Jebakan Betmen


Beberapa hari lalu saya main ke factory outlet. Niat awal sih emang cuma beli barang buat saya doang, tapi berhubung di otak juga beberapa minggu kemarinnya kepikiran survey barang buat temen saya, terus pas di FO itu saya liat ada barang yang bersangkutan, yaudah akhirnya saya beli barang itu sekalian. Nah, gara-gara kejadian beli barang buat teman saya itu, saya jadi menebak-nebak politik diskon toko, deh. Hmmm, ini baru dugaan saya doang, sih. Bukan buat provokasi kok. Hehe. 

Jadi waktu itu kejadiannya saya udah yakin sama baju *yesss, baju dong, apa lagi coba yang bisa dibeli di FO? hehe* yang mau saya beli buat diri saya. Pas jalan ke kasir, eh saya nemu ada barang, sekelompok dengan baju sih, tapi bukan baju *appppaaaa siihhhh*, yah semacam aksesoris pelengkap peampilan anda gitulah, yang dari minggu-minggu sebelumnya udah saya survey tapi harga dan modelnya nggak pernah ada yang cocok. Barang itu bukan buat saya, tapi buat teman saya. Nggak buru-buru juga sih butuh barang itunya, tapi saya pikir-pikir, kapan lagi coba saya ke FO ini lagi demi satu barang kecil yang udah pas banget, baik dari segi model maupun harga. Sebagaimana kustomer yang selalu lemah di hadapan toko, yaudah saya putuskan untuk membeli barang itu hari itu juga. Sekalian. Nah, pas saya milih-milih barang buat teman saya itu, setelah melalui prosedur reduksi data yang sangat rumit, saya pun menjatuhkan pilihan pada dua obyek serupa tapi tak sama. Serupa bagusnya tapi tak sama merknya yang akhirnya membuat harga barang itu berbeda.

Oke, kita sebut benda pertama sebagai A. Karakteristiknya berwarna hitam, harganya didiskon 50% dari harga normal. Sebenernya sih harganya Rp5juta tapi takutnya disangka sombong dan kaya raya, yaudah kita samarkan dengan harga tidak sebenarnya, ya katakan 150 ribulah, jadi dengan diskon, harganya jadi 75 ribu rupiah. Nah, benda kedua kita sebut sebagai F. Kenapa bukan B? Karena terlalu mainstream. Warnanya biru, harganya sebenarnya 4,5 juta tapi takut disangka bohong, jadi kita sebut saja 72.500 rupiah yes. Nah, dapat kan perbedaannya? Yang A Rp75.000, yang F Rp72.500. Nah, ini bukan masalah Rp2.500-nya sih. Eh, masalah ketang. Lumayan buat parkir seribu, aqua lima ratus, pengamen 2 orang @Rp500. Yak, jadi Rp2.500-nya kita jadikan pertimbangan, ya. Kenapa harus jadi pertimbangan soalnya kualitas barangnya sama dan sama-sama netral juga sih warnanya. Saya muter otak lagi. Tujuan utamanya tetep sih mending beli yang Rp72.500. Alasan berikutnya adalah saya lebih suka warna biru. Loh, tapi kan barang itu buat teman saya, bukan buat saya. Hmmm, saya mikir lagi. Oh, kayaknya teman saya juga suka warna biru, sih. Lagian, kalo misalnya dia sukanya warna hitam, ya itung-itung saya kasih pilihan baru dalam hidup lah dengan warna biru itu *MAKSA*. Terus saya mikir lagi. Mikir nyari cacatnya si A. Eh ternyata si A ini dipajang juga di manekin. Alhamdulillah ternyata si A ini pas dipasang di manekin cacatnya keliatan. Ada pola yang ngga simetris gitulah pokoknya. Yasudah, saya belilah si F. Lagian, rada kumaha juga gitu masa titipan teman dikasihnya yang diskonan 50% gitu. Nggak sopan. *ALASAN MACAM APAAAA INIIII* hahahaha.

Nah, udah aja pokoknya jadilah itu saya ke kasir. Jarak waktu antara saya nemu si barang A dan F sampai saya ke kasir itu ya kayaknya ada deh sekitar satu jam hahahaha. Pas di kasir, saya mau bayar pake American Express, tapi si mbaknya ngga punya alatnya. Mau saya bayar pake MasterCard, eh kartunya basah gara-gara hujan deras tadi. Mau bayar pake Visa, yah ada di dompet yang lain. Yaudah saya bayar pake uang seratus ribuan. Lah, baru inget, harga baju saya aja udah Rp9juta. Berat kan bawa uang seratus ribunya. 90 biji gitu. Yaudah, terpaksa harga baju saya itu didiskon sama mbaknya jadi nggak 9 juta banget. Alhamdulillah digabung sama barang buat teman saya itu, saya bisa bayar pake sekarung beras Cianjur. Problem solved.

Pas pulang ke rumah, saya lepasin label harga dari dua barang itu. Eh, saya baru sadar di label harga barang buat teman saya itu ada coretan spidol gitu. Jadi ada semacam dua harga gitu. Harga yang tadi terlihat yang saya bayar dengan beras Cianjur sama harga yang dicoret spidol. Dasar emang kustomer cerdas *walaupun telat*, saya penasaran sama harga barang yang dicoret. Saya terawang dari sisi yang berbeda. Damn, ya nggak akan keliatanlah. Satu, tebel. Dua, bukan tipex. Yaudah saya iseng ngorek-ngorek pake kuku. Eh, kekorek dong ternyata. Dan ternyata itu menyebalkanlah. Apa cik? Ternyata harga yang dicoret itu empat belas juta lebih murah dari yang saya bayar tadi. Kalau pake harga yang disamarkan, ya harganya ngga 72.500 banget. Sekitar beberapa ribu lebih murah. Ah, fak.

Yasudahlah mau gimana lagi coba. Paling nanti pas saya laporan sama teman saya, dia ngakak. Nggak, nggak, saya nggak mau laporan. Malu. *TAPI MALAH DITULIS DI BLOG*

Tapi ya gitu, saya jadi mikir. Ini kali ya politik toko. Jadi ada dua barang yang serupa tapi tak sama diletakkan secara berdekatan. Yang satu didiskon besar, yang satu lagi dikasih harga yang lebih murah dibanding harga yang sudah didiskon *padahal aslinya memang sudah lebih murah*. Tujuannya ya untuk menggiring preferensi kustomer untuk milih yang nggak didiskon. Kalau semua kustomer milih yang diskon, bisa jadi si toko nanti rugi. Terus kenapa juga si toko mau mendiskon gede, ya karena nanti dia dapat kompensasi dari harga barang satu lagi yang dimahalkan tapi seolah-olah tetap lebih murah. Ah, begitulah. Sebentar lagi juga lebaran, nih *puasa aja belom padahal*, pasti politik toko bakal tetap ada. Hati-hatilah dalam mempertimbangkan sesuatu *NGOMONG SAMA DIRI SENDIRI.*
  

Moral yang Bermateri

Salah satu tanda ketika orang-orang sadar bahwa mereka bersalah karena menghilangkan moral demi mengejar prestise dan pengakuan adalah ketika mereka berlomba-lomba menciptakan bentuk material dari moral itu sendiri. (Septari Bahagiarini, 2012)

Septari Bahagiarini itu ibu saya. Saya yakin ibu saya ini masih ada keturunan dari filsuf zaman-zaman dulu atau minimal reinkarnasi dari Aristoteles atau Ibnu-Ibnu di tanah Saudi sana. Kalau ibu saya dulu kuliahnya nggak ngambil Farmasi tapi Ilmu Budaya atau Sosiologi atau Psikologi terus saya waktu kecil nggak rewel-rewel banget jadi bisa ditinggal, saya yakin ibu saya sudah nongol di tivi atau koran-koran jadi narasumber masalah sosial di era globalisasi xixixixixixixixi. 

Quote yang secara persis saya kutip dari ibu saya itu lahir dari keprihatinan ibu saya (dan kami sekeluarga sih sebenarnya) atas nilai-nilai ujian yang luar biasa tinggi. Nggak cuma prihatin, sih, tapi juga nggak habis pikir karena (1) adik saya yang dari kelas 1 SD selalu ranking 1 ternyata pada saat UN mendapat nilai 25.2 yang seharusnya sudah bagus tapi karena zaman ini sudah menelurkan ribuan anak dengan nilai lebih dari 27 maka nilai 25.2 pun menjadi nilai yang 'hanya' mendapat tempat di sekolah cluster 3, (2) teman-teman adik saya di SD-nya banyak yang mendapat nilai lebih dari nilai adik saya padahal mereka menghitung operasi perkalian saja masih sulit dan dulu waktu masih kelas 6 sering dimarahi oleh guru, (3) nggak cuma di SD adik saya saja, tetapi juga di sekolah-sekolah menengah yang murid-muridnya jadi murid saya di Ganesha. Ada murid yang saya tahu pintar tapi 'hanya' mendapat nilai 36-37 yang membuat mereka harus sekolah di cluster 2 dan 3, sementara itu ada murid saya yang dulu membuat saya stres karena penyerapan materi dan aplikasi ke dalam soal sangat minim ternyata mendapat nilai 38 ke atas. Ini bukan cuma tentang keberuntungan yang diberikan secara terpilih oleh Allah kepada hamba-Nya yang tawaddu, tetapi juga tentang bagaimana mereka yang ragu dengan kemampuan diri sendiri didukung oleh lingkungannya untuk memilih jalan yang daripada mendapat malu, lebih baik menggadaikan moral. We know lah ya apa maksud saya dengan cara 'menggadaikan moral' ketika UN. 

Di tengah kondisi masyarakat yang bukannya malu telah menghilangkan moral mereka demi capaian prestasi semu jangka pendek, malah merayakan dengan tertawa-tawa, muncul sekolah yang menetapkan syarat penerimaan siswa baru tidak hanya dengan nilai UN, tetapi juga dengan sertifikan BTQ. Tahu BTQ? Hati-hati kalau kalian nggak tahu, nanti kalian dicap nonis atau non-Islam sama guru di sekolah itu hahahaha. Ngeselin emang capnya. BTQ itu Baca Tulis Quran, tapi nggak cuma baca dan tulisnya saja, tetapi juga mencakup pengetahuan fiqh, tauhid, dan sebagainya. Sertifikat ini hanya bisa diberikan oleh institusi, saya lupa instutusi apa, yang jelas semacam TPA resmi yang ditunjuk oleh negara. Ujiannya meliputi tes baca dan tulis Quran serta pertanyaan seputar keislaman.

Saya awalnya juga nggak ngerti apa maksud BTQ, apalagi sertifikat BTQ. Dari kecil keluarga saya memang nggak pernah memasukkan anak-anaknya ngaji di masjid. Saya dan adik-adik saya sejak TK sampai hampir SMP dipanggilkan guru mengaji di rumah setiap Sabtu dan Minggu dari jam Duhur/Asar sampai Isya. Baca Quran, hapalan surat, nulis huruf Arab, tanya jawab. Mas Tono bangetlah pokoknya mahzab kita hahahaha. Solat tarawih juga selalu di musola rumah. Kalau bukan Aba yang mengimami, ya Aba memanggil imam dan beberapa murid si imam dari pesantren di kampung bawah. Kenapa harus di rumah, ya karena bagi orang tua saya kalau ke masjid lebih banyak godaan. Jajan, misalnya. Ngobrol. Saingan. Ribut. Main. 

Kalau mau diadu dengan anak-anak jebolah pengajian masjid, ya silakan. Hampir sepuluh tahun belajar ngaji seminggu dua kali dalam waktu enam jam, ya masa kalah. Ya kami memang tidak belajar secara rigid dalam arti, "Sekarang kita belajar fiqh ya,"; "Sekarang kita masuk ke tauhid, ya." Tapi saya yakin pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan dulu ya bisa dipiliha ke dalam sub-sub itu. Hmmmm. 

Eh, tapi ternyata nggak bisa begitu nih sekarang. Di tengah kondisi masyarakat yang minim moral, menurut ibu saya, mereka tahu mereka telah menghilangkan moral mereka demi capaian semu. Tapi bagaimanapun juga mereka adalah manusia yang masih menganut agama dan mereka tahu bahwa seharusnya mereka memegang agama tersebut sampai ke liang lahat. Mereka juga sebenarnya masih takut neraka. Menutupi rasa bersalah dan keterancaman mereka akan Allah tersebut, ya mereka mencari suatu bentuk kasat mata atau bentuk material dari moral. Mereka kini berpegang pada penjamin untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa, "Murid yang masuk sini murid yang bermoral, lho. Yang tahu agama. Nih ada sertifikatnya!" Padahal murid tersebut saat UN lalu sudah menggadaikan moral dan melupakan Allah sejenak. Dari sisi murid, melalui sertifikat tersebut, mereka berkilah, "Aku kan beragama, aku bisa baca dan tulis quran. Kata siapa aku nggak bertuhan? Aku beragama! Aku benar! Aku nggak berdosa!"

Bagi saya dan ibu saya, moral dan agama itu seharusnya saling berkaitan. Agama adalah guide bagi moral, kemudian moral menjadi guide bagi pengambilan keputusan kita. Seharusnya proses itu terjadi secara otomatis di dalam hati dan otak kita. Seharusnya dengan agama dan moral sebagai pemandu hidup kita, kita jadi orang yang baik dan menjaga harmoni kehidupan. Tapi ternyata tidak. Demi hal-hal duniawi yang semu, yang pendek, dan yang nantinya malah menyiksa kita, baik dunia dan akhirat, kita menghilangkan keduanya. Kita pun berpaling pada bentuk material yang menerangkan bahwa kita bermoral. Konon persyaratan setifikat BTQ itu sudah di-Perda-kan, yang artinya negara sudah mendukung. Tapi lucu, sih. Ini sekolah umum, lho, bukan madrasah atau pesantren. Mengapa harus ada perwujudan material akan sesuatu yang seharusnya diwujudkan melalui perilaku yang baik? Mengapa sertifikat BTQ lebih dipentingkan daripada sikap yang bermoral dan ingat Allah saat ujian? Mengapa kita harus berpegang pada selembar kertas buatan manusia ketimbang azab dan pahala yang dijanjikan Allah? Apakah Allah mewujud di dalam selembar kertas?

Ark. Jul'12.