Setelah Jumat lalu saya mengunjungi BSM, saya jadi kepikiran untuk mengunjungi mal-mal lain yang berada di Bandung. Sama sekali bukan untuk belanja, kok (errrr...tapi sempat membeli beberapa-suatu juga sih akhirnya). Saya lagi latihan menangkap citra-citra brilliance, beauty, benignity di mal supaya nanti kalau saya turun observasi lapangan di Singapura buat skripsi saya, saya nggak grogi lagi. Haha. Selain itu juga saya lagi menguji coba kamera hape saya apakah bisa digunakan sebagai alat kunci perekaman objek. Apa pasal? Pasalnya adalah kamera digital saya rusak dan kayaknya sayang aja kalau saya beli kamera digital baru. Nah, dalam melaksanakan uji coba tersebut, untuk menghindari niat belaka tanpa ada eksekusi, akhirnya pada hari Senin yang siangnya cerah dan sorenya hujan, saya pun melangkahkan motor ke Cihampelas Walk dan Bandung Indah Plaza setelah saya mengunjungi Kantor Pajak Majalaya di Jalan Peta. Sempat hujan deras dan jaket saya basah kuyup (termasuk juga sayalah tentunya), tapi hal tersebut tidak mengurangi kegigihan saya. Asek. Saya memulai petualangan mal pada pukul 16.30 hingga pukul 21.00. Kenapa lama sekali? Karena pada prinsipnya janganlah menyia-nyiakan perjalanan Anda tanpa menoleh-noleh Fitting Room.
Cihampelas Walk
Bangunan utama Ciwalk
|
Saya melihat beberapa hal yang mendorong kentalnya citra beauty di Ciwalk. Pertama karena Ciwalk harus bersaing menarik kunjungan wisatawan yang menyambangi toko-toko jeans di sekitarnya. Di kawasan Cihampelas, meskipun Ciwalk menjadi the only one mall, bukan berarti Ciwalk tidak memiliki saingan. Dalam hal ini, kita harus melihat Ciwalk tidak sebagai mal, tetapi sebagai toko yang menjual komoditas yang berada di kawasan turisme. Dibandingkan dengan toko-toko jeans di sekitarnya, Ciwalk tidak memiliki keunikan komoditas yang dijual. Ciwalk memang memiliki J.Co, Yogya Department Store, Adidas, Elizabeth, dan toko-toko bermerk lainnya, tetapi toko-toko seperti itu juga bisa ditemui para turis di wilayah asalnya. Selain itu, komoditas di Ciwalk juga dijual dengan harga yang standar alias di seluruh Indonesia atau singkat cerita, tidak ada harga atau promosi khusus bagi para pengunjung mal.
Kedua, kesatuan tema dengan bagunan-bangunan toko di kawasan Cihampelas menjadi alasan juga bagi Ciwalk untuk menjadi mal yang cantik. Sebagai bangunan yang terletak di kawasan yang bertema unik, tentu Ciwalk juga harus berada di dalam tema agar tidak menjadi alien. Kelebihan Ciwalk pada poin ini adalah sebagai mal, Ciwalk memiliki fleksibilitas yang tinggi untuk mempercantik diri dalam tema tertentu sesuai dengan perayaan terdekat. Ciwalk pun memiliki banyak wajah yang bisa dinanti-nanti oleh para wisatawan. Dalam perayaan Natal dan Tahun Baru kali ini, misalnya, kita bisa menikmati elemen estetik Ciwalk sejak kita masih berada di luar bangunan mal Ciwalk. Di ruang terbukanya yang luas, kita dengan mudah menemukan lampu-lampu Natal yang dirangkai di pepohonan, boneka salju lengkap dengan elemen-yang-saya-nggak-tahu-namanya-apa-tapi-bentuknya-seperti-tongkat, dan tentu saja pohon Natal yang besar lengkap dengan bintang-bintang cantiknya yang dengan mudah menarik perhatian pengunjung untuk berfoto di dekatnya.
Bandung Indah Plaza
Menjadi mal yang kebanyakan dikunjungi oleh warga lokal sekaligus menjadi ikon belanja tertua di Bandung membuat BIP berbeda dari Ciwalk yang mengeksplorasi citra beauty dalam aspek tourism. BIP dalam kacamata saya merupakan mal fungsional yang hanya bisa dilihat sebagai ruang perdagangan atau trade. BIP seolah bersepakat dengan warga Bandung bahwa BIP adalah tempat untuk berbelanja saja atau maksimal tempat bertemu/berkumpul dengan kawan. Dengan adanya 'kesepakatan' yang diamini secara tidak sadar tersebut, BIP seakan mendapat jaminan bahwa pengunjung yang mendatangi BIP hampir pasti akan mengeluarkan uangnya untuk membeli sesuatu atau banyak-suatu. BIP pun tidak perlu membuang banyak dana untuk mempercantik dirinya sebagaimana Ciwalk untuk menarik kunjungan dan pembelian.
Nilai yang terkandung dalam BIP tersebut kemudian menggiring karakteristik BIP yang kita temui sekarang. Pertama, gerai-gerai di BIP merupakan gerai yang populer di mata masyarakat dan memiliki harga yang terjangkau. Keberadaan gerai-gerai tersebut kemudian menjadikan BIP sebagai mal yang ramah bagi penduduk Bandung. Tidak ada pengklasan sosial di BIP sehingga BIP menjadi ruang perkumpulan bagi masyarakat kota. Kedua, BIP juga merupakan mal yang paling banyak menawarkan diskon. Meskipun BIP juga tidak memiliki kebijakan kartu anggota yang memungkinkan pemberian potongan harga di gerai-gerainya sebagaimana Ciwalk, gerai-gerai di BIP kerap menawarkan diskon, bahkan tanpa perlu didorong perayaan khusus. Kedua hal tersebut membuat saya menyimpulkan bahwa BIP secara khusus mengeksplorasi citra benignity atau yang didefinisikan oleh Alexander Vuving sebagai kesantunan dalam bentuk pertolongan, perlindungan, dukungan, perhatian, penghormatan terhadap kebutuhan dan kepentingan subjek. Diskon yang diperlihatkan melalui banner-banner di depan gerai yang bersangkutan atau secara terkoordinasi diletakkan di tempat-tempat strategis oleh BIP merupakan representasi dari citra benign dari aspek trade yang ditujukan BIP untuk menarik dan mempertahankan konsumsi dari para pengunjungnya.
Usaha untuk mendorong kunjungan dan konsumsi yang terus-menerus dari pengunjungnya juga dilakukan BIP melalui penyelenggaraan live event. Dalam perayaan Natal dan Tahun Baru kali ini BIP secara khusus menyebarkan pamflet-pamflet serta poster yang berisi jadwal pertunjukan langsung. BSM juga melakukan usaha serupa, sebenarnya, namun promosi yang dilakukan BSM tidak segencar promosi yang dilakukan oleh BIP. Dengan adanya live event sebagai pengganti penampilan visual tema Natal seperti yang dilakukan Ciwalk, BIP ingin menyampaikan pesan perayaan yang vibrant atau hidup kepada para pengunjungnya. Berbeda dari Ciwalk yang berkomunikasi melalui penampilan visual, BIP berkomunikasi melalui audio. Namun demikian, tujuan keduanya sama, yakni mengajak pengunjungnya untuk terlibat dalam perayaan yang mereka buat yang kemudian berujung pada konsumsi. Ya, bagaimanapun juga, keduanya tetap mal yang hidup dari konsumsi para pengunjungnya.
Mal dan Ruang yang Tidak Pernah Kosong Makna
Mal bagi saya merupakan ruang yang paling banyak memuat citra atau yang disebut Daniel J.Borrstin di dalam The Image sebagai profil berupa nilai simbolik menyenangkan yang sengaja diciptakan untuk diperlihatkan kepada publik. Citra yang berasal dari penajaman beberapa hal tertentu yang dianggap dapat menarik perhatian publik diperlukan demi tujuan stand out from the crowd atau menjadi pembeda yang kasat mata sehingga mampu mengantarkan suatu obyek menjadi pemenang persaingan. Mal jelas membutuhkan pengeksplorasian citra, baik untuk bersaing dengan sesama mal maupun untuk bersaing dengan toko-toko tradisional, department store, atau pasar swalayan. Apalagi, beban mal dibandingkan dengan jenis toko lainnya lebih berat karena mal memuat banyak toko yang berusaha menghadirkan konsep one stop shopping.
Pengeksplorasian citra pun dapat kita temukan di seluruh mal yang ada di dunia, dengan contoh yang paling dekat adalah Ciwalk dan BIP. Sama-sama terletak di Bandung, kedua mal ini mengeksplorasi citra berbeda pada aspek yang berbeda untuk menarik perhatian khalayak meski keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni menciptakan konsumsi terus-menerus dari pengunjung. Ciwalk lebih mengekplorasi citra beauty dalam aspek turismenya, sedangkan BIP mengeksplorasi citra benign dalam aspek perdagangannya. Dari pengeksplorasian citra yang berbeda tersebut, Ciwalk dan BIP pun memiliki karakteristik yang berbeda meskipun semua mengamini bahwa keduanya adalah mal.
Kentalnya mal dengan citra-citra membuat mal tidak lagi cukup apabila hanya dianggap sebagai ruang tanpa makna. Bahkan, mal dalam pandangan Margaret Crawford merupakan contoh dari hiperrealitas dan menurut Featherstone merupakan ruang spektakuler yang
mengonotasikan kemewahan, impian, dan nostalgia. Pengunjung mal pun dibuat terkesan oleh citra-citra yang terdapat di mal dan digiring untuk tidak bisa membedakan mana citra dan mana realita. Dari kesenangan dan kebiasan yang ditimbulkan oleh citra tersebut, pengunjung merasa betah berada di mal dan tidak berkeberatan menghabiskan lebih banyak lagi uangnya di sana. Lebih jauh lagi, keberadaan mal malah telah menjadi sebuah syarat bagi kota atau bahkan negara untuk dapat dikategorikan sebagai tujuan/destinasi yang menarik dan patut dikunjungi. Mal pada masa kini telah berkembang menjadi salah satu aspek yang harus dipertimbangkan dalam GNC atau Gross National Cool suatu negara :).
Ark. Des'11