Creepy

JIL dan FPI itu ibarat dua kutub ekstrem yang saling berantonim yang keduanya menganggap bahwa hitam dan putih itu ada. 
Sebagai pemeluk warna abu-abu, daripada saya ikutan perdebatan yang nggak bakal selesai meskipun Lee Min Ho jadi ketua DKM di masjid depan FISIP, mending saya solat, berzakat, baca Quran, ngerjain skripsi.

Balada Copy Paste

Ada seorang murid yang dalam dua kelas saya, nilainya sangat baik dan beberapa hari lalu, dia minta tolong pada saya untuk memeriksa tugas esai dari sekolahnya. Saya baca sejenak esai yang ia tulis tangan tersebut dan yes, saya terkesima sekaligus bangga karena esai itu sangat sangat bagus. Bayangkan, seorang anak SMA bisa berbicara mengenai hegemoni budaya. Serius, dia menulis hegemoni budaya, suatu istilah yang baru saya dapatkan di semester tengah dan baru saya pahami saat saya semester enam di mata kuliah Studi-studi Budaya. Saya nggak punya pikiran buruk saat membaca esai itu, apalagi esainay ditulis tangan. Saya pikir, ini anak bacaannya gila banget, sih hebat. Saya malah berpikir, pantas saja nilai pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dia sangat baik, lha wong bahasanya sudah begini hebat.

Hmmm.

Namun dengan berat hati saya harus menarik kebanggaan saya tersebut dan menggantinya dengan perasaan sedih. Sedih beneran sedih. Ah, sedihlah pokoknya.

Setelah saya baca secara skimming untuk melihat apakah strukturnya sudah benar atau belum, saya mulai membaca dengan agak mendalam untuk memahami substansinya. Di awal-awal paragraf, saya mengangguk-angguk. Substansinya luar biasa. Nah, di paragraf tengah, saya mulai mengernyitkan dahi. Ada beberapa paparan yang ia kutip dari ahli tapi tidak menggunakan footnote ataupun running note. Tapi di situ saya masih menganggap dia hanya lupa saja. Saya bilang, "Nanti ini pakai running note ya, jangan lupa ditulis di daftar pustaka." Dia jawab, "Wah, harus pakai daftar pustaka, Bu?", saya jawab lagi, "Iya, dong, ini kan kamu pakai kutipan dari orang, jadi harus disebutkan sumbernya." Dia diam saja saat itu.

Saya baca lagi, baca lagi, baca lagi, dan saya masih merasa tulisan dia bagus. Karena tulisannya bagus, saya puji lagi kan, "Wah, serius nih, bagus banget poin-poin kamu. Bagus beneran bagus." Entah mungkin saya yang suudzan, tapi waktu saya puji itu, ekspresi mukanya sama sekali nggak bangga, dia malah nunduk.

Saya baca lagi..baca lagi..baca lagi..kemudian saya mengulangi lagi bacaan saya dari awal. Nah, di situ saya menemukan kejanggalan. Strukturnya yang sangat sempurna, dari mulai EYD, klausa, dan koherensi-kohesivitas antarkalimat dan antarparagraf serta kutipan-kutipannya, mau nggak mau membuat saya curiga. Saya percaya dia pintar, tapi kalau saya perhatikan, kutipan yang ia gunakan sama sekali bukan kutipan yang dipergunakan untuk memperkuat pendapatnya akan tema yang ia angkat dalam esai, melainkan kutipan yang ditempel karena sudah satu paket dalam satu tulisan. Bingung? Maksud saya, dia meng-copy paste seluruh tulisan itu. Saya recheck lagi sampai akhirnya saya yakin bahwa iya, itu bukan tulisannya, itu tulisan orang lain.

Dan hmmmm, entahlah saya sedih.

Saya nggak tahu siapa yang salah.

Mungkin dia nggak salah karena dia nggak tahu apa itu copy-paste. Mungkin dia nggak salah karena sebagai anak SMA, gurunya nggak ngasih pemahaman mengenai seperti apa sih esai. Giliran sudah masuk musim ujian praktek, barulah seluruh murid diminta membuat esai dengan asumsi bahwa membuat esai itu semudah merebus air di rice cooker. Guru itu lupa bahwa membuat esai bukan sekedar membuat tulisan dengan struktur yang efektif, melainkan mengomunikasikan gagasan hasil olah pikir yang tentu tidak hanya membutuhkan pengetahuan mengenai EYD dan Kalimat Efektif, tetapi juga pemikiran mendalam mengenai suatu isu. Oke, mari menyetujui bahwa menulis itu sama sekali bukan soal bakat, tapi latihan. Tapi latihan apa? Latihan membuat Kalimat efektif? Latihan menjadi Editor EYD? Bukan, kan? Latihan yang dimaksud entu latihan berpikir, latihan analisis, latihan memahami suatu isu, latihan membuka pikiran, yang semuanya tidak mungkin dibebankan pada beberapa jam pelajaran Bahasa. Ketika membuat esai itu menjadi tugas wajib, jelas kelimpunganlah anak-anak. Dorongan untuk mendapat nilai pun membuat mereka mengambil jalan pintas, mengambil karya orang lain dengan banal kemudian mengklaim karya itu sebagai karya sendiri. Mungkin guru-guru itu antara tahu dan pura-pura tidak tahu perihal copy paste itu. Mungkin kalaupun mereka tahu, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi di situlah letak fatalnya. Anak-anak ini pun akan menganggap bahwa copy paste itu adalah tindakan wajar bila kita dipaksa deadline mengerjakan sesuatu yang tidak kita pahami. Mereka juga terbiasa untuk tidak berlatih berpikir. Dan akhirnya, proses pendidikan di sekolah pun hanya akan mencetak manusia-manusia yang gemar mengambil milik orang lain demi keuntungan pribadi.


Ark.Feb'12.

Selebritas dan Konsumerisme Jasa-Representasi


Beberapa peristiwa yang saya lihat akhir-akhir ini semakin membuktikan disertasi dosen pembimbing saya mengenai Selebritas. Jumat lalu dosen saya sempat mengobrol banyak dengan saya mengenai isi disertasinya, tapi karena saya saat itu belum ingat sama hal yang saya rasakan hari ini, jadi saya perlu ngobrol lagi sama Ibu supaya apa yang saya tulis bisa tertangkap dengan agak lebih jelas. Hehe.

Saya lagi sering mendapati dua tipe orang yang sangat melelahkan untuk dilihat, yakni orang yang menganggap dirinya selebritas dan satu lagi, orang yang mereyakan keselbitasan selebritas hingga seolah-olah menjadikan si selebritas itu sebagai juru selamatnya, yang kalau nggak ada si seleb itu, maka mereka akan tersesat di dalam neraka dunia dan neraka akhirat.

Membahas sosok pertama, yakni selebritas, yang batasan kata "selebritas" sendiri sudah tidak hanya mencakup musisi atau aktor, tapi pada semua orang yang merasa memiliki pengetahuan lebih. Mereka adalah pemuda berusia pertengahan 20 hingga pertengahan 30 tahun yang memosisikan diri mereka sendiri sebagai sentral perhatian, yang dengan pendapat-pendapat yang mereka gulirkan ke publik dengan balutan citra-citra brilliance yang mereka atur, tata, dan klaim sendiri, mereka berusaha membentuk preferensi publik bahwa mereka adalah agen yang benar, yang perkataannya tidak hanya pantas untuk didengarkan, tetapi juga dirayakan. Dengan citra brilliance yang mereka gulirkan tersebut, mereka juga memersepsikan dan meletakkan dirinya sebagai sosok teladan, sosok contoh, dan juru selamat. Bagi saya, persepsi mereka mengenai dirinya sendiri merupakan fenomena yang unik bila dikaji dari pemaparan Vuving mengenai cara soft power bekerja. Vuving memang menyebutkan bahwa brilliance akan menghasilkan admiration dan peneladanan. Akan tetapi, proses pengidolaan dan peneladanan yang dimaksud Vuving lebih banyak terjadi di benak khalayak. Agen hanya memperlihatkan sisi brilliance-nya kemudian membiarkan khalayak menilainya dan membuat persepsi. Lain halnya dengan mereka. Mereka tidak memancing khalayak untuk mengidolakan dan meneladaninya secara diam-diam, tetapi justru secara aklamatif memosisikan dirinya sebagai agen yang patut diidolakan dan diteladani. 

Kemudian, pertanyaannya, whyyyyy?

Kenapa pada masa kini muncul sosok-sosok demikian? 

Kalau begitu, kita masuk ke golongan kedua, yakni golongan yang preferensinya mudah terkonstruksi dan gemar merayakan hal-hal yang dikonstruksikan "ih-wow-anjrit-ini-gue-banget". Yes, keberadaan gologan pertama tadi sangat didukung oleh keberadaan golongan kedua. Keberadaan golongan kedua ini juga nggak bisa dilepaskan oleh perkembangan konteks sosial di sekitar kita, yakni perkembangan masa fordist menjadi postfordist dan masa modern menjadi postmodern yang membuat proses produksi tidak lagi mengandalkan barang, tetapi jasa, yang jasa ini pun tidak ditujukan untuk konsumsi massal, namun tersegmentasi menurut status dan kelompok sosial tertentu. Konsumsi jasa yang tersegmentasi ini jelas perlu karena dalam masa ini pun masyarakat sedang kehilangan representasi. Mereka butuh pengakuan bahwa mereka adalah anggota dari kelompok tertentu. Ah, ya, kenapa juga mereka butuh representasi? Saya belum menemukan artikel penguat pendapat saya, tapi bagi saya, ini sangat berkaitan dengan perkembangan globalisasi yang membuat mata kita terbuka atas berbagai kegiatan orang-orang di seluruh dunia, dari yang penting semisal kelaparan di Afrika sampai yang ngga penting kayak "Ya ampun, hati gue tergetar banget habis baca Soe Hok Gie"; "Fakyu buat si X yang pacaran di depan dekanat!"; "Alhamdulillah, hari ini bisa beli tas Prada seri terbaru di ION Orchard pas lagi Great Singapore Sale," dan nggak cuma Twitter dan Facebook sih, pastinya. Bahkan tabloid gosip, tabloid religik, koran politik, dan YahooNews juga ikut andil dengan memberikan penggambaran mengenai sosok orang lain di luar sana yang membuat kita terkena penyakit hati. Ah, yes, saya rasa pelajaran Agama kelas 1 atau 2 SMP yang bab Penyakit Hati itu perlu ditambah, deh. Nggak cuma syirik, ujub, dan takabur, tetapi juga krisis representasi.

Nah, itulah sebabnya sekarang lagi menjamur jasa motivator, jasa asupan religius, dan jasa nasihat cinta yang tujuannya memberi tahu siapa diri kita dan kelompok apa yang cocok untuk kita. Jangan lupa juga, sekarang lagi musim pengidentifikasikan diri melalui kelompok tertentu, macam "gue-islam-jenis-x-dan-elo-jenis-y-so-mending-lo-gue-end" atau "gue-galau-x-elo-galau-y-dan-plis-ya-galau-lo-itu-inferior-dan-hina-dibanding-galau-gue" yang di antara dialog-dialog kedua kelompok itu diselipi juga nilai penajaman gap antargolongan.

Akibat dari perkembangan masa posfordis dan posmodern ini ya tentu saja perkembangan budaya selebritas dan konsumerisme. Agen yang menjadi selebritas terus-menerus memberi jasa sebagai representasi juru selamat, sedangkan khalayak terus-menerus terkonstruksi untuk mengonsumsi jasa mereka demi memenuhi kebutuhan mereka akan representasi, "Siapa sih diri saya? Termasuk kelompok apa saya?" Kehidupan kita pun dipenuhi,disergap, dan dikelilingi oleh beragam citra yang batasannya dengan realita sangat tipis dan bias sehingga kita pun menganggap citra tersebut sebagai identitas kita yang sesungguhnya. Paradoksnya lagi, dalam proses serah terima citra pada tarik-menarik selebritas-konsumer, khalayak ini seolah-olah sudah menjadi sosok yang berbeda dan superior di antara orang-orang di luar kelompok mereka. Mereka seolah-olah sedang menikmati tuhan, cinta, dan keyakinan yang benar, yang sesungguhnya, dan dengan dekat, padahal kebenaran yang hakiki mengenai Tuhan, cinta, dan keyakinan mereka masih berada di ruang lain yang entah dimana, yang justru semakin jauh ketika mereka merasa sedang dekat. Kenapa bisa jauh? Ya, karena konsep tentang tuhan, cinta, dan keyakinan yang disusupkan kepada mereka hanya sebatas komoditas jasa yang fungsinya hanya sebagai media agar para selebritas itu mendapat keuntungan. Di situlah simulakra atau kesemuan itu terbentuk. 

Pada akhirnya, dengan mengonsumsi nilai-nilai yang dibawa oleh selebritas, kita sebenarnya bukan sedang didekatkan pada tuhan atau cinta, tapi pada kekuasan dan kapital yang diinginkan oleh selebritas. Tuhan atau cinta yang sebenarnya tetap berada di tempat yang tidak terjamah, padahal bisa jadi keduanya berada di hati kita, hanya karena kita terlalu sibuk mencari representasi akan diri kita, kita melupakannya.

Ark.Feb'12

Satu Jam Kepanikan

Pantesan dari Senin lalu itu otak saya iseng banget mengimajinasikan apa yang terjadi kalau SIM saya hilang. Ah, ternyata beneranlah hari Selasa SIM saya hilang dan saya baru sadar Rabu ini.

Selasa itu saya ada urusan lagi ke Jakarta. Seperti biasa, supaya bisa dapat ID Visitor di kantor yang saya datangi itu, saya harus naro kartu identitas. Harusnya sih KTP ya, tapi berhubung minggu lalu setelah saya mengunjungi kantor itu dan naro KTP juga, saya lupa nyimpan dimana itu si KTP yang minggu lalu keluar dari dompet. Ya sudahlah biar cepat saya kasih SIM saya. Pas saya udah masuk dan saya mampir ke toilet, eh saya baru nemu, deh. Si KTP saya itu ternyata ada di saku tas paling depan. Bzzzzt.

Berbekal kealpaan saya dalam mengingat barang-barang yang berada di luar tempat seharusnya, saya meniatkan diri buat menyimpan SIM saya dengan appropriate sesegera mungkin setelah saya mengambil SIM di front office. Masalahnyaaaaa, di front office itu saya diajak ngomong sama bapak-bapak pegawai. Karena nggak sopan kalau saya ngobrol sambil ngubek-ngubek dompet merapikan SIM, jadi saya asal naro SIM saya aja di ruang dompet yang paling terjamah.

Setelah beres ngobrol sama bapak itu, saya pulang kan tuh. Jakarta udah macet, sih. Nggak ada yang lebih menggetarkan jiwa selain stak di Slipi sampai Semanggilah pokoknya. Untungnya karena saya balik dari sana masih jam 4, saya jadi bisa sampai di pool Primjas jam setengah enam sore. Seminggu sebelumnya saya pulang jam 6 dan baru sampai primjas jam setengah sepuluh malam. Kalau minjem bahasanya si Harris di Antologi Rasa, sih ya thankyouverymuch banget rasanya berada jutaan jam di dalam busway. Nah, karena jam masih menunjukkan waktu yang sangat sore, saya makan dulu di PGC. Senjata utama ya Hoka-Hoka Bento. Rasanya terjamin sama di seluruh Indonesia dan nggak perlu juga cuci tangan. Beres makan, saya nggak langsung pergi. Saya malah melamun sambil bersyukur mengenai status saya yang single ini. Hanya karena status saya single maka saya bisa dengan percaya diri bilang ke orang yang ngeinterview saya kalau saya siap kemana saja. Seneng banget loh jadi seorang manusia yang bisa langsung ngasih keputusan tanpa perlu mempertimbangkan pendapat orang lain slash pacar. Perasaan mandiri itu sungguh asyik rasanya sampai-sampai saya pun tidak merasa diri saya ini kasihan banget makan di Hokben sendirian di tengah belantara ibukota. Oke, saya overlap. Mari kembali ke permasalahan utama.

Iya, pas saya lagi melamun itu, saya inget saya mau beresin dompet yang tadi acak-acakan gara-gara saya nyari KTP nggak ketemu-ketemu. Saya keluarinlah itu isi dompet ke atas meja. Saya sumpah inget banget saya mengeluarkan beberapa kelompok kartu. Kelompok pertama adalah kartu nama, kartu Optik Melawai, dan kartu Prodia. Kelompok kedua adalah kartu MRT yang hijau, kartu LRT Pulau Sentosa, kartu MMC Matahari, Pers ID STaIR, dan kartu Perpustakaan Freedom. Kelompok ketiga adalah kartu NPWP, kartu Mahasiswa slash ATM BNI, dan ATM Mandiri. Nah, berhubung tadi si SIM ini baru dikeluarkan dari dompet dan saya rusuh masukinnya, dia pun jadi sendirian. Harusnya dia masuk ke dalam kelompok kartu ketiga. Niat saya juga emang mau masukin si SIM ke dalam kelompok ketiga.

Saya nggak ngerti saya kedistrak sama apa sampai akhirnya sepertinya saya lupa nggak ngegabungin SIM sama kelompok kartunya. Ah, saya sebel banget deh kalau saya lagi pelupa gini. Berasa ada missing link gitu loh. Gara-gara saya pelupa macem gini, saya kan makin yakin kalau sebenarnya saya ini pasti punya pacar tapi saya lupa. Oh, beb, maafkan aku ya kalau sekarang aku sedang menelantarkanmu. Kalau aku udah inget sama kamu, pasti aku balik lagi sama kamu. Sekarang kamu baik-baik aja ya di sana. Sekolah yang pinter, cari uang yang banyak, posisi karir juga harus kamu tingkatkan, dan jangan lupa solat sama makan ya. I love you. Mmmmmuah. 

Masalahnya lagi, saya lupa saya nggak masukin SIM itu ke dalam kelompok kartu dan tentu saja saya nggak masukin SIM ke dalam dompet bareng dengan tiga kelompok kartu lainnya. Saya lupa dan saya baru sadar hari ini bahwa saya kehilangan SIM, satu masalah kenegaraan yang tingkat urgensinya melebihi urusan pelanggaran batas wilayah ZEE. 

Arrrggghhh, damnnnnnn!!!!

Panik bangetlah. tepatnya sih, pias. Atuhlah. Kalau bapak saya tahu SIM saya hilang, bisa habislah daftar riwayat CVsaya. Belum lagi ribet juga kan ngurus SIM lagi. Soreang itu jauh banget, men dari Cileunyi. Perjalanan dua jamlah pakai motor. Mana saya juga nggak punyalah itu fotokopian SIM. Mana nomor SIM berapa juga saya nggak tahu. Dan plislah, kalau saya nggak punya SIM, gimana caranya saya bisa naik motor bikin laporan kehilangan ke Polsek Cileunyi? Argh, ribetlah.

Saya inget-inget dimana kira-kira saya menghilangkan SIM, ya yang saya inget itu cuma yang saya ceritain di atas itu. Kayaknya di Hokben. Awalnya saya pikir saya bongkar dompet itu kan di rumah, tapi pas saya cek, nggak ada ceceran apa-apa. Dan emang sejak malam saya pulang itu ya saya nggak megang dompet. Malam abis saya sampai rumah jam setengah sepuluh itu kan saya smsan *ciyyyeeeehhh* sama Arman Dhani yah thankyouverymuch dan teman baru saya, si Bangkit, terus nonton Big Bang Theory sama Greys Anatomy, terus ngerjain skripsi sampai jam 1 terus YMan konfrens sama Ayi dan Remon sampai jam setengah empat pagi. Bangun tidur juga saya cuma nyalain leptop buat nyiapin materi ngajar terus saya pergi.. Iya serius saya nggak buka-buka dompet. Ya sudah akhirnya saya yakinkan diri saya kalau saya pasti banget buka domept itu di Hokben.

Karena saya yakinnya di Hokben, saya coba cari nomor telepon Hokben PGC di Google. Alhamdulillah dapat. Tapi ada dua nomor. Nyoba nomor pertama nggak nyambung, nyoba yang kedua alhamdulillah nyambung. Sinyal lagi seret jadi saya bolak-balik nelpon tapi si Mas penerimanya nggak denger saya ngomong apa. Baru pas saya nelpon untuk keempat kalinya tuh suara saya kedengeran. Saya tanya apakah ada SIM nyasar yang tiba-tiba nemplok di nampan. Si masnya bilang dicari dulu. Si masnya pun nanya nomor hengpon saya. Lima menit kemudian, si masnya nelpon. Katanya nggak ada. Atuhlaaaahhhh. Aduh hilang dimanalah jadinya. Bingung aja gitu. Saya yakin sama ingatan saya yang kadang baik kadang buruk tapi akhirnya harus pupus juga. Yasudah saya pasrah dan besok niat ke Polsek naik ojek. Gatau deh ke Soreangnya gimana.

Eh, tapi...

Lima belas menit kemudian...

Ada telpon lagi dari Hokben.

"Mbak pesanannya mau Hoka Suka Lee Min Ho Beef Teriyaki atau Hoka Suka Bennedict Cumberbatch Chicken Teriyaki?"
"Loh, mas, saya pesennya Arman Dhani panggang. Nggak ada emang?"
"Oh itu mengandung boraks dan abate, mbak."
"Nggak apa-apa, mas, saya mau bungkusin dia buat teman saya, Ayik, biar Ayik bisa memberantas korupsi jomblo di tahun 2030."

Ya enggaklah..

Si masnya bilaaaangggg...

"MBAK, SIM-NYA ADA!"

Saya masih nggak mudeng, "Oh, masih nggak ada ya mas? Yah, nggak apa-apa deh hiks."

"ENGGA, MBAK. SAYA BILANG, SIMNYA SUDAH DITEMUKAN. SIMNYA ADA."

Langsunglah saya semangat 45, "AH SERIUSSSSS MASSSS? KYAAAAA!!"

Yah, untuk pertama kali dalam hidup, saya rasa happily ever after itu ada. Saya pun tukeran nomer hape sama si Mas Hokben. Ciyyeeehhh. Heh. Ini demi urusan perhokabentoan nih. Saya ngasih alamat rumah buat ngirim si SIM. Hmmmh. Masnya belum tahu sih bakal ngirim kapan, tapi semoga secepatnya ya masnya yaaa...

Alhamdulillah ketemu. Seneng bangetlah. Alhamdulillah.

Eh, tapi ini belum beres. Setengah jam kemudian, si Mas Hokbennya ngesms lagi..

"Mbak, ada pin bb?"

Eaaaaaa....

"Saya nggak pakek bb, mas. Mas mau ngirim SIM saya pakai bb?"

Who's Picky?

Teman saya pernah bilang sesuatu sama saya,
"Ah, zaman sekarang mah nggak usah milih-milih pekerjaan apalagi atas dasar idealisme bidang kuliah. Ambil aja apa yang ada."

Saya seriusnya, sih nggak setuju. Hal itu yang membuat saya nggak pernah mau ikutan kegiatan promo bimbel tempat saya bekerja karena saya dari kecil memang nggak pernah simpatik sama promotor bimbel yang mempromosikan bimbel ke sekolah-sekolah. Saya sombong? Mungkin. But, I dont wanna be a someone whom I hate. I am picky, mungkin yes secara sepintas. Saya cuma mau bekerja sebagai pengajar karena saya suka mengajar dan saya tahu saya cukup teguh untuk melaksanakan The Dont's saya yakni ikutan promo. 

Namun demikian, saya juga sadar, sih kalau mungkin di suatu hari nanti saya mungkin harus mengompromikan ketidaksukaan saya atas suatu bidang. Mungkin di waktu yang saya nggak tahu, saya harus menjalani profesi yang sama sekali tidak saya bayangkan. Hmmmm, saya jadi berpikir bahwa iya juga kali ya, sesungguhnya di dunia ini ada dua jenis pekerjaan, yakni pekerjaan yang sesuai idealisme kita dan pekerjaan yang kita kerjakan hanya karena kita harus bertahan hidup, entah hanya untuk bertahan hidup literally atau untuk menggapai impian kita di pekerjaan yang utama kita inginkan.

Tapiiii....Saya tetap merasa bahwa kalau kita sedang berada dalam tahapan bekerja di tempat yang tidak kita sukai hanya demi menggapai pekerjaan yang kita sukai itu seperti sedang menikahi duda yang sudah tua banget demi kekayaan terus waktu dia sudah mati, kita pun kembali ke pelukan Dude Herlino yang sudah kita cintai dan janjikan keseriusan begitu mendapat uang. Itu jahat, sih, kata saya. Jahat ke si duda dan si Dude. Pengorbanan kita untuk menikahi duda kemudian kembali ke Dude itu sama-sama merendahkan derajat duda dan Dude sekaligus juga membuat kita rendah di mata duda dan Dude. Kita menggampangkan keduanya. Kita mengambil jalan pintas untuk 'kebahagiaan' kita. Kita seolah-olah berjuang demi 'kebahagiaan sejati' tapi sebenarnya kita maunya mengambil jalan yang mudah saja. Justru kita picky ketika kita berada dalam jalan itu.

Tapi ya memang sih yang namanya hidup, susah juga selalu berjalan di jalan yang kita harapkan. Mungkin waktu kecil kita pengen jadi astronot sampai waktu SMA kita berhasil jadi juara Olimpiade Astronomi Internasional, tapi waktu SPMB kita malah masuk ke jurusan Administrasi Niaga. But, hey, ketika kita nggak jadi astronot, malah belajar Administrasi Niaga, nggak bijak juga kalau kita sampai marah karena nyatanya, kita masuk ke Administrasi Niaga bukan karena mukjizat Tuhan, tapi karena kita memilih jurusan itu di lembar pendaftaran SPMB kita. Samalah kayak pekerjaan. Dengan asumsi bahwa kita masuk ke suatu pekerjaan karena kita melamar bekerja di sana, kenapa harus marah dengan mengatakan bahwa pekerjaan yang kita jalani itu adalah pekerjaan yang sebenarnya nggak ingin kita jalani? Bukankah kita sendiri yang menulis surat lamaran kerjanya? Bukankah kita juga yang tetap datang waktu dipanggil untuk mengikuti segala macam tes? Kalau memang nggak mau, ya jangan dijalanilah. Saya pikir nggak lucu juga kalau kita masih ngeles bahwa keikutsertaan kita pada penulisan lamaran dan tes-tesnya itu hanya untuk menambah pengalaman, iseng, dan nggak nyangka aja bakal keterima. Don't make it as a guilty pleasurelah. Kita kan sudah besar dan seharusnya tahu mana yang enak dinikmati dan mana yang harus dihindari.

Seburuk-buruknya keadaan, saya lebih suka menggunakan istilah pekerjaan pilihan pertama dan pekerjaan pilihan kedua. Maksudnya? Ingat, kan waktu kita daftar SMP atau SMA? Misalnya, kita punya nilai 37, nah kita pasti mencari sekolah yang nilainya aman untuk kita masuki, misalnya 35 atau 36. Agak bebal juga kalau kita masih maksa masuk ke sekolah yang nilainya 41. Masalah kalau kita nyari dulu yang 36 kemudian di semester depan pindah ke sekolah ke yang nilainya 41 sih masalah lain, sekarang mah pikir dulu yang pasti bisa masuk dulu. Pesan moral pertama : Kita harus mengukur dulu kemampuan kita kalau kita mau memilih suatu pekerjaan. Nah, dalam memilih sekolah, kita juga dikasih dua atau tiga pilihan, kan? Yang artinya, meski kita yakin dengan kemampuan kita, kita masih punya peluang untuk gagal masuk sehingga kita harus memiliki cadangan. Sama juga kayak pekerjaan. Mungkin kita tahu kita punya kemampuan yang mumpuni di  dalam satu bidang pekerjaan yang kita inginkan, tapi kita juga harus punya pilihan kedua yang juga kita sukai kalau-kalau kita nggak bisa masuk di pilihan pertama. Ini penting supaya nggak ada lagi istilah-istilah "Gue nggak betah kerja di sini :(" atau "Gue maunya nggak kerja di sini." Pesan moral kedua sih ya berarti kita harus tahu kemampuan kita dan pilihan-pilihan lain yang kita sukai dan tentu saja mampu kita kerjakan. 

Coba deh kita berhenti jadi seorang pengeluh dan merendahkan diri kita sendiri. Yang semena-mena sama kita tuh sebenarnya bukan Tuhan, tapi kita sendiri.

Move On

Saya percaya bahwa move on itu bukan sesuatu yang harus dipaksakan. Memaksa diri kita untuk move on adalah tindakan paling munafik dan jahat sedunia. Move on yang dipaksakan itu layaknya aborsi. Yang namanya aborsi, mau aborsi janin atau aborsi perasaan, itu adalah kejahatan yang dosanya setara dengan genosida. Mungkin di satu sisi, move on yang dipaksakan adalah ikhtiar kita sebagai manusia yang ingin segera mendapat ketenangan sejati. Namun, ingat, move on yang dipaksakan itu juga bisa menjadi sarang dendam yang tidak akan pernah terselesaikan meski kita nanti sudah memiliki kehidupan baru. Eh, kehidupan yang baru? yang baru? Bisa jadi, engga "baru" juga. Selama hati kita masih berdenyut kencang waktu kita ketemu orang yang bikin kita luar biasa patah hati di kemudian hari meski kita sudah menggandeng orang lain, kita sebenarnya belum punya kehidupan yang baru. Kita masih berkubang dalam luka masa lalu.

Kita nggak perlu memaksa agar masa move on itu segera datang. Dan nggak perlu juga, sih kita bergengsi ria ingin segera move on cuma biar nggak disangka ngarep sama teman-teman kita. Apa esensinya coba sesumbar di depan teman-teman kita kalau kita sudah move on dengan cara menghina si orang yang bikin kita patah hati itu secara besar-besaran atau sibuk nusuk-nusukin foto si orang itu pakai paku payung kalau suatu malam habis kita ketemu sama dia, kita masih ngerasa sakit ngelihat dia tertawa mesra sama orang barunya? 

Sama kayak solat yang pertanggungjawabannya sama Allah, bukan sama orang tua, ya namanya move on juga pertanggungjawabannya ya sama hati kitalah, bukan sama teman sebangku kantin. Selain itu juga yang namanya move on kan berarti berpindah kan ya? Berpindah juga bermakna melepaskan sesuatu yang lama. Nah, karena move on adalah nama lain dari melepaskan, berarti kita juga ngga ada kewajiban untuk membuang kalau dari diri kita sendiri juga belum ikhlas membuang. Urusan move on ini juga kan bukan urusan yang menyangkut pengadilan penyitaan barang negara, jadi nggak ada unsur pemaksaan harus melepaskan secara besar-besaran dan secepat mungkin. Take your time. Pasti ada di suatu hari nanti, kita nggak sadar sudah move on. Mungkin itu adalah hari dimana kita merasa sudah eneg sama kebiasaan jari kita yang begitu buka mozilla langsung mengetik dua huruf pertama alamat blog orang lama kita.

Membanjirnya Novel Remaja

Bandung, Desember 2005


Membanjirnya novel remaja di pasaran tak ubahnya seperti fenomena telepon genggam atau sinetron. Awalnya hanya satu dua saja setiap beberapa bulan, dan seiring dengan berlalunya waktu , jumlah yang dilempar ke pasaran makin tak terkendali.
Sekarang hanya tergantung pada kepintaran kita sebagai konsumen untuk memilih mana yang bagus dan tidak mengecewakan. Kadang ada yang dari lay out cover-nya bagus, atau judulnya menarik namun begitu kita menapaki lembar puluhan atau bahkan belasan, tak jarang kita yang menelan ludah sambil mengernyitkan dahi.
Tak selamanya yang banyak pilihan menunjukkan grafik meningkat. Ya, seperti novel-novel itulah, semakin banyak jumlahnya di pasaran, semakin menurun kualitasnya.
Dulu novel remaja yang ada di pasaran memang sedikit, namun dari segi cerita memang benar-benar menarik, bermutu, mendidik, dan sarat pesan, sekalipun itu adalah novel ringan.
Dari segi si penulis, si penulis itu memang sudah sangat berpengalaman malang melintang di dunia tulis-menulis. Pendek kata, dari segi penulis dan apa yang ditulis sudah sangat sangat bermutu.
Kini, coba perhatikan, dari sekian banyak novel yang ada di pasaran, hanya sedikit bukan yang ceritanya bermutu ? Bermutu dalam arti mendidik, sarat pesan, setting dan plotnya terkesan tidak ‘memaksa’, serta fokus ke inti cerita.
Apabila diperhatikan lagi, novel remaja kini menunjukkan suatu keseragaman tema. Keseragaman yang membuat bosan konsumen. Parahnya lagi, keseragaman ini malah merusak generasi muda kita. Aneh memang, generasi muda dirusak oleh generasi muda.
Percintaan di lingkungan sekolah yang diikuti oleh persaingan mendapatkan cinta, tak lupa dibumbui oleh harta kekayaan. Dari segi ending, kalau tidak berending sangat tragis, pasti berending tentang kesempurnaan hidup. Akhir adalah awal yang indah.
Persaingan mendapatkan cinta terbagi dalam dua sisi. Dari sisi tokoh wanita pasti menggambarkan kelicikan, kesewenangan, obsesi terlalu berlebihan, kemunafikan, adu mulut, tak lupa aksi balas dendam yang terkesan sadis.
Dari sisi tokoh pria, persaingan digambarkan dengan adu fisik, balapan motor, atau tawuran antar geng.
Dan lucunya, tokoh utamanya adalah remaja usia SMP-SMA.
Secara pribadi, saya heran dan tidak bisa menerima isi novel itu. Aneh, takjub. Selama ini, saya tinggal di lingkungan yang biasa saja, bukan lingkungan luar biasa seperti yang diceritakan novel-novel itu. Makanya saya juga agak bergidik ngeri, apakah separah inikah dunia di luar dunia saya ini ?
Akhirnya saya akhirnya tidak bisa memutuskan, apakah novel itu terinspirasi berdasar kehidupan  nyata atau cerita novel itu yang menginspirasikan kehidupan nyata remaja dewasa ini.
Saya sangat menghargai kebebasan berkarya dan menuangkan buah pikiran dalam tulisan. Mengarang adalah mengarang dengan segala kebebasan, imajinasi kitalah yang bermain. Dalam mengarang, kitalah yang menjadi raja, bebas menentukan takdir para tokoh. Namun yang saya sayangkan, mengapa khayalan para penulis muda kita ini sangat tinggi dan tanpa sadar dapat mempengaruhi kehidupan nyata serta mengarahkannya ke arah yang kurang baik, degradasi moral lah.
Apa yang menjadi pesan dalam tiap karya mereka, tak bisa saya temukan. Yang saya temukan hanyalah teriakan mereka agar orang dewasa tahu keinginan mereka, mengakui keberadaan mereka. Seolah-olah merea ingin menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh orang dewasa dapat juga mereka lakukan.
Para penulis muda kita ini seperti kehilangan identitasnya sebagai seorang pelajar. Pacaran, rebutan pacar, pembalasan dendam, bolos sekolah, pembangkangan terhadap orang tua, itulah yang selalu mereka tuangkan dalam tulisannya, apakah itu sikap seorang pelajar?
Sejauh ini saya belum menemukan novel remaja yang temanya di luar keseragaman, yang temanya mampu menggugah para remaja untuk berubah ke arah yang lebih baik. Kemana kreativitas mereka ?
Satu novel laris di pasaran, diangkat menjadi film atau sinetron, langsung berbondong-bondong novel dengan tema sama, alur sedikit berbeda masuk ke pasaran. Berharap mendapat hoki yang sama.
Inilah yang menyebabkan kreativitas remaja kita terkungkung, keinginan mendapat hoki, keinginan menyabet pasaran. Sekalipun itu merusak moral.
Ingat, penulis juga sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan moral. Tulisan para penulis bisa menjadi doktrin bagi para pembacanya. Ingat tidak ketika kalian masih duduk di bangku TK, kalau ada cerita, misalnya kelinci dijauhi teman-temannya karena ia pelit, maka kalian spontan berkata, “Aku nggak mau pelit ah, aku kan nggak mau dimusuhin sama teman-teman..”. Nah, itu adalah salah satu contoh bahwa tulisan penulis bisa menjadi doktrin bagi para pembacanya, kan ?
Tak hanya sebatas pada fabel atau cerita-cerita yang sampai pada kalian di usia belia kalian yang mampu menjadi doktrin. Tulisan kalian sekarang, tentang dunia kalian juga sangat sangat bisa menjadi doktrin bagi teman-teman kalian. Bisa jadi banyak remaja yang sedih karena tak punya pacar adalah akibat dari doktrin yang mereka dapatkan bahwa punya pacar pasti menyenangkan. Banyak remaja yang menyesal hidupnya tak berkecukupan juga mungkin karena doktrin bahwa pasti indah bila jadi anak pemilik imperium besar.
Kesimpulan yang saya dapatkan dari pengamatan saya selama ini adalah penulis muda kita ini dalam menulis karyanya selain karena mimpi-mimpi dan teriakan-teriakannya juga sangat terpengaruh oleh kungkungan pasar. Keinginan menyabet pasar itulah. Penerbit juga ikut ambil bagian tentunya, target mereka dalam pendapatan laba secara jelas membuat para penulis menulis sesuai apa yang jadi tuntutan pasar.
Apabila dari segi cerita memang menarik, bermutu, masuk akal, serta mempunyai pesan, banjir novel remaja tak jadi masalah. Namun, sayangnya semua yang seharusnya ada dalam novel remaja itu tak ada, kalaupun ada pun, itu hanya sedikit porsinya. Itu masalahnya.
Yang bisa saya sarankan bagi para penulis novel remaja, dengan segala kemudahan fasilitas, teruslah kalian belajar membuat karya yang lebih baik. Jangan hanya berkutat di satu tema yang menjadi seragam kalian kini. Cobalah membuat sesuatu yang menggebrak pasar. Sesuai permintaan pasar namun bermutu dan berbeda. Lihat peluang pasar. Masih banyak tema yang belum tersentuh oleh kalian. Masih banyak alur yang bisa kalian ciptakan di luar alur yang biasa kalian ciptakan kini.
Tingkatkan kemampuan kalian dalam menulis, jangan rusak bangsa kalian dengan mimpi kalian yang terkesan aneh, dengan teriakan ingin diakui ada oleh orang dewasa, dengan keinginan ingin menyabet pasar, dengan gengsi kalian terhadap teman dengan terpampangnya nama kalian di cover novel.
Kalian adalah generasi muda, sama seperti para pembaca karya kalian. Kalian punya kesempatan besar untuk memperbaiki moral generasi muda, moral teman-teman kalian. Gunakanlah bakat yang diberi Tuhan untuk kalian untuk membangun.
Akhir kata dari saya, buatlah karya yang bermutu lalu ubahlah dunia ke arah yang lebih baik dengan tangan kalian! 

*Esai ini menjadi  Juara III Lomba Penulisan Esai Tingkat Umum Pekan Baca Tulis ITB tahun 2006
                                                           

Lebaran, Pukul 03.45


Bandung, Juli 2006

Satu minggu menjelang Lebaran.
Senja memerah mega. Sebentar lagi adzan maghrib pasti akan menyergap telingaku. Dengan langkah lebar yang tak ingin kusebut lari, kutapaki jalan berbatu yang menebarkan aroma sampah. Ingin cepat masuk gubuk bututku, melihat Emak tirus tersenyum dalam rebahnya.
“Assalamualaikum!” sapa kecilku beradu dengan derit pintu.
“Waalaikumsalam,” lemah kudengar balas Emak.
“Emak nggak puasa, kan?” tanyaku memastikan. Mana boleh Emak berpuasa! Aku belum ingin sendirian hidup di dunia yang makin kejam ini.
Emak terkekeh sinis, “Apa bedanya puasa dan nggak puasa, Lin..?”
Aku terkesiap. Benar juga, keadaan seperti ini mau tak mau memaksa kami untuk tak merasakan perbedaan Ramadan dengan Syawal, Sya’ban, Jumadil, ataupun dengan bulan lainnya.
“Iya, sih, Mak. Tapi kan setidaknya Emak masih bisa minum,” kilahku menghibur.
“Alhamdulillah Emak puasa, kok,” sahut Emak sambil bangun dari dipan kerasnya.
“Batuknya masih berdarah, Mak? Oya, Alin bawa kolak, tadi ada ibu-ibu yang ngasih. Semua anak jalanan dapat! Coba setiap hari, ya, Mak…”
Aku mengeluarkan dua bungkus plastik kecil berisi kolak. Katanya, satu kolak untuk buka, satu lagi untuk sahur. Tapi, ah, kumakan sekarang saja dengan Emak. Sahur tak masalah. Aku atau Emak tak pernah mengenal apa itu sahur.
“Buat kamu sajalah. Emak malas makan. Nanti malah muntah, kan mubazir,” Emak tertatih meraih tungku dan menjerang air. Sekilas Emak melirik bungkus teh yang tak seberapa lagi isi serbuknya.
Aku menganga mendengar jawaban Emak yang enteng dan marahku terpancing, “Emak ini bagaimana, sih? Emak harus makan! Jangan alasan lagi, Alin nggak mau Emak tambah sakit!” Astaghfirullah, dalam hati aku meralat.
Emak tak bereaksi, hanya mengikat rambut tipisnya yang melewati bahu lalu menguap, “Emak nggak mau, kok malah dimarahi,” sindirnya.
Aku menunduk, “Maaf, Mak,” bisikku langsung.
“Lin, kamu ada uang? Tadi Bu Susilo datang…,” Emak memandangku tak tega. Momok yang menakutkan setiap kali Emak menyinggung nama itu. Bu Susilo, wanita gendut berkonde yang dua sikunya tertutup juntai gelang emas.
“Katanya, paling lambat Lebaran,” lanjut Emak tak ingin lagi menatap pias takutku. Matanya beliau sibukkan memandangi api yang lamban memanaskan air.
“Akan Alin usahakan, Mak,”
Taruhan, Emak atau Bu Susilo pasti sudah bosan mendengar jawaban ini keluar dari mulutku. Tapi mau bagaimana lagi, memang sulit mendapatkan orang yang mau kusemirkan sepatunya. Mana bisa aku cepat mendapatkan uang.
Terminal Cicaheum, Senin siang.
“Hari ginih masih nyemir sepatu? Hahahaha,” Upang, pengamen yang rambutnya bewarna kuning tertawa sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
“Ibu mau mati malah nyemir sepatu, hahahaha! Mana bisa punya duit banyak?” kali ini, Jurig yang bersuara. Suara cemprengnya menambah pekak telingaku yang kemasukan suara klakson bis yang panjang.
“Fuuuuuuuuh,” Upang hamburkan nafas baunya ke arahku. Asap rokok laknatnya dan asap knalpot bis telak membuatku menahan hasrat hidung untuk menarik oksigen.
“Hahahahahahahaha,” tawanya mengiringi batukku.
“Berisik! Sana ngamen! Dasar kunyuk pasar!” makiku lalu melengos pergi tanpa melihat kanan kiri. Semoga Allah memaafkanku. Semoga puasaku masih diberi pahala setelah ini.
“ Heh, Budug! Minggir! Aing tabrak, siah!” hardik seorang pria sangar berkumis tebal. Aku cepat-cepat menyingkir. Ingin memaki lagi namun mengingat dosa akhirnya kuurungkan. Hanya dengan cemberut kecil aku lampiaskan kesalku memandangi angkot kosong yang ia kemudikan ugal-ugalan keluar dari terminal.
“Semir, Kang! Semir, semir! Semir sepatu! Semir sepatu! Biar kilap! Mangga, semir!”
Kilat panas matahari kutantang dengan jajaan yang kuteriakkan. Kutantang juga udara panas dan kotor dengan langkahku menyusuri terminal. Hanya sesekali menyerah, berhenti untuk menyeka keringat yang terkucurkan dari pelipisku.
“Puasa nih, ye..!” ledek Bubun, pedagang asongan yang setiap pagi kulihat mengisap lem dalam-dalam di belakang WC terminal. Usianya lebih tua dua tahun dariku.
“Haus, Calon Haji?” tambah Jalaprang si tukang koran. Sangat asyik ia menikmati es jeruk yang mengalir ke dalam mulutnya lewat sedotan transparan. Aku menelann ludah. Iri.
“Prang, dia mau minuman kamu tuh! Hahaha,” sambung Bubun puas.
Aku mendelik sinis dan kuangkat kaki menjauhi dua bajingan tengik itu. Tawa mereka masih kudengar panjang di antara selip klakson bis, angkot, mobil, dan motor yang tak putus bersahutan.
Lama aku berjalan dengan langkah yang kunjung menyeok lemah. Puasa bagiku memang hal yang amat berat. Ditambah dengan jajaan untuk menawarkan semir yang tak terhirau, suaraku makin parau menahan haus. Begitu rindunya aku akan adzan maghrib pada saat-saat ini.
“Alin!” aku menoleh mencari arah suara.
“Alin, hoy! Kesini!” Bang Japran melambaiku, mengajakku bergabung dengannya di warung kopi Ceu Inah.
Bagi kerbau dicocok hidung aku mengikuti ajakannya padahal aku tahu Bang Japran adalah preman paling licik bin jahat di kawasan Cicaheum.
“Ada apa, Bang?” tanyaku agak takut.
“Belum ada uang,” lanjutku pelan. Perihal itu yang membuatku gemetar.
Bang Japran tak menanggapi. Malah matanya menjelajahi tubuhku yang hanya dibalut celana hitam selutut dan kaos putih kumal yang gambarnya sudah pudar. Senyumnya terkembang misterius. Aku bertambah gemetar dibuatnya.
Tak ada yang bersuara di antara kami berdua. Bang Japran jelalatan dan aku menunduk takut.
“Kepada penumpang Bis Harum menuju Solo, bis akan segera berangkat,” pengeras suara hingga tiga kali mengulang pengumuman itu dan belum ada tanda-tanda Bang Japran akan membuka maksudnya memanggilku.
Punten, Bang..,” hati-hati kupanggil lelaki Batak berambut gondrong keriting ini.
“Eh, oh, eh, iya, iya, duduk, Lin. Sini duduk deket Abang,” ajaknya ramah tiba-tiba.
Diamnya sirna. Aku mengernyitkan dahi bingung dan tanpa bertanya kuikuti maunya. Daripada digorok seperti Jang Usep, tetanggaku.
“Alin udah makan? Sok atuh pesen, nanti Abang yang bayar,” ujarnya sangat ramah.
Nadanya merayu, itu pikirku.
Aku menggeleng, “Alin puasa.”
“Oooh, puasa… Pesen buat buka puasa atuh, Lin… Nih enak, nih.. Tuh, kan.. Yah, Ceu, yah..?” basa-basi Bang Japran meminta pendapat Ceu Inah yang memakai kaos merah ketat.
Ceu Inah mengangguk manis. Tangannya gemulai membentuk gerik sensual dengan mengikat rambut keriting panjangnya. Ia tersenyum dalam pose itu. Baru sekali aku melihat senyum perempuan judes yang selalu berlipstik merah tebal itu.
“Makasih, Bang. Nanti aja,” tolakku halus.
“Terserahlah, nanti bilang aja sama Ceu Inah kalau mau apa-apa. Jangan bayar, kan Abang yang bayar,” Alisnya terangkat lalu satu matanya mengedip. Ke arahku. Ya, Bang Japran berkedip padaku.
“Alin udah gede, ya..” tangan kiri Bang Japran terjulur meraih daguku yang lancip. Serta merta kutarik daguku menjauhi jari Bang Japran yang hanya empat, kelingkingnya tak ada.
Bang Japran tertawa lebar menanggapi ekspresiku, “Hahahaha. Maaf, Lin… Udahatuh, jangan takut gitu wajahnya. Abang nggak bakal nanaonkeun Alin.”
“Iyah, Lin, jangan takut… Justru kamu harus terimakasih sama Bang Japran. Bang Japran mau kasih kerjaan buat kamu,” Ceu Inah urun bicara. Matanya ia kedipkan pada Bang Japran, membuat satu isyarat aneh.
Aku memandangi kedua orang di hadapanku, Bang Japran dan Ceu Inah, bergantian. “Ada apa, ya, dengan mereka?” bisik hatiku.
Satu hari menjelang Lebaran.
Takbir saling bersahutan mengiringi senja, meniupkan aroma syahdu hari kemenangan. Kulihat sukacita tergambar di tiap paras yang kutemui di terminal.
Aku tertunduk. Kalut. Mungkin satu-satunya gambar sedih ada pada parasku.
Bagaimana tidak?
Batuk Emak makin parah, darah mengalir deras dari tiap goncang tubuhnya yang mengikuti irama batuk. Emak sudah dekat dengan kuburan, ucap Emak kemarin malam.
Bu Susilo besok akan menagih, padahal tak ada uang yang aku punya. Kalaupun aku punya, Emak yang akan aku prioritaskan. Hanya Emak yang aku miliki di dunia ini. Masalah Bu Susilo, biarkan ia mengusir kami dari gubuk reot itu. Toh, kehilangan uang dari kami tak berarti baginya. Hartanya sudah menumpuk di antara lemaknya.
Tapi..
Sekarang masalahnya tak ada uang. Aku tidak mau kehilangan Emak dan gubuk itu. Akan bagaimana aku nanti? Akan dimana aku nanti?
Aku memandangi Cicaheum yang kini sepi. Melamun. Bingung. Rasa haus tak aku indahkan. Adzan maghrib sedang tak berarti saat ini. Aku kehilangan selera buka puasa.
“Kamu cantik, Lin. Abang nggak mengada-ngada! Tuh, tanya Ceu Inah. Ceu Inah juga denger kalau Pak Zul muji-muji kamu,” suara Bang Japran berdengung di kepalaku.
Kepalaku makin berat setiap kali apa yang Bang Japran ucapkan Senin lalu terngiang di memoriku yang terbuka. Membuatku bingung antara larangan agama dengan realita.
“Ah,Lin, kata Ceu Inah mah, jangan banyak mikir! Apalagi mikirin agama, ah buat apa? Agama mah suka nyuruh yang aneh-aneh! Puasalah, solatlah, ngajilah, jangan ginilah, jangan gitulah, alaaaaaah! Zaman sekarang mah realita, weh! Jangan sok agama!” cibir Ceu Inah.
Kepalaku makin berat.
“Kamu butuh uang, kan? Sok ikutin agama kamu, bakal dapet uang nggak?” Ceu Inah tajam menghujat apa yang selama ini aku yakini.
Saat itu aku hanya tertunduk. Satu hatiku membenarkannya, satu lagi sakit mendengarnya.
“Sakali-kali ngadosa mah nggak apa-apa atuh, Lin.. Nanti tobat lagi… Emangnya kamu pikir ustad-ustad itu seratus persen orang suci? Mereka juga manusia, Lin! Dulu kotor terus tobat!”
Ya, kenyataan itu memang benar. Bang Japran benar.
Pikirkeun, Lin! Jangan sok suci! Sesucinya kamu, pasti ntar mah masuk neraka juga,”
“Ya Allah, Alin harus gimana?” sakit aku berteriak dalam hati. Air mata menuruni pipiku. Bahuku naik turun bergoncang. Aku roboh jongkok. Kubenamkan wajahku di antara lipat tangan dan pahaku.
Lebaran, pukul 03.45.
“Emaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak…!!!!!!!!!!!!!” enam lembar lima puluh ribuan kuhamburkan begitu kulihat sosok kurus milik Emak tersungkur di lantai gubuk kami yang berupa tanah. Teriak histerisku mengguncang kampung kumuh. Seperti lalat, tetangga mengerumuniku yang tak henti mengguncang selonjor kaku tubuh Emak. Darah bercampur lendir tak kuhiraukan melumuri betisku. Aku terus tersengguk.
Selepas waktu shalat Id yang aku lewatkan.
Diantara ucap saling memaafkan jemaah shalat, Emak akhirnya dikuburkan seadanya. Hanya beberapa tetangga yang membantu. Selebihnya? Entahlah, mungkin ikut menjadi jemaah shalat Id di Arcamanik. Aku tak peduli. Kepada mereka atau pada kewajiban shalat itu.
Tiga ratus ribu lenyap, entah siapa yang memungutnya di saat sedihku. Namun tak ada rasa menyesal dalam hatiku. Aneh. Mungkin karena aku mendapatkannya dengan cara hina. Merelakan Pak Zul menelusuri tubuhku yang ia aku, sintal. Sudahlah. Lupakan malam tadi, walau kurasa sulit.
Hatiku gundah namun aku tak tega memanggil Allah, seperti yang selalu Emak ajarkan dulu. Selalu memanggil Allah setiap kali ada kesulitan. Terlalu hina aku memanggil Allah. Terlalu hina. Aku malu.
Aku langkahkan kakiku menuju rumah Pak Zul, bermaksud mengabarinya bahwa aku bersedia menjadi simpanan kelimanya.
Keputusan salah. Tapi bagaimana lagi, Bu Susilo sudah mengusirku.


*Cerpen ini menjadi 12 Cerpen Terbaik Tingkat Nasional Komunitas Magma tahun 2006 dan pada tahun 2011 diangkat menjadi film indie berjudul sama oleh Himpunan Seniman Bandung

Walau Sejuta Satria



Kinar menguap lalu dengan sadar menggeliatkan tubuhnya yang terbungkus selimut. Matanya mengerjap sejenak seiring dengan aroma lavender yang terhangatkan selusup sinar mentari.
Kinar lalu duduk dan menggaruk rambutnya yang mengembang tak teratur. Melirik sekilas pada karpet tebal di bawah ranjangnya, ada  laptop dan secangkir kopi yang semalam ia buat. Kinar lalu merakit ingatannya.
Ah, ya. Tadi malam ia begadang menyelesaikan order foto. Pukul sebelas malam ada sms lalu Kinar membacanya malas di atas kasur dan akhirnya tertidur.
Kinar menguap lagi lalu bernafas lega. Foto itu tinggal dicetak. Semalam ia telah selesai mengedit foto-foto indah tersebut.
“ Semoga kamu bahagia, Sat..” ucapnya miris dalam hati.
Agak lama Kinar pun bangkit dari tempat tidurnya lalu bergegas mandi. Kini telah pukul sepuluh pagi, itu yang membuatnya tersadar.
Pukul dua belas Kinar telah siap. Ransel berisi kamera dan bermacam lensa telah ia kaitkan di punggungnya. Sambil menyetir Feroza hijau tua, pikiran Kinar ternyata terus mengembara. Tak bisa mengelak ia terlalu sakit.
Satria. Satria. Satria. Satria.
Satu nama itu yang terpatri mengiang-ngiang. Satu nama itu yang membuat Kinar mati-matian menahan air matanya jatuh.
“Kenapa aku harus nunggu kamu, Sat ?”
“Kenapa aku harus percaya sama kamu, Sat?”
Akhirnya suara hati Kinar yang memberontak berhasil menjatuhkan satu tetes air mata yang akhirnya diikuti tetes-tetes berikutnya.
“Nar, ini Ayu. Dia juga fotografer kayak kita. Jepretannya bagus-bagus. Nggak kalah sama jepretan kamu.”
Andai Kinar tahu ucap santai Satria itu akan mengantarkannya bernasib seperti ini, sumpah, Kinar tidak ingin ada mendengarnya.
“Oh. Hai, Yu!”
Dan Kinar benar-benar ingin menarik senyum manisnya untuk Ayu saat ia menjabat tangan Ayu yang mungil.
“Sat, aku…”
“Eh, Satria, kamu tahu nggak kalau buat motret…”
“Harusnya gua marah waktu itu, Yu! Kenapa gua nggak nyadar kalau waktu itu lu motong omongan gua gara-gara lu nggak pengen Satria deket sama gua?”
“Sat…”
“Kenapa lagi, Nar ? Ayu kan lagi ngomong…”
“Emh, maaf..”
“Ya, terusin lagi, Yu! gimana tadi kita sampai mana?”
“Ah, kenapa juga waktu itu gua nggak nyadar kalau tatapan mata lu adalah tatapan mata kemenangan, Yu?”
“Sat…”
“Ada apa lagi…?”
“Aku pergi dulu, ya…”
“Oh, ya ya ya . Terus, akhirnya gimana tuh, Yu?”
“Dan kamu nggak nahan aku pergi, Sat? Kenapa kamu malah semangat melepas aku? Dan senyum kamu…kenapa buat Ayu?”
Kinar memencet klaksonnya panjang-panjang. Agak kesal ia dengan zig-zag angkot yang seenaknya.
“Sat… mau makan siang bareng nggak ?”
“Satria, Satria, Satria! Kapan mau motret lagi? Janjian, ya! Eh, aku bawa editan yang kemarin…”
“Wah, mana? Pasti bagus banget tuh!”
“Sat…”
“Eh? Ada kamu, Nar!”
“Dan aku hanya bisa memandangi kalian berdua membicarakan apa yang dulu tidak pernah mau kamu bicarakan dengan aku. Kamu paling anti dengan foto editan, kan? Lalu kenapa…?”
“Kemarin Ayu pinjam jurnalku. Kamu ingat ada bagian yang aku lagi down nggak, Nar?”
“Terus?”
“Ya, Ayu sms katanya, Jangan ngejudge diri sendiri…”
“Ehm ehm… Ayu suka kamu tuh, hehehe…”
“Ah? Nggak mungkin. Dia pernah cerita lagi suka banget sama temanku kok.”
“Itu yang selalu membuatku percaya bahwa tidak akan ada sesuatu di antara kalian. Rasa cemburuku pada awal kamu mempertemukan kami perlahan telah terpupus dengan logikaku yang menganggap kedekatan kalian adalah kedekatan satu profesi.”
“Nar…”
“….”
“Aku serius sama perkataanku waktu itu.”
“Perkataan?”
“Aku bakal balik sama kamu.”
“Balik?”
“Iya, janji aku dulu waktu kita putus. Nanti aku bakal balik sama kamu.”
“Dan aku benar-benar bersyukur pada waktu itu aku hanya menganggap angin lalu janjimu. Percayaku hanya empat puluh persen. Entah kenapa ada satu firasat untuk berhati-hati dengan apa yang kamu ucapkan, Sat.”.
Kinar memindahkan persnelingnya, satu sinergi dengan pemindahan memorinya. Kinar kini mengenang saat itu. Saat ia dan Satria masih berstatus ‘pacar’.
Satria adalah mimpi sempurnanya. Semua yang selalu Kinar harapkan dari kekasihnya ada pada diri Satria. Bertambah pula saat kedua orangtuanya yang sangat selektif setuju akan hubungan Kinar dan Satria.
Kinar selalu berharap Satrialah pangeran terakhirnya. Hingga saat itu datang.
Satria memutuskan hubungan mereka tanpa Kinar pernah mengerti apa sebabnya. Dan beberapa hari setelah itu Satria menyatakan suatu hari nanti hubungan itu akan ada lagi. Suatu hari dimana Satria telah siap.
Dan Kinar yang terlalu mencinta laki-laki atletis itu mengiyakan dan mencoba menanti hari itu. Kinar menutup semua sisi hatinya yang bisa terselusupi sosok lain. Demi siapa dan untuk siapa?
Demi Satria.
Untuk Satria.
Kinar menghela nafas panjang. Memindahkan lagi persnelingnya. Memorinya pindah lagi. Tertekan lagi dengan satu sosok Ayu yang telak mengacaukan harapan dan mimpinya.
“Nar…”
“Ya?”
“Aku mau bilang, aku dan Ayu nggak ada hubungan apa-apa.”
“???”
“Jadi kamu jangan cemburu sama dia, ya?”
“Maksud kamu?”
“Baca…”
“Dan aku terkesiap, Sat. Sms itu. Sms itu dari Ayu. Dan apa yang ia tulis di sana membuat kamu menegur aku, Sat? Kamu percaya aku seperti itu, Sat?”
“Aku nggak ngerti.”
Kinar terlalu enggan melupakan tatap mata yang menyiratkan sedikit kekesalan itu. Satria memandangnya seperti itu.
“Sat…”
“Sat, aku bukan mengadu, tapi…. Bukan aku yang berlaku kayak gitu, Sat…”
“Lalu?”
“Maaf. Tapi Ayu yang sebenarnya seperti itu.”
“….”
“Aku nggak tahu sejak kapan tapi setiap aku ketemu Ayu dan aku nyapa dia, Ayu selalu buang muka dan sinis. Jangankan aku nyapa, aku senyum pun dia buang muka. Dan… waktu kita jalan bareng dan kita ketemu Ayu, kamu ingat kan kalau aku nyapa dia? Dan dia? Dia pura-pura nggak lihat kita dan mukanya muka kesal, kan? Kamu nggak lupa, kan?”
“Kalian salah komunikasi kalau begitu. Ayu bilang, Ayu takut sama kamu.”
“Memangnya aku bakal ngapain dia, Sat? Kamu tahu aku, kan? Aku nggak mungkin marah sama orang gara-gara laki-laki! Toh kita pun nggak ada hubungan apa-apa.”
Kinar sakit lagi mengingat penegasannya itu.
” Ya, memang nggak ada apa-apa. Putus, kan? Waktu itu kita udah putus, kan?”
Kinar lupa bagaimana persisnya isi sms itu. Yang Kinar ingat Ayu mengadu bahwa selama ini Kinar selalu memandangnya dengan tatapan cemburu dan sangat membenci Ayu. Padahal Ayu tidak akan mengambil Satria darinya. Ayu tahu bahwa Satria dan Kinar akan saling memiliki suatu saat nanti. Ayu juga bilang tolong Satria jangan memberi tahu Kinar tentang sms itu.
Kinar mengganti air mata sedihnya menjadi air mata kesal. Kesal dan sakit, tepatnya.
“Aku salah. Kenapa aku harus menampakkan benciku pada Ayu di hadapanmu, Sat! Sejak saat itu, Ayu lah yang berhasil mengambil hatimu. Akku terpojokkan olehnya. Dia yang begitu halus mengungkapkan bencinya padaku dan aku yang terang-terangan mengungkap benciku padanya.”
“Kamu lalu menjauh dariku sejak saat itu, Sat.”
“Dan aku sakit mengira-ngira apa sebabmu mengacuhkanku di setiap sudut matamu yang memantulkan bayanganku.”
“Sat, ini amplop buat kamu. Aku udah janji, kan?”
“Eh, emm, emmm… Gimana, ya, Nar…? Ayu juga ngasih amplop buat aku…Tuh dia lagi beli…”
“Ayu?”
“Iiiiya…”
“Sat! Dulu kamu yang nitip amplop ke aku. Aku janji iya dan karena itu tadi malam jam sembilan aku naik motor ke swalayan yang hampir tutup buat beli amplop ini. Buat kamu, Sat. Buat kamu. Siapa yang lebih berjuang buat amplop ini? Dia cuma tinggal jalan sekarang ke kios itu atau aku yang tadi malam naik motor sampai lupa nggak pakai jaket?”
“Aku kira kamu nggak akan beli buat aku. Lagipula, buat apa sampai kayak gitu? Aku nggak apa-apa kok kalau kamu nggak jadi beli buat aku.”
“Dan kamu tersenyum tanpa berdosa lalu pergi. Dan aku tidak pernah tahu akhirnya kamu memakai amplop siapa untuk mengirimkan fotomu ke panitia lomba itu. Dan kamu tidak bertanya apakah aku ikut lomba itu atau tidak padahal dulu ada janji kita akan mengirimnya bersama. Dan ternyata kamu malah berlari mencari Ayu dan bertanya apakah ia ikut atau tidak. Dan aku tidak pernah tahu apakah kalian pergi bersama atau tidak. Walau firasatku mengatakan kalian pergi bersama.”
“Nar…”
“Ayu… Ayu ditolak Satria…”
“Maksudnya?”
“Ayu nembak Satria. Tadi Satria cerita sama gua.”
“Kok Satria nggak cerita, ya?”
“Nggak tahu tuh. Tapi yang jelas Ayu nembak Satria seminggu yang lalu.”
“Tenanglah, Nar. Ditolak kok…”
Kinar lagi-lagi menghela nafas panjang. Kinar masih hapal rasa itu. Rasa terkhianati. Terutama setelah Nanda menegaskan bahwa waktunya adalah seminggu yang lalu. Ya, seminggu yang lalu adalah saat dimana Satria menegurnya karena ada sms dari Ayu.
Timbul selaksa pikiran buruk.
“Jadi itu yang ngebuat lu ngejatuhin gua di depan Satria, Yu?”
“Jadi gara-gara sakit ditolak?”
“Jahat lu! Dasar licik! Bisanya main fitnah. Kalau lu suka sama cowok, jangan nusuk saingan lu dari belakang.”
Kinar mengerem mobilnya saat pelataran parkir yang sebenarnya tidak pantas disebut lapangan parkir di antara Dunkin Donuts dan Gramedia telah ia kuasai.
Kinar lalu melepas sabuk pengamannya dan meraih ransel hitam pemberian adiknya. Setelah yakin mobil telah aman, ia langkahkan kaki menuju Balai Kota yang terletak cukup dekat dari jalan Merdeka ini. Tempat favorit Kinar sejak SMP bila sedang ingin sendiri dan berpikir.
Kinar mengenakan topinya, sekedar bertahan dari sengat yang cukup menyengat. Otaknya kembali mengenang Satria.
“Kenapa lagi sih kalian berdua? Kalau kalian gini terus, lebih baik aku pergi. Nggak usah cari aku karena aku nggak bakal mau punya urusan lagi sama kamu. Nggak sama kamu aja, sama Ayu juga.”
Kinar merasakan mulutnya menganga dan alisnya terangkat bingung saat Satria menanggapi laporannya mengenai Ayu.
Bukan laporan sebenarnya, lebih tepat adalah keluhan.
“Maaf, Nar. Tapi tolong.. . Aku mau minta sesuatu dari kamu. Tolong jangan dekati aku untuk seminggu ini. Aku nggak bisa mikir kalau ada kamu.”
“Kenapa harus aku yang pergi?”
“Nggak kamu aja, Nar! Ayu juga. Lihat sendirilah, aku nggak pernah lagi ngobrol sama dia!”
“Dan aku menuruti kamu. Dan aku percaya kamu. Aku percaya bahwa kamu juga memperlakukan Ayu dengan hal yang sama.”
“Tapi ternyata aku salah.”
“Di depan mataku, Ayu duduk di samping kamu. Di depan mataku, ada senyuman di antara kalian.”
“Dan aku…”
“Aku selalu di belakang kamu, Sat. Menunggu tolehan wajah kamu hingga lebih dari satu minggu itu. Menunggu sapaan kamu hingga lebih dari satu minggu itu. Menunggu senyuman kamu, tatapan mata kamu. Menunggu semua itu kamu limpahkan untukku seperti sebelumnya. Saat sebelum ada seorang Ayu yang terparas lemah dan perlu dilindungi.”
“Aku selalu sakit. Kamu yang menjauh dan senyum di antara kalian berdua yang makin mendekat.”
“Dan kamu pun atau kalian, mungkin, entah tolol atau jahat… Dengan memintaku untuk menjadi fotografer kalian. Di hari yang paling sakral untuk kalian.”
“Kamu milih dia, Sat?”
“Dia sakit parah, Nar. Dia…”
“Ya, dia memang lebih lemah daripada aku. Aku kuat. Iitu kan yang membuat kamu suka sama aku pertama kali? Ya, ternyata kamu masih ingat. Hingga sekarang pun kamu milih aku untuk jadi fotografer kamu pasti karena alasan itu…”
“Maaf, Nar…”
“Udah banyak kamu minta maaf dan sekarang maafku untukmu udah terlalu habis, Sat…”
“Jadi?”
“Sekarang aku fotografer dan kamu minta jasa. Aku profesional. Aku tahu batas pekerjaan dan cinta.”
Kinar akhirnya menemukan perkataan itu. Aku tahu batas pekerjaan dan cinta.
Kinar menghela nafas panjang.
“Aku juga harus profesional tentang cinta. Toh dulu Ayu ada saat aku dan Satria sudah tidak ada apa-apa. Sudah. Masih ada yang akan menemaniku. Orang yang jauh lebih kuat dan tegas dari Satria.”
“Dan kini hidup tidak boleh berhenti karena Satria.”
Kinar menghela nafas yang jauh lebih panjang. Membuang semua sakitnya. Walau sejuta Satria terbayang di lensa kamera dan lensa otak nuraninya.

Surabaya, 27 September 2006