman-teman pembaca anaksawah yang menjadikan dua kata tersebut sebagai sinonim. Akibatnya ketika kita membicarakan masalah perjuangan, kita harus menentukan siapa pemenang dan siapa yang kalah. Hal tersebut membingungkan. Bahkan dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan pun sebenarnya tidak ada pihak yang kalah maupun menang. Seperti ini misalnya, pihak A menuntut kemerdekaan dari pihak B yang menjajahnya, nah kepentingan yang dibawa A bukan kepentingan untuk menjadi pemenang melainkan kepentingan untuk diakui sebagai pihak yang merdeka, bebas dari penjajahan B. Jika dalam perjuangan tersebut A mendapat reaksi keras dari B hingga mereka terlibat dalam adu kekerasan fisik, kita sudah tidak membicarakan perjuangan tetapi membicarakan peperangan. Pada bagian peperangan baru kita bisa membicarakan pemenang dan yang kalah.

Serupa dengan pergerakan perempuan yang kita kenal dengan nama feminisme. Tuntutan-tuntutan yang tercakup dalam semua gelombang feminisme bukan ditujukan untuk mengalahkan dominasi laki-laki sehingga perempuan menjadi pihak yang menang, sebaliknya laki-laki menjadi pihak yang kalah. Bukan itu. Perjuangan feminisme bukan ditujukan untuk memenangkan perempuan atas laki-laki melainkan ditujukan untuk memperoleh penerimaan dari laki-laki atas tuntutan yang diajukan perempuan karena selama ini perempuan merasa terugikan.


Salah Kaprah, Salah Paham, Salah Siapa?

Kesalahkaprahan dalam menangkap gelombang feminisme ini cukup krusial akibatnya. Gerakan feminisme seolah-olah menjadi hal yang begitu menakutkan di mata laki-laki, bahkan di mata wanita sendiri. Malah saya perhatikan kok feminisme dianggap kayak dosa aja gituh.

Dalam diskusi bertajuk Eksistensi Patriarki yang diadakan oleh Departemen Kajian HIMA HI 28 April 2010 lalu ada beberapa pertanyaan yang memperlihatkan kesalahkaprahan ini.

  1. Dunia ini memang diciptakan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, ada kuat-lemah, tinggi-rendah, baik-buruk, dan lain-lain, kenapa juga kita harus mempermasalahkan ini? Ketika pihak yang lemah telah berhasil menjadi pihak yang kuat, dunia malah jadi tidak seimbang dan tidak ada kerja sama karena semua merasa kuat.
  2. Apa, sih, yang mau dicari sama feminisme postmodern?
  3. Feminisme dengan segala gelombangnya merupakan usaha pencarian kebebasan tapi kebebasan dari apa? Toh ketika kita bebas dari lingkaran A sebenarnya kita juga akan masuk ke lingkaran B. Apakah masih disebut kebebasan jika kita hanya lepas dari konstruksi A padahal sebenarnya kita memasuki konstruksi B?


Oiya, saya jadi ingat pertanyaan kawan-kawan saya, tapi dia nggak ada di dalam diskusi tersebut.

  1. Memangnya apa yang salah dengan sistem patriarki? Masalah kamu apa sama patriarki? Itu kan sudah jadi keseharian kita. Lagipula, apa yang bisa kamu perbuat untuk menggugurkan patriarki?


Salah kaprah dan salah paham, itu kesimpulan saya. Salah siapa itu? Menurut saya, ya salah kita karena kita menyinonimkan perjuangan dengan peperangan, salah kita juga yang terlalu cepat dalam menyimpulkan suatu hal sebagai ancaman.

Dalam pertanyaan pertama, ya saya mengamini seratus persen bahwa kita memang diciptakan untuk saling melengkapi melalui segala kelebihan dan kekurangan kita. Permasalahannya, pertama, biner tersebut tidak dipahami sebagai suatu komplemetasi tetapi malah menjadi sebuah eksploitasi.

Sebenarnya menjadi kuat itu nggak salah serta begitu pula sebaliknya, menjadi lemah pun tidak salah. Kesalahan terjadi ketika yang kuat merasa lebih tinggi dari yang lemah sehingga mereka merasa legal untuk mengopresi dan mengeksploitasi yang lemah. Lebih bodoh lagi ketika si lemah yang tereksploitasi itu nurut-nurut saja. Si lemah yang sayang sekali diidentikkan dengan perempuan ini harus sadar bahwa mereka selama ini diperlakukan secara tidak adil. Mereka ditekan, mereka dieksploitasi, mereka disubjugasi. Mereka harus sadar bahwa pola kerja sama yang terjadi diantara mereka dengan laki-laki tidak berlandaskan pada kesetaraan atas fungsi yang komplementaris tetapi pada dependensi yang mengeksploitasi dan mengopresi.

Loncat ke pertanyaan dari kawan saya yang ngga ada dalam diskusi, itulah yang salah dari sistem patriarki dan itulah masalah yang saya sadari! Itulah keseharian yang selama ini mengungkung, membatasi, menekan manusia tapi kita anggap sebagai hal yang wajar. Kewajaran tersebut juga menjadi masalah bagi saya.

Apa yang akan saya lakukan untuk menggugurkan patriarki?

Nah, salah kaprah lagi kan, tuh. Menggugurkan bagi saya bermakna memusnahkan, membuat hilang, mengalahkan. Nah, rancu lagi jadinya, apa yang mau kita gugurkan? Sistem patriarki? Sistem atau patriarki atau laki-laki atau apa?

Dalam tiga gelombang feminisme, saya juga nggak menemukan keinginan untuk menggugur-gugurkan. Saya hanya melihat keinginan untuk diakui dan diberi hak yang sama seperti laki-laki. Gelombang pertama menuntut hak-hak politik bagi wanita. Jika laki-laki boleh ikut pemilu, kenapa perempuan engga? Perempuan punya pemikiran dan pilihan yang berbeda dari suaminya, dari bapaknya, dari kakak atau adik laki-lakinya, dan dari saudara-saudara laki-lakinya sehingga kurang tepat jika pilihan mereka diwakili oleh pilihan laki-laki. Nah, apakah di situ perempuan-perempuan tersebut meminta supaya laki-laki dicabut hak politiknya? Kan engga.

Lalu gelombang kedua. Gelombang ini menuntut kesetaraan. Ranahnya nggak cuman di politik tapi hampir di semua bidang. Pokoknya perempuan boleh masuk ranah mana aja yang selama ini dieksklusifkan hanya untuk laki-laki. Saya juga nggak melihat suatu tuntutan untuk meruntuhkan. Perempuan nggak masalah tuh dengan kehadiran laki-laki. Nah, apalagi pada gelombang ketiga. Perempuan di sini hanya menuntut pengakuan atas pilihan-pilihan mereka. Kalau saya mau bekerja di luar ya tolong hormati, kalau saya mau jadi ibu rumah tangga ya tolong juga hormati. Pilihan mereka juga tidak didasari pada tekanan apa pun. Ya, mereka memilih karena itulah yang mereka pandang sebagai hal yang terbaik untuk mereka. Apaan yang mau digugurkan? O iya ini juga berarti menjawab pertanyaan nomor dua, yang dicari oleh feminisme postmodernis atau feminisme gelombang ketigaadalah pengakuan atas pilihan-pilihan perempuan.

Nah, kalau masalah gugur-guguran, semaksa-maksanya saya ya paling saya melihat gerakan feminisme ini bertujuan untuk menggugurkan mitos yang selama ini mengungkung perempuan, ehm bahkan mengungkung laki-laki. Nanti kita akan bahas masalah kungkungan terhadap laki-laki itu sendiri. Perempuan sama sekali nggak melihat perjuangan ini sebagai perjuangan menang kalah, tetapi perjuangan untuk mendapatkan sesuatu yang membebaskan mereka dari kungkungan mitos. Mereka nggak menentang laki-laki. Mereka hanya menentang tekanan yang dialamatkan kepada mereka.

Nah, kita sambung ke pertanyaan nomor tiga. Bebas, hmmm, bebas…. Saya, sih, kurang setuju kalau kita mengartikan bebas murni sebagai keadaan tanpa ikatan. Nggak ada bebas yang kayak begitu selama kita hidup di dunia. Bebas bagi saya adalah lepas dari suatu fase yang gelap menuju fase yang lebih terang. Masalah apakah fase yang saat ini kita anggap lebih terang tetapi ketika kita telah masuk ke dalamnya ternyata sama aja gelapnya mah beda lagi. Ya nanti paling kita bakal mencari lagi kebebasan baru lagi. Tapi ini lho kesalahkaprahan dan kesalahpahaman yang pada akhirnya mengungkung kita untuk tetap berada dalam status quo atau zona nyaman yang sebenarnya merugikan kita.

Dalam memandang kebebasan yang dicari oleh feminisme, ya jangan dipahami bahwa perempuan ingin bebas tanpa aturan, tanpa kungkungan lelaki, tanpa ketergantungan kepada laki-laki, bebas tak berakal kayak orang gila, haha. Jangan dipahami seperti itu. Kebebasan yang diperjuangkan oleh mereka adalah kebebasan dari opresi, tindasan, subjugasi, penomorduaan, mitos, dan kewajiban yang sama sekali tidak menguntungkan mereka. Itu saja.


Keluh Kesah

Nah, sekarang pertanyaannya, subjugasi, opresi, eksploitasi, penindasan, dan penomorduaan seperti apa yang selama ini diperjuangkan oleh feminisme untuk dihapuskan dari muka bumi? Coba kita lihat dari empat pernyataan yang sangat menggangu bagi saya.

1. Kamu kan perempuan, Ki. Kalau bisa jangan ambil tema skripsi atau bidang minat mengenai Keamanan, dong. Itu kan laki-laki banget.

2. Nama kamu Riki? Kok kayak laki-laki?

3. Menu malam ini apa, Rik? Kamukah yang masak? Eh, kamu sebagai perempuan harus bisa masak loh.

4. Laki-laki ya harus maskulin. Aneh deh kenapa ada laki-laki kayak di industri hiburan di Korea, Taiwan, Jepang. Mereka itu nggak maskulin.


Empat pertanyaan tesrebut menggangggu sekali bagi saya karena ya aneh aja gituh pada zaman modern dan globalisasi yang telah mengenal Kartini dan internet ini masih ada orang Indonesia yang mengeluarkan pernyataan seperti itu.

Pernyataan pertama merupakan pernyataan yang sampai saat ini masih terngiang-ngiang di telingan saya dan membuat saya kesaaaaaaaaaaaaaaaaaaallllll. Apa korelasi antara saya perempuan dan bidang minat Keamanan? Apa karena ilmuwan Kemanan lebih banyak laki-laki macam Barry Buzan, Ole Weaver, …. ? Apa karena pembahasan Keamanan membutuhkan zat tertentu yang berada di kromosom Y yang nggak saya punyai? Apa karena pidato mengenai Keamanan membutuhkan suara khas jakun? Apa perhitungan mengenai Keamanan membutuhkan bulu kaki yang lebat sementara kaki saya mulus? Jika tidak lalu mengapa saya disarankan untuk tidak mengambil konsentrasi Keamanan dalam studi saya selanjutnya?

Sama halnya ketika saya ditanya kenapa nama saya begitu laki-laki sekali. Pertama, dia cuman tau sepotong doang. Nama saya yang paling belakang juga Putri tapi bukan Riki Putri juga yaaaa. Hahha. Kedua, kenapa kita harus menggenderkan sebuah nama. Riki untuk laki-laki, Rika untuk perempuan. Kata bapak saya, sih, RikianArsyi itu artinya pemimpin seribu pasukan yang memiliki tempat tertinggi, nah arti asli dari nama saya itu kan nggak bergender, pokoknya bapak saya ngedoain saya melalui nama lah gituh. Eh, tapi ketika saya hidup tanpa proteksi seratus persen dari orang tua, ternyata nama saya dicap sebagai milik laki-laki. Ditanya pula kenapa nggak Rika aja. Lah, kalau nama saya jadi Rikanarsyi, artinya udah bukan jadi pemimpin seribu pasukan lagi lah. Apa kita harus mengorbankan arti yang substansial demi sebuah ide gender yang mitos itu?

Lalu pernyataan selanjutanya mengenai perempuan dan memasak, ehm, saya nggak nemu korelasi esensial dari dua variabel tersebut. Korelasinya itu ya korelasi mitos doang. Bagi saya, urusan masak itu berkaitan dengan perut, perut berkaitan dengan lapar, nah kan laki-laki dan perempuan sama-sama punya perut dan sama-sama merasakan lapar, lalu mengapa hanya perempuan yang dibebani urusan memasak? Saya sih di rumah bukannya nggak bisa dan nggak mau masak, tapi di rumah mah ibu saya masak terus, masa saya bikin soto sementara ibu saya udah masak ayam bakar? Nggak efisien.

Eh, serius itu bukan cari alasan. Ketika misalnya ibu saya nggak masak atau ketika saya sendirian di rumah lalu saya merasa lapar, ya saya masak. Saya nggak suka aja kalau saya disuruh memasak dengan alasan karena saya perempuan, saya nanti ngurus dapur, dan saya harus bisa membahagiakan suami. MITOS itu sumpah. Nggak ada jaminan juga kalau saya bisa masak maka saya terhindar dari ancaman cerai. Saya nggak setuju kalau saya harus memasak gara-gara masalah itu. Saya akan memasak kalau kondisinya memang saya harus memasak dan saya rasa saya butuh memasak. Satu lagi, saya juga harus senang untuk melakukan hal tersebut.

Permasalahan masak-memasak ini berkaitan erat dengan pilihan perempuan apakah ia mau bekerja atau mau menjadi ibu rumah tangga. Kita harus menyadari bahwa kedua hal tersebut adalah murni pilihan yang, pertama, tidak memiliki status yang lebih tinggi-lebih rendah, dan kedua, tidak perlu kita ambil kedua-duanya sekaligus. Nah, masalah pilihan itu yang sering menjebak kita. Seperti yang dijelaskan oleh salah satu narasumber dalam diskusi HIMA HI dan tentu juga dapat kita perhatikan dari lingkungan sekitar kita, model perempuan modern ideal, terutama dalam konstruk perempuan itu sendiri, adalah perempuan yang memiliki karir yang cemerlang, nggak gaptek, mobilitas tinggi, seksi dari segi pinggul, bentuk badan, dan dada, berkulit putih serta bebas jerawat, tidak lupa menyiapkan sarapan, baju suami, sepatu suami, sempat masak makan malam, punya anak yang ia kasih ASI setiap hari, yang ia dongengi setiap malam, yang ia antar ke sekolah setiap pagi, serta selalu siap kapan saja dan dimana saja ketika suaminya memintanya untuk melayaninya. Wawwwwww. Sungguh mulia dan hebat sekali perempuan itu yah. Eh, tapi ternyata itu mitos. Saya dapat pencerahan dari dua pernyataan ini,

1. Setiap perempuan dianugerahi gift yang berbeda. Ada yang diberi anugerah untuk dapat membangun keluarga tapi ada pula yang diberi anugerah untuk bekerja. Kita berhak memilih karena bagi saya mustahil kita bisa menjalani keduanya sama maksimalnya. Saya memilih untuk bekerja karena saya rasa saya nggak berbakat dalam membangun keluarga. (Sumber : Sosialita, Kompas)

2. Jadi full-time mother itu susah, lho, Mbak Rossy. Sama susahnya kayak kita bekerja di luar karena selama 24 jam kita harus melakukan banyak deal dengan anak kita. (Sumber : Rossy, Global TV)

Nah, itulah! Saya sebagai perempuan terbebani dengan mitos kalau mau kerja boleh asal jangan lupa kewajiban sebagai ibu! Bagi saya, itu merupakan dua hal yang pada akhirnya nggak akan bisa kita kerjakan secara maksimal. Namun permasalahannya, saya juga masih merasa setengah hati untuk menjadi ibu rumah tangga karena saya takut keputusan saya tersebut, satu, direndahkan karena mitos yang berkembang pada masa kini adalah lebih keren jadi wanita karir, dua, dianggap tradisional sekali padahal ketika misalnya saya memilih menjadi ibu rumah tangga, alasan utama saya adalah karena ingin mendidik anak secara baik, bukan karena ajaran budaya saya. Nah, tapi setelah mendapatkan pencerahan tersebut, saya jadi yakin untuk, satu bekerja semaksimal mungkin mumpung saya masih single, dua, memberikan jawaban yang dapat saya pertanggungjawabkan apakah tetap menjalani karir atau gantung raket sesuai dengan kondisi saya setelah menikah dan melahirkan (jika diizinkan Allah, amin, hehe). Bagi saya, dua jawaban tersebut merupakan aplikasi yang paling riil dari apa yang disebutkan dalam feminisme gelombang ketiga. Itulah yang dinamakan kebebasan untuk memilih.

Pengakuan atas pilihan ini juga sebenarnya seharusnya tidak hanya dirasakan oleh perempuan, tetapi juga oleh laki-laki itu sendiri. Coba lihat pernyataan keempat. Mengapa untuk diakui sebagai laki-laki, maka makhluk berpenis tersebut harus memiliki sifat maskulin? Kayak apa maskulinnya? Kalau saya Tanya ke teman-teman saya, ya pikiran mereka mengatakan bahwa maskulin itu gagah kayak James Bond, garang kayak preman pasar, gede kayak Rambo. Nah, jawaban mereka mencirikan bahwa mereka terkungkung pada mitos maskulinitas. Emang salah gitu kalau dia metro abis? Salah gitu kalau dia kyut (cute) kayak bintang film Asia?

Ada begitu banyak pilihan sebenarnya untuk hidup di dunia ini. Rugi banget kalau kita hanya terpaku pada satu pakem yang sebenarnya juga bikinan manusia yang didapat dari hasil kontemplasi juga. Ketika laki-laki berdandan ala James Bond dengan berbadan Rambo, ya biarin aja emang itu udah style yang membuat dia nyaman. Tapi jangan anggap dandanan tersebut lebih superior daripada pria macam Lee Min Ho yang aduhai banget rambutnya lebih jatuh daripada rambut saya dan lebih berani memakai baju pink. Kalau Lee Min Ho lebih nyaman dengan tampilan seperti itu, so what? Apa yang salah? Dia nyaman kok. Di mata mayoritas perempuan Asia Tenggara dan Asia Timur yang menonton aksinya dalam Boys Before Flower pun dia tampak ganteng dan menimbulkan banyak jeritan histeris. Sama hebohnya kayak zaman Bradd Pitt dan Sylvester Stallone. Pertama, setiap orang memiliki preferensi yang berbeda dan nggak ada yang salah dengan preferensinya, sekalipun preferensi itu ekstrim di luar jangkauan pemikiran kita. Kedua, zaman juga nggak begini-gini aja. Haloooo, zaman itu begitu dinamis. Ada saatnya dimana pemikiran mainstream dipertanyakan dan pemikiran mainstream harus menerima hal itu, baik secara menyesuaikan diri dengan melakukan revisi atau bahkan hilang ditelan zaman.


Pengakuan

Hal-hal seperti itu lho yang sebenarnya dihadapi oleh patriarki dan mitos maskulinitas. Tuntutan pelepasan diri dari opresi, kungkungan, tekanan, batasan, eksploitasi, dan subjugasi yang selama ini mereka pertahankan melalui mitos-mitos yang saat ini sudah tidak sesuai zaman. Tujuan dari penuntutan tersebut juga bukan menang atau kalah melainkan pengakuan. Udah itu aja. Kenapa mereka harus ribet banget, sih, sampai bikin mitos-mitos yang meletakkan pergerakan feminisme dan pertanyaan mengenai maskulinitas setara dengan dosa yang harus diberantas?



Ark.Mei’10