Susahnya Sekolah Saat Pandemi

 Memang urusan pandemi ini tidak ada yang mudah. Masih banyak orang yang berusaha beradaptasi, dan tetap gagal meski sudah memasuki tahun kedua semua urusan dipindahkan ke layar digital. Salah satu yang kesulitan adalah guru SD kelas 1. Lagi-lagi tentu tidak semua. Terima kasih kepada Orde Baru yang telah mengajarkan kata ‘oknum’ sehingga kita semua bisa berkeluh kesah tanpa menyinggung semua pihak yang satu profesi. 

 

Jadi kita sepakat ya untuk menganggap kisah ini sebagai hal nyata yang disebabkan oleh oknum.

 

Sepakat.

 

Baiklah.

 

Waktu pandemi menyerang dunia ini secara merata mulai awal tahun 2020, saya yang masih bersekolah juga mendapat imbas. Saya tidak bisa ke kampus dan semua perkuliahan disiarkan di aplikasi digital. Kendala yang dikeluhkan teman-teman dan saya tentu tidak jauh-jauh dari kesulitan berinteraksi, canggung saat diskusi karena pada saat yang bersamaan melihat wajah sendiri di layar (sebabnya konsentrasi terpecah antara bicara dan kontrol muka), jenuh karena bangun tidur langsung membuka laptop untuk kuliah dan semua dilakukan di satu ruangan yang dinamakan kamar, dan kecanggungan-kecanggungan lain. Kadang-kadang kami mengalami gangguan koneksi atau dosen kesulitan menyampaikan paparan materi karena fitur sharing screen mendadak membuat komputer lambat bekerja. Namun kecanggungan itu hanya terjadi di bulan pertama. Setelah satu semester dilalui, kami mulai fasih dengan segala kesulitan pembelajaran tatap layar. Saya malah dengan pongahnya sempat berpikir bahwa sepertinya dibanding dengan kantor, sekolah lebih mudah beradaptasi memindahkan semua urusan ke gawai selama masa pandemi. 

 

Ternyata memang saya salah dan abai telah memiliki keyakinan itu.

 

Tentu saja saya bisa menganggap fase transisi ini sebagai fase yang mudah karena saya sedang mengenyam pendidikan S2 di sekolah swasta di luar negeri. Fasilitas lengkap dan keinginan belajar dan mengajar dari murid dan profesor juga tinggi sehingga membuat kesulitan pembelajaran jarak jauh dapat diatasi. Bagaimana dengan pembelajaran sekolah bagi anak-anak sekolah dasar negeri yang sangat beragam latar belakang murid dan gurunya? Apalagi bila jenjang sekolahnya masih dasar sekali, seperti kelas 1 dan 2 SD.

 

Pembelajaran jarak jauh bagi anak SD bukan persoalan mudah. Anak SD kelas 1 dan 2 masih harus dibimbing penuh oleh guru, terutama dalam hal pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Memang idealnya pelajaran mendasar seperti itu dilakukan di kelas dan bersama-sama karena guru bisa mengajak murid fokus pada hal-hal yang dipimpin guru di kelas. Bila pembelajaran dilakukan murni melalui komputer atau ponsel pintar, bagaimana cara mengajak anak-anak fokus pada hal yang sama di layar? Mungkin seharusnya bisa karena toh anak-anak fasih menonton televisi. Anggap saja sekarang belajarnya melalui video. Tetapi kenyataannya tidak semudah itu, apalagi bila peserta di dalam pembelajarannya lebih dari 20 anak. Hal yang sulit adalah bagaimana cara guru mengontrol pekerjaan tulisan tangan murid? Bagaimana guru mengawasi cara murid memahami tugas berhitung? Bagaimana guru mengetahui anak-anak yang tidak mampu atau tidak mau mengikuti pelajaran membaca? Ada kontrol guru yang hilang dalam pembelajaran jarak jauh dan akan berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan dasar anak-anak.

 

Pembelajaran jarak jauh dan keterbatasan guru dalam mengajar menimbulkan tantangan serius bagi orang tua. Mereka kini harus mengajari anak-anaknya secara penuh untuk membaca, menulis, dan berhitung. Memang sebelum pandemi pun orang tua sudah terlibat dalam pendidikan anak, tetapi kondisi pandemi ini membuat orang tua lebih repot karena mereka juga harus berperan ganda sebagai guru, tidak hanya sebagai pemberi suplemen pelajaran. Belum lagi ada beberapa sekolah dan guru yang memberikan banyak tugas untuk murid sehingga orang tua ikut menghapal perintah dan tanggal pengumpulan tugas. Beberapa orang tua yang memiliki keterbatasan tenaga pada akhirnya merasa perlu untuk mengeluarkan tambahan biaya untuk mendukung pembelajaran anaknya, contohnya untuk keperluan les. Namun tentu itu hanya untuk orang tua yang memiliki penghasilan lebih. Bagaimana dengan orang tua yang tidak bisa mengeluarkan tambahan untuk mendukung kelancaran pembelajaran anak? Apakah mereka harus total mendedikasikan waktunya untuk sekolah anak-anaknya? Ya memang mendidik anak adalah salah satu kewajiban orang tua. Akan tetapi, perlu dipertimbangkan juga bahwa ada orang tua yang tidak memiliki keleluasaan untuk mendedikasikan waktunya secara penuh.

 

Sebagai jalan tengah, mungkin harus dipertimbangkan pentingnya sekolah dan guru untuk memahami bahwa latar belakang murid berbeda-beda sehingga tidak akan mudah juga untuk membebankan seluruh kegiatan belajar mengajar kepada orang tua. Sekolah dan guru tidak bisa hanya memberikan tugas dan mencatat siapa yang belajar dan tidak belajar dari indikator pengumpulan tugas. Sekolah dan guru tetap harus mengoptimalkan pertemuan jarak jauh untuk menyampaikan materi. Ekspektasi guru dan murid pun perlu diturunkan. Keadaan saat ini sedang sulit dan tidak normal sehingga target pengajaran dan standar penilaian seharusnya bisa disesuaikan. Ditambah lagi semua orang, dari guru, murid, orang tua, jenuh dengan keadaan ini. Dalam keadaan tidak normal seperti sekarang, yang harus ditekankan adalah proses pembelajarannya, bukan ceklis dan hasil ujian. Tidak perlu rasanya apabila guru atau sekolah membuat kebijakan serba dadakan, apalagi dengan tujuan mengawasi siswa betulan belajar atau bermain. Dalam kondisi jarak jauh, ada baiknya agar semua hal memiliki jadwal yang ajeg sehingga semua pihak punya rencana dan kesiapan melaksanakannya. Bila semua pihak tetap memiiki ekspektasi tinggi dan suka melakukan tindakan tiba-tiba, baik guru, murid, maupun orang tua akan merasa lebih lelah dan pada akhirnya proses belajar mengajar akan sulit berjalan dengan lancar.

 

Kembali lagi ke persoalan tantangan belajar jarak jauh siswa SD kelas 1-2. Tulisan ini lahir karena keprihatinan saya kepada kawan baik saya yang kerepotan mengurus sekolah anaknya. Dalam dua hari terakhir ia sudah dibuat senewen oleh jadwal dan format ujian yang diubah di detik terakhir. Di jadwal sekolah tertulis yang dikirim guru kepada orang tua, disebutkan bahwa ujian akan dilaksanakan secara tatap muka di rumah guru. Berangkatlah anaknya ke rumah gurunya. Eh, ketika anaknya sudah berangkat, muncul pengumuman bahwa ujiannya akan dilakukan secara online melalui google form. Ya ampun. Masih belum selesai. Masih dari jadwal tertulis yang dikirimkan guru kepada orang tua, disebutkan bahwa ujian tengah semester pada hari A adalah Matematika. Namun kemudian, ketika sudah sampai sekolah, yang diujikan adalah PPKN dan Olahraga. Bagaimana tidak pusing orang tua dan anak menghadapi perubahan jadwal yang tiba-tiba ini?

 

Ark. Sep’21.

Istirahat untuk Diri Sendiri

    Mari kita membuka postingan blog ini dengan kata-kata klasik: Wah, sudah lama tidak menulis, ya!

Memang betul, sudah lama blog ini tidak diisi lagi, padahal hidup sudah berjalan begitu lama dan ada banyak juga yang terjadi. Anyway, sebelum saya tergoda untuk menulis hal-hal yang selama ini sudah terjadi dan akhirnya malah tidak jadi menulis tema utama di postingan ini, mari kita hentikan prolognya. 

Kali ini saya ingin bercerita tentang berbagai hal yang selama ini saya lakukan untuk….

  • -       Menghilangkan stress?
  • -       Menghibur diri?
  • -       Mengisi waktu luang?
  • -       Kabur dari kenyataan?
  • -       Iseng?
  • -       Awalnya iseng-iseng lalu keterusan?
  • -       Menambah wawasan?

Saya bingung juga mencari tujuannya hehehe. Mungkin tujuan besarnya adalah untuk me-time mungkin ya. Akhir-akhir ini memang saya lagi merasa banyak tertekan selama proses adaptasi kembali ke kantor. Saya jadi mencari-cari kegiatan untuk menghilangkan beban pikiran supaya tidak selalu cemas. Waktu saya cari-cari kegiatan, lho saya baru sadar selama ini bahkan tanpa ada tekanan adaptasi, bukankah saya juga selalu melakukan hal-hal yang menyenangkan dan tidak hanya terpaku pada kegiatan kantor? Saya pun akhirnya jadi bersyukur dan mengingat-ingat hal-hal apa yang biasanya saya lakukan di luar pekerjaan.

 

1.     Nonton drama korea

Nonton drakor adalah kewajiban bagi orang-orang yang mencari hiburan dan tidak ingin mengeluarkan banyak tenaga, selain kemampuan begadang, atau menahan rasa penasaran, karena tidak kuat atau tidak mungkin begadang. Nonton drama korea sih beneran bikin ketagihan banget dan tentu saja terapeutik karena pikiran kita fokus super fokus ke tontonan. Dengan adanya Netflix juga urusan nonton drakor jadi lebih mudah karena tinggal buka aplikasi. Inget banget zaman masih harus streaming (ya sekarang juga kadang-kadang masih streaming kalau dramanya belum masuk Netflix) atau beli/ nyewa DVD, apalagi VCD. Hahahaha. 

 

Sampai sekarang saya masih suka nonton drakor dan menunggu-nunggu sampai drakornya tamat supaya bisa saya tonton tanpa menyimpan rasa penasaran terlalu lama. Nah, tapi kadang sebel juga sama situasi saat ini. Makin banyak drakor on-going yang ditayangkan Netflik, jadi makin banyak juga orang yang spoiler di timeline twitter. Aaaakkkk, jadi PR juga masukin muted words di twitter supaya ga bocor jalan cerita. Sebenernya hal yang paling bikin kesal kalau nemu spoiler itu bukan karena jadi tau jalan ceritanya, tapi karena jadi terpengaruh sama emosi dan pandangan orang yang dituangkan di twitnya. Takut aja jadi terpengaruh sebel sama endingnya. 

 

Tapi ya itulah suka duka dan dinamika nonton drama korea sebagai upaya penghilang stress. Kalau nemu drakor yang bagus, ya jadi ikut happy dan ada semangat melanjutkan jam. Catatannya adalah... jangan sampai terpengaruh isi perasaan sama pandangan orang tentang drakor itu yang ditemukan di timeline.

 

2.     Baca novel, kumcer, majalah

Ada masanya ketika drama korea ngga ada yang bagus atau mata saya cape lihat layar terus, membaca adalah solusi. Bacaan yang saya suka sih tentu bacaan yang tidak perlu pakai otak dan tidak perlu menguras emosi. Ya kadang-kadang baca juga sih buku ilmiah popular, tapi kalau penulisnya ngga pretensius. Bacaan yang paling membuat emosi dan merusak niat mencari hiburan me-time adalah bacaan yang jelek wakakakaka. Saya suka baca novel dan kumcer, suka banget, tapi sekarang mesti hati-hati kalau mau baca buku dari pengarang baru karena risiko buku bagus dan buku jeleknya gedean risiko buku jelek. Akhirnya ya saya terpaku pada penulis yang saya temukan sejak lama. 


Hal lain yang menyenangkan adalah membaca majalah. Sebabnya karena majalah isinya ngga bisa ditebak dan pas nemu artikel yang bagus dan informatif, rasanya jadi orang yang paling pintar sedunia. Artikel jelek atau ngga relatable sama saya juga banyak sih, tapi karena majalah isinya kumpulan artikel, jadi meski di situ ada 1 artikel jelek, masih ada kemungkinan menemukan artikel yang bagus. 

 

Hal terapeutik dari membaca tentu saja: memaksa kita fokus pada huruf yang ada di depan kita. Hanya saja, memang kalau bacaannya berat dan membosankan, sebelum emosi, kayaknya kita lebih dulu bosan dan menutup buku atau majalahnya. Jadi intinya, membaca meskipun menyenangkan, hanya bisa terasa menyenangkan kalau menemukan bacaan yang membuat kita senang.

 

3.     Les bunga atau bikin rangkaian bunga dan memfoto bunga

Saya resmi bermain bunga secara serius kalau ngga salah tahun 2018 waktu pindah ke apartemen. Kalau suka sama bunga sih kayaknya sudah lama, dari kecil. Waktu SMA juga saya rutin minta bunga ke tetangga buat saya taro di kamar saya. Waktu SMP saya suka beli bunga palsu di Borma wkwkwk. Nah alasan kenapa di tahun 2018 itu serius main bunga, sebetulnya hanya karena merasa lebih leluasa mengatur rumah di apartemen. Sebelumnya kan saya hanya ngekos, dengan kamar dan perabotan terbatas, agak susah juga otak berkreasi. 

 

Niat awal les bunga itu karena pengen bikin bunga yang bener aja di vas, ngga ngasal. Saya cuman punya feeling kalau nyusun bunga pasti ada aturannya, ngga bisa asal potong dan naro. Eh ternyata waktu les, beneran takjub karena merangkai bunga memang banyak teorinya, bisa dipelajari, dan bikin kreativitas ada arahnya. Lalu seneng banget rasanya ketika rangkaian sudah jadi dan kita taro rangkaian itu di rumah. 

 

Merangkai bunga juga terapeutik karena waktu kita ngurus dan nyusun bunga, kita jadi fokus banget sama bunga di depan kita. Terus kita juga merhatiin banget bunganya. Ngeliat bunga juga bikin happy, mungkin karena dia datangnya dari tanaman yang tak lain tak bukan adalah makhluk hidup. Jadi emang dari keseluruhan proses sampai jadi, bikin bunga itu menyenangkan.

 

Hal lain yang menyenangkan dari bikin bunga adalah motretin bunga. Senang banget saya setiap ngezoom bunga, ada aja pesona bunga yang bikin mata takjub. Warnanya, bentuk kelopaknya, sudut fotonya, semuanya bikin tercengang pas lagi mengarahkan lensa. Akhirnya, setiap kali selesai ngurus bunga, perasaan saya pun jadi happy.

 

4.     Nelpon atau nongkrong dengan teman-teman SMA atau kuliah

Salah satu hal yang selalu saya syukuri adalah memiliki teman-teman baik yang sudah saya kenal sejak remaja. Kami juga selalu berkomunikasi sehingga yang dibahas juga bukan isu basa basi, tapi isu tidak jelas hahahaha. Teman-teman akrab saya juga tidak ada yang bekerja sekantor dengan saya, jadi happy juga saya punya wawasan yang lebih luas karena mengenal mereka dan cerita-cerita di kehidupannya. Senang juga tentunya karena saya selalu punya teman untuk bersandar wkwkwkwk. Ya semoga mereka juga ngga segan-segan percaya sama saya untuk menyimpan cerita mereka.

 

Hal yang selalu membuat terkesima setiap kali saya bersama teman-teman saya, baik saat nongkrong langsung, watsapan, atau telponan berjam-jam adalah betapa panjang waktu yang telah kami lewatkan. Dari zaman kami masih anak sekolah dan kuliah hingga sekarang, saya merasa kami tetap orang yang sama, tetapi aslinya sudah banyak yang kami lalui masing-masing di hidup kami. Ajaib aja gitu. Waktu kok ternyata selalu berjalan ya. Otak saya sering berkelana memikirkan metamorfosis hidup ini dan berakhir pada pernyataan, kita nggak akan pernah tahu hidup itu akan kemana membawa kita yah? Happy banget melewati waktu selama ini dengan teman-teman saya.

 

5.     Les Mandarin

Ini kegiatan yang saya rasa pure hanya untuk hobi, tanpa ada keinginan untuk menyeriusi hingga menjadi penutur advanced Bahasa Mandarin. Saya pertama kali les Mandarin itu kelas 1 SMA, dengan tujuan karena kepengen dan kepengennya kepengen paham lagu Mandarin dari penyanyi kesukaan saya. Ya, dulu sempat juga sih kepikiran ingin bisa paham translasi lagu-lagunya, atau baca hanzhinya, tapi sepertinya keinginan serius itu menjadi sebuah beban yang menjadikan belajar Bahasa Mandarin tidak lagi menyenangkan. Ahahaha. Tapi aslinya memang saya senang les Mandarin. 

 

Saya les Mandarin lagi setelah kerja, sekitar tahun 2015 atau 2016, setiap Sabtu di sebuah lembaga miliki universitas negeri di Jakarta. Awalnya seru sih lesnya dan jadwalnya pas banget, hanya setiap Sabtu.  Nah, lama-lama waktu naik level, peminat makin sedikit dan jadwalnya jadi ngga bisa hanya setiap Sabtu. Lalu, materinya juga ngga bisa eksklusif di level kita aja, tapi digabung dengan orang dari lain level. Masalah klasik sih. Salah satu alasan saya tidak melanjutkan les Mandarin waktu SMA juga karena persoalan waktu dan kelas yang bercampur. Akhirnya, saya lagi-lagi hanya bertahan 3 level di tahun 2015/2016.

 

Agak disesalkan sih hiks hiks. Saya juga masih kepengen les lagi sih, tapi sepertinya malah jadi menambah beban baru di hari Sabtu atau hari lain karena sekarang rumah saya jauh dari tempat les. 

 

6.     Nonton ulang series yang ditonton waktu kuliah

Waktu S2 kemarin, saya rerun nonton Criminal Minds lagi dari Season 1 sampai 15. Sebabnya selain karena kangen dan sepi banget makan ngga ada tontonan, juga karena ih ga bisa terima banget saya karena Criminal Minds tamat di Season 15. Saya sengaja ngga mau nonton episode paling terakhir dari Season 15 selama beberapa bulan karena takut galau. Akhirnya sebagai upaya menunda nonton Criminal Minds episode paling terakhir, saya rerun nonton dari episode 1 Season 1.

 

Awalnya karena mau menunda nonton episode paling terakhir, eh saya malah jadi enjoy banget nonton rerun dari episode paling awal. Jadi ngeh sama beberapa detail di banyak episode dan season awal. Terus seru juga karena ada beberapa dialog yang bikin saya jadi relate karena Amerika banget dan baru jadi penjelasan di kelas-kelas pas S2. Dulu waktu S1 karena saya ngga terlalu peduli dengan banyak hal domestik Amerika, saya skip banget kalau udah ada cantolan tentang hukum konstitusi Amerika di Criminal Minds. Saya juga dulu kurang engeskplorasi cerita-cerita serial killer nyata di Amerika, jadi saya juga abai sama detail-detail itu. Nah, pas kemarin rerun itu rasanya jadi seru banget dan ngga kayak rerun nonton. Akhirnya hampir pada setiap waktu makan saya, saya menjadikan momen itu sebagai the daily dose of Criminal Minds. 

 

Namun demikian, saya malah jadi lebih sedih waktu akhirnya nonton episode paling terakhir dari Criminal Minds. Hiks.

 

Sekarang saya lagi rerun Modern Family. Sebabnya sama, menunda waktu menonton season terahir Modern Family. Perasaan yang saat ini saya rasakan waktu nonton Modern Family ya sama kayak waktu rerun Criminal Minds. Banyak detail yang saya jadi ngeh dan lebih relate karena sudah familiar juga selama kuliah di Amerika. Aduh siap-siap galau juga nih nanti kalau my daily dose of Modern Family telah mencapai episode terakhir dari yang terakhirnya.

 

7.     Nyanyi di smule

Hahahaha maaf ya atas pengakuan ini. Masih pada mau berteman sama saya, kan? Iya, jadi kalau semua hal di atas mentok tetap tidak bisa meningkatkan mood atau menghapus rasa suntuk, menyanyi adalah hal yang pada akhirnya menenangkan. Saya pernah dalam beberapa minggu benar-benar merasa suntuk dan akibatnya tiap minggu selalu ada tagihan perpanjangan langganan Smule. Sebenarnya menghilangkan stress itu ngga selalu harus pakai biaya sih, toh juga di Smule bisa karaoke aja gratisan. Duet sama orang yang tidak dikenal dan suaranya enak waktu menyanyikan lagu kesukaan kita juga menyenangkan. Namun demikian, kadang ada keinginan untuk nyanyi sendirian atau kebetulan lagu yang saya pengen nyanyiin belum ada yang lagi dibuka untuk duet. Akhirnya, yasudah tiada jalan selain menjadi anggota VIP di Smule. 

 

Menyanyi tuh bagi saya ternyata punya efek terapi banget. Langsung plong dan happy walaupun masalahnya belum selesai atau walaupun besok masih bertemu lagi dengan hal yang bikin sebal. Setelah menyanyi itu rasanya ada kelegaan dan energi tambahan untuk menghadapi banyak persoalan di dunia ini. Ditambah lagi memang kalau pas nyanyi kan kita jarang ngelamun, kan. Pasti fokus sama lagu yang mau kita nyanyiin dan jangan sampai lupa nada. Terus yasudah deh, beneran jadi happy banget setelah menyanyi. 

 

8.     Nulis!

Kok saya bisa lupa coba sama kegiatan ini? Menulis kan kegiatan kabur regular saya dari kenyataan selama SMA dan kuliah S1. Happy banget nulis bebas, dari mulai rekap kegiatan dan perasaan sehari-hari, rekap obrolan dengan teman, atau dialog dengan diri sendiri setelah dapat bahan bacaan atau bahan tontonan. Menulis kan terapeutik juga bagi saya. Kayak sekarang saya lagi menuliskan post ini sambil menunggu masukan bahan dari atasan saya, saya jadi happy sendiri dan ngga mikirin hal-hal yang bikin cemas dan cape pikiran. 

 

Saya juga jadi kangen masa-masa punya imajinasi dan tenaga buat bikin puisi, cerpen, dan novel seperti waktu SMP dan awal SMA. Saya juga kangen masa-masa nulis cerpen buat majalah dan koran, yang kayaknya serius banget dan pas selesai jadi happy plus ga percaya kalau saya bisa konsisten menyelesaikan cerita. Kadang juga kangen masa terdorong untuk menulis serius demi ikutan lomba supaya dapat uang jajan tambahan pas kelas 2-3 SMA. Ih kayaknya nulis tuh hal yang memang saya ikhlas kerjakan dan saya suka banget. 

 

Beberapa waktu terakhir saya juga kepikiran gimana ya, bisa ngga ya mengusahakan untuk bikin cerpen lagi dan dikirim ke media… Nggak tahu, tapi kayaknya kalau bisa akan sangat menarik dan menyenangkan buat saya.

 

 

Nah, jadi itulah kegiatan-kegiatan yang ternyata sudah saya lakukan selama ini sekaligus membuktikan bahwa ternyata selama ini saya tidak sempit-sempit banget dunianya, jadi saya harus menekuni lagi hal-hal menyenangkan itu saat stress datang menjelang!

 

(Ark. Sep’21)

Menonton Ulang Criminal Minds (Edisi Season 1-3)



Setelah Criminal Minds tamat di season 15 Februari 2020 lalu, saya menonton ulang Criminal Minds dari season 1. Saya yakin sudah banyak cerita yang saya lupa sehingga rasanya tidak akan membosankan untuk mengulang menonton serial ini. Selain itu, saya juga ingin mengetahui lebih detail tentang masing-masing tokoh. Selama ini kan saya hanya fokus pada jalan cerita kasusnya dan sedikit mengamati perkembangan karakter setiap tokoh.
Dua atau tiga minggu ini akhirnya saya menonton 3 season pertama Criminal Minds. Beberapa hal yang teringat lagi adalah betapa kharismatiknya sosok Jason Gideon dalam memahami kasus dan menjadi sahabat dalam tim. Waktu Jason Gideon meninggalkan BAU di season 2, saya ingat dulu saya juga sedih, tapi sekarang rasanya jadi jauh lebih sedih karena Jason Gideon di mata saya menjadi lebih riil, bukan sekadar tokoh yang dihilangkan. Ah iya, perasaan ini juga semakin rill karena saya ingat alasan sesungguhnya Mandy Patinkin yang memerankan Jason Gideon tidak mau meneruskan kontraknya di Criminal Minds, yakni karena Criminal Minds tidak sesuai dengan prinsipnya. Saya agak lupa apa maksud tidak sesuai prinsip tapi kalau tidak salah ini berkaitan dengan kasus-kasus Criminal Minds yang melibatkan kekerasan terhadap wanita (dan anak-anak?). Karena itu juga dalam 2 season awal Criminal Minds saya betul-betul memperhatikan apa hal yang palig disturbing dari Criminal Minds, at least bagi Mandy Patinkin. Hasilnya? Tentu saja semuanya disturbing hahaha. Well, ya lalu mau bagaimana ya...Saya nggak tahu alasan sebenarnya dari Mandy Patinkin, tapi yang jelas keputusannya untuk meninggalkan Criminal Minds setelah 2 season itu tetap patut disesalkan karena kepergian Jason Gideon cukup membekas. Namun, untungnya kepergian Jason Gideon ini masih terhormat dan ngga terburu-buru. Lain cerita dengan kepergian Elle Greenaway.
Salah satu tokoh yang saya lupa pernah ada di Criminal Minds tentu saja Elle Greenway padahal Elle ini ada di season 1. Astaga. Waktu menonton ulang episode 1 saja saya mengira Elle hanya polisi yang minta bantuan BAU hahaha,  padahal dia agen BAU. Selama 1 season itu juga saya melihat tokoh Elle ini ya biasa saja, seperti tidak ada attachment khusus dengan BAU. Perannya dalam BAU kan konon sebagai analis kejahatan seksual, tapi masalahnya kasus-kasus kejahatan seksual di Criminal Minds meski disebut ada, yang lebih diungkap kan victimology secara keseluruhan sehingga ruang untuk memahami kejahatan seksual terhadap korban perempuan ini hampir ngga ada. Ya memang ngga mungkin juga membuat film yang fokus pada gambaran kejahatan seksual, tapi akhirnya peran Elle jadi ngga terlalu menonjol. Saking ngga menonjolnya peran Elle ini, waktu pada akhirnya Elle hengkang dari BAU masa dong ngga ada scene yang menjelaskan bahwa anggota BAU lain kaget dan kehilangan Elle. Kayak yaudah Elle pergi setelah kecewa sama Hotch dan yaudah aja gitu dia pergi. Beneran ngga dibahas lagi di season 2 dan 3 tentang Elle yang pergi. Tiba-tiba Prentiss masuk dan semua lupa kalau dulu ada Elle.
Hal lain yang saya baru perhatikan adalah JJ dan Reid itu memang dari awal sudah dekat dan harusnya ada (((rasa))). Ini kan fakta yang saya lewatkan dan makanya jadi sedih banget di season 14 waktu JJ bilang dulu dia selalu sayang Reid. Ya memang Reidnya juga dodol. Ya apa coba memang yang bisa diharapkan dari laki-laki yang fokusnya adalah pada ilmu pengetahuan? Belum lagi Reid selalu menganggap dirinya paling kecil dan paling caleuy. Ya kalau ada perempuan kecakepan yang care ya pasti hanya dianggap sebagai sahabat. Baru deh pas Reid umurmnya nambah 10 tahun dan JJ sudah punya anak 2, kesadaran tentang cinta itu muncul. Hoalahhhhh bule sama anak SMP 7 Bandung kok sama-sama bae ya hahahaha. Selain itu, mohon dipahami bahwa di season 2 JJ bertemu dengan Will yang menjadi suaminya dan dalam pertemuan JJ dan Will itu sungguh jelas terihat bahwa Will, selain ganteng, juga memang punya itikad serius mengejar JJ. Ya bu ya, kalau ada yang lebih pasti mah ya mau apa lagi yakan....Yah, bagaimana ya saya jadi kesal sendiri sama Reid dan jadi sedih kalau ingat tragisnya hubungan mereka di season 15 waktu Reid sadar memang selama ini dia hanya bisa terbuka dengan JJ. 
Hal trivia lain yang saya baru ingat lagi sejak menonton ulang Criminal Minds adalah cukup disayangkan ya akhirnya Hotch memang berpisah dengan Halley, plus Halley-nya juga nanti meninggal. Selain itu, saya juga agak bersimpati sekaligus kesal dengan Hotch karena dia, terlepas statusnya adalah leader BAU, adalah anggota yang paling berjarak dengan BAU lain. Dia harusnya bisa bilang ke timnya tentang persoalan keluarganya, terutama sebelum dia mendapat surat cerai. Masalahnya ya engga. Hotch menyimpan sendiri beban pikirannya dan tetap mengerjakan kasus seolah-olah ngga punya persoalan keluarga. Padahal kata saya mah ya, kalau misalnya tokoh Hotch dibuat lebih terbuka dengan geng BAU-nya, ngga cuma dengan curhat aja, tetapi juga membuka rumahnya untuk acara kumpul BAU, harusnya ya keluarganya masih bisa baik-baik saja. BAU dan Halley tuh bagi Hotch benar-benar dua dunia yang ngga bisa dikompromikan. Sedih ya.
Kalau mengenai Morgan dan Garcia sih selalu stabil tuh hubungannya dari awal season sampai Morgan hengkang. Saya ngga nemu hal yang saya baru tahu tentang mereka berdua dari season awal. Ya dipikir-pikir waktu Shemar Moore yang memerankan Morgan bilang ingin berhenti dari Criminal Minds karena aktingnya ngga terlalu berkembang, ya betul juga. Hal yang diulik tentang Morgan dan saya baru tahu di season 2 ya sejarah Morgan bahwa waktu remaja dia pernah jadi korban kejahatan seksual.
Kalau soal Prentiss, karena dia baru muncul di season 2 tengah dan biasa-biasa saja, belum banyak cerita yang membuat saya merasa tercerahkan. Saya cuma baru ingat kalau Prentiss ini anaknya duta besar. Yang menarik dari latar belakang ini ada beberapa. Pertama soal pandangan Hotch kepada Prentiss yang masuk BAU pasti karena koneksi ibunya. Hotch jadi agak suudzan karena Prentiss juga kenal dengan anggota Congress yang menekan Hotch supaya ngga banyak bersuara tentang kasus pembunuhan prostitusi di DC kalau mau karirnya di FBI mulus. Hotch baru percaya integritas Prentiss setelah Prentiss menolak berkongkalikong dengan Erin Strauss untuk menggeser posisi Hotch di BAU. Di situ Hotch baru sadar kalau Prentiss masuk BAU bukan karena ibunya tetapi karena kepentingan Erin Strauss. Hal kedua yang menarik adalah hubungan Prentiss dengan ibunya. Prentiss sepertinya sudah terbiasa dikaitkan dengan kesuksesan ibunya sehingga Prentiss selalu berusaha dua kali lipat untuk membuktikan diri bahwa dirinya mampu. Prentiss juga akhirnya semakin menjauh dari ibunya dan ngga nyaman waktu ibunya datang ke kantor BAU dalam kasus penculikan orang-orang Rusia. Di episode ini saya jadi baru ngeh detail kehidupan Prentiss yang lain. Semua orang dan Prentiss mengira ibunya selalu powerful. Ibunya juga selalu memperlihatkan bahwa dirinya mampu. Namun, di akhir episode diceritakan bahwa ibunya ternyata sedang mengalami krisis orang pensiun. Ngga lagi punya power dan mempertanyakan eksistensi diri. Prentiss akhirnya bisa melihat ibunya lagi sebagai manusia. Hmmm, episode dan scene ini agak berkesan buat saya tentu karena saya menemukan hal seperti itu juga di kehidupan saya hehehehe. Ya namanya dunia kerja yang itu mah mau negaranya negara superpower atau negara emerging ya isu birokrasi dan kehidupan pasca pensiunnya sama saja. Menarik.
Kisah lain yang menarik perhatian saya adalah kisah David Rossi, meski perasaan saya waktu menerima Rossi menggantikan Gideon pada hari ini dan bertahun lalu waktu awal menonton Criminal Minds masih sama, yakni seballll. Hahahaha. David Rossi tuh om-om classy penuh sama dirinya sendiri gitu dan ngga bisa langsung blending. Belum lagi saya selalu membandingkan dia dengan Jason Gideon yang lebih down to earth dan dedicated ke pekerjaan. Saya itu baru bisa menerima Rossi sebagai tokoh yang baik di BAU itu kayaknya di beberapa season terakhir Criminal Minds deh. Kompleks aja gitu Om Rossi ini. Hotch dan Morgan juga terang-terangan banget memandang Rossi sebagai sosok yang penuh dengan egonya sendiri. Banget.
Ego ini akhirnya satu-satu tersentil, salah satunya di season 3 waktu Rossi diminta datang ke Philadephia oleh Agent Jill Morris untuk mengkaji kasus penyiksaan perempuan kaukasian. Rossi melihat Morris yang determined banget sama pekerjaannya ini sebagai sosok Rossi muda. Rossi sadar kalau Morris ini bisa melakukan apa saja demi ambisinya, termasuk memalsukan barang bukti, tapi Rossi masih melindungi Morris karena dia percaya Morris bisa berubah. Ow ow angel syndrome wkwkwk. Rossi makin GR waktu Morris curhat ke Rossi setelah ditegur Hotch karena terlalu so full of herself untuk dapat perhatian media. Rossi masih percaya Morris cuma salah langkah seperti Rossi muda. Baru tuh Rossi tertampar waktu Morris lagi-lagi melayani pertanyaan media setelah dia bebas dari penculikan. Intinya ya memang Morris ini ya suka banget sama perhatian media dan so full of herself, Rossi. Janganlah mencoba-coba untuk menyadarkan orang. Hotch (atau Reid sih?) sudah bilang kalau Morris bukan itu bukan Rossi jadi jangan selalu melindungi Morris. Namun ya tentu saja pemirsa, Rossi malah marah. Nah kan, pas Rossi akhirnya sadar kalau Morris ngga bisa berubah, baru deh sadar.
Sindrom angelic yang dirasakan Rossi ini tapi kan manusiawi banget alias ngga cuma Rossi yang mengalami. Baik, baik, maksud saya, saya juga mengalami hahaha. Saya beberapa kali (mungkin seringggg ya tepatnya) melihat teman yang bertindak salah dalam pandangan saya dan saya berusaha meluruskannya atau at least, saya berusaha masuk merangkul dia supaya ngga berperilaku terlalu aneh. Hasilnya selalu sama, ya mereka mah mereka. Mereka bukan saya. Mau saya merangkul, meluruskan, atau menegur, ya mereka ngga lihat apa yang saya lihat dan ngga menginginkan apa yang saya anggap sebagai hal ideal. Ya mereka balik lagi jadi pribadi yang bertindak mengesalkan dan saya jadi lebih kecewa sama mereka karena itu. Ada beberapa yang bagus tuh bisa saya tinggalkan, tapi ada juga yang sampai sekarang saya masih punya keinginan untuk merangkul mereka. Makanya pas tadi nonton episode Rossi versus Morris ini, saya jadi ingat diri sendiri. Ngeselin banget kan punya perasaan kecewa karena teman kita ternyata bukan kita yang bisa dikasih tahu? Yaudah gitu, jangan gitu lagi. Lepasin aja perasaan angelic ingin merangkul itu gitu. Memang ada orang yang full of him/herself, orang yang shallow, orang yang lagi-lagi jatuh ke lubang kebiadaban cinta, orang-orang yang suka menimpakan hal-hal mengesalkan di hari-harinya ke orang lain (saya) supaya mereka merasa lebih baik, orang-orang yang.... yah banyaklah hahahaha. Hmmm, tidak menyangka, dari tokoh David Rossi yang saya belum terlalu suka di season awal Criminal Minds itu saya malah jadi tertampar.
Well, ini adalah tulisan ke sekian saya tentang Criminal Minds dan nampaknya lama-lama saya jadi terobsesi. Karena itu, tetaplah percaya bahwa ini bukan akan menjadi tulisan terakhir tentang Criminal Minds, apalagi dalam keadaan saya menonton ulang Criminal Minds minimal 3 episode sehari. Sampai jumpa lagi!
Ark. Mei 2020.

Review on Jay Chou's New Single: Won't Cry


It has been 16 months since Jay Chou released his latest single, “If You Don't Love Me, It's Fine - 不愛我就拉倒”.  It is too long, a way tooooo long, right? So, last week when I saw Jay’s instagram post that he was going to release newest song on Sept 16th, I felt:
  1. Finally a new song to listen to
  2. Seriously? Only a new single? Not an album?
Anyway, seeing his self-advertisement in instagram, seems that he enjoyed the process of delivering this new single so much, so yeah I joined Jay to celebrate his new song yeayyyy. So, here I am, proud of being the 18th account on youtube to watch Jay’s “Won’t Cry” hahahaha sorry for bragging this.

I was preparing myself to pay for every details on this MV, yet still I missed some familiar things on the first watch. My first impressions about this MV were wah, shooting Jay playing piano on wide angle is perfect; wahhh the girl is kawaii; aaaaa, the story is quite touching; aaaa I like the festival in the background; waahhhh so the boy will go to school leaving the girl?; waaaaa, their acting on this MV is so real; and Waaahhhhhhhh MAYDAY is THERE!!!!!

About Shin Mayday, I should have noticed earlier that there was something familiar on the opening melody which was so Mayday and it should be a hint that Mayday is involved in this song. Look at min 0:11 – 0:20, the sound of single piano, six hours after the song was launched, I just realize that it is the same touch that we can find in many of Mayday’s songs. I should have known that Jay Chou would be accompanied by another musician and it was Mayday! Having Mayday in Jay Chou’s MV was never crossed my mind as lately I only saw JJ Lin in Jay’s posts. I thought JJ and Jay will be on one project. Oh, but actually I was once sure that duet between Jay Chou and Shin Mayday would be great.  It was in Mayday’s concert last year, I guess, when Jay appeared as guest star and they sang “Rhythm of the Rain 聽見下雨的聲音.” (PS: JJ’s version of Rhythm of the Rain is also great!!!!)

Having Shin Mayday on this MV is the “it-factor” that makes this “Won’t Cry” outstanding. Strong Shin’s character, showed from min 2:05 to end, totally enriches this easy-listening ballad track and more importantly, delivers soul to this song. Jay’s voice that is light and much more on yearning, regret and restrained emotion, well presents this song’s message and Shin, with his heavier tone, sets emotion from this song to the level that the listeners get the feeling that the boy on this MV owes the girl so much.

Another note is hmmm I think Jay always needs an emphasize for his ballad songs, either by having duet partner who has vocal range one level above or below his or by accentuating  fast and dramatic piano note for back sound. In this song, Jay well uses both methods. Besides having Shin started on min 2:05, Jay also puts dramatic piano melody, the same dramatic as in the “If You Don’t Love Me It’s Fine”, on min 2:53, in a right proportion.

Moving to the lyric. As always, Vincent Fang and his style of poetry should never be questioned. My observation here is of course only based on its English translation provided by JVR at the bottom of the video. In general, this translation presents main message of the song, but in my limited Chinese vocabulary and grammar point of view, there are parts that should have been translated more intensely. One phrase that I think loses its intended tone is “bu gu rang wo zou” since it is only translated as “will not cry.” I think (again, in my very limited Chinese-English translation capability) this phrase would be more touching if it was translated as “will not cry when (you) let me go.” Never mind, I can still catch the main message by looking at the subtitle, actually. The Chinese listeners will not care either as they are listening to the song, not looking at the translation haha. Moreover, I believe that this problem is a common one, as most sentences in Chinese are formed in passive voice, while English prefers active voice more and yeah I guess this transformation affects translation for this song (and many other Chinese texts).

There are two parts of the lyric that I like the most. This part:
Then you started to ignore my calls,
Never mentioning how hard it is to be alone
You decided to leave so that I can move on and live the way I want

At first, I think these rows are partly silly, partly yeah I can understand because I don’t think people, or at least me, can ignore calls and leave while there is no problem at all. However, maybe these should not be interpreted literally. “Ignoring calls”, when it is combined with “never mentioning how hard to be alone”, can also be seen as pretending that everything is alright. The “calls” is not a phone call per se, but a “concern” whether this girl is okay or not. Therefore, part “you decided to leave” does not always mean that they stop seeing each other, but stop talking about any worries of being left alone. This girl does not want to place any burden to this boy.

And this is my favorite and accompanied by dramatic piano melody as the backsound:
You don’t have much
But you’re still there to support my dreams
After such a long time, you’re still there waiting for me

I can totally relate to the first two rows!!! Classic love story, right, when we save most of our money to buy costly present for the one whom we love or…only have a crush :D (yet, they still ignore us hahahaha). This part is totally sweet, highlighting “you’re still there”, which I think it is the main message of this song. This song is dedicated to all people who have sacrificed much for their significant other!! Indeed, illustrating this lyric with story on temporary parting for school is also relatable for most people these days, including me.

I am glad that Jay Chou finally comes back with a new song. I am still looking forward to his new album, though. It is interesting to realize that in these three years Jay has changed quite much. His latest album was in 2016, the Bedtime Story. I don’t know about revenue he earned from this last album, nor its comparison with previous albums. I mean, I can look for the data online, but not now. The thing is, what happened after 2016’s album that stops Jay from producing new album?

Jay does not stop from music industry, I know. In fact, from 2016 to date, he conducted more concerts than previous period and the area was also expansive. Australia, London, Paris, Vegas. I don’t know whether conducting concerts in those new areas brings more fame to Jay Chou because it will need a thorough research and analysis which I will not do it now, but I think it is debatable as we know there are number of Chinese who live there. Maybe it is not expansive in a sense that Jay expands his markets to non-Chinese listeners, rather it is part of making himself reachable to Chinese listeners abroad. With this in mind, it is not a new album that is important, but presenting memory back in China to Chinese listeners abroad by listing Jay’s legendary songs in his series of concert. Having one or two single(s) in a year is still important to keep his market alive and as a gimmick for his concerts and recurring song list.

I don’t know whether this thought is correct or not, nor I think that it is a bad practice. I just miss the old Jay that I’ve known since 2001 who used to produce new album annually.  Glad that today Jay releases his new single and few months ago he said he was being serious to produce a new album in a near future. But, ya, when is the future that Jay talked about?

Jay Chou, please one new album for us!

(Ark. Sept 19)

Motor #3


Naik motor, begitu pula naik mobil, naik becak, naik pesawat, naik kapal, naik roket, bagi saya adalah persoalan hidup dan mati, terutama bila kita sempatkan diri duduk-duduk di polres dan membaca papan bertuliskan statistika kecelakaan di jalan raya. Oleh karena itu, tidak pernah saya lupakan membaca bismillahi tawakaltu allallahi wa la quwwaata apa? Ya wala quwwata ila billah, di setiap tarikan gas pertama setelah memasukkan gigi satu. Dalam perjalanan pun, prinsip yang selalu saya tegakkan adalah kita tidak hanya wajib menjaga keselamatan diri sendiri, tetapi juga keselamatan orang lain. 

Implementasi prinsip di jalan raya harus saling menjaga itu kan seharusnya mudah, ya? Coba sesekali orang-orang yang terjaring operasi ketupat dikumpulkan di lapangan dan ditanya: “Siapa yang turun ke jalan hari ini ingin mati?” Apa ada yang mengacungkan tangan? Kan insya allah tidak ada. Nah, masalahnya kenapa banyak orang berperilaku serampangan di jalan raya? Inilah yang membuat saya terpanggil....

....untuk menjadi pribadi yang emosian di jalan raya.

Saya pernah menuliskan contoh kasus tersebut di blog saya, misalnya:

“Jangan kaget kalau saat saya membonceng Teman-teman, saya sering mengeluarkan kata-kata ketus tak bersahabat. Kata-kata tersebut tidak saya tujukan kepada Teman-teman, tentunya, tapi kepada pengendara yang semakin brutal di atas aspal. Dari mulai khilaf pasang lampu sign, smsn dan telpon-telponan di tengah jalan, ngga bisa stabil ngendaliin motor dan mobil sehingga berjalan zig-zag, posisi kendaraan yang nggak jelas mau ke kiri, ke kanan, atau di tengah, tiba-tiba mengerem, tiba-tiba menikung, tiba-tiba putar balik, tiba-tiba mundur waktu mau melanjutkan jalan setelah terjebak kemacetan, sampai (mungkin) sambungan listrik aki ke lampunya tersumbat sehingga LAMPU ANDA MATI SEMENTARA MOTOR ANDA MELAJU DENGAN KECEPATAN 100KM/JAM, MENYALIP 80KM/JAM SAYA DARI KIRI DAN MEMOTONG JALUR KANAN SAYA DI JALAN SOEKARNO HATTA DEKAT PINUS REGENCY YANG SUPER GELAP!!! Selamat, Anda sudah berhasil membuat saya kaget dan refleks meneriakkan kemarahan.”

Sikap ala social justice warrior (SJW) yang saya lakukan tersebut lalu ditanggapi dingin oleh adik bungsu saya dengan:

“Nggak mau ah dibonceng-bonceng sama mbak mah. Nyari musuh melulu di jalanan.”

Iyah gapapah. Tinggalin aja akuh dan prinsip hidup aku.

Ada beberapa kejadian serupa yang saya ingat, seperti di Dayeuh Kolot atau Otista, yang mobilnya bisa saya kejar. Ketika itu kami pun menjadi perang klakson, jari saling memfakyu, saling menghalangi jalan untuk nyalip, dan ujungnya karena terbawa nafsu mengejar rute yang ia jalani, saya pun nyasar. Harusnya dari Dayeuh Kolot mau ke Soreang, malah salah belok ke Ciparay. Harusnya dari alun-alun ke Otista dan ke Bu Inggit, malah terus ke Sudirman dan loh loh loh loh ini kok udah mau Cimahi aja hei hei hei puter baliknya kemana ini hei. Intinya jadi jauh.

Emosi di jalan raya tidak hanya terjadi sebagai wujud aksi-reaksi antarpengguna jalan raya, tetapi juga pernah terjadi sebagai ekses yang terjadi sebelum naik motor. Pernah dulu waktu patah hati sama orang, cieeee, kan sedih banget ya tapi beres ngajar di Ganesha magrib, saya juga ada jadwal les privat jam 7 di Arcamanik. Karena waktunya sempit padahal saya pengen menangis, ya gimana lagi ya, yaudah saya nangisnya di motor 😞 

Ketika mata sudah agak buta karena air mata yang menggenang di pelupuk (taeeeeeeeeeee), di sekitar Panghegar yang gelap, saya minggir dulu untuk menangis terisak dengan agak puas supaya air matanya ngga tersumbat gitu. Kan malu masa ngajar dengan mata sembab wakakaka iya bego emang. Yaudah habis itu naik motor lagi lalu ke rumah murid aku si Dea, pulang-pulang jam 10 malam dengan hati yang lega. Mudah bukan mengatasi patah hatinya?  

Sejak saya pindah ke Jakarta tahun 2013, frekuensi saya naik motor jadi berkurang karena saya tinggal di area sekitar kantor yang bisa dicapai dengan jalan kaki. Selain itu, tunangan saya juga punya motor. Sayangnya motornya motor matic sehingga tidak bisa saya pinjam. Sudah saya tekankan dari awal bahwa saya tidak suka motor matic. Hanya motor bergigi panutanku. Yaudah enak malah jadi diboncengin terus.

Namun tentu kerinduan pada motor selalu ada. Alhamdulillah kerinduan itu lalu terobati tahun lalu saat saya main ke kosan Astrid, teman SMA saya yang kerja di Cirebon. Kebetulan Astrid berhasil memalak temannya untuk meminjamkan motor supra yang bisa kami gunakan jalan-jalan dari Cirebon ke Kuningan. Kami berdua pun mulai touring Cirebon ke Telaga Remis di Ciremai lalu ke Linggarjati lalu ke Grage Kuningan pada pukul 07.00 pagi dan kembali ke Cirebon pukul 20.00 karena diselingi istirahat solat magrib di jalan raya. Kalau pergi sama Astrid mah haram ngejamak shalat 😞 

Seru banget waktu itu. Tujuan utama saya sebenarnya hanya Telaga Remis, secara lagu itu kan pernah jadi hits di tangga lagu Sunda yah, “Di sisi Telaga Remis~~~~ 🎶🎶🎶🎶”. Perjalanan menuju Telaga Remis juga cukup mendebarkan karena pakai motor orang yang baru pertama saya pegang, jarak agak jauh, dan medannya cukup menantang karena si Astrid walau kurus tapi berat euy pas dibonceng mah, untung dia bisa baca waze, lalu naik turun bukit, masuk kampung, aspal jalan bolong-bolong, banyak anak alay naik motor reptil (rengkep tilu alias bonceng tiga), banyak elf, banyak truk, banyak bus, dan ditambah pula si Astrid tidak berhenti mewanti-wanti:

“Pe, daerah orang ya jangan cari musuh.”

Woyyy.

*Tamat*
Udah gini doang.

Motor #2


Mobilitas dari rumah - ganesha - kampus - kosan anak2 2007 - rumah murid privat - rumah akhirnya menjadi sebab musabab naik motor tidak lagi semenyeramkan minggu-minggu pertama percobaan. Mufli dan Gigih yang biasanya waswas melepas saya naik motor, sampai-sampai pernah membuat gerakan konvoi mengawal saya pulang ke rumah selama beberapa hari selepas rapat ospek, pada akhirnya ngelunjak, termasuk sedikit-sedikit mengajak rapat dengan alasan: “Kan elo ada motor tuh.” 

Itulah satu tanda kekuasaan Allah untuk menyadarkan saya bahwa memang laki-laki dimana-mana sama. 

Bahkan, ada yang masih ingat kerepotan agenda temu alumni dengan maba 2009 di Cimahi? Iya itu yang saya jadi ojek membonceng Wahyu 2008 yang jadi seksi konsumsi buat bolak-balik antar minuman dan makanan di pos-pos alumni. Posisinya adalah saya naik motor dan Wahyu duduk hadap belakang bawa baki minuman. Apa coba alasannya? Ya karena Wahyu ngga bisa naik motor dan cape jalan. Kebijakan Mufli yang jadi ketua ospek apa? 

“Kerjaan lo nggak banyak kan malam ini? Bisalahhh bantu anak konsumsi anterin makanan pake motor.”

“Mbakkk, naik motornya jangan kenceng-kenceng yoo, soalnya aku ini bawa baki dan minuman, mbak, nanti tumpah, mbak,” Wahyu dengan logat jawanya sudah mulai berani banyak request.

Maaf, ada yang namanya patriarki? Bisa selamatkan saya sebentar?

Sebenarnya dipikir-pikir keuntungan naik motor itu tidak terlalu banyak dibanding resikonya. Keuntungannya ya alhamdulillah hemat waktu, hemat ongkos, hemat pikiran, hemat tenaga, mendukung status jomblo, ya standarlah. Nah, tantangannya, selain jadi dimanfaatkan untuk kerja-kerja rodi, sebagaimana diungkapkan oleh ibu saya adalah: “Apa pun yang terjadi di jalanan, itu adalah tanggung jawabmu. Ban bocor, bensin habis, helm hilang. Tapi intinya, kalau mesin motor mati, jangan panik, tetap ingat letak tombol busi.”

“Kalau kena banjir, jangan lepas ngegasnya biar airnya ngga masuk knalpot, mbak!” Adik saya ikut menimpali.

Alhamdulillah, berkat 2 wejangan itu, saya selalu sukses menerjang banjir rutin di sekitar gede bage selama masa kepemimpinan walikota Dada Rosada tanpa motor mati. 

Naik motor pas banjir itu rasanya ya allah, melatih otot bisep trisep. Berat ngegasnya. Apalagi kalau sudah mulai masuk ke banjir yang agak dalam di atas batas knalpot. Kalau pakainya motor supra mah enak karena posisi ujung knalpotnya kan agak tinggi ya kayak cerobong asap. Nah, yang tegang mah kalau naik Honda Astrea 90. Itu motor pertama yang saya pakai, bahkan juga dipakai ibu saya waktu hamil saya. Knalpotnya kan rata pendek tu, terus dia juga bisa dibilang motor senior, ya secara umurnya juga lebih tua dari saya. Ibu Bapak saya baru resepsi, dia sudah dipamerkan di showroom siap dibeli. Tapi asli hebat dia, berapa kali kena banjir yang dalam, ngga mati! Jago banget rasanya tetap menjadi motor yang jalan di antara banjir sambil diiringi tatapan tidak percaya dari motor-motor baru yang tumbang begitu kena air. Makanya jangan beli matic!

Baru pas sudah lewat masa banjir, di daerah Cipadung, si Astrea mati hahaha. 

Tapi jangan panik. Biarkan dia istirahat dulu sebentar. Busi mana busi. Lalu kita jalan lagi.

Berkat motor, saya juga punya keuntungan lain yakni tidak perlu olahraga. Terima kasih kepada para mafia paku di jalanan, tidak terhitung berapa kali saya harus menuntun motor yang bannya bocor di tengah siang yang terik atau malam-malam yang sepi dan uang cuma ada goceng. 

Bersambung.
Bagian 3 insya allah jadi bagian terakhir mengenai kesan-kesan.

Motor #1



Sebenarnya saya dikaruniai sifat manis-manis manja yang tidak bisa bepergian tanpa wali. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu kok ya ngga ada yang mau menemani saya kemana-mana padahal kegiatan saya waktu kuliah bisa dibilang cukup padat. Pagi kuliah, sebelum duhur ngajar dulu di Ganesha, siang kuliah lagi, sore ngajar lagi, malam disiksa ikut rapat panitia kegiatan kampus lalu lanjut online di warnet atau wifi kampus untuk cari bahan tugas kuliah, dan masih banyak lagi sampai-sampai sejak semester 3 hingga sidang skripsi, saya tidak sempat pacaran. Ya memang karena kisah cintanya cukup pahit sih. Alaaaah, cowok mah dimana-mana sama ajalah.

Merespon sifat alamiah dan takdir yang demikian, menjelang semester 3 saya pun mengikuti arahan ibu saya untuk: BERANILAH, NAK NAIK MOTOR, JANGAN NGEREPOTIN MINTA ANTAR JEMPUT!!!!! Yaudah.

Saya sebenarnya sudah belajar naik motor sejak SMP tapi sempat trauma karena pernah jatuh di tempat sepi dekat kebun singkong yang jauh dari komplek. Ngga ada yang nolong gitu. Sedihlah. Pas menegakkan motor kembali, saya lupa ngga matiin mesin atau minimal menetralkan gigi dulu. Yaudah pas saya angkat motornya, ga sadar ngegas, terus ya menurut hukum fisika yang saya buktikan sendiri itu ya motornya loncat lagi ya bego. Pulang-pulang juga dimarahi gara-gara baru sadar waktu motornya jatuh, step ada yang hilang. Hadehhhhh.

Namun trauma, sebagaimana korupsi, memang harus dilawan. Tahun 2008, saya pun memaksakan diri untuk bangkit mencoba berani naik motor lagi. Prosesnya cukup membuat tegang hampir trauma lagi, di antaranya:

1. Jalan di pinggir banget. Akhirnya jarak normal 10 menit dari rumah ke kampus menjadi 30 menit.

2. Pertama kali pergi ngajar dengan motor, ditelpon terus sama front desk dan hampir dipanggil yang punya Ganesha karena saya ngga kunjung datang, telat hampir 30 menit ke kelas karena takut belok, takut putar balik, takut nyebrang. Masya allah. Wkwkwk.

3. Didorong Ewa untuk berani membonceng orang dengan cara Ewa maksa minta dibonceng dari kampus fisip ke ayam laos lalu sepanjang perjalanan, kami berdua teriak-teriak heboh karena takut anjir. Saya takut boncengin Ewa, Ewa juga akhirnya jadi nyesal minta dibonceng saya.

4. Beberapa hari agak berani naik motor, eh ada guru di Ganesha yang lagi hamil gede minta diantar kontrol ke dokter kandungan karena suaminya sedang dinas di luar kota. Ya allahhhhhhh, keringat dingin allahuakbar. Terakhir kali membonceng Ewa itu tangan udah gemetar, lha ini atas nama kemanusiaan saya mustahil menolak permintaan membonceng ibu hamil. Tapi alhamdulillah berkat ridho Allah, ibu guru bisa selamat saya bonceng ke dokternya. Semoga anak yang dikandungnya (sekarang mah sudah masuk SD) kelak bisa menemukan obat kanker atau minimal bisa merajut benang-benang kebangsaan lebih erat.

Bersambung.
Bagian 2 insya allah mengenai prestasi dalam naik motor.

Kisah Inspiratif di Angkot Bandung #1: Menyapa atau Tidak Menyapa, Sebuah Kajian Fisika

Selama enam tahun, saya menghabiskan waktu minimal tiga jam sehari di angkot untuk sekolah. Banyak hal yang bisa dilakukan di dalam angkot berjam-jam, termasuk mengerjakan PR, belajar untuk ulangan, bahkan sarapan. Itu kalau pagi. Perjalanan pulang sekolah biasanya hanya saya nikmati dengan mendengarkan musik Taiwan dari walkman sambil membaca beragam bacaan, dari mulai catatan blog Raditya Dika yang dulu pernah terasa relatif lucu (sekarang malesin), chicklit dan komik sewaan dari taman bacaan, atau latihan soal yang saya fotokopi dari teman yang ikut les. Perkara membaca fotokopian soal itu bukan karena saya rajin atau berminat pada pelajaran, melainkan karena kertas soalnya juga baru diberikan teman sebelum turun angkot. 

Saya sempat mengeluh pada teman saya kenapa baru di saat genting fotokopian itu dia berikan. Sudah bagus masih ingat, kilahnya setelah berteriak, "Kiri payun, Mang!" Saya mau balas bilang, "Ih atuhlah," tapi beberapa detik kemudian, fotokopian soal laknat fisika itu menyelamatkan saya.

Di sekitar daerah Talaga Bodas, teman saya turun. Di titik itu, seorang pemuda kucel siaga menunggu dia turun untuk menggantikan kuota duduknya. Kayaknya kenal deh, dimana ya, ingat-ingat saya saat Aa dengan poni agak mencolok mata itu sudah duduk manis di pinggir pintu. Dari pojok belakang angkot, saya perhatikan penampilannya, harusnya kenal deh, tapi dimana ya, saya masih lupa. Astaga ini si Aa kucel bener. Untung masih tertolong bawa tas jadi terlihat seperti anak kuliahan. Kalau ngga ada tas dan hanya pakai sandal jepit, bisa jadi dia akan dinilai sebagai  pemuda lokal yang sedang mencari las knalpot. 

Angkot semakin kosong di daerah Mataraman. Aa itu duduk semakin mendekat ke arah saya yang setia di pojokan. Ingatan saya makin terbentuk. Sepertinya dia kakak kelas yang sempat saya sukai saat baru masuk sekolah. Sementara saya sibuk menolak ingatan saya mengenai sosok kakak itu karena dulu dia nggak sekucel saat itu, kakak itu mungkin mulai risih ada sepasang mata yang terlewat terbuka memperhatikannya. Dia menatap ke pojok. Karena terlambat bagi saya untuk memalingkan wajah, saya tetap pada posisi mata yang sama namun saya buat agar tatapan saya seperti sedang melamun memikirkan langkah penyelesaian soal fisika. Fotokopian soal agak saya angkat untuk menunjukkan betapa berdedikasinya saya memikirikan persoalan generasi muda bangsa ini di hadapan kurikulum KBK. 

Saya sempat melihat dia tersenyum kecil lalu melanjutkan pandangan ke arah lain. Saya menatap dia lagi untuk memastikan, ini Kang itu kan ya? Masa kucel sih? Dia kuliah dimana ya? Dia kuliah kan ya? Bukan terpuruk atau apa kan ya? Ini kenapa jadi kucel ya? Ini Kang itu kan ya?

Dia menatap saya lagi. Kali itu saya menggerakkan bibir saja untuk menunjukkan bahwa fotokopian itu benar-benar membuat saya ingin segera lulus dari SMA. Dia melihat saya agak lama hingga saya pun akhirnya menundukkan wajah di hadapan soal yang saya letakkan di atas tas. 

Saya harusnya bisa menyapa dia untuk bertanya apakah dia benar Kang I. Tapi kan kalau salah mah malu atuh. Dia juga seharusnya bisa menyapa saya, sih. Kami kan saling kenal sebenarnya. Kami juga beberapa kali berinteraksi langsung. Saya pernah memberanikan diri meminjam buku Biologi, berbohong kalau guru saya meminta kami sekelas membaca materi Biologi Kurikulum 2004 ketimbang KBK. Dia sendiri yang mendatangi kelas saya untuk meminjamkan buku. Bukunya sampai tahun 2016 ini juga masih ada! Waktu kelas 2, saya juga pernah mengirim sms mengucapkan selamat ulang tahun untuk dia pada bulan Juli dan dia balas menanyakan kapan saya ulang tahun. Lalu bulan Septembernya dia benar-benar mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya. Saya juga satu les Bahasa Inggris dengan teman sekelasnya lalu saya sms untuk sok-sok memastikan, Akang sekelas yaaa sama Teh Yuli yaa? Aku se-EF sama Teh Yuli. Dia harusnya bisa bilang, "Ya terooooosss kenapa ya?" di dalam hati lalu mengabaikan pertanyaan saya tapi dia dengan sopan membalas dengan kata-kata afirmasi yang ramah. 

Kami kenal, kami kenal. Tapi lima belas menit di angkot itu kami hanya saling menatap untuk memastikan apa benar kami adalah kami yang itu yang saling kenal. 

Angkot hampir memasuki daerah Buahbatu. Saya membuat keputusan akhir. Kalau dia turun di daerah yang nama jalannya nama alat musik tradisional, berarti dia Kang I yang itu. 
Iya, benar. Dia turun di situ. Iya, dia Kang I! 

Kang I lalu turun dan menyelesaikan transaksi keuangan dengan Mang Angkot. Saat angkot kembali melaju dan melewati sosoknya, saya sempatkan melemparkan pandangan ke arahnya. Dia melihat saya dan sepertinya dia tersenyum simpul. Saya mematung dan lagi-lagi membuat tatapan mata kosong seperti sedang memikirkan fotokopian fisika. Dalam hati menyesal, harusnya tadi saya sapa Kang I dan menanyakan dia kuliah dimana dan apakah nomor hapenya masih sama. 

Origami Bangau

Suatu waktu saat masih remaja, saya iseng membeli kertas lipat warna warni. Tidak ada alasan khusus. Harganya hanya empat ribu rupiah dan ada dua belas warna yang dibagi hampir rata di keseratus lembarnya. Saya bawa kertas itu ke sekolah dan membebaskan teman-teman yang tertarik untuk mengambilnya.

Lalu kawan itu datang. Duduk di sebelah saya dan mengambil dua lembar kertas lipat, biru muda, ungu. Saya yang sedang bermain hape membiarkan dia melakukan hal-hal yang dia sukai dengan kertas lipat itu. Saya hanya bertanya cuek untuk basa basi, "Bikin paan?" 

Dia menjawab dengan manis (well, saya sedang main hape jadi agak lupa kenapa saya bisa mengklasifikasikannya dengan kata manis), "Bikin bangau karena sedang punya harapan."

Karena saya orangnya cuek dan masih main hape, saya jawab, "Punya harapan mah berdoa atuhlah." Dia diam saja sambil meneruskan proyek bangaunya. Saya main hape lagi.

Tak berapa lama, bahkan saya juga belum kena game over, kawan saya beranjak dari duduknya. Saya menoleh sebentar untuk kesopanan. "Udah jadi bangaunya," katanya begitu. Wah benar, sudah ada dua bangau di meja saya. "Buat aku?" saya bertanya nggak tahu malu. Dia mengangguk.

Sebelum dia berjalan menjauh dari kursi, saya tanya dia, "Kan bangaunya kamu yang bikin, kenapa ga kamu yang nyimpan?"

"Aku mah bisa bikin kapan aja aku mau. Kamu mah ngga bisa main origami. Jadi itu buat kamu aja."
Saya hanya bilang okeee pada saat itu dan sampai berbelas tahun kemudian, yakni sekarang, bangau itu masih saya simpan di kamar saya, ditempel di sterefoam berisi hal-hal yang ingin saya ingat dari masa remaja.



Sebuah Halo

Setelah lama tidak menulis di blog, tentu klasiknya manusia yang ada di dunia akan membuka posting terbarunya dengan kalimat, "Wah sudah lama tidak menulis blog ya. Maklum sedang sibuk." Saya juga tadi niatnya nggak mau kayak gitu sih karena metode itu terlalu klasik, tapi apa boleh dikata karena sepertinya saya juga tidak  kreatif-kreatif amat ya saya gunakan juga kalimat reseptuil seperti itu. Apa coba reseptuil artinya? Nggak tahu juga. Akhir-akhir ini saya sering membuat kata-kata sendiri yang garing dan ngga ada artinya.

Sekarang saya membuat posting lagi di blog ini juga niatnya hanya untuk memaksakan diri saja. Ya, harus dipaksa karena kalau tidak dipaksa ya digigit nyamuk. Tuh kan saya ngaco lagi. Kenapa ya saya harus memaksakan diri untuk menulis? Ya, nggak tahu juga. Selain sering bicara ngaco, akhir-akhir ini juga saya sedang sering tidak punya alasan untuk melakukan suatu hal. Ya karena mau saja atau karena disuruh. Disuruh atasan terutamanya. Kalau disuruh kamu mah saya nggak mau. Saya mah orangnya tertutup kayak rapat penjurian suatu seleksi.

Ada banyak yang terjadi setahun ini. Kalau ditotal-total mah ya ada lah segitu. Saking banyaknya saya juga ngga ada ingat-ingatnya. Saya mah serius euy suka lupaan gitu orangnya. Kalau saya ditanya atasan saya surat anu atau dokumen anu, saya harus merangkai-rangkai dulu asosiasi yang membuat saya bisa ingat dengan hal itu. Kadang-kadang asosiasinya suka aneh, misalnya saya ditanya kesepakatan X itu dibahas waktu pertemuan Y yang keberapa. Saya ingat ada hasil itu tapi kan yang ditanya pertemuan keberapa, yang kemudian pasti akan ditanya diselenggarakan dimana, dan tanggal berapa. Terus saya berusaha mengingatnya misalnya dengan mengingat lagi hasil pertemuan itu dicetuskan waktu si Pak Z pakai baju apa, terus saya tanya lagi, Bapak dulu pakai baju yang anu itu pas kapan? Oh pas itu. Nah, berati itu kesepakatan waktu pertemuan bulan anu di anu pas hari ke-anu. Gitu. Lama ya? Ya tapi jangan dibayangkan saya ingat-ingatnya sampai 3 jam dong. Ya nggak mungkin dong. Masa saya duduk-duduk aja di depan atasan saya selama 3 jam? Jangan sedih-sedih banget dong menilai saya.

Tapi selupa-lupanya saya mah, nggak akan kayak pacar saya. Setelah tahun ini dia membuat tulisan yang luar biasa bikin terharunya dan mencetak ratusan jempol dan komentar positif sebagai kado ulang tahun saya, tiga bulan setelahnya dia lupa saya ulang tahun tanggal berapa. Heyyyy. Atuhlah saya mah nggak akan lupa sama hal yang telah saya tulis. Kalau dia sampai lupa gitu berarti dulu motivasimu apa mas sama aku? Apa kau hanya mau cinta dan simpatiku saja?

Ya begitulah pokoknya. 

Saya sebenarnya agak bingung. Ya, itulah sebenarnya motivasi saya untuk menulis sekarang. Gimana ya, mungkin karena ini imbas dari keteledoran saya yang mudah lupa. Jadi gimana ya saya sedang merasa bahwa hidup saya ini kurang sekali. Kurang menulis, itu yang terutama. Saya masih menulis sih, tapi menulis yang serius saja semacam menulis laporan, nota, surat, dan sedikit menengok bahan masukan. Saya juga kurang membaca, tapi bukan berarti saya tidak membaca, Saya hanya membaca bahan masukan, surat, nota, dan laporan. Tidak ketinggalan pula saya baca concept note, administrative arrangement, dan tentative program suatu workshop atau pertemuan yang ada sayanya atau nanti atasan saya yang bakal ikut. Saya juga baca piagam-piagam dan konvensi. Yang fun-nya ada juga sih saya baca koran dan majalah. Majalahnya juga macam-macam, dari Donal Bebek, Bobo, Femina, Marie Claire, Tempo, dan Economist. Kalau koran mah standar ya gitu-gitu aja. Saya juga baca artikel online, baik dibagikan secara gratis dan mutunya nggak terjamin macam yang biasa kita jumpai di beranda facebook, maupun yang akun resmi medianya saya ikuti di twiter.  Ya intinya masih baca sih tapi saya tetap merasa hidup saya kurang, Kalau lagi ngerasa kurang gitu mah ya sudah saya mah tidur aja atau lanjut baca timeline. Dari segala timeline sih yang paling ngeselin tentu saja timeline Path karena kita akan melihat posting-posting pamer nggak penting dari teman-teman yang hidupnya dekat dengan kita. Ya kita juga suka sama ngeselinnya kayak merekaa kalau udah posting-posting hal-hal sok bahagia dan memorable padahal biasa aja kali ah. 

Iya kembali lagi ke soal kurang.

Ini terutama soal menulis sih. Saya ngerasa sudah sangat berjarak sekali dengan isi otak saya sendiri. Apa-apa yang mebuat saya ingin sedikit merasa kritis, lebih banyak saya tahannya daripada saya kemukakan. Saya kayak lagi sedang menjinakkan diri saya sendiri. Sekarang kalau mau menulis, saya jadi harus berpikir beberapa kali lipat karena sadar bahwa sekarang saya nggak bisa hanya memikirkan dan mengungkapkan keresahan saya. Ya ada faktor institusi dan reputasi yang harus dipertimbangkan. Harus cari hal yang aman kalau mau menulis euy. Pas ada hal yang aman, eh yaudah saya juga malas nulisnya, Ya jadi saya juga bingung gitu ini memang saya yang beralasan atau memang saya hanya beralasan? Nah kan bingung. 

Ya namun demikian jika itu adanya, saya sepertinya memang tetap harus menulis biar ngga edan-edan amat. Kalau kata ibu saya mah saya harus tetap menulis, terutama yang lucu-lucu aja biar hidup tetap bahagia. Ya bahagia sih hdiup saya mah. Kalau lagi ingat mah, yah ternyata di tahun 2015 ini saya sudah melihat ASEAN-6. Kalau CLMV mah memang belum tahun ini. Ya mungkin ini memang tahunnya negara maju. Saya mah sebenarnya paling senang pas lagi pergi itu kalau sedang bikin laporan soalnya itulah saat saya tidak melamun dan mengingat hal-hal yang belum saya selesaikan. 

Masih ada euy yang belum diselesaikan pada tahun 2015 ini seperti niat, keinginan, dan tabungan untuk menikah serta niat, keinginan, determinaasi, dan perjuangan untuk ikut tes-tes agar bisa S2 di tempat yang baik dan sulit ditembus kalau kita hanya berpangku tangan belaka. Sepanjang tahun 2015 ini saya masih dalam tahap browsing-browsing dan bikin anggaran. Masalahnya, semakin dibrosing, saya semakin ragu, takut, dan merasakan perasaan lain yang tidak disarankan oleh agama. Selain itu, semakin saya membuat anggaran, saya semakin sulit berkomitmen untuk menjauhkan diri dari mal dan toko. Masya allah. Berat sekali ujian ini. Cuma ya saya tetap harus yakin untuk mewujudkan niat-niat yang hanya sampai pada tahap browsing itu pada tahun mendatang. Kalau tidak besok, kapan lagi?

Ya sekiranya demikian hasil kegelisahan saya hari ini yang meski setelah saya tuliskan di sini ya belum pulih-pulih amat. Tapi ya bagaimana lagi. Mungkin sudah saatnya saya menyerahkan semua pada Allah, salah satunya dengan salat setelah posting ini saya tutup.


Wassalam.



Ark. Des'15.

Sebal yang Kini Tak Bisa Sembarangan

Rasa sebal bisa terjadi karena banyak sebab musabab. Saya pernah disebali oleh orang yang baru mengenal saya hanya karena saya mirip dengan mantan orang yang kini jadi kekasihnya. Saya mahfum. Sebagai sesama perempuan, saya tahu rasa sebal itu. Haha.

Saya juga sebal kepada banyak orang untuk alasan-alasan yang tak masuk akal. Tidak hanya untuk alasan kepentingan bersama seperti bau yang menyeruak setiap kali ia mengayunkan tangannya, tetapi juga untuk alasan nonteknis seperti karena ia adalah teman perempuan pacar saya yang saat bertemu di toilet umum tidak membalas senyum saya. 

Saya akui, saya mudah sebal untuk hal-hal yang kelewat antimainstream di benak saya. Hal-hal yang tidak pernah saya temui sebelumnya dalam hidup saya yang tenang. Hal-hal yang terjadi tidak sesuai dengan ekspekstasi saya. Hal-hal yang mengingatkan saya akan hal-hal yang tidak ingin saya tahu dan rasakan. Hal-hal yang mengganggu secara kodrati dan terlintas begitu saja. 

Dulu saya mudah mengekspresikan rasa sebal saya tanpa berpikir panjang. Waktu SMP saya pernah menenpeleng kawan lelaki saya karena ia terasa begitu mengganggu selama seminggu memamerkan nilainya yang 10 sementara saya hanya 9. Saya juga pernah mengalami teror kelas saya dikepung belasan kakak kelas karena saya bersikeras tidak mau memberikan komputer umum di perpustakaan saat kakak kelas saya menyelonong hendak memotong antrian saya. Itu hanya dua kisah heroik. Sejak TK, tiap tahun saya memiliki tumbal berupa orang yang terlibat baku mulut dan baku hantam dengan saya tanpa memandang gender dan usia. Prinsipnya, saat saya menganggap dia aneh karena tidak sesuai kaidah yang saya terima dalam sistem pendidikan saya, saya akan mati-matian membela keyakinan saya dan memojokkannya. 

Namun demikian, nampaknya saya kini harus mulai mengendalikan ketidaksukaan saya kepada orang. Alasannya klise, karena saya adalah makhluk sosial yang kelak pasti akan membutuhkan bantuannya. Dorongan lain adalah rasa tidak nyaman setiap kali saya harus bertemu dia dengan perasaan yang selalu gondok. Pertimbangan ini tentu berbeda dari pertimbangan saya saat mencoba untuk tidak sering-sering sebal kepada pacar saya. Untuk pacar, alasan saya adalah demi terwujudnya relasi sehat yang dilandasi oleh kesalingpahaman dan belajar untuk menertawakan hal-hal yang menyebalkan di masa kini menjadi hal lucu di masa mendatang. Plus, apalah saya ini yang sebenarnya juga memiliki banyak hal menyebalkan di mata pacar saya. Saya tentu tidak boleh kufur nikmat untuk gampang sebal dengan kebiasaan pacar saya yang kalau kentut buru-buru menempelkan hape ke pantat agar saya juga menikmati kentutnya dari kejauhan, padahal saya juga sering menyuruhnya menunggu saya di bawah terik matahari saat saya masih belum selesai mencatok rambut.

Kalau pilihan untuk banyak berdamai dengan orang-orang yang saya sebali untuk berbagai alasan dan motivasi, ya saya hanya ingin hidup tenang. Saya pikir, janganlah saya sering-sering menampakan ketidaksukaan saya karena ujungnya meja, kursi, pintu, dan silaturahmi menjadi taruhan. Berkarir dari bawah dan sendirian, saya pikir saya harus hati-hati memilih waktu untuk menyerang dan menahan diri. 






Ark.Okt.14