Kemaren-kemaren baca buku Raditya Dika-nya David. Tapi belom yang terbaru. Yang ini aja belom dibalikin. Belom kelar semua dibacanya. Banyak kemalesan yang harus ditumpas nih makanya baca novel aga harus ditunda. Heuheu. Sebelumnya juga baru beres baca Beuty Case yang dipinjem dari Septaris. Kebetulan lagi nggak ada kesibukan makanya cepet beres baca Beauty Case.
Garing banget ya bacaan saya, secara juga gituh itu buku udah ada dari jaman saya masi pake seragam (seragam TK kali ya...hehe), tapi saya seneng tuh baru bisa baca sekarang, ya pikiran saya udah aga nyambung kan buat membaca suatu karya secara objektif.
Ya, saya pikir, mungkin kalau saya baca Beauty Case waktu jaman saya masi sekolah, saya bakal setuju bahwa kecantikan adalah branded dan punya pasangan yang bereputasi. Dan kalau saya baca Raditya waku saya masih sekolah, saya cuman bisa dapet ketawa-tawa tanpa ada intisari yang diambil.
Membahas Beauty Case dulu ya kita. Di chapter-chapter awal saya sempat tergoncang juga. Buset
Jetlag banget dah intinya pas baca bagian awalnya. Nggak bermaksud sirik sih, tapi emangnya ada ya kehidupan yang kayak gitu? I mean, kehidupan seorang sarjana yang harusnya bisa dong lebih dewasa dalam menghadapi hidup, yang harusnya bisa mendeskripsikan kebahagiaan bukan hanya bisa didapat lewat menjadi pemenang kompetisi mendapatkan pria yang jadi idaman nasional karena dia anggota keluarga tokoh masyarakat, yang harusnya nggak selabil itu tengkar sama sahabatnya gara-gara dia merasa bisa memenangkan kontes tersebut meski dia bukan seorang top mpdel super maha cantik. Nggak logis aja gituh. Intinya dia kayak anak SMA aja.
Saya nggak tahu apakah emang bener cinta segitu bisanya membutakan seseorang sehingga seorang sarjana berumur seperempat abad pun jadi begitu labil dan cengeng menghadapi hidup. Dia selalu nanya apakah dia cantik hanya untuk membuktikan bahwa dia nggak jelek-jelek amat buat ngedampingin si pria yang bersangkutan dan nggak parah-parah amat kalau dibandingin sama super model maha cantik, maha indah yang juga ngeceng pria itu yang ternyata si top model itu udah jadian sama si pria. Dia juga menutupi ‘kekurangan’-nya dengan membeli berbagai barang bermerk untuk membuat ia berpikir bahwa ia cantik. Novel itu juga seolah mengiyakan bahwa hobi cewek adalah belanja, spesifiknya belanja barang bermerk, terutama kalau si cewek tersebut lagi stress atau emang lagi kambuh aja shopaholiknya. Saya juga heran, kenapa seorang yang jelas-jelas dia adalah freelancer, yang artinya duitnya nggak menentu bisa segitu kayanya belanja barang bermerk, dan dia sama sekali nggak saying sama duitnya. O wow , konyol juga sebenernya saya mikirin hal ini . heuheu. Tapi miris aja sih, siapa wanita yang sedang diceritakan Icha Rahmanti ini? Apa dia beneran ada? Golongan mana yang sedang Icha wakili?
Saya yakin pasti ada. Pertama, nggak mungkin juga Icha bikin novel tanpa ada latar belakang. Kedua, counter barang bermerk yang harganya bisa buat subsidi BBM itu juga masih menjamur dan selalu punya stok baru untuk dijual, yang artinya memang dia punya pasar. Ketiga, pasti kita juga udah nggak asing sama majalah-majalah cewek atau wanita yang memang mengajarkan bahwa dunia perempuan nggak akan jauh dari namanya fashion, make up, and being ellegant and smart by wearing the right stuffs, upsssssssssss also how to get the ’most everything’ guy. Pikiran kita udah dikonstruk untuk menghargai diri kita (kita :wanita) sebagai makhluk yang cantik lewat barang mahal dan cantik yang harus kita dapatkan melalui keringat kita sendiri. Itulah kebahagiaan kita, katanya.
Nggak muna juga, saya akuin emang yang kayak gitu indah, tapi kan itu nggak realistis aja. Menurut Feminisme post kolonial (kalau nggak salah nyatet), bentuk ’penghargaan’ seperti itu tanpa kita sadari sebenarnya sedang ’melecehkan’ kita, terutama wanita di belahan dunia selatan. Kata penganut Feminisme aliran itu, selama ini yang punya suara untuk dihargai hanyalah wanita dari belahan bumi utara alias negara maju. Buktinya segala definisi kecantikan selalu berkait dengan ciri klas utara atau klas borjuis global. Kulit putih, barang bermerk utara, gaya hidup utara, dan lainnya. Sementara yang selatan? Well, pikiran mereka sudah terkonstruk bahwa mereka nggak cantik karena mereka nggak kayak cewek di iklan, mereka nggak pakai baju dengan merk yang dipamerkan di peragaan busana Prancis, dan mereka nggak bekerja di luar, tanpa suami, tanpa anak, atau minimal tanpa gangguan anak dan suami. Selain itu, dalam pandangan saya, citra keutaraan nggak realistis karena budaya selatan beda dengan budaya utara. Dari mana-mana itu beda banget. Nggak realistis aja kalau kita menuntut kehidupan utara untuk kita penuhi di sini alias di selatan. Salah satunya kayak deskripsi cantik itu.
Pose-pose Icha di novel itu walaupun saya akui memang dari artistiknya bisa dibilang indah, saya masih merasa bahwa pose itu seolah menunjukkan bahwa kecantikan juga identik dengan kesensualan. Kesensualan dari angle belahan buah dada kita diperlihatkan, dari cara kita melirik, dari cara kita memanyunkan bibir, dari warna make up kita, dari cara kita berbaring miring, dari cara kita duduk, and so on. Saya melihatnya cukup annoying, jujur. Penasaran aja gituh...”Kenapa harus demikian?” Secara agama, terutama agama Islam, kita diminta untuk menjauhi hal seperti itu, ya elah jangankan dari kesensualan dari gerak gerik, orang dari bau parfum aja kita udah diwanti-wanti ya kan ? Selain itu, budaya tertutup kita juga sama sekali nggak mengizinkan kita untuk berpose demikian.
Tapi kenapa budaya utara mengesahkan hal tersebut?
Dalam pandangan saya, ada perbedaan bagaimana cara utara dan cara selatan menghargai wanita.
Pertama, dari cara utara. Mereka menghargai wanita dengan jalan memberikan kebebasan sebebasnya-bebasnya bagi wanita untuk mengeksplorasi kecantikannya. Dari karir, dari branded, dari sensualitas. Kedua, tentang cara selatan. Cara selatan menghargai wanita adalah dengan cara menjaga agar si wanita tidak menjadi objek fantasi laki-laki melalui lekuk sensualitasnya, melalui karirnya yang mengajarinya tiga prinsip realisme ala Tim Dunne (heuheu), Survival, Self Help, Statism (mari kita ganti istilah Statism yang artinya mengutamakan negara sebagai aktor internasional menjadi Selfism alias mengutamakan diri sendiri sebagai aktor yang utama. Waahahahaha, Maafkan dosen PHI...saya ngaco), dan melalui branded-branded yang lisensinya diperoleh dari utara namun dibuat oleh para buruh murahan di selatan.
Perbedaan cara itulah yang belum banyak disadari.
Kebanyakan warga selatan menganggap bahwa warga utara adalah warga penuh dengan peradaban sehingga menurut mereka, untuk dapat mengikuti peradaban, mereka harus pula mengikuti gaya hidup si utara. Memang ada beberapa prinsip yang patut kita contoh dari utara seperti bagaimana mereka meletakkan wanita sebagai makhluk yang juga memiliki hak seperti pria, namun kembali lagi pada pernyataan Feminisme Post Kolonial yang diwakili Gayatri Spivak bahwa penindasan terhadap perempuan sangat berkaitan dengan perbedaan ras dan klas secara global dimana salah satu penjelasannya menujukkan bahwa belum semua perempuan dapat menyuarakan suaranya. Hanya perempuan dengan ras tertentu lah yang dapat menunjukkan eksistensinya dan menuduh budaya yang berbeda dengan budaya mereka adalah budaya yang sesat, yang menyudutkan wanita. Padahal di budaya yangberbeda itu, alis budaya selatan, hal seperti itu adalah fair, benar, dan wajar.
Tidak ada yang patut dipersalahkan dalam perbedaan kedua pandangan atas penghargaan wanita dari ras utara dengan ras selatan. Dengan budaya yang berbeda maka akan tercipta pula pandangan yang berbeda. Namun yang jadi permasalahan adalah ketika satu budaya mencoba mendominasi budaya lain dengan menuding bahwa budaya yang terekspansi tersebut adalah budaya yang salah yang artinya harus ditinggalkan oleh penganutnya lewat doktrin-doktrin yang meresahkan para pengawas peraturan/norma. Globalisasi salah satu pencetus terhebatnya. Kalau globalisasi nggak ada, mungkin nggak sih keresahan akan definisi cantik yang diungkapkan Icha dalam novelnya bisa terbit? Mungkin nggak sih merk internasional yang mahalnya selangit itu bakal terdistribusikan ke negara berkembang yang butuh duit untuk keperluan yang lebih urgent daripada memberikan asetnya ke negara maju? Mungkin nggak sih kalau globalisasi nggak ada, perbudakan atas wanita di negara berkembang itu ada? Kalau globalisasi nggak ada, mungkin nggak sih monokulturalisme global ini terjadi?
Ya intinya kita kembali mempersalahkan globalisasi, baik lewat teknologi kayak sekarang maupun lewat kolonialisme kayak beberapa dekade atau abad lalu. Globalisasi juga sebenernya nggak jelek. Hidup kita nggak akan lebih berwarna kalau nggak ada globalisasi. Yang paling dibutuhkan sekarang adalah pengharagaan terhadap budaya. Kenapa hanya dengan globalisasi lima menit kita meninjau ulang semua kebudayaan kita yang terbangun sejak zaman nenek moyang kita nyembah matahari? Meninjaunya bukan untuk introspeksi, mengenal, memperkaya khazanah, dan memajukan budaya kita tapi malah menghancurkan budaya kita, itu masalahnya. Akhirnya yang timbul dalam diri kita adalah keresahan. Anomie, istilah sosiologinya (kalau nggak salah juga, ini pelajaran kelas 1 SMA). Resah aja, kita belum punya pegangan baru alias masih linglung karena belum mampu tapi kita udah ngelepasin identitas lama kita.
Alhasil, salah satu contohnya adalah terbitnya Beauty Case.
Yah, gitulah. Beauty Case. Agak gerah ngebacanya tapi akhirnya membuat saya sadar bahwa inilah keresahan social yang paling dekat di sekeliling kita, Kecantikan.
(Ark.Mei’08)