The Mimin Story 2


Mimin yakin perasaan Mimin waktu sedang berdekatan dengan Christian Sugiono bukan perasaan Park Min Young terhadap Lee Min Ho. Mimin merasa absurd saja kalau suka dengan Christian yang ganteng, bicaranya cepat, bersuara pelan, dan sering menyanyi selama jalan kaki. Selama perjalanan juga kebanyakan Mimin hanya menganggapi pembicaraan dari Christian Sugiono. Selebihnya ya Christian menggumam (yang menurut Christian itu adalah bernyanyi) dan menggambarkan beberapa scene kehidupan yang ideal itu seperti apa. Pembicaraan mereka juga diselingi kata-kata "Anjiiiir,"; "Anjiiiiss,"; dan sedikit kekikukan dari Mimin yang bingung harus menyebut "Aku"; "Gue", atau "Urang" pada dirinya sendiri. Mimin pun menggantungkan dirinya pada Christian Sugiono. Kalau Christian menyebut dirinya "Urang.", maka Mimin pun akan menyebut dirinya, "Urang,"; kalau Christian menyebut "Gua", Mimin juga begitu, dan seterusnya. Tapi di antara mereka berdua tidak pernah ada percikan kemesraan, sih. Ya, ngobrol aja biasa kayak tukang becak dengan tukang ojek. Ya, Mimin seneng sih ngobrol sama Christian. Nggak tahu, deh Christiannya. Tapi yang jelas mereka memang sering berbicara lama, sih.

Pertemanan Mimin dan Christian Sugiono selalu demikian hingga akhirnya ada suatu peristiwa yang memisahkan Mimin, Atep, Udin, Olih, Dadang, Joko, dan Christian Sugiono : KENAIKAN KELAS.

Kalau pakai istilahnya si Pravita di blognya, sih, "Sejak saat itu hidup Mimin dan Christian Sugiono tak pernah sama lagi."

Sementara Mimin masih sering smsan dengan Atep, Udin, Olih, Dadang, dan Joko untuk bilang, "Kangeeeeen sama kitaaaa kayak duluuuuu!!!" yang dibalas dengan positif oleh mereka, "Iya nih di sini nggak rame. Balikan lagi yuk kita bareng2 kayak duluuuu,", hubungan Mimin dan Christian menjauh. Mimin juga nggak berani, sih mengirim sms, "Kangeeeeeennnnn," ke Christian. Aneh juga, sih. Padahal kan Mimin juga deket sama Christian. Deket banget malah. Sering jalan dan ngobrol itu bisa dibilang deket, kan sebagai teman? Nah, itu, Mimin bingung. Kalau Mimin ngirim sms ke geng belakang itu, satu orang yang nggak disms Mimin adalah Christian Sugiono. Tapiiiiii, Mimin juga nggak salah-salah banget, sih. Masalahnya, pernah Mimin berpapasan dengan Christian Sugiono, tapi waktu Mimin melambaikan tangan sambil senyum girang ke Christian, Christiannya malah membuang mata ke samping terus tetap berjalan. Kan Mimin bingung. Waktu Mimin bertanya lewat sms pada Ohin, si teman dekat Christian, 
"Si Christian napa dah? Sombongnya masaaaa. Tadi tuh aku ketemu diaaa terus aku sapa, eh dianya begitu coba. Sok nggak liaattt!"
"Emang ga liat kali. Tapi emang, sih, Christian jadi rada beda yah?"
"Lu ngerasa kaaann?"
"Iya, sih tapi sama saya mah masih main da. Tapi di kelas mah emang pendiam dia mah."
"Terus ke aku kenapaaa ih?"
"Tah nggak tahu tah."

Hari demi hari berlalu, Mimin semakin jarang bertemu Christian dan anggota geng lainnya. Paling Joko. Itu juga sambil teriak-teriak.
"Woooiiii, Miminnnnnn!!"
"Wooiii, Joko!!!"
Lalu tepok telapak tangan, lalu saling menonjok bahu,
"Mau kemana lu?"
"Makan."
"Sendiri?"
"Ngga ding, mau solat dulu. Nanti makan bareng sama anak-anak kalau udah beres solat."
"Oh, yaudah atuh."

Mimin kemudian punya pacar, putus, punya pacar lagi, putus, berharap pada mantan, patah hati, dan bertemu teman-teman sableng yang baru, yang masih absurd, yang juga selalu berada dalam kondisi friendzone. Ya gimana mau nggak friendzone kalau pembicaraannya ga jauh dari,
"Ah, kecengan gua udah jadianlahhhh. Beteee."
"Ya orang elunya aja ngga berani ngedeketin."
"Takutlahhhhhhh."
"Ya aja nasib nasib."
"Ah, iya juga, sih. Eh, lu punya temen cewek nggak? Kenalinlah."
"Malesss. Lu playboy gitu."

Atau,
"Min, ke sinih dong." (Sambil dadah-dadah di depan jendela yang di samping kursi Mimin)
"Apaan?"
"Serius, ih kamu ke sini."
"Dari sini juga keliatan ah. Apaan?" (Sambil naik bangku)
"Gue udah ganteng belum?"
"PENTING BANGET PERTANYAAN LU EMANG." (turun dari bangku)

Di dalam kondisi itu, Mimin sudah lupa dengan Christian Sugiono. Eh, lupakah? Mungkin lebih tepatnya, tidak peduli. Mimin beberapa kali bertemu Christian Sugiono. Mimin tahu sekali kalau dari radius sembilan kilometer,mata mereka bertemu. Tetapi, saat sudah mendekati empat puluh sentimeter, Christian meluruskan pandangan, dan Mimin sudah hapal itu. Akhirnya, Mimin mengambil sikap, Mimin duluan yang harus buang muka. Perasaan Mimin ya gimana ya. Ya bingung aja. Nggak terima juga, sih. Dan kangen juga, sih. Dan pengen ngobrol lagi, sih. Tapi yang paling penting, sih, ya Mimin bingung aja gituh sama perubahan pertemanan mereka. Mimin nggak tahu Mimin salah apa sama Christian. Mimin juga nggak mau nanya, sih. Emangnya mereka lagi pacaran apah pakek tanya-tanya yang kayak gitu? Gimana kalau Christian jawabnya, "Akuuuu nggggaaaa punya pulsaaaaaa..."? Kan zonk.

Tapi yang paling zonk dari yang zonk adalah pernah Mimin dan Christian terjebak dalam keadaan hanya ada mereka berdua dan tidak ada kesempatan bagi Christian untuk menghindari Mimin, Christian hanya mengangguk kecil sambil bilang "Eh" lalu dia kabur. Padahal momennya adalah Mimin sedang menarik bangkunya yang terletak di pojok belakang, tiba-tiba dari kolong bangku muncul pria yang awalnya sedang jongkok. Kaget bangkunya ditarik, pria itu berdiri dan ternyata dia adalah Christian Sugiono. Ow ow. Mata mereka saling bertemu dalam jarak yang sangat dekat. Ya, Christian yang sedang main petak umpet dan tidak tahu sedang bersembunyi di kelas dan bangku Mimin lalu hanya bilang "Oh" yang tadi. Whatttt.

Ahhhhhh, Mimin pun bingung dan pengen kesel tapi nggak tahu sama siapa.

Beberapa tahun berlalu, Mimin kini telah menjadi seorang gadis yang tidak percaya pada praktek klenik. Mimin juga sudah menghapus ingatannya akan Christian Sugiono. Mimin berpikir bahwa yasudahlah, tidak semua teman akan bertahan lama. Mimin pun mulai meniti karir sebagai seorang artis.

Di sela-sela kesibukan Mimin mengurus fan page-nya di fesbuk sambil syuting iklan minuman pelangsing tubuh *ingat, Mimin ini badannya langsing banget dan kakinya jenjang*, Mimin melihat Christian Sugiono mengakses profilnya dan mengirim request sebagai teman. Perasaan Mimin membuncah bagai sudah mendapat piala Oscar kategori Pemain Wanita Terpuji. Mimin tiba-tiba lupa kalau Mimin sebal dengan Christian. Mimin malah menyapa Christian Sugiono dengan heboh tapi tetap syar'i. Setelah Mimin mengirim sapaan, Mimin baru sadar kalau kemungkinan Christian Sugiono membalas sapaan itu sangat kecil, mengingat kenangan terakhir yang tidak baik. Mimin menyesal sudah mengirim sapaan itu.

Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Christian membalas sapaan Mimin!!!!

Dan sejak saat itu kehidupan Mimin pun berubah.

Christian dan Mimin kembali kerap berinteraksi.

Ah, Mimin senang. Mimin senang pertemanannya sudah kembali lagi meski Mimin nggak pernah tahu mengapa dulu hubungan mereka sempat renggang. Ah, yang penting Mimin senang Mimin sudah bisa ngobrol lagi sama Christian.

.......

.......

.......

.......

.......

.......

Ini kenapa masih kalian baca coba ini posting ini? Udah beres, segitu doang kisah pertemanan Mimin dan Christian. Nggak ada happily ever after. Hidup itu pahit kalau kata Solpamili mah. Sana, pada bubar, gih.

The Mimin Story 1


Ini kisah tentang Mimin, 15, perempuan, bukan nama sebenarnya, yang sempat menyukai Udin, 15, laki-laki, bukan nama sebenarnya. Mimin sebenarnya sudah dekat dengan Udin, tapi dekat dalam kerangka hubungan pertemanan ikan salmon dan donal bebek alias setiap bertemu saling melempar cacian, makian, dan akhirnya berkejaran untuk saling memukul punggung atau melempar sampah. Hari berganti hari, intensitas pelemparan sampah antara Mimin dan Udin semakin gencar namun seiring dengan bergeraknya grafik parabola, intensitas itu semakin turun hingga akhirnyaaaaa....

Tidak, tidak ada yang jadian. Mereka hanya sering duduk-duduk saja di bangku paling belakang, bercengkrama dengan anggota geng lainnya, seperti Ohin, Olih, Dadang, Atep, Joko, Badu, dan Christian Sugiono. Semuanya berumur 15 tahun, pria, dan bukan nama sebenarnya dan tentu saja bukan Christian Sugiono yang sebenarnya. Tidak ada pembicaraan penting yang mereka lakukan selain saling bertanya-tanya tentang cara megerjakan soal yang diberikan guru saat mangkir, 
"Anjir, ini digimanain sih, Pusing gua!" 
"Ah, santai aja. Nanti juga dibahas." 
"Enggak, woy. Dikumpulin." 
"Santai, ada si Mimin. Min, kita nyontek yak?" 
"Macemmmm gue paham." 
Semua anggota geng hampir putus asa, untungnya Christian Sugiono menenangkan, "Bisa kok, coba diikutin lagi aja tadi caranya." Semua lalu berharap pada Christian. 
Satu jam kemudian Christian pun ditanya, "Udah nomor berapa lu?" 
Christian lalu menjawab, "Anjjiiiiirrr, Belum euyyyy. Susah ternyataa!!" 
Mereka pun langsung bubar mencari contekan.

Hari-hari hanya dilewati demikian sambil sesekali Mimin memberi contekan, Udin memberi hasil contekan, Olih mencontek, Ohin mencontek sambil memprotes tulisan yang tidak jelas, Atep membantu Mimin menjawab pertanyaan yang sekiranya tidak perlu dicontek, Joko menyalin sambil mendengar musik, Badu membolos, dan Christian Sugiono sebisa mungkin tidak mencontek jawaban langsung dari buku Mimin.
"Hin, bagilah nomer 4!"
"Ini lagi nyalin!"
"Tep, nomer 4 lah."
"Lah, elu belum? Kirain udah. Bukunya dipinjem Deden."
"Ah, lu mah. Gua belum, nih."
"Ke si Mimin aja. Min, lu udah?""
"Hah? Udah. Nih."
Christian berpikir keras.
"Itu ambil, woy!"
"Mmmm, ntar aja deh." Christian pun pergi mencari contekan yang lain.

Hidup kemudian berjalan lebih secara kebetulan. Entah kenapa Mimin yang awalnya meniatkan diri berdekatan dengan geng belakang demi Udin kini lebih asyik bercengkrama dengan teman-teman Udin. Apalagi, Udin juga akhir-akhir ini sedang sering menghindari Mimin. Konon, ada seseorang yang membocorkan rahasia negara kepada Udin bahwa Mimin menyukai Udin. Sebagai anak SMA yang abnormal, tentu saja Udin lebih memlilih menjadi gay daripada harus menerima kehadiran Mimin. Maklum, Udin sebenarnya adalah FPI yang tidak boleh berhubungan dekat dengan perempuan.

Dari sekian banyak anggota geng belakang, Mimin lebih sering mengobrol, dalam arti mengobrol beneran mengobrol, bukan bercanda, dengan Christian Sugiono. Mimin kaget juga ternyata Christian Sugiono yang tampan dan sering disangka sombong adalah orang yang beberapa bulan ini menghabiskan siang dengan Mimin untuk sekedar makan brownies buatannya sendiri, mengerjakan prakarya dan membuatkan Mimin origami burung bangau yang disambungkan dengan benang -yang sampai sekarang masih Mimin tempelkan di gabus di kamarnya, ngobrol kesana kemari, menyanyi-nyanyi, dan berjalan kaki dari sekolah ke tempat les dan mampir di Aquarius dan Disc Tarra untuk menyembunyikan kaset-kaset yang ingin mereka beli.

Senang rasanya berteman dengan Christian Sugiono karena bisa membuat mata semua cewek berpenampilan oke melirik iri kepada Mimin.

"Heh, lu sadar nggak sih kalau setiap kita lagi berdiri deketan, ngobrol, kayak gini nih, itu pasti mata cewek-cewek tuh ngeliatin gua, deh."
"Maklumlah, saya ganteng. Gapapalah sekali-kali ada yang iri sama kamu."

Hari berganti hari. Hubungan pertemanan Mimin dan Christian Sugiono makin dekat. Bahkan, saking dekatnya.....

Tidaaak, mereka tidak jadian. Ah, kalian nih harapannya klasik banget. Abege banget sih, ih , malu dong sama umur. Saking dekatnya, si Christian Sugiono ini kerap mengajak Mimin jalan. Ciyeeeehhh. 

Astaga, engga..mereka ngga nge-date. Christian ini ngajak Mimin jalan ke sekolah gebetan-gebetan si Christian. Yaahhhhhh. Ah, engga apa-apa kok. Mimin sebenarnya sudah senang kok punya teman dan diakui hidup di dunia ini. Mimin kan tipikal perempuan cupu yang biasanya diperankan oleh Atiqah Hasiholan.  Mereka juga smsan kalau malam, tapi isinya,
"Min, gimana dong, yakin nih saya sms aja si Nia Ramadhani?"
"Yaudah si. Sms aja."
"Beneran? Ngomong apa dong?"
"Ya kenalaaaan laaahhh. Lu ganteng inilah. Ga bakal ditolak ini."
"Ah, sama kamu ajalah dismsinnya. Saya gatau nih harus ngomong apa..."
"Zzzzz, ho oh."
Dan Mimin pun menyamar menjadi Christian mengirim sms untuk Nia Ramadhani.

Atau bisa juga,
"Min, saya udah dapet nomer hapenya Cici Paramida."
"Smslah"
"Iya ini lagi."
"Horeeee!"

Kadang juga Mimin terjebak dalam pembicaraan serius antara Christian Sugiono dan tokoh baru kita, Ari Wibowo, teman ganteng yang lebih gentle daripada Christian Sugiono, terbuktikan dari tangan Ari Wibowo yang selalu terulur untuk Mimin ketika mereka bertiga mendaki bukit. 
"Kata kakak saya, kalau lagi dalam medan kayak gini, laki-laki harus siap bantuin cewek."
"Tapi kenapa tadi maneh lari duluan ke atas? Bukannya harusnya ladies first?" Christian nggak mau kalah gara-gara dia dari tadi ada di belakang Mimin dan Ari Wibowo.
"Ya bisa, sih. Tapi kalau ladies first melulu, gimana urang bisa bantuin dia naik ke bukit coba?"
"Yah, kan ini nyampe juga kali kaki dia. Nggak bakal jatuh."
"Ya tapi kan tetep aja lebih baik kita bantuin dia naik, Chris."
"Hehehehhee, dengerrrriiinn woooiiiiii, bagaimana pun juga gue adalah cewek hahahhaahayyy."
"Yaudah nih sekarang bantuin saya naik."
"Lu cewek, Chris?"

Christian dan Ari Wibowo sejatinya adalah dua pria yang memiliki dunia sendiri meski tetap membiarkan Mimin ada di tengah mereka. Mimin nggak tahu mereka ngomongin apa. Mimin ngangguk-ngangguk aja sambil gantian lihat kiri dan kanan lalu makan batagor, cilok, ciki balls, ayam bakar, dan jeruk ponkam sampai akhirnya Ari Wibowo dan Christian Sugiono iba lalu memberikan Mimin file mp3 yang wajib Mimin dengarkan dan langsung dilaporkan begitu mp3 itu selesai didengarkan. Mereka lalu cekikikan. Malamnya, Mimin mendengarkan. Tapi entah kenapa, mp3 itu setelah Mimin beres mengerjakan dua nomor PR belum juga menanampakkan tanda-tanda akan bervokal. Mimin mencoba bersabar. Mimin pun ke dapur membuat mie instan. Setelah beres, LAGUNYA MASIH INTRO MELULU. Mimin lalu mengecek panjang lagu itu. TERNYATA 20 MENIT. Mimin pun mengirim sms pada Christian Sugiono. Eh, kenapa nggak ke Ari Wibowo juga sih? Nggak tahu, Mimin refleks saja.
"Woooiiii, lagu apaan tuh? Gw beres ngerjain PR, gw beres masak mi, itu lagu kaga ada-ada melulu vokalnya!!!"
"Ada. Sabar ajalah. Udah dengerin sampai menit keberapa sekarang?"
"Tau nih, udah mau lima jam kali."
"Tungguin aja ampe menit ke 18 lah."
Mimin langsung merasa pertemanan mereka nggak sehat lagi.


----Bersambung, Cuuuuuiii------

Sabtu menuju Minggu

Seharian Sabtu kemarin itu saya dapat tugas dari bapak saya. Disuruh nerjemahin dan bikin slide Prospek Industri Gula di Indonesia. Dari saya ngajar jam setengah sepukuh pagi sampai sekarang jam setengah tiga pagi, ini slide masih belum selesai. Sudah, sih, hanya setengahnya belum dianimasikan. Hrrrr. Jangar. Nah, gara-gara itu makanya seharian ini saya cuma ol sebentar dan cuma balas twitnya dhani, iqra, dan ayi, terus saya off lagi. 

Saya baru ol lagi barusan. Seperti biasa, langsung jadi silent reader twitter. Pas lagi scrolling, eh ada kata-kata innalillahi gitu. Pas lihat lebih cermat lagi, itu twitnya Riri alias Grinanda alias si Bos. Lengkapnya twit itu bilang Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, enin :(. Wah, udah nggak enak nih bawa-bawa innalilalhi. Apalagi, si Bos emang sering cerita tentang neneknya (Nenek Tince) yang sudah sering sakit-sakitan dan kembali berperilaku seperti anak-anak. Ya, namanya juga orang tua, ya, pengen disayang dan diperhatikan anak-anaknya. Samalah kayak dulu kita waktu kecil juga suka ngerepotin ibu dan bapak kita. Nangis melulu kalau ibu kita mau pergi, bahkan sampai ibu kita juga merelakan diri untuk nggak kerja demi kita. :(. Ya, jadi miris juga, sih. Dulu kita yang merengek-rengek sama orang tua sampai akhirnya orang tua berkorban, nah pas kita udah gede, pas orang tua kita berperilaku seperti kita dulu, kitanya udah sibuk :(. Hmmm, ya, tapi saya juga yakin, sih, mungkin nanti saya juga kayak gitu. Ya, tapi semoga enggak, deh. Nah, oke balik lagi. Ya, hal-hal seperti itu mungkin ya yang membuat orang yang sudah tua itu agak rewel dibanding waktu masih kuat. Nenek Tince juga kata si Bos begitu. Dasar si Bos ya, kalau cerita kan nggak ada romantis-romantisnya, hehe, tapi dari cerita Bos yang suka gemas sama neneknya itu, saya dan teman-teman lain jadi berasa deket gitu sama Nenek Tince. Nah, makanya pas tadi saya nemu twit ituuu...saya jadi ikutan sedih. Bodohnya, untuk bertanya kejelasan kabar Nenek Tince, saya malah balas twit si bos. Yah, kalau Nenek Tince beneran meninggal, mana ada si Bos buka twiter lagi, kan? Saya akhirnya langsung ngesms si Bos. Eh, si Bos beneran lagi repot kayaknya tuh. Jam 2.15 tadi saya ngesms Bos, langsung dibalas sama Bos. Kata Bos, iya, Nenek Tince meninggal tadi maghrib. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun. :(. Semoga semua amal kebaikan Nenek Tince diterima, dosanya diampuni, dan mendapat tempat terbaik di sisi Allah. Ah, beneranlah sedih pisan saya :(.

Terus kayaknya hari ini banyak hal yang mendukakan gitu walaupun nggak secara langsung menimpa saya. Pas tadi siang saya sampai di Cibiru buat ngajar, ada mobil jenazah dan ambulan beberapa kali lewat padahal jalanan lagi macet-macetnya. Terus ada juga temen saya katanya kakeknya sakit. Ah, atuhlah, sedih juga hari ini kabar yang terpantau teh. Saya juga jadi inget nenek saya. Itu tuh yang saya ceritain di posting di bawah banget. Mbah Dewi. :(. Semoga Mbah Dewi berumur panjang buat nungguin saya ke Surabaya di waktu yang tepat dan semoga itu kejadiannya nggak akan dramatis-tragis-masokis macam di drama.

Ah, yasudahlah, sudah jam 3. Saya mau bobok dulu sebentar. 

A Life

Kata orang-orang bijak yang sepertinya pernah melalui fase sangat idealis-kecewa-pesimis-berdamai-jadi motivator, hidup itu seperti roda. Tapi bagi saya, itu terlalu era JS Badudu sekali. Hidup bagai roda itu adalah ungkapan warisan Jalur Sutera yang ke sana ke mari mencari alamat palsu dengan menggunakan jasa pedati. Itu idiom-idiom pada hari Minggu aku diajak ayah ke kota naik delman istimewa. Sekarang delman sudah banyak yang direlokasi ke daerah kabupaten atau dijadikan wisata nostalgia yang daerah-daerahnya dibatasi. Di Bandung saja yang boleh dilewati delman hanya jalan yang banyak kotoran burungnya. Nah, bagaimana bisa generasi mobil SMK bisa memaknai bentuk roda yang profetik? Saya pikir kita butuh ungkapan dengan representasi yang lebih mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari supaya makna yang didapat oleh generasi 2.0 bisa lebih terpancang.

Bagi saya, hidup itu sejatinya seperti kecepatan modem. Naik turun tak menentu tergantung hal-hal gaib yang dirahasiakan si provider modem.

Dalam hidup, bisa saja seminggu lalu kita ke sekolah masih diantar sopir pribadi di atas Baleno, tapi minggu depannya kita malah naik bus kobutri atau dalam bahasa Jakarta dikenal sebagai metromini dan mempertengkarkan kembalian yang kurang lima ratus rupiah.

Dalam hidup, bisa juga saat ini kita bisa membayar komik-komik elex media komputindo kita dengan kartu debit tapi besok kita merogoh celengan untuk menutupi biaya Pemantapan ujian akhir.

Tapi bisa juga dalam hidup, kemarin kita luntang-lantung pulang kampus nggak punya pekerjaan, tapi dua hari kemudian kita menjalani hidup di bawah tekanan deadline editor kita.

Ya, pasti bisa juga dalam hidup, seminggu lalu kita menelan ludah melihat billboard Mc D, tapi minggu depan kita bisa pulang ke rumah membawa 4 bungkus martabak spesial dan delapan ikat rambutan.

Yes, dan tulisan saya ini bukan lagi bercanda. It may happen to everyone.

Dan...

Kalau kalian pikir bahwa hal itu bisa kalian akali semisal dengan memacari putri direktur LPS (gatau LPS? Coba nongkrong di pintu masuk bank) atau menabung emas yang konon harga jualnya selalu naik ketika kalian masih hidup dalam gelimang harta, tahta, dan nggak jomblo, ah satu hal yang harus kalian ingat adalah quote terkenal dari ayat terakhir surat Yasin. Kun Fayakuun. Tuhan terlalu kompleks untuk kalian beri plan A hingga Z atau dari kedua puluh enam kombinasinya.

Tapi nggak apa-apa.

Yakin di saat sulit kalian, pasti kalian bakal punya satu orang teman yang menyanyikan lagu Pure Saturday buat kalian, "Terang akan datang di saat yang tak terduga dan malaikat di atas kan tersenyum senang."

Badai pasti berlalu, kawan. Pasti. Meskipun nantinya akan datang badai-badai yang lain. Ah, yang penting yakin dulu saja bahwa badai yang ini pasti akan berlalu dan Tuhan selalu ada. Meyakini itu saja nggak akan membuat kalian dicap sebagai penganut fatalis kok. Santai saja. Kalian manusia, kan? Yasudah, yakini saja kalau Tuhan bisa kalian pegang.

:)

Kalian yang Mana?

Barusan saya buka twitter terus nemu twit dari Meok, 
"hidup kan cuma sekali ya, ngapain kalo nggak semua dicoba daripada terlalu membatasi diri mwahahahhahaha~ *kabur*"

Terus tadi saya nonton Grey's Anatomy season 4, nggak tahu episode berapa, yang kira-kira dialognya begini :

 Alex : Kenapa sih lu sirik aja sama si Christina. Pasti karena dia lebih baik daripada lu ya?
Izzie : (Nggak mau liat muka Alex) Eh, plis ya, dia itu nggak lebih baik daripada gue. Kelebihan dia dibanding gue adalah dia tahu apa yang dia mau, dia yakin sama kemampuannya, dan dia berjuang untuk keinginannya. Dia suka kardio, ya dia ngejar kardio, dan dia selalu ada untuk kardio.
Alex : Lah, emang lu gimana?
Izzie :  Gue nggak suka sama keyakinannya itu. Makanya gue senengn gambil apa yang dia yakini. Gue sebel dia udah tau apa yang dia pengenin, sedangkan gue masih nggak tahu gue mau apa. Asli banget, deh gue betekkkk! Gue pengen kayak dia *muka cemberut, kaki nyepak-nyepak di tanah
Alex : Tapi dia tuh hidupnya kayak robot, Zie. Adekkk, adek gag boyeh sirik.
Izzie : Bukan robot yaaaa, Lex. Aduh. Dia itu kayak gitu karena dia itu udah fokus.
Alex dan penonton kemudian bingung kenapa Izzie jadi belain Christina. Scene pun ditutup. Iklan Ayu Ting Ting dan Ridho Roma muncul. 


Dan inget juga, di bagian awal episode itu diputer juga potongan dari episode lalu-lalu yang memperlihatkan Christina ngelabrak Izzie. Kira-kira ngomongnya gini,

Christina : Izzie, plis banget ya, cynnn, kalau diibaratin sama hubungan tuuuuh, lu itu cuma nge-flirt sama kardio, sedangkan gue ituh nikah sama kardio. Gue tau banget kalo gue serius sama kardio. Dan lu? Lu cuma main-main sama kardio. Get off from my way, b*tch.




Kalian gimana?

Sebagai pemuda bangsa berusia 20-an yang konon akan segera menyongsong hidup yang serius dalam masa yang akan segera datang, kalian sedang berada dalam fase Meok, Izzie, atau Christina? Atau kalian justru berada pada posisi sidekick seperti Alex  karevyang selalu jadi pendengar dan penengah antara konflik-konflik dunia? Atau kalian justru sedang berpikir bahwa Grey's Anatomy adalah sinetron yang pemainnya adalah artis Jatinangor *dilihat dari gaya bahasa yang nyinyir, kepo, dan lebay tapi justru itu titik gaulnya* dan terjadi di Pedca atau maksimal Che.co? Fine, kalau kalian menjawab poin terakhir, maka kalian nggak fokus. Ayo, baca lagi yang benar dan cari pesan moralnya.



Selasa Siang

Pukul 14.35. Hujan. Mengajar kelas 9 SMP. Tugas membuat dialog ungkapan giving interesting news, congratulating, dan asking for repetition. Ada tipe yang kreatif menjadikan dialog tersebut dalam ungkapan unyu, macam,
A : Hi, guys, I've got good news!
B : What's that?
A : I won girlband contest!!!!!
B : Are you serious?
C : Really?
D : Wow, I cannot believe that!
A : D!!! Uuuuhhh >.<  I won girlband contest. You have to believe me... :(
B : Oh, my God. You won that competition!
A : Yes, B!!! Thank God.
C : Congratulations!!!!
A : Thank youuuuu, C !

Gayanya itu loh yang pakai emoticon segala. Oh, iya, dia juga menggunakan pulpen warna hijau dan ungu berglitter. Haha.

Ah, hujan sudah mulai berhenti. Sekarng sudah mulai panas lagi. Harusnya, sih sekarang ada pelangi, tapi hmmm dari sini sih tidak terlihat apa-apa kecuali tembok dan pintu.

Sebentar lagi pukul 15.00, saatnya mengajar kelas 8 SMP. Nanti setengah 5 kelas 9 SMP lagi. Oke, saya belum makan. Nanti kasih catatan dulu ke anak 8 SMP terus saya beli makan di sebelah.

ungkapan maaf

Kalau saya di sini begitu lancar meneriakkan petuah persamaan derajat dan toleransi antarkebenaran, maka dengan ini saya memohon maaf atas segala hinaan dan tertawaan setiap kali saya membaca nama dan foto bercorak alay. Sesungguhnya alay juga adalah subkultur yang mempunyai kebenarannya sendiri dan yang lebih penting lagi, dalam masa-masa friendster, saya pakai nama yang sangat alay dengan menggabungkan suku kata nama-nama idola saya, dan saya juga pernah smsan sama pacar masa SMP atau SMA saya dengan huruf gede-kecil, bahkan tanpa spasi, dan tetap teguh pada pendirian saya meskipun pacar saya sering meledek. Oke, mungkin karena itulah saya juga putus. Mungkin. Oke, menjadi alay adalah sebuah fase, bukan cuma sekedar pilihan. Alay adalah tahap pendewasaan. Kalau saya dulu pernah hidup sebagai anak alay namun kini saya sudah bisa membuat blog yang sering saya isi dengan ungkapan yang mendewakan pluralitas, maka bisa jadi anak-anak alay lain juga beberapa tahun kemudian juga melakukan hal yang sama seperti saya sehingga aktivis pluralisme bisa bertambah dan jumlahnya mencukupi untuk menggulingkan rezim homogenitas.
Sekian dan terima kasih, sayang, dan lowongan pacar.

Ummi




Ketika saya,

  • Nonton tivi terus disuruh ibu saya menggorengkan telur untuk adik saya kemudian saya menjawab, "Nggak mau. Males," kemudian ibu saya menimpali, "Bener ya sistem demokrasi itu sudah mengubah pola hidup, bahkan hingga pada tingkat individu. Beberapa tahun lalu anak itu segan kalau menolak orang tua. Sekarang, anak-anak tanpa sungkan mengungkapkan hak berpendapatnya," (Dalam hati : bhuaaahhhhhhh, bawa-bawa demokrasi, tingkat individu, hak berpendapat, macem anak HI aja ibu gue)
  • Pagi-pagi kedatangan ibu saya di kamar dengan masih memakai mukena setelah shalat subuh dan membawa beberapa buku agama, kadang juga dengan tafsir Qur'an kemudian mengungkapkan, "Aku heran dan akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa memang sepertinya perempuan ini adalah manusia yang terampas kemanusiaannya. Di sini selalu diungkapkan bahwa perempuan itu adalah perhiasan dunia dan fitnah dunia. Setelah aku baca memang maknanya tidak seburuk yang aku pikir. Malah, sebutan seperti itu muncul justru karena kelemahan kaum laki-laki sendiri. Tapi, kenapa kelemahan laki-laki itu seolah-olah bukan masalah, ya? Kenapa jadi sebutan bagi perempuan itulah yang dimunculkan? Nggak cuma di sini, loh, bahkan di peradaban lain juga perempuan mendapat diskriminasi dan selalu menjadi alat bagi laki-laki.  (Dalam hati : Ini pagi-pagi udah diskusi feminisme aja inihhhhhhhh arrrgggg)
  • Sedang tidur kemudian dipanggil ibu saya yang girang karena hard copy skripsinya yang konon menghilang sejak berbelas tahun lalu sudah ditemukan dan memaksa saya untuk membaca isinya, yang secara refleks saya baca Bab I-nya, "Penelitian mengenai fosfat sendiri sudah dilakukan pada tahun xxx oleh peneliti dari Universitas xxxx. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa fosfat merupakan blablabla dan memiliki kandungan xxxx. Kandungan xxxx ini merupakan kandungan yang memiliki fungsi yang sama dengan xxxx dalam obat xxxx namun dengan tingkat resiko xxx yang jauh lebih kecil yakni xxxx. Menghadapi tingginya resiko dari xxx yang berada di dalam obat xxx, penggunaan fosfat sekian persen dapat dijadikan alternatif...," (Dalam hati : Kok gue berasa lagi baca tulisan gue sendiri yak?)
Maka saya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa saya ini sesungguhnya sama sekali bukan anak pungut. I share many things in common with my mom, even we both never share same class, same books, same time.

Kebenaran

Teman saya, Opank, dua tahun lalu pernah menulis hal yang menurut saya hebat dan sangat kicking ass sekali. Kata Opank, satu hal yang tidak diciptakan Tuhan adalah kebenaran. Bingung? Hmm, dosen saya, Pak RMT dalam perkuliahan terakhir Filsafat Ilmu semester ganjil lalu berbagi pendapat dengan para tutor mengenai apa itu kebenaran yang saya rasa penjelasan Pak RMT di ruang dan waktu yang berbeda dengan posting Opank dapat menjelaskan apa maksud Opank.

Ketika itu, Pak RMT bertanya kepada tutor-tutor yanng ada di kelas mengenai suatu isu, kebetulan waktu itu kasus Krisdayanti yang mencium Raul Lemos yang menimbulkan kontroversi karena dilakukan di hadapan kamera wartawan infotainment secara sengaja. Jawaban para tutor itu berbeda-beda, tapi dapat dikelompokkan dalam jawaban berikut,

  1. Tindakan KD tidak pantas dilakukan karena menyalahi adat Timur dan banyak ditonton anak-anak
  2. Tindakan KD wajar karena sebagai artis maka ia butuh popularitas yang salah satu sumbernya bisa berasal dari deviasi ketentuan sosial
Perhatikan, jawaban 1 merupakan jawaban yang bersumber dari petunjuk normatif, sedangkan jawaban 2 (saya termasuk ke dalam kelompok penjawab poin 2), merupakan jawaban yangg bersumber dari strategi menghadapi kehidupan. Bersepakat dengan Pak RMT, saya rasa tidak ada jawaban yang salah karena keduanya memiliki alasan yang masuk akal dan secara common sense saja sudah dipahami oleh banyak orang. Nah, tapi apakah keduanya benar? "Salah" memang memiliki antonim, baik antonim kembar maupun antonim relasional, berupa "Benar". Namun, bagaimana mungkin ada dua hal yang benar, sedangkan Tuhan saja satu? Bayangkan bila Tuhan ada dua, pasti akan ada perang ketuhanan. Nah, bagaimana dengan "benar"? Kebenaran itu hanya boleh satu atau tidak ada sama sekali, sedangkan dari dua jawaban di atas, keduanya benar menurut logika dan alasan masing-masing. Jika demikian, kebenaran yang mutlak itu sendiri tidak ada. Tidak ada karena semua pihak mengaku jawabannya benar menurut logika dan alasan masing-masing. Namun, terlepas dari benar atau tidak benar, kenyataan bahwa KD mencium Raul itu masih ada. Intinya, apa pun pendapat kita mengenai suatu isu, pendapat kita tidak akan mengubah terjadinya isu tersebut. Tidak ada yang bisa kita lakukan dengan pendapat kita kecuali menjalani hidup kita sesuai dengan pendapat kita.

Namun kemudian muncul apa yang dikatakan teman saya dalam blog keempatnya yang beberapa hari lalu tidak saya sengaja saya temukan. Teman saya bilang, meskipun di dunia ini ada banyak pilihan untuk melakukan suatu hal, seharusnya kita tetap berpegang dengan apa yang digariskan oleh Islam. Saya nggak bermaksud untuk nggak setuju sama dia karena toh saya juga Muslim dan menjadikan Islam sebagai garis pedoman. Saya hanya ingin mengatakan bahwa dalam tulisan tersebut, dari pengakuannya terhadap ada banyak pilihan hidup, si teman saya itu seolah-olah menghargai adanya perbedaan pilihan , tapi di sisi lain ketika ia memberikan pernyataan "seharusnya mengikuti apa yang digariskan Islam", ia sebenarnya sedang memberikan rekomendasi mengenai batasan kebenaran secara mutlak. Islam memang benar, tapi itu hanya bagi yang meyakini Islam. Di luar Islam, bukan berarti tidak ada kebenaran. Kebenaran masih ada, bagi mereka yang meyakini agama atau keyakinan lain. Ketika misalnya si teman saya mengatakan pada orang lain yang tidak meyakini Islam mengenai kebenaran Islam, maka sudah barang tentu si teman saya itu akan menghadapi bantahan-bantahan yang logis menurut logika si orang tersebut. Begitu pun sebaliknya, ketika ada seseorang yang tidak meyakini Islam sebagai kebenaran menyerang si teman saya dengan argumen-argumen anti-Islam, maka sudah pasti juga si teman saya akan balik membantah dengan memberikan argumen mengenai kebenaran Islam.

Nah, perang kebenaran yang dibawa oleh dua orang yang berbeda keyakinan mengenai kebenaranlah yang saat ini sedang ramai terjadi. Mereka lupa bahwa sebenarnya perang yang mereka lakukan itu sia-sia. Mereka sama-sama berangkat dari titik berbeda namun ingin mendapat kesimpulan atas satu hal yang sayangnya kesimpulan tersebut pun tidak ingin mereka capai secara win-win solution atau secara mufakat, tetapi secara zero-sum atau 1-0 alias satu pendapat saja yang benar. Masalahnya lagi, mereka juga saling mengukur benar tidaknya pihak lawan dari standar yang mereka buat berdasarkan pemahaman mereka atas satu kebenaran. Kasus yang sedang ramai sekarang adalah kasus anak punk yang ditangkap polisi di Aceh karena dianggap tidak sesuai syariat Islam. Dosen saya, Pak Indra membahasnya dalam artikel komprehensif di Jakarta Globe yang kebetulan saya share juga di wall facebook saya. 

Saya sepakat dengan Pak Indra, bagaimana mungkin kita menilai punk dari sudut pandang Islam? Punk jelas tidak akan pernah sesuai dengan syariat Islam karena punk sendiri lahir di luar kekuasaan Islam. Kecuali bila punk melakukan glokalisasi dengan menggabungkan beberapa nilai dan elemen punk dan Islam kemudian melahirkan hibrid baru berupa lagu punk berlirik islami atau nyanyi irama punk dengan fashion islamik, mungkin akan ada yang dinamakan punk yang sesuai syariat Islam. 

Nah, namun jika glokalisasi yang lahir dari negosiasi dan adaptasi antara dua kebenaran itu tidak terjadi maka punk juga tidak akan menjadi benar? Apakah karena punk lahir di luar kekuasaan Islam maka punk itu tidak punya kebenaran? Apakah kebenaran punk yang diambil dari filosofi antikemapanan dan rebel itu harus tunduk pada kebenaran ala Islam padahal si penganut punk itu punya kebebasan untuk menganut kebenaran mana pun yang ia rasa cocok dengan logika dan keyakinannya? Dan ketika alasan bahwa semua hal harus dilakukan secara Islamik dijadikan bahan argumen untuk menihilkan kebenaran punk, pertanyaannya siapa yang sebenarnya berambisi untuk menjadi hegemon kebenaran? Islamkah atau penganut Islam yang berbicara atas nama Islam padahal ia memiliki kepentingan lain di balik embel-embel Islam? 

Selain itu, apakah kebenaran hanya bisa diukur melalui satu satuan baku mengenai penampilan atau ritual saja? Merenungi kebesaran Tuhan dan dosa-dosa kita sebaiknya dilakukan di masjid atau minimal dengan shalat malam di rumah, itu memang benar secara Islam. Atau penguasa yang zalim itu harus diruntuhkan dalam beberapa cara, yang salah satunya bisa melalui orasi berkedok dakwah shalat Jumat di masjid tertentu, itu benar menurut Islam kelompok tertentu. Namun, apakah bila seseorang merenungi kebesaran Tuhan dan dosa-dosanya sambil jalan-jalan dengan kawan satu gengnya dan dia menentang penguasa yang zalim dengan simbolisasi antikemapanan dan antiaturan produk penguasa zalim yang jelas-jelas ritual dan elemen itu berbeda dari ritual dan elemen Islam maka si penegak Islam berhak menudingnya sebagai pihak yang salah, sesat, dan harus di-Islamkan?

Hal kedua setelah perang kebenaran yang sering saya temukan adalah pengotak-ngotakkan kebenaran berdasarkan penampilan visual dan ritual tertentu yang menafikkan bentukan substantif yang bisa jadi memang hanya mengarah pada satu acuan, yakni ketuhanan. Mengutip pandangan Opank bahwa satu hal yang tidak diciptakan Tuhan di dunia ini adalah kebenaran, saya rasa Tuhan memang tidak menciptakan kebenaran mutlak bagi manusia karena hanya Dialah Pemilik Kebenaran Mutlak. Dalam berbagai kebenaran-kebenaran yang dianut oleh umat manusia di dunia ini, sebenarnya akan ada satu benang merah, yakni kebenaran mutlak yang mengarah pada Tuhan atau yang disebut oleh beberapa yang tidak mengakui Tuhan sebagai kekuatan di luar sana yang belum ditemukan apa itu. Dalam Islam, ritual dan penampilan visualnya ditujukan untuk mencari kebenaran yang digariskan Tuhan. Pun dalam punk yang menurut elit Aceh sebagai hal yang bertentangan dengan syariat Islam, sejatinya punk pun mencari sesuatu Maha Benar yang dirindukan sebagai oase atas kemapanan artifisial dan kolonial yang mencengkram peradaban manusia. Masalah ritual dan penampilan visual yang berbeda, tentu saja akan berbeda karena Islam dan punk tidak lahir dari waktu, tempat, dan nabi yang sama. Perbedaan waktu, tempat, dan nabi yang berbeda itulah yang melahirkan perbedaan versi kebenaran. Hal yang paling bodoh yang kita lakukan tentu saja menimbang-nimbang mana yang (lebih) benar. Sampai Dajjal menjelma dalam rupa Jeremy Thomas juga kita tidak akan pernah bisa memufakatkan mana yag (lebih) benar. Kita hanya bisa secara temporer mengalahkan satu kebenaran, tapi itu juga jika kita memiliki kekuasaan, tapi itu juga tetap saja fiktif karena toh kebenaran itu sesuatu yang tidak ada wujudnya di dunia ini. 

Kenapa kita tidak mencoba saja untuk mengakui bahwa kebenaran di dunia ini sejatinya tidak ada? kenapa kita tidak belajar menghargai kebenaran yang diyakini orang lain sambil kita menjalani apa yang menjadi kebenaran versi keyakinan kita secara khusuk tanpa menilai kebenaran orang lain dari satuan kebenaran kita?

Saya Islam, saya meyakini kebenaran Islam, tapi saya juga mencatat dengan cermat untuk tidak menilai kebenaran orang lain dari satuan-satuan Islam yang saya yakini.

Dan tentang KD, berhubung dia artis dan saya bukan, karena itulah saya tidak menggunakan satuan ukur orang biasa untuk menilai artis.


Ark.Jan'12.

Minggu

Minggu akan selalu menyenangkan karena setidaknya pada malam sebelumnya tidak ada yang harus dikerjakan seperti membuat worksheet untuk murid, membayangkan kegiatan kelas, membaca ulang materi, dan membuka buku untuk mencari halaman yang akan difotokopi. 

Minggu juga akan selalu menyenangkan karena tidak perlu menyetel alarm dan menghapus agenda ngulet di bawah selimut.

Yang paling menyenangkan dari Minggu adalah bisa mempergunakan waktu pada malam sebelumnya dengan membaca bahan atau mengetik skripsi atau ber-skype atau ber-YM dengan kawan sampai hampir dini hari. Ketika bangun, sudah ada Kompas Minggu lengkap dengan Cerpen, Samuel Mulya, dan Sosialita menunggu, tinggal dipersenjatai dengan windows media player, pisang goreng terenak sejagat raya dan nescafe. Lepas membaca Kompas, saatnya jurnalistik dunia maya nan murah dan ramah lingkungan beraksi. Ada Jakarta Post, Jakarta Globe, TIME, dan Newsweek yang siap dilahap. Sambil sesekali membuka twitter, facebook, dan blogger, otak pun kembali siap meraup file di folder from skrip to the s1 > bahan > bab 4 > ...

Selamat menikmati Minggu, semuanya :)

please try this at home

"Eh, jam 11 dari gue, unyu, cuy!"

"Ah, yang sebrangnya lebih laki, men!"
"Eh, eh, eh, liat deh (nunjuk fesbuk), ini ganteng, nih!"

"Eh, lo harus liat yang ini, mmmm xxxxxx xxxxx (sambil ngetik di tab search)"
"Eh, kemarin, dong, gue ketemu orang, ah ganteeeeeeeeeeeenggggg banget. Serius, ini ganteng banget!"

Pernah ngumpul di suatu tempat kemudian memperhatikan sekeliling sambil onlen fesbuk? Kalau pernah, pasti dong pernah ngerumpiin hal kayak gitu. Ini juga bukan sekedar ladies thing, tapi cowok juga ikutan ngasih pendapat, tapi biasanya yang menjatuhkan sih, semacam,

"Ah, cambangnya kepenuhan, tuh, kayak manusia serigala."
"Tapi ituuuu ganteng banget. Cambangnya bikin seksi kaleeeeee,"
"Lo pacaran aja sama serigala, noh seksi kan?"

"Iiiiihhh! Nah, kalau yang pake baju biru gimana tuh?"
"Ah, itu mah terlalu berotot. Kalau lo digampar, langsung pingsan mah!"


"Ya pacarannya nggak pake gampar-gamaparan jugaaak!"
"Ah, emang lo bakal pacaran sama dia?" (ketawa setan, sambil goyang-goyang kepala)

"Yeeeh, sirik aja lo! Ah, lo harus liat yang ini (nunjuk fesbuk). Unyuuu kannnn?"
"Apaan sih. Gayanya gay banget!"
"Iya, pasti itu mukanya pake perawatan."
"Kalo lo jalan sama dia, yang ada juga lo disangka pembantunya."
"Ah, laki gini mah tampangnya playboy abis."
"Yaudah sih, terima nasib aja dah jadi jomblo."
*end of conversation*negak minum masing-masing. nelen ludah. konsen ke laptop masing-masing*


Atau pernahkah kalian jam 3 pagi kalian yang baru saja memejamkan mata selama setengah jam tiba-tiba terbangun oleh suara sms? Kalau pernah, ini pasti urutan berpikir kalian dalam mengira-ngira siapa yang mengsms kalian.
Alur 1 : Jangan-jangan ini setan atau minimal orang yang ngaku2 jadi setan. Ah, buka ngga ya?
Alur 2 : Ah, nggak mungkin deh. Tapi siapa ya?
Alur 3 : Jangan-jangan...
Alur 4 : Plis jangan sampe si X yang ngsms gue (tapi dalam hati ngarep)
Alur 5 : Ah, kayaknya nggak mungkin deh si X. Apa si Y ya? (berusaha cari alasan logis kalau perkiraan kalian itu mungkin)
Alur 6 : Atuhlah, ngapain coba dia ngsms gue jam segini? (sok bete tapi mulai senyum-senyum)

Alur 7 : Ah, siapa sih? (makin berharap si X atau Y yang ngsms meskipun itu absurd juga sih)
Alur 8 : Ngambil hape, buka kunci hape

Alur 9 : Nah, kan, nomornya nggak gue save. PASTI INI ANEH DEH. (tapi "aneh" di sini tidak merujuk pada kemungkinan pertama yaitu hantu. aneh di sini tetap merujuk pada X atau Y atau nama lain)
Alur 10 : Mmmm, siapa ya (slow motion buka inbox)
Alur 11 : Baca sms
Alur 12 : "Jual body cream nomor 1. Belum ada yang menandingi. Hasil putih sekali pakai bertahan 3 hari, irit pemakaian. kualitas bagus. hub 087888366049. Shea.
Alur 13 : SAAAAAAAAAAAAAAPIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII!!!!!!!!!! 
Alur 14 : Lempar hape ke bawah bantal. Bete.


Pesan moral :
1. Jangan ajakin cowok buat sharing orang-orang yang menurut kalian ganteng
2. Matikan hape ketika tidur
3. Sebisa mungkin hindari jomblo
4. Jika tak terhindar, maka teruslah untuk menghindari.

Tentang Tuhan yang Tidak Tahu Menahu Soal Maskulinisme

Ini tentang penyerahan hidup kita yang sebenarnya adalah pinjaman kepada Dzat yang meminjamkannya. Ini adalah hal yang terbesar yang ingin diujikan Tuhan kepada hamba-Nya. Ini serupa dengan kebimbangan Ibrahim ketika diminta menyembelih Ismail. Ini sama sekali bukan tentang pembedaan identitas semisal agar kamu terlihat muslim, maka kamu harus memakai busana yang a, b, c, d, e. Menjadi muslim adalah menjadi substansi yang muslim yang tidak terkacaukan oleh citra indrawi dan material. Menjadi muslim adalah menjadi insan yang yang dianggap muslim oleh Allah, bukan oleh sesama manusia. Ini juga bukan tentang apabila kamu memakai a, b, c, d, e maka kamu akan terlihat lebih cantik. Cantik? Cantik adalah terminologi yang sangat manusiawi. Cantik adalah keelokan fisik yang atraktif yang menimbulkan kekaguman dan keinginan untuk memiliki. Bila cantik dijadikan alasan, maka tanyalah pada dirimu sendiri, siapa Tuhanmu? Allah-kah atau laki-laki muslim borjuis kinyis-kinyis di Masjid Sunda Kelapa? Ingat, karena kamu adalah hasil ciptaan Tuhan dan selama hukum masih mengatakan bahwa hak paten kepemilikan dipegang oleh sang pencipta, maka kamu adalah milik Tuhan. Tanpa perlu terlihat cantik di mata-Nya pun kamu sudah dimiliki-Nya.

Ah, ya dan ini juga bukan sama sekali tentang perlindungan. Kamu harus menggunakan busana a, b, c, d, e untuk menjaga dirimu dari pandangan-pandangan hasrati yang meniupkan fantasi-fantasi birahi yang kemudian membuatmu menjadi korban kebejatan laki-laki yang sekaligus diharamkan aborsi. Persuasi tersebut dipenuhi oleh ideologi-ideologi dan kuasa maskulinis yang meletakkan wanita sebagai akar pangkal semua kejadian amoral di dunia ini. Mengamini alasan ini adalah bentuk penyekutuan bagi-Nya. Tentu saja, ketika kamu menggunakan busana a, b, c, d, e demi alasan menjaga tubuhmu dari sekutu busuk alam pikiran laki-laki dan jamahan haramnya, maka kamu melakukannya lebih karena takut dengan sundalnya pikiran laki-laki ketimbang dengan Tuhan yang kamu sembah wajib minimal lima kali sehari. Dan tak hanya itu, kamu juga sedang masuk ke dalam rezim maskulinitas yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, bukan hubungan agama yang memberi panduan bagaimana berhubungan dengan Tuhan.

Esensi dari busana a, b, c, d, e sebenarnya adalah pertanyaan terbesar mengenai kesangupan kita menjalani hakikat hidup kita sebagai manusia yang tak lain adalah hamba dari Tuhan yang dinamakan Allah. Selayaknya hamba, maka kita diharuskan untuk menghamba memenuhi perintah dari sesembahannya.  Selayaknya barang yang kepemilikannya berada di tangan pemilik, maka kita ditanya seberapa sanggup menyerahkan diri dan menjalani hidup sebagai seorang yang mau tunduk dan melepaskan nafsu anarchy yang jumawa dan pongah. Selayaknya makhluk yang nyawanya bergantung pada takdir yang telah digariskan oleh si empunya, kita dituntut untuk menaklukan segala hal lusiferis dari diri kita semisal pongah, sombong, jumawa, berlagak, sok, takabur agar kita menjadi manusia yang benar-benar menjadi manusia. Tapi, ingat, kita hanya ditargetkan untuk menjadi manusia, bukan malaikat. Ketika kita mengalami pergolakan batin untuk menerima dan menjalani proses kita untuk berbusana a, b, c, d, e, itu bukan dosa. Itu alamiah. Itu alamiah karena kita adalah manusia. Manusia yang tak lain sebuah nexus antara setan dan malaikat, yang terus menerus bergulat dalam dialog baik dan buruk. Proses itulah yang nantinya memanusiakan kita. Proses yang bekerja untuk menaklukan kepongahan kita sebagai makhluk yang sempat enggan untuk berserah pada Tuhan dan berada pada fase denial bahwa kita adalah makhluk yang lemah. Proses yang menggarap kita untuk mengamini bahwa pada akhirnya kita hidup untuk menghamba dan nyawa serta jasad yang kita miliki saat ini bukan milik kita sepenuhnya. 

Bagi Tuhan, ketika Tuhan menyeru kita untuk berbusana a, b, c, d, e, bukan karena Tuhan ingin membedakan satu kaum dengan kaum yang lain seolah-olah ada banyak Tuhan di dunia ini. Bukan juga karena tanpa busana itu maka Tuhan tidak bisa membedakan mana kaum A dengan kaum yang lain. Hei, bukankah Tuhan Maha Tahu? Bukankah Tuhan juga Maha Melihat hal-hal substansial? Bukankah Tuhan adalah satu-satunya pihak yang tak mempan dengan citra indrawi? Bukan pula Tuhan menyeru karena alasan mempercantik tampilan. Ah, Tuhan terlalu pencemburu untuk bisa merelakan makhluk yang Dia ciptakan berpaling pada makhluk lain yang juga Dia ciptakan. Tak hanya itu, Tuhan juga bukan ingin mengurangi tindak perkosaan dan pertumpahan darah di dunia. Bukankah Tuhan Maha Pengasih dan Maha Adil? Jika mau, Tuhan bisa saja mengasimkan otak-otak dan penis-penis sundal pria-pria maskulinis itu, tidak hanya menyeru perempuan untuk bertindak preventif. Dari seruan itu, Tuhan hendak bertanya kepada kita, mampukah kita menjadi makhluk yang bernama manusia? Dalam kurun waktu berapa lamakah kita menaklukan lusiferitas kita kemudian menggantinya dengan kepasrahan atas diri yang sesungguhnya sudah tak memiliki kuasa sejak lahir? 

Tapi entahlah, mengapa harus perempuan saja yang seruan untuk menghamba-Nya jelas?
Bagaimana dengan laki-laki?
Dengan cara apa mereka harus bermetamorfosis?
Melalui penyerahan diri apa mereka bisa menjadi hamba Tuhan?
Ataukah memang benar ideologi dari segala aspek kehidupan ini adalah maskulinisme?
Dan apakah Tuhan adalah penganut maskulinisme?
Ataukah di sini Tuhan juga dijadikan alat politik pengalamiahan maskulinisme?
Apakah kita sudah hidup di dalam rezim kebenaran yang benar?

Ah, entahlah, tapi saya beriman bahwa Tuhan juga menyayangi perempuan sehingga nanti di akhirat tentu Tuhan akan menghukum laki-laki yang menyebarkan ideologi maskulinisme.

Persoalan Hidup Anak Remaja


Saya sedang menelaah beberapa hal yang kerap terjadi pada diri kita, si manusia yang tak luput dari khilaf. Ternyata meskipun kita sudah berhasil menemukan peradaban Mohenjo Daro-Harappa dan Sungai Kuning kemudian menggantinya dengan peradaban digital pasca-Perang Dingin, kita selalu dihadapkan pada fakta-fakta sulit semacam hal yang saya kemukakan di sini.

1. Alarm sudah bunyi dari jam 6 tapi karena satu dan lain hal yang semuanya berujung pada rasa termanusiawi dari manusia, yakni malas, tangan kita secara reflek meraba-raba segala hal yang berada di bawah bantal kemudian tanpa sempat dicegah oleh mata dan otak, alarm tersebut secara sukses mati. Kita pun tidur lagi sambil mengeluarkan excuse bahwa, "5 menit lagi aja gapapa kali," yang nantinya akan kita sesali karena ternyata kita tertidur lagi selama satu setengah jam lebih lima menit. ZONK!!!!! Yes, that's so me. Pada proses ini, sekuat apa pun niat kita pada malam sebelumnya untuk bangun pada waktu yang telah ditentukan dan sekeras apa pun usaha kita untuk melek, semua pasti akan gagal karena sesungguhnya kalau diibaratkan dengan peribahasa, jauh tangan dari otak dan angin berputar ombak bersabung. Tahu artinya? Nggak tahu? Mas Google aja nggak pernah kuliah sastra aja tahu.

2. Sarapan itu baik bagi kesehatan otak. Pernah dengar ungkapan itu? Saya nggak paham, sih proses secara biologisnya, tapi yang jelas, memang benar sih kalau saya nggak sarapan, maka hormon emosi saya meingkat lebih cepat dan sel-sel otak saya sulit diajak berkompromi untuk memahami persoalan hidup semacam "Kenapa sih ini mobil-mobil jalannya lambat semua!"; "Ini motor sumpah ya ngajak ribut motong jalan sembarangan!"; "Astagaaaa, ini angkottttttt, nyari duit sih nyari duit, tapi nggak nyelakain orang jugakkk!". Ah, tapi kadang saya berpikir, apakah persoalan sarapan ini memang benar adanya ataukah hanya suatu agenda tersembunyi yang disebarkan oleh produsen makanan yang kemudian dikukuhkan oleh mama kita? Kita pun jadi nggak bisa mengelak dari konspirasi terselubung itu dan akhirnya tersugesti bahwa kita harus sarapan padahal bangun pagi saja kita sulit.

3. Pengen, deh saya sekali-kali pulang ke rumah itu siang atau sore hari sebelum magrib lalu menghabiskan senja dengan syahdu dari balik tembok di kamar. Sulit merasakan hal itu? Oke, kalau begitu, pihak yang paling harus  kita salahkan adalah jalan raya yang nggak bisa secara fleksibel melebarkan dirinya saat macet sedang menerpa. Oke, itu absrut. Kalau begitu salahkan kredit motor dan mobil yang begitu mudah sehingga semua rakyat bisa menikmati motor dan mobil, dua benda yang bahkan oleh pemerintah Singapura sudah dibandrol sebagai benda haram yang akan menghancurkan peradaban deindustrialisasi mereka. Nggak tega karena kita termasuk pengguna motor dan mobil yang masih kredit? Oke, salahkan teman-teman dekat kalian yang dengan manis merayu kalian untuk menghabiskan sore hingga malam di che.co.

4. Ah, iya. Berhubung saya adalah mahasiswa tingkat akhir yang sudah nggak mengambil kuliah lagi sejak semester delapan menerpa, saya jadi agak lupa deh sama poin ini. Kalau kalian adalah tipikal mahasiswa yanbg mengerjakan tugas sesaat setelah diumumkan dosen padahal deadline tugas tersebut adalah di akhir perkuliahan, which is enam bulan lagi, maka segera skip poin ini. Kalau kalian sudah termasuk dalam poin ini, maka kalian adalah mahasiswa yang sudah bisa mengatasi kesulitan hidup nomor 4, yakni mengerjakan tugas dengan tertib dan tumaninah. Kebanyakan dari kita, si mahasiswa yang berbudi luhur dan peka terhadap kejadian mutakhir dunia, sulit rasanya mengerjakan tugas sebelum deadline datang. Yang sering terjadi adalah kita baru mengerjakan tugas satu malam sebelum deadline yang ternyata nggak mungkin beres, yang akhirnya kita dihadapkan pada pilihan sulit, skip kuliah yang jam delapan buat ngerjain tugas yang poinnya 15% ini, ataukah skip tugas tapi masuk kuliah jam 8 demi absen dan kemungkinan kuis yang poinnya bisa 10%, bisa 15%, dan bisa juga dianggap sebagai UTS. Ketika kita mengirim sms pada teman dekat untuk menitip absen, ternyata dia sedang galau dan malah ngajakin kita curhat. Kita pun hanya bisa membalas smsnya sambil berserah diri pada Tuhan sambil nyanyi Que Sera Sera sampai keesokan paginya ketika kita sadar kita ketiduran, ternyata laptop mati sendiri karena baterai habis, kita nggak nyalain mode autorecovery di word, dan ini sudah jam setengah sepuluh pagi. Hujan deras. Mati lampu. Pulsa habis. Internet dan hape. Jomblo. Oke,ini keadaan yang bagai bergantung pada selembar rambut. Kalau sudah begini, hanya orang-orang yang fleksibel dengan rencana Tuhan yang masih bisa bertahan hidup tanpa stres. Tawakallah karena sesunggunya ada setitik harapan setelah lorong gelap. Yah, meskipun harapan itu baru datang tahun depan saat mengulang.

5. Patah Hati. Di saat patah tulang, hepatitis, lever, dan malaria sudah ada obatnya, patah hati yang lebih banyak diderita, lebih banyak bermasalah, dan lebih darurat masih saja belum ada solusinya. Ini penting banget loh untuk segera kita cari solusinya. Hukumnya fardu kifayah. Ini tuh persoalan umat yang paling berat. Ungkapan yang paling pas menunjukkan urgensi penyelesaian masalah ini adalah "Merajukkan karam air di ruangan, hendak karam ditimba jua." Pokoknya penting, deh. Oh iya, jangan juga kalian suka meledek orang yang patah hati. Selayaknya orang yang ditimpa kemalangan yang di luar kuasanya, begitu pula orang yang patah hati. Plis, deh, patah hati itu tak disengaja dan tak direncanakan. Kalau dia mau sih, dia pengen kali hidup happily ever after dan jadi pangeran yang nggak balik jadi kodok lagi. Pokoknya selama patah hati masih belum ditemukan obatnya, jangan sekali-kali kalian menambah parah berat hidup si orang itu. Ya, iya sih, bete juga misalnya kalau kalian punya temen yang kerjaannya di twiter ngeluh melulu, di fesbuk juga nyepet melulu, di blog bikin puisi semua, di YM statnya ganti-ganti tapi semuanya intinya bete sama komitmen, dan kalau ngesms nggak jauh-jauh dari luka. Tapi daripada kalian menghina-hina di belakang, mending sebagai teman yang baik, semprot aja deh dia kalau tindakan dia yang patah hati juga bikin kalian terganggu. Yah kalau gini mah kontradiktif dong sama pernyataan saya sebelumnya? Ah, ya namanya juga patah hati adalah persoalan yang belum bisa ditangani.


Oke, ini baru lima biji buah. Saya masih mau ngajar lagi jadi posting ini masih saya rencanakan sebagai posting yang bersambung. Tunggu sesaat lagi.

How to Comfort Yourself in Making the Sacred-Scared-Skripsi


Pernah mengalami masa-masa menghabiskan tiga perempat hari kalian di depan laptop tanpa teman, tanpa pacar, dan tanpa arah? Well, kalau kalian adalah mahasiswa tingkat akhir yang jomblo dan belum punya muka untuk setor draft buat bimbingan, maka jangan ragu, jangan bimbang, jangan takut, jangan malu. Saya akan membagi rahasia mengapa saya betah duduk di depan laptop di kamar saya selama berjam-jam. Alasan paling utama sih karena memang saya betah tinggal di kamar saya yang jauh dari pusat kegiatan rumah. Bapak saya orangnya iseng, ibu saya orangnya terlampau rajin bersih-bersih dan masak, adik-adik saya selalu ada aja yang diributkan, nah kalau saya lagi mood sih saya nongkrong di rumah yang jadi pusat kegiatan hidup, tapi lebih seringnya sih saya ke sana kalau saya lapar atau air minum di kamar saya habis saja. Nah, itu dia, rahasia pertama adalah kalian harus mencintai dulu lingkungan yang sunyi. Orang penakut sangat tidak disarankan untuk mengikut nasihat ini.

Alasan kedua adalah adanya atmosfer menyenangkan layaknya kafe yang kita ciptakan di kamar kita. Seperti apakah ituuuuu?

  1. Siapkan meja belajar atau meja komputer yang dataran mejanya lega dan kosong
  2. Letakkan laptop di atasnya, sambungkan kabel baterai laptop ke terminal listrik yang ada on/off-nya jadi kalau baterainya habis, tinggal cetrekin doang.
  3. Siapkan cemilan atau makanan berat yang bisa kalian anggap sebagai camilan. Ya, kalau kalian biasa ngemil nasi, ya bawa aja nasi nggak apa-apa. Tapi kalau kalian serius mau bawa nasi ke dalam kamar, yakinkan diri kalian bahwa ibu atau bapak kalian nggak akan berubah jadi galak. Kalau bakal jadi galak, ya mendingan jangan, kecuali kalau kalian bisa cule-cule brekele bawa nasi ke kamar nggak pakai ketahuan. Jangan lupa juga nanti kalau udah beres makannya, balikin lagi piringnya ke tempat cuci piring. Ingat, jangan meninggalkan piring kotor di kamar.
  4. Kalau bawa cemilan nasi terlihat sangat penuh resiko, kalian bisa ganti camilan sesuai dengan kodrat. Bisa beli di supermarket atau warung terdekat atau kalau kalian kreatif seperti adik-adik saya, kalian bisa membuat sendiri bakpao, donat, atau pancake. Siapkan saja tepung terigu, telur, gula, dan fermipan di kantong belanja kalian. Biasanya pengeluaran untuk beli makanan jadi dengan makanan bikin sendiri lebih murah yang terakhir.
  5. Kalau makanan sudah ada, jangan lupa siapkan air putih biar nggak seret atau sakit gigi.
  6. Air putih pasti nggak cukup, dong. Kalau gitu kalian juga harus memasukkan kopi atau coklat ke dalam daftar belanjaan kalian setiap bulan. Seduh minuman tersebut secara bergantian dan jangan sering-sering juga, sih. Jangan sampai dalam sehari kalian menghabiskan 3 sachet kapucino. Saya nggak tahu sih apa efek buruknya, tapi yag jelas nggak nyaman juga sih pipis-pipis melulu tiap setegah jam.
  7. Laptop siap, makanan siap, minuman siap, kalau gitu mulai nyalakan modem.
  8. Buka situs yang perlu dibuka tapi jangan khilaf juga nongkrong di YM, fesbuk, twiter sampai lupa ngerjain skripsi kalian
  9. Biar agak nyantai dan nggak tertekan, nyalakan mp3 yang temponya nggak terlalu bingar. Paling aman itu tentu saja Sabrina. Tapi ingat, jangan sampai kalian terlalu sering mendengarkan sambil karaokean. Ini emang bikin relaks, tapi juga berpotensi besar membuat kalian lupa tujuan sebenarnya hidup di dunia ini, yakni mengerjakan skripsi. Sekalinya kalian karaoke, hidup kalian bisa berakhir di webcam untuk merekam video kalian bernyanyi.
  10. Ah, iya, siapkan juga kertas dan pulpen untuk mencatat hal-hal penting untuk dikutip yang kalian dapat dari buku elektronik atau situs penting. Jangan lupa juga tulis sumber kutipannya. Kalau kalian malas mencatat pakai tangan, pastikan notepad sudah terbuka.
  11. Pastikan YM berada dalam kondisi invis kecuali kalau sangat terpaksa, kalian bolehlah pasang status Busy.
  12. Jangan terlalu banyak berceracau di twiter karena kalian akan tergoda untuk terus mengetwit atau bete sama twit orang. Kalau kalian mau bersosialisasi, bolehlah buka YM terus konfrens dengan beberapa teman dekat kalian yang kalian percaya bisa meningkatkan kapasitas hati, otak, dan raga. Mulailah pembicaraan dari hal yang serius seperti blog salah satu anggota DPR yang nyinyir walaupun gelarnya sudah banyak, atau program nuklir Iran dan rencana embargo minyak yang akan dibalas oleh blokade Selat Hormus, atau pidato-pidato kampanye calon presiden dari Partai Republik, atau intersepsi pesawat PNG, atau demo sandal jepit, atau penangkapan kaum punk di Aceh. Setelah tema serius membuat kalian merasa lebih pintar, cobalah kalian seimbangkan perasaan sombong kalian dengan beberapa analisis mengenai blog atau stat fesbuk atau twit teman-teman kalian yang konyol, rame, annoying, atau kontroversial. Kalau sudah memanas, ganti topik dengan pembahasan mengenai kecengan atau mantan. Setelah kalian galau, matikan YM dan internet, save Word, close Adobe Reader dan Foxit Reader, matikan iTunes atau Windows Media Player, dan shut down.
Nah, kedua belas langkah di atas dijamin akan membuat kalian merasa nyaman tinggal berbelas jam di kamar kalian yang jauh dari keributan untuk mengerjakan skripsi.

Pacar?


Wih, judul posting ini syerem. Hahaha. Kalau ada anggota ormas Islam tertentu, jangan-jangan blog ini bisa di-report as spam. Hahaha.

Pacar. Jomblo. Pacar. Jomblo. Pacar. Jomblo. Ini tema yang paling banyak dibahas di lingkungan saya dan teman-teman saya akhir-akhir ini. Mungkin sudah tuntutan umur, tuntutan orang tua, tuntutan lingkungan, tuntutan dosen, dan tuntutan jaksa sehingga tema ini pun menjadi tema yang paling sering dibicarakan namun dalam kondisi saling ejek dan menertawai nasib. Hmmmm, tapi beda lagi sih kondisinya kalau saya berteman dengan komunitas agamis. Kalau saya membicarakan hal itu di depan mereka, pasti saya langsung difatwa sebagai gadis durjana yang sundal. MASYA ALLAH RIKI BAHASANYAAAAAA. Hahahahahhahahhaha. Mungkin kalau saya masuk ke dalam komunitas itu, bukan 'pacaran' yang akan saya sebut, tapi 'menikah'. Huffff. Nah, kebalikannya, kalau saya ngomongin 'menikah' di depan teman-teman saya yang sering nongkrong di perpustakaan, mal, tempat makan, dan kosan terdekat, nanti saya bakal dicibir ciyyeeehh ciyeeeehhh. Memang hidup ini pelik.

Kalau saya pikir-pikir, wajar, sih sebenarnya pada usia 22-24 ini teman-teman saya ramai membicarakan pacaran atau menikah. Akan terlalu lancang sepertinya kalau saya bilang ini berkaitan dengan dorongan seksual karena bagi saya sendiri persoalan pengen-pacaran atau pengen-menikah yang dirasakan pada fase umur ini rasa-rasanya tidak mengarah pada keinginan seksualitas. Saya lebih melihat dorongan nggak-pengen-sendirian-dalam-menghadapi-dunia-yang-kejam sebagai alasan pacaran dan menikah pada umur ini. 

Berdasarkan pemahaman yang saya refleksikan dari pengalaman pribadi dan analisis terhadap cerita-cerita teman-teman saya, hal yang paling dirasakan oleh kami adalah semacam perasaan insecure ketika mengingat umur dan semester kuliah. "Ih, gila, udah umur segini ajalah! Udah dibolehin pacaran tapi sama siapa dong?" ; "Aduh, bentar lagi lulus, terus nanti harus cari pacar dimana?" Kesalahan dari pertanyaan ini adalah janji palsu yang sering diucapkan orang tua kita waktu kita masih SMP atau SMA, lagi centil-centilnya dan lagi puber-pubernya tapi dilarang pacaran dengan iming-iming, "Nanti aja pas kuliah. Pandanganmu nanti terbuka lebar dan ada banyak pilihan di sana."

Bagi sebagian orang yang jodohnya sudah dekat, iming-iming itu memang benar, dalam kasus Bayu dan Fahmi, misalnya. Nah, namun hal tersebut tentu takbisa digeneralisasi. Itu hanya terjadi dalam perbadingan 2 : 5, yang sayangnya saya dan teman-teman saya (kecuali Bayu dan Fahmi) termasuk dalam golongan yang berjumlah tiga. Di Indonesia katakan ada 10 juta mahasiswa, nah kalikan dengan perbandingan itu, berarti akan ada 6 juta mahasiswa yang tidak memiliki kesempatan untuk tidak jomblo dalam masa perkuliahan, baik karena putus atau emang nggak dapet aja. Kemungkinan untuk masuk ke dalam 6 juta orang yang tidak beruntung itu sangat besar sekali, bukan? Plis, jangan jawab "Bukan."

Kalian nggak percaya sama perbandingan itu? Mari kita buktikan dari kisah hidup saya.
a. Kasus 1 : Fahmi, Bayu, Riki, Ayi, Desi. 
Punya pacar : Fahmi, Bayu
Jomblo : Riki, Ayi, Desi
.:. 2 : 5

b. Kasus 2 : Remon, Alex, Gigih, Mufli, Taufik
Punya pacar : Mufli, Taufik
Jomblo : Remon, Alex, Gigih
.:. 2 : 5

c. Kasus 3 : Riri, Rizka, Vita, Gori, Ami
Punya pacar : Rizka, Ami
Jomblo : Vita, Riri, Gori
.:. 2 : 5

d. Kasus 4 : Solpa, Ari, Gofur, Aros, Zet
Punya pacar : Gofur, Zet
Jomblo : Solpa, Ari, Aros
.:. 2 : 5

e. Kasus 5 : Lydia, Anin, Pradip, Fransis, Bima
Punya pacar : Lydia, Anin
Jomblo : Pradip, Fransis, Bima
.:. 2 : 5

Masih banyak kasus lain, tapi takut disangka buka aib. Nah, tapi terlihat kan bahwa perbandingan itu nyata dan iming-iming orang tua kita tidak selalu menjadi kenyataan?


Alasan kedua setelah insecure adalah insecure. Loh? Iya, lagi-lagi insecure. Saya sih yakin banget teman-teman saya yang jomblo di atas itu nggak butuh diingetin lewat sms buat makan, solat, dan tidur karena mereka makannya banyak, soleh, dan liat bantal langsung tidur. Selain itu, sebagai anak yang lahir di keluarga kaya raya nan sejahtera (alhamdulillah), kami masih punya alarm yang menemani. Kayaknya kami nggak butuh pacar untuk mengatakan perhatian artifisial seperti itu, deh. Kenapa artifisial? Berdasarkan pengalaman para ahli, sms macam gitu sih cuma manis di dua bulan awal aja, ke sana-sananya sih rutinitas tak berjiwa lagi. Secara kita bukan anak SMP atau SMA lagi gituh. Ada hal yang jauh lebih bikin insecure ketimbang nggak ada yang ngingetin makan, yakni insecure ngga punya teman paling setia untuk berbagi banyak hal, dari mulai gosip, buah pikiran, kesenangan, kesedihan, kebetean, kegembiraan, keharuan, kesakitan, dan tentu saja kekayaan dan kemiskinan. Dengan umur yang semakin menginjak usia bekerja yang mengharuskan kami (eh kalian juga termasuk, jadi saya ganti dengan kata 'kita' deh ya) berpisah dari urusan pertemanan akrab nan tulus pada masa sekolah dan kuliah, akhirnya kita pun membutuhkan orang yang bisa kita percaya untuk bisa menerima dan menyayangi kita apa pun keadaan kita. Semacam butuh seseorang yang bisa diandalkan untuk ditelpon waktu liat gosip Syahrini ngutang di warteg, di-YM-in pas kita bingung mengolah data buat bab 5 kita, disms waktu kita nemu uang gocengan di depan alfamart, didatengin kosannya waktu kita pias tiba-tiba disuruh revisi tanpa dikasih tahu apa yang salah dari skripsi kita, diajak jalan-jalan waktu kita dapet honor lebih, ditulis di Ucapan Terima Kasih skripsi, dan tentu saja diundang untuk menjadi pendamping wisuda kita. *ngetik ini sambil sesenggukan.* Saya rasa hal-hal seperti itulah yang sebenarnya mendorong kita untuk galau massal di twiter sambil saling ngatain, "Ah, jomblo lu!" sebagai #kode kalau kita menginginkan keberadaan orang yang bisa kita andalkan jauh lebih intens dibanding teman-teman biasa (yang sebentar lagi pasti akan berpisah dengan kita).

Dengan adanya dua alasan yang saya yakin melatarbelakangi #kode-kode pengen punya pacar itulah saya nggak setuju sama pernyataan bahwa pacaran itu haram. Hmmm, harus ditelusuri dulu niatnya apa dong. Walaupun saya nggak menampik adanya kemungkinan berkembangnya niat aseksual menjadi niat seksual dalam pacaran,  saya rasa hal itu nggak bisa digeneralisasi juga untuk bersikap terlampau anti pada pacaran kemudian melampiaskannya pada arah yang halal, yakni menikah. Dengan dua alasan yang saya sebutkan tadi, bagi saya, menikah adalah langkah yang terlalu berat. Semacam overdosis dan overreaksi. Kamu sakit flu tapi saluran pernafasan kamu dioperasi. Terserah bila pernyataan saya barusan langsung difatwa dengan serentetan hadis dan ayat quran yang intinya bilang kalau dalam Islam nggak ada pacaran atau berduaan itu bisa mengundang setan. Saya cuma mau bilang, menikah adalah hal serius yang kurang tepat diaplikasikan sebagai solusi bagi lonjakan kondisi insecure kita yang sebenarnya fase seperti ini tidak akan berlangsung lama. Bisa dibilang, fase insecure kita saat ini adalah fase labil kita yang lebih baik diisi dengan bertafakur dan bersabar sampai kita dipertemukan dengan jodoh kita dan alasan yang menguatkan kita untuk yakin hidup bersama dia, menghadapi segala badai dan pelangi *kampret emang bahasa gue*, dan membentuk keluarga yang menjadi rumah bagi kita, dia, dan anak-anak. Menikah itu sungguhlah hal pertama di atas skripsi, tesis, dan disertasi yang membutuhkan kedewasaan tingkat tinggi. Kalau kita, hanya dengan dua alasan insecure yang saya sebutkan tadi menjadikan menikah sebagai solusi, bagi saya nggak seimbang dan malah memicu persoalan baru. 

Nah, jadi pacarankah solusinya?

Itu tergantung dari sudut pandang kita juga, sih. Intinya kalau kita berada pada fase insecure yang temporer itu sih saya nggak menyarankan untuk menikah. Masalah apakah kita kalau gitu mending pacaran aja atau stay single sambil shalat hajat sih balik ke kitanya sendiri. Kalau kita memilih untuk pacaran, maka berhati-hatilah agar tidak terjerumus ke lubang yang nantinya berat lagi kita tanggung. Kecuali kalau kita bisa menanggungnya di hadapan Allah, orang tua, tetangga, teman, dan jutaan orang kepo di seluruh dunia ya itu sih pilihan. Nah, kalau kitanya sendiri nggak yakin bisa istiqamah menjaga niat aseksual kita, ya lebih baik kita bersabar dalam keadaan jomblo sambil berdoa yang getol biar dikasih orang terbaik di waktu terbaik. Kemarin juga sih sempat conference di YM sama Ayi, Dewa, Remon, terus saya nyeletuk, bersyukur masih jomblo kita sekarang jadi masih bisa berteman kayak begini, malem-malem conference ngomongin hal absurd, coba kalau udah punya pacar atau nikah, mana ada masa kayak gini lagi. Ya, agak nggak ikhlas juga sih saya ngomongnya. Itu mah asli menghibur diri, hahahaha. Tapi ya sepertinya memang kita harus bersyukur sih atas apa pun yang diberikan pada kita karena pasti ada alasannya. Ya, kelabilan pengen punya seseorang yag kita andalkan ya dinikmati dulu sajalah. Perasaan juga kalau nanti kita punya pacar atau suami atau istri juga kita masih nggak bakal nemuin istilah happily ever after itu nyata di dunia ini. Haha.

Ark. Jan'12.

naif


Saya kadang berpikir bahwa cinta yang paling naif adalah cinta orang tua kepada anaknya. Naif. Sangat naif sekali. Cinta yang tanpa me-rechek apakah anaknya pantas diberi cinta yang seperti itu. By that term (cinta yang seperti itu), I refer to a condition when the children lie to their parent, especially in money-matter and achievement-matter, then the parent plainly, strongly, naively, believe it and give a cup of shit matter that their children had asked. 

I did that. Err, I mean, always do that. And it gets me fed up everytime I find other children lie enormously to their parent and their parent, based on the that damn story, sacrifice so much, much, much, much, much, muchhhhhh, yet the children live happily without knowing the cost their parent paid. It sucks.