Kapitalisme dan Pendefinisian Hidup Kita


Selepas bimbingan yang baru selesai jam sembilan malam, saya dan Ayi meluncur ke che.co. Entah kenapa che.co malam itu ramaiiiiiii sekaaaaliiiii. Perasaan udah sering juga di che.co sampai malam, tapi baru sekali itu che.co sepenuh itu. Hampir tidak mendapatkan tempat duduk strategis, untungnya ketemu Andris yang sudah mendapatkan kursi yang wokeh dan seperti biasa membicarakan hal-hal berbau gay, lalu putar otak memesan makanan dan minuman yang kebetulan sudah banyak yang habis, dan akhirnya terdampar pada majalah Elle yang Ayi ambil dari meja di dekat wastafel che.co. Ada satu artikel yang menarik perhatian Ayi yang Ayi bagikan isinya kepada saya yang menginspirasi posting ini.

Artikel yang menarik perhatian Ayi itu adalah artikel mengenai definisi kecantikan wanita dari zaman ke zaman. Pasti tahu, kan kalau setiap zaman pasti punya definisi cantiknya masing-masing? Macam zaman sekarang, nih, yang cantik itu adalah yang putih, tinggi, langsing, dan sebagainya yang secara langsung mengeksklusi saya dari kriteria cantik. Huhuhuhuhu. Nah, si artikel yang dibaca sama Ayi itu membahas hal yang kayak gitu, malah dari abad 17 gitu. Secara paternistik, sih, meskipun zaman sudah berputar beberapa abad, terdapat beberapa definisi cantik yang terus berulang. Kulit putih bergantian dengan kulit sawo matang; tubuh langsing bergantian dengan tubuh berisi; pinggang kecil bergantian dengan pinggul besar; payudara besar bergantian dengan dada rata; seperti-seperti itulah. 

Menemukan pola demikian, saya sepakat dengan Remon yang pernah bilang kalau segala sesuatu itu bisa dibuat oleh pasar. Iya, saya yakin bahwa definisi yang bergantian sepanjang zaman itu tak lain adalah bagian dari perebutan pasar yang dibuat oleh kaum kapitalis. Bukan kita, si konsumer, yang membuat definisi cantik, tapi si kapitalis, si pembuat produk dan pemilik modal, yang menciptakan definisi kemudian memaksa kita untuk berebut memasuki klasifikasi yang dibuat mereka. Kang Jawot juga pernah membahas hal tersebut saat membahas skripsi Teh Eris tentang globalisasi representasi mitos "cantik" yang dilakukan oleh salah satu produsen pemutih kulit terkemuka di dunia. Untuk mempertahankan keberlangsungan hidup si produk pemutih kulit tersebut, konsumer diajak memasuki gerbang penindasan mental itu secara bertahap. Pertama, dikasih pemahaman bahwa putih itu cantik, gelap itu aib. Kalau mau cowok-cowok atau cewek-cewek mendekati kita, kulit itu harus putih, suatu pernyataan yang kontan langsung membuat saya mikir ketika menonton tivi, "Damn, pantesan gue jomblo." Target kedua adalah menunjukkan bahwa putih saja tidak cukup, tetapi juga harus bebas jerawat. Muncullah produk pemutih dan antijerawat atau pemutih plus antijerawat. Konstruksi ketiga adalah kulit keriput itu nggak banget. Dibuatlah produk antiaging. Target berikutnya akan ada lagi dan dibuat secara terus-menerus. Sebagai orang Asia yang tidak mungkin berkulit putih ala bule, kita dicengkram terus-menerus dalam konstruksi dan impian bahwa kita bisa kok tampil memesona ala bule dalam iklan supaya kita tetap membeli produk itu.

Definisi kemudian berubah ketika ada produk lain yang masuk ke pasaran. Untuk meraih perhatian dari konsumer, produk baru ini membuat definisi yang kontras dari definisi yang lama. Coba perhatikan, deh di rak-rak produk kosmetik di swalayan, sekarang lagi ada embel-embel "Putih Langsat", "Cantik Asia", "Langsat Asia". Produk-produk tersebut seolah memberi penyadaran bahwa kita selama ini dibodohi oleh produk lama dan ini loh, produk yang benar yang sesuai dengan kecantikan asli. Kenapa seolah? Ya, karena tujuan produk itu bukan untuk memberi penyadaran dalam arti mencerdaskan macam iklan layanan masyarakat Shireen Sungkar dan Teuku Wisnu yang nyanyi lahir jangan rapat-rapat, jangan dekat-dekat, melainkan untuk menarik kita ke dalam cengkraman pembelian produknya. Keluar sarang macan masuk sarang buaya kalau kata mbah kita.

Pertarungan produsen yang slaing kontras tersebutlah yang menciptakan sejarah pendefinisian cantik dari abad kapan hingga abad kapan. Sampai kiamat pasti kita akan selalu dipingpong dari satu definisi ke definisi lain yang tujuannya adalah untuk menjadikan kita konsumer yang setia. Sementara kita bekerja keras demi bisa membeli produk yang harganya bervariasi dari sepuluh ribu hingga jutaan rupiah, si kapitalis tertawa lebar meraup uang kita kemudian beli tas Prada keluaran terbaru yang dipamerkan di ION Orchard. 

Lalu apakah kita setelah mengetahui kenyataan itu kita akan bisa keluar dari definisi yang mereka ciptakan? Nggak lagi-lagi beli produknya, misalnya? No, nggak akan ada istilah seperti itu, bahkan Kim Jong Il dan Lenin saja masih curi-curi pandang ke dunia Barat demi kelangsungan hidupnya. Plis juga jangan jadikan kaum-kaum pengikut khotbah solat Jumat di depan fakultas saya yang selalu bilang kapitalisme Barat itu haram sebagai contoh kaum yang bisa keluar dari definisi-definisi yang dibuat kaum kapitalis karena jika kalian mau sedikit jeli, toh khotbah yang membakar semangat anti-Barat dan anti-Zionis itu juga masih dikemukakan dengan bantuan mikrofon buatan antek Yahudi. Jangan berpikir terlampau muluk dengan keyakinan bahwa kita akan bisa keluar dari pendefinisian kaum kapitalis, Teman-teman. Mereka sudah membuat sistem pencengkraman sedemikian rupa yang disebut Gramsci sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik tersebut bisa dilewatkan melalui kenikmatan dan janji yang diilusikan kepada kita; bisa juga melalui ketakutan kita yang akhirnya mencegah kita untuk keluar dari 'zona nyaman'; atau bisa juga melalui judgement dari orang-orang di sekitar kita apabila kita menjadi alien atau menjadi orang yang bebas dari konstruksi. Memang luar biasa trik dari kapitalis ini, bukan?

Beralih dari definisi kecantikan, artikel Elle tersebut juga membahas mengenai perkembangan fashion seiring dengan definisi kecantikan. Satu hal menarik yang saya dan Ayi simpulkan dari pemaparan artikel tersebut adalah, Barat nggak melulu tentang baju seksi. Yap, kalau Teman-teman masih menganggap wanita Barat itu sungguh adalah makhluk yang akan paling dikutuk karena feminismenya mengajarkan keterbukaan pakaian sebagai eksplorasi atas kebebasan tubuh, oh plis, ralat pemikiran itu karena dari sejarah yang dipaparakan di dalam artikel tersebut terlihat bahwa keseksian perempuan yang kalian kutuk namun secara diam-diam kalian simpan di bawah kolong kasur itu adalah bentukan kapitalis juga. Dosen Gender dan Seksualitas dalam HI saya akan sangat murka kalau kita terus-menerus menyalahkaprahkan feminisme melulu hanya mengenai kebebasan mengeksplorasi tubuh. Pempertontonan banyak bagian dari tubuh perempuan di Barat sendiri baru marak dilakukan mulai Perang Dunia II sekitar tahun 1939. Itu pun bukan timbul dari keinginan si perempuan untuk memperlihatkan bagian tubuhnya. Buktinya, pada tahun bahkan abad sebelumnya, baju perempuan di Barat selalu bergaya Victoria yang berlengan panjang dan ber-rok panjang. Ya memang, sih, meskipun menggunakan baju panjang, tapi bagian pinggang tetap ketat dan payudara ditonjolkan, tapi itu juga berkaitan dengan kaum kapitalis yang ingin menonjolkan titik-titik definisi kecantikan. Nah, dari situ hal yang bisa kita lihat adalah Barat juga pernah kok mengonsepkan baju tertutup.

Fashion berbaju mini mulai berkembang seiring dengan banyaknya tentara yang dikirim perang.  Apa pasal? Siapa, sih, yang senang dapat tugas ke medan perang? Penanaman nasionalisme bagi para tentara memang oke, mungkin hampir sama dengan penanaman fundamentalisme agama di kalangan teroris. Namun, bedakan dengan teroris yang memang bertujuan sekali jalan sekali mati, kondisi perang yang berlangsung berhari, berminggu, berbulan, bahkan bertahun ini dapat memicu stres. Tidak ada kepastian hidup atau mati; teman yang sekarang kita ajak ngobrol, bisa saja dua jam kemudian mati di depan mata kita; istri yang diambil tetangga karena si istri berpikir bahwa tidak ada kepastian hubungan dengan tentara; rindu anak; dan sebagainya. Kondisi yang dihadapi oleh tentara perang ini merupakan kondisi berat bagi seorang tentara yang secara politis hak-hak kemanusiaannya seperti berkeluarga dan hidup damai telah ditukar dengan kelangsungan hidup negara, namun secara manusiawi, khususnya dalam hal biologis, nilainya sebagai manusia yang berkebutuhan untuk menyalurkan kebutuhan seksual tidak hilang. Kondisi tersebut yang dilihat kaum kapitalis dan didukung oleh negara untuk mengembangkan terobosan penyemangat para tentara. Mulai pada masa ini mulai berkembang wanita-wanita yang didandani secara minimalis kemudian dipotret dan dijadikan poster penyemangat bagi para tentara yang bertugas di medan perang dengan tujuan membuat tentara nyaman berada di dalam kondisi penuh ketegangan perang, 

Melihat respon yang baik dari para tentara, kaum kapitalis kemudian melihat lahan basah. Ekspansi pasar pun dilakukan. Gadis-gadis berbaju imut pun menjadi komoditas yang bisa digunakan untuk menjaring pasar dari manusia berjenis kelamin pria. Hal inilah yang kemudian berkembang hingga masa kini dan menyebar ke seluruh dunia. Takhanya sampai di situ pekerjaan tangan kapitalis. Untuk menciptakan produk-produk yang lebih banyak, kaum kapitalis juga harus merangkul perempuan. Kaum perempuan harus dibuat suka dan rela, bahkan berebut untuk menjadi gadis-gadis imut penghias dinding kamar dan peralatan elektronik laki-laki. Muncul pemahaman bahwa cara untuk menjadi perempuan yag sempurna adalah dengan menjadi perempuan yang diinginkan laki-laki. Agar perempuan itu diinginkan laki-laki, perempuan harus memiliki hal yang dikritisi Bu Junita sebagai 5B, yakni beauty, brain, behavior, booty, dan boops. Dua hal yang disebut terakhir yang menjadi poin penting penilaian laki-laki. Dengan hal tersebut, kaum kapitalis berhasil menggiring perempuan untuk berbondong-bondong menata dirinya sesensual mungkin di hadapan laki-laki dan mengharap banyak laki-laki takluk padanya. 

Hal yang jelas-jelas menjajah perempuan tersebut tentu akan menyulut penolakan perempuan lain yang merasa dirinya sudah tersadarkan dalam gerakan feminisme. Mengakali hal tersebut, kaum kapitalis pun tidak menyerah. Pengeksplorasian tubuh kemudian dikatakan sebagai tindakan kebebasan perempuan. Hal tersebut pun kemudian diidentikkan dengan feminisme. Hmmmmm, sungguhlah memang cihuy sekali kaum kapitalis ini.

Eh, tapi tunggu dulu, saya juga mau menambahkan hal lain. Di Indonesia, khususnya di Bandung dan lebih khusus lagi di lingkungan sekitar saya, fashion yang sedang berkembang adalah busana muslim. Nah, bila melihat penjelasan saya yang menyebutkan bahwa baju mini sesungguhnya adalah buatan kapitalisme untuk mendapatkan pasar, lalu apakah busana muslim adalah bentuk kontras dari busana mini ala kapitalis atau dengan kata lain busana muslim bebas dari cengkraman kapitalis? Saya rasa tidak ada satu hal di dunia ini yang luput dari kuasa Allah dan kelicikan kaum kapitalis. Busana muslim pun sudah mulai ditunggangi oleh kapitalis. Tidak semua baju muslim, tentunya. Apabila kita menggunakan busana muslim secara fungsional atau murni sebagai baju muslim, baju muslim yang kita pakai tesebut masih memenuhi kriteria tulus lillahi taala. Namun akan berbeda tentunya jika kita menggunakan baju muslim dengan berbagai aksesori yang berlebihan dengan tujuan tetap tampil gaul meski berbaju muslim. Pertama, kita nggak lillahi taala dan belum ikhlas benar menggunakan baju muslim. Tujuan inti dari baju muslim untuk menutupi aurat dan demi mengabdikan diri pada Allah terdistraksi oleh keinginan manusiawi kita yang tetap ingin terlihat menarik. Kedua, itulah tanda-tanda kekuasaan kapitalis atas diri kita. 

Membaca posting saya ini, jangan salah paham dengan berpikir bahwa saya akan menutupnya dengan himbauan, "Hancurkan kapitalis!!!" atau ajakan masuk ke dalam gerakan politis berhalauan agama atau membangkitkan semangat kaum Marxis. Saya bukan tipe orang yang akan membicarakan hal-hal di luar kemampuan saya. Yang harus saya atau tepatnya kita akui adalah kita nggak akan bisa lepas dari cengkraman kapitalis. Semua definisi hidup kita itu yang membuat ya kapitalis. Ketika kita sadar dan kita ingin memberontak, diri kita sendiri yang akan mencegah tindakan tersebut dengan hal-hal yang sangat common sense, semacam :
  •  Kasus nggak mau pakai pelembab pemutih kulit lagi  => Terus nanti kalau kulit aku jadi kusam dan kering gimana?
  • Kasus nggak mau pakai baju mini lagi => Masa aku table manner besok pakai celana dan kaos aja? Kan nggak pantes. Salah kostum.
  • Kasus nggak mau pakai baju muslim dan aksesoris gaul lagi => Loh, Allah kan juga menyukai keindahan, masa pakai kerudung ala Syahrini aja nggak boleh?
So, saya nggak akan merekomendasikan tindakan apa pun untuk menghalangi cengkraman kapitalisme dari hidup kita. Kita hanya ikan kecil yang pasti kabur juga kalau bertemu ikan paus.


Ark. Des'11.

Nostalgia Lagu

Gara-gara nemu Ah Di udah punya anak dan sempat terharu juga waktu lihat video-video Youtube Ah Di yang nyanyi buat anaknya, semua memori lagu zaman SMP pun menguak kembali. Nggak, nggak, nggak, jangan berharap bahwa saya akan mempost lagu-lagu indie atau pop Barat atau rock and roll atau lagu Padi. Saya nggak melewatkan masa SMP saya dengan hal-hal yang banyak dilakukan oleh kawan-kawan seusia saya dan di sekitar saya. Saya malah melewatkannya dengan lagu Mandarin yang aksesnya saya dapatkan melalui Radio Mei Sheng, radio berbahasa Mandarin di Bandung. Pokoknya kalau suatu saat nanti saya harus berdiri di podium dan mengucapkan terima kasih, saya pasti nyebutin nama Radio Mei Sheng sebagai radio yang telah mencetak saya sebagaimana saya adanya pada masa kini dan masa depan.

Nah, gara-gara memori lagu SMP itu menguak, saya jadi iseng nyari lagu-lagu itu di internet. Saya pikir nggak bakal ada, eh ternyata saya salah. Saya langsung jadi merasa durhaka gitu sudah menyepelekan kemampuan mumpuni Ki Google dan menafikkan perkataan Anthony Giddens bahwa pada masa kini tak ada yang tak mungkin terakses berkat adanya dedistanciation of time and space. Tak dinyana, tak diduga, saya nemu hampir semua lagu yang dulu setiap sore saya smskan ke Radio Mei Sheng sebagai request lagu plus salam-salamnya, yang di dalamnya juga selalu memuat salam buat Ifan, padahal seumur hidup si Ifan mah nggak pernah denger Mei Sheng. Eeeeeaaaaa.

Saya terkesima aja gitu, gile ya ternyata ada dong di internet. Terus lebih terkesima lagi waktu nemu banyak banget orang-orang kayak saya di luar sana yang menyukai musik dan artis dari Taiwan. Amazed aja gitu. Dulu sih nggak terlalu nyadar. Ya, dari seringnya request ke Mei Sheng sih saya jadi apal dan diapal dan saling apal sama penyiarnya dan remaja-remaja seusia saya yang juga suka request ke Mei Sheng. Bahkan sampai apal juga buat siapa aja salamnya. Tapi dulu itu kayaknya kita biasa aja, nggak sampai kayak yang saya temuin di internet. Masa dong bayangin ada yang selalu rela dateng ke Singapura dan Malaysia buat nonton promo atau konser Energy, terus ngintil ke bandara, hunting CD dan bonusnya, terus rajin ngirim surat ke Energy, dan bahkan sampai dihapal juga sama Energy-nya. Ehemmmm, poin terakhir seriusan bikin sensi. Giling, sampai segitunya gitu loh. Betenya lagi sampai ada yang bikin surprise party gitu kalo personel Energy ulang tahun. Apa deh. Asik, beneran kesel lah saya. Haha. Ih, pokoknya amazed, cederung sirik, cenderung bete, cenderung nyesel nggak ngelakuin hal-hal itu di masa muda saya. Aslinya.

Hmmmm, yasudahlah biarkan mereka hidup dalam kebanggaannya sementara saya menyesali kekuranglincahan saya. Saya akan melanjutkan hidup. Akhirnya gara-gara saya bete baca cerita mereka, saya pun meneruskan pencarian saya atas lagu-lagu Mandarin lainnya yang tidak dinyanyikan oleh Energy. Saya nemu lumayan banyak. Lumayanlah. Pokoknya lagu-lagu yang dulu cuma saya koleksi melalui kaset rekaman dari siaran Radio Mei Sheng atau paling maksimal adalah kaset yang saya beli di Disc Tarra atau Aquarius sekarang sudah ada versi digitalnya. Mmmm, ini dia daftar yang sudah saya download :


  • Wo Nan Guo-5566
  • Wu Suo Wei-5566
  • One More Try-5566
  • Bao Feng Yu-Toro
  • Ni Ying Gai Zhi Dao-Toro
  • Wang Le Ai-Toro
  • Dui Shou-Toro dan Johny Yan
  • Jue Ding Ai Ni-Vivian Hsu
  • Wo Hu Xi Ni- Vic Zhou
  • Rang Wo Ai N-Vic Zhou dan Barbie Hsu
  • Shou Xi de Wen Rou - Vic Zhou
  • You Ni de Shi Jie - Jimmy Lin
  • Qu Zou Zou- Jimmy Lin
  • I Want You I Need You-Jimmy Lin
  • Zai Xing_Peter Ho dan Chen Yi Rong
  • Zai Jian Ying Huo Chong -Jacko Yuan
  • Yong Yuan Yong Yuan - Li Yi Jin
  • Don't Stop - Jolin Tsai
  • Shuo Ai Ni- Jolin Tsai
  • Ting Bu Dao Ni - WeWe
  • Just Fall in Love - WeWe
  • Happy Day-WeWe
  • Sara-WeWe
  • Yi Shi de Mei Hao- Angela Zhang
  • Journey-Angela Zhang
  • I Don't Want to Know -Chen Wei
  • Hua Xiang-Ambrose Hui


Lagu lain yang sudah saya download sebelumnya ya paling Energy, SHE, Jay Chou. Kalau mereka sih saya udah punya full albumnya. F4 juga walaupun waktu SMP saya masih belum suka sama mereka juga saya udah punya albumnya. Hampir full album. Mmmm, 5566 juga udah punya albumnya, tapi saya lupa jadi saya malah download lagi tiga lagu. Terus yang full album lagi itu Comic Boyz, BAD, sama Tension. Itu boyband semua gitu yak. Haha. Tapi serius deh, walaupun mereka adalah boyband, jangan bandingkan dengan boyband zaman sekarang yang bajunya lebay dan mukanya mirip cewek *walaupun tetep ganteng dan menggiurkan sih*. Boyband zaman saya SMP itu mah tampilannya tetep maskulin, bajunya cuma jeans, kaos, jaket, paling maksimal juga paling kemeja putih berjas kalau lagi konser yang lagunya lagu ballad. Mereka juga ngedance, mereka juga ganteng, suara mereka juga khas. Okelah pokoksnyah.

Ah, senanglah saya bisa dapat lagu-lagu lama itu dalam versi digitalnya. Terus pas saya dengerin juga kualitasnya bagus dan yang paling penting adalah saya masih hapal lirik lagu mereka. Ah, cucoklah pokoknya akhir tahun ini habis UP saya bisa menyanyi dengan gembira dan tartil. :* Terima kasih, Google :)

Ark.Des'11.

Di Akhir Semester 9

Alhamdulillah, setelah melewati masa pembimbingan yang luar biasa mengeluarkan darah, keringat, dan air mata sejak bulan Maret 2011, tanggal 27 Desember 2011 lalu saya akhirnya bisa melaksanakan Seminar Usulan Penelitian skripsi saya yang berjudul Pencitraan Internasional dalam Destination Branding Singapura melalui Turisme Mal. Seminar UP tersebut bisa dibilang sangat berkesan *halah* terutama kalau mengingat detik-detik pasca-acc sampai detik-detik sebelum UP.

Saya sudah mendapat tanda tangan acc sejak tanggal 11 November 2011 lalu. Nah, tapi hidup ternyata belum beres di situ. Beberapa hari setelah penandatanganan draft saya itu, saya masih dapat DM dari pembimbing saya *ada di posting di bawah* yang akhirnya membuat rumusan masalah saya ada dua dan beranak hingga sebelas pertanyaan serta cara analisis dalam metode penelitian saya juga jadi ada dua, yakni deskriptif dan semiotika. Dari DM itu saya masih melakukan revisi-revisi dan akhirnya saya baru daftar UP itu awal Desember 2011. Habis daftar UP, hidup juga belum beres. Saya masih bimbingan bahkan hingga lima hari sebelum UP dan masih ada revisi. Revisi dari dosen pembimbing saya pada lima hari sebelum UP itu sebenarnya tidak banyak, hanya saja ketika malam setelah bimbingan hingga jam 9 malam yang kemudian dilanjut makan malam dengan Ayie dan Andris di che.co sampai jam 11 malam, saya membuat finishing dokumen, eh saya nemu lagi hal-hal yang bolong dari draft saya. Finishing yang awalnya hanya pikir akan selesai pukul 1 dari start pukul 00.00 itu pun molor sampai pukul 3 pagi. Zzzzzzz. Sebentar, hidup belum beres. Jam 7 saya bangun dan setengah delapan saya sudah nongkrong di gerai print dan fotokopi paling gaul se-Jatinangor yakni di Febrian depan Pangdam. Ngapain? Ngeprint, motokopi, dan ngejilid si draft. Kenapa harus sepagi itu soalnya saya harus langsung membagikan undangan kepada para pembimbing dan penguji. Itu kritis banget, soalnya itu udah hari Jumat, sementara saya UP hari Selasa, dan hari Senin itu kan libur Natal. Ditambah lagi, menurut info yang beredar, si dosen penguji saya itu cuma nongkrong di kampus pas Jumat dari jam 7 sampai jam setengah 10 pagi. Hrrrrrrr. 

Saya pikir si print, fotokopi, dan jilid saya itu bakal beres setengah jam, eh ternyata baru beres jam 9. Ngeprintnya sih sebentar, apalagi saya sudah mengikuti saran Ayi untuk menyimpan dokumen saya dalam bentuk doc, nggak docx, gara-gara Office saya Office 2010 yang mengakibatkan kalau saya ngetik di 2010 tapi diprint di rental yang office-nya masih 2007 maka ada banyak teks yang nggak pake spasi. Biasanya saya lama ngeprint gara-gara saya selalu nyimpan dokumen saya dalam bentuk docx 2010 yang akhirnya membuat saya harus mengedit spasi di tempat ngeprint. Ngeprint cuma sebentar, yang bikin lama itu fotokopi dan jilidnya. Ingat, Febrian ini sangat terkenal seantero Jatinangor karena harganya yang murah dan kualitas global. Ingat juga bahwa tanggal saya mendatangi Febrian itu adalah tanggal 23 bulan Desember yang saya yakin nggak cuma saya yang mengejar seminar UP pada akhir tahun, tapi juga jutaan mahasiswa Unpad lainnya. DItambah lagi ratusan ribu mahasiswa lain yang harus mengumpulkan tugas akhir semester. Tak heran, Febrian pun luar biasa ramai pada hari itu. Pasti saham Febrian di BEJ langsung melonjak ya pada akhir tahun ini. Saking ramainya Febrian, orderan fotokopi dan jilid saya yang berjumlah lima ekslemplar itu pun terkatung-katung. Saya tinggal mengambil uang di ATM, eh masih belum beres. Saya tinggal beli amplop coklat kecil, eh belum beres. Saya nempelin label di amplop-amplop undangan, eh belum beres juga. Oh iya, senangnya si label untuk undangan ini udah dipotongin dan ditempelin sama Ayi satu hari sebelumnya waktu Ayi lagi nungguin saya bimbingan, jadi saya tinggal nempelin yang belum sempat tertempel di amplop coklat kecil yang baru saya beli. Kalau di amplop coklat gede kan udah ditempelin Ayi jadi saya sangat senang dan bersyukur mmuah mmuah karena pekerjaan saya teringankan hihihihi. Pukul sembilan hampir merangkak ke setengah sepuluh, orderan saya beres. Sedih juga harus mengeluarkan tujuh puluh ribuuuuuuuuu hiks. Ini baru draft UP, gimana draft seluruh skripsi, gimana jilid skripsi yang pakai hard cover. Oke, pesan moralnya, menabunglah untuk beberapa bulan ke depan sidang skripsi . Hehehe.

Sampai di kampus, ternyata dosen yang saya cari nggak ada. Eeeeeaaaa. Ternyata beliau nggak ngampus. Eeeeaaaa. Saya cuma berhasil ngasih undangan secara langsung itu ke Ketua Jurusan dan ke pembimbing satu saya. Untuk dosen lainnya, semuanya minta dititipkan di Jurusan saja. Eeeeaaaa. Masih ada masalah lagi, si penguji saya itu sebenarnya belum konfirmasi iya atau engga untuk menguji saya. Hmmmh. Tegang. Tapi itu rasnaya udah pasrah bangetlah. Mau bisa atau engga, ya sudahlah. Kalau mereka bisa datang, ya berarti UP saya jadi diadakan tanggal 27 Desember 2011, kalau mereka nggak bisa datang ya sudahlah paling Januari atau Februari. Apapunlah. Udah pasrah banget.

Sabtu sampai Senin, saya membuat slide. Ini bagian terniat dari UP saya setelah draft saya tentunya. Sebenarnya saya sudah mendownload templates power point sejak saya di-acc dan slide juga sudah saya buat sejak saya daftar UP di awal bulan, tapi belum beres. Waktu itu saya cuma bikin kerangka slide dan paling juga memasukkan bagian Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, dan Manfaat Penelitian. Yang lainnya belum. Akhirnya Jumat malam setelah menyerahkan undangan-undangan, karena saya jadi agak-agak lupa apa yang saya tulis secara detail, saya baca lagi draft saya dan mencari intisari yang menjual, tidak menimbulkan kontroversi, tidak menggugah pertanyaan, dan padat untuk ditampilkan di slide. Sabtu seharian saya memasukkan inti dari Bab I-III, Minggu seharian membuat efek animasi dan transisinya sekaligus menetapkan diri memilih satu desain template yang tidak alay, tidak sepi, secara kuat menyiratkan kepribadian saya, dan tidak merusak mata penguji dan pembimbing, haha, dan Senin saya membuat script yang harus tuntas dibaca dalam waktu 15 menit. Tiga hari yang cukup termanajemenlah dalam hidup sayalah pokoknya. Haha. Iya, saya benar-benar menghindari kebut-kebutan dan woles-wolesan. Pokoknya itu tiga hari yang sangat iye banget dahhhh. Hahaha.

Nah, datanglah hari Selasa yang ditunggu-tunggu itu. 

Kelegaan pertama : Dua dosen pembimbing saya datang sebelum pembukaan UP.
Kelegaan kedua : Notulen saya, Kanjeng Bos Grinanda, juga datang ngebela-belain dari Jakarta. :* :* :*
Kelagaan ketiga : Kajur saya ngamuk gara-gara dosen-dosen penguji hari itu beberapa belum datang dan tidak konfirm.

Meskipun sudah ada tiga kelegaan itu, masih ada lagi ganjalan yang utama. Kemana atuhlah dosen penguji sayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....

Satu kabar datang : Dosen Penguji I membatalkan kesediannya
Kabar berikutnya : Dosen Penguji II katanya sedang berada di Bali

Udahlah ini mah udahlah

Eh tapi di saat-saat tegang itu, tiba-tiba plung plung plung...
Dosen Penguji II saya datang dengan rokoknya dan muka santainya.
Tidak berapa lama kemudian...
Dosen Penguji II saya yang killer, yang di mata kuliahnya saya nggak pernah dapat A, yang sangat positivis, yang terlihat sangat mainstream....DATANG.

Saya nggak tahu harus lega atau engga si bapak killer itu datang. Lega sih lega soalnya saya ada penguji. Nggak mungkin kan saya UP secara independen macam kepala daerah. Nggak leganya soalnya saya pikir saya pasti di cecar dengan perdebatan positivis-postpoitivis, yang nantinya bakal mempertanyakan apakah skripsi saya cukup HI atau tidak, apakah reputasi itu nyata adanya, apakah citra itu terasa, dan apakah saya mengada-ada. Ah, tapi yaudahlah. Yang saya pikir, sih, saya sudah membaca banyak literatur yang memberi peyakinan akademis kepada saya bahwa Tuhan itu ada, baik, dan selalu memberi pertolongan melalui akal sehat dalam mengemukakan pendapat. Oke, UP pun dimulai.

Beres menerangkan presentasi yang dilafalkan secara padat, cepat, tegas yang didukung juga secara moril dengan anggukan kepala dari dosen pembimbing saya yang saya pikir beliau lega atas kekhawatirannya terhadap saya jika sampai salah kata, salah konsep, atau melewati konsep dalam beberapa poin krusial, serta picingan mata berpikir dari dosen penguji yang kemudian menarik nafas yang sepertinya menandakan bahwa pertanyaannya terjawab dalam slide, saya mengucapkan wassalam. Siap-siap dicerca tapi kali ini dengan perasaan yang lebih lapang karena saya sudah beres memaparkan slide saya. Di luar dugaan....kedua dosen penguji saya bilang penelitian saya baguuuuuuusssss dan bisa membuka pandangan mengenai cara Singapura mendapatkan power dari seduksi citra di mal-malnya. Yaiiiiyyyyyyyyy. Lega. Seminar UP yang biasanya dihiasi oleh cecaran judul, rumusan masalah, tujuan, manfaat, pendekatan, dan metode, kemarin kebanyakan diisi oleh saran hal-hal apa yang harus saya masukkan agar skripsi saya lebih menyeluruh (baca : tebal). Ada juga catatan atas kealpaan saya, yang senangnya saya juga menyadari kealpaan itu jadi saya tahu apa yang harus saya lakukan (baca : nggak ngotot ngerasa bener sendiri).  UP Kemarin juga yang saya rasakan, dosen penguji saya bukan menguji dalam arti memberi ujian. Saya melihatnya diskusi. Ada, sih yang bilang kalau suasana itu terbangun karena si dosen saya itu basic-nya mainstream, jadi 'kurang masuk' ke dalam pembahasan saya. Tapi kayaknya nggak segitunya juga, sih. Dosen pasti paham sebaru apa pun pembahasan yang dibawa mahasiswanya. Awalnya juga kan saya takut kalau saya dicerca gara-gara betapa berbedanya jalan yang diambil saya dan dosen penguji saya *halah*, tapi ternyata mereka juga merasakan fenomena yang saya rasakan. Salahnya sih kemarin saya lupa menyebut kata 'negara' sebagai unit analisis saya dan sebagai aktor yang berperan. Saya kebanyakan langsung menyebut 'Singapura' dan 'mal' sehingga seolah-olah 'mal di Singapura'-lah yang menjadi agen power Singapura secara mandiri, padahal 'mal di Singapura' juga diatur oleh pemerintah Singapura, sehingga kata 'Singapura' yang saya sebutkan itu sebenarnya merujuk pada 'Negara' sebagai aktor dan agen power, bukan secara langsung merujuk pada 'mal'. Mal mah alatnya.

Seminar beres, menunggu yudisium. Kemarin cukup lama juga yudisiumnya. Dari jam setengah dua beres UP, baru jam setengah empat atau jam tiga gitu ya diumumkan yudisiumnya. Hore saya dapat A. Tapi masih mengganjal, sih. Biasanya dan dari yang sudah-sudah sih, sebelum disebutkan huruf mutunya, disebutkan dulu skor-nya. Misalnya, Dedeh, skor 3,19, huruf mutu B. Biasanya gitu. Nah, yang kemarin itu entah kenapa nggak disebutkan. Jadi ya sudahlah pokoknya A saja. Hmmh. Saya tanya sih ke Kajurnya kenapa nggak diumumin pakai skornya, tapi beliau tidak memberi jawaban yang masuk akal (baca : tidak terayu untuk memberikan bocoran berapa nilai saya). Ya nggak apa-apa, sih. Sudah A gitu loh. Hmmm, tapi apa ya...Udah terlanjur tegang nungguin angka, sih. Macem orang nunggu hasil togel aja kali ya. Haha. Iya, sebenernya yang bikin tegang dari yudisium UP itu ya skor-nya. Kemarin udah nanggung tegang, yah ga ada skornya. Rugi bandar aja gitu. Hehehe. Tapi yasudahlah. Yang penting saya legaaaaa sudah UP di akhir semester 9 ini :)

Beres UP, saatnya berkonsentrasi pada bab 4-7. Yah, semoga bakal tetap 7, nggak nambahin lagi. Saatnya turun ke lapangan dan membuat laporan. Jangan tanya kapan saya akan beres. Saya juga nggak tahu kapan. Haha. Pesan moral dari proses menuju UP kemarin sih, selalu ada jalan terbaik dari Allah kok kalau kita tekun berusaha, jadi ya sekarang mah saya cuma bisa menjalani sebaik mungkin  :)

Balada Sepuluh Tahun Energy





Kalau ada yang bilang bahwa sekarang adalah masanya boyband, saya kurang setuju. Dari zaman saya TK juga boyband sudah ada, masalahnya ya media untuk mengakses si boyband yang banyaknya berasal dari Amerika itu masih belum merata dan merakyat. Beda sama masa sekarang yang warnet sudah masuk desa, dulu mah baru ABRI yang bisa masuk desa. Kalau mau nonton boyband, minimal harus kenal dulu sama MTV.

Hmmm, ngomongin soal boyband dan jadi satu dari sekian bayak fans boyband, saya juga pernah jadi gadis yang kalau dibahasakan dengan bahasa zaman sekarang ya jadi gadis alay. Haha. Iya, kan, sekarang kita kalau lihat anak-anak SMP dan SMA yang masih ternganga setiap melihat Suju, Beast, SS501, atau bahkan HITZ, pasti kita langsung memanjatkan doa kepada Tuhan yang Maha Pemberi Petunjuk agar segera menyadarkan mereka bahwa nikmat penglihatan itu sebaikanya tidak digunakan hanya untuk melihat glamoritas pria-pria yang sulit dijangkau. Nah, saya waktu SMP sampai kelas 2 SMA pernah mengalami masa-masa itu. Errrr, ralat, kayaknya sampai sekarang masih sih tapi karena keterbatasan zaman dan berkembangnya rasionalitas dari dalam dompet, saya pun sekarang sudah tidak sesanter dulu dalam mencintai boyband legendaris dari Taiwan, Energy.


Saya suka band yang digawangi oleh Ah Di, Shu Wei, Kun Da, Toro, Niu Nai, dan Xiao Gang ini sejak tahun 2002. Hmmm, sekitar kelas 2 SMP. Ah, iya, dinamika anggota Energy ini cukup bikin sesak juga. Personel yang ada dari awal sampai sekarang itu cuma Ah Di, Shu Wei, dan Kun Da. Toro keluar tahun berapa gitu ya lupa, terus berapa tahun kemudian giliran Niu Nai yang keluar, terus digantikan oleh Xiao Gang. Karena XIao Gang ini anggota yang sangat baru, saya nggak punya kedekatan emosional dnegan Xiao Gang. Halah. Iya, saya nggak terlalu kenal Xiao Gang dan enggak kepengen juga tertarik sama Xiao Gang lalu menerima dengan ikhlas bahwa Xiao Gang adalah anggota resmi Energy. Pokoknya selepas Toro dan Niu Nai pergi, Energy ya cuma Ah Di, Shu Wei, dan Kun Da. Demi apaaaaa, keterangan barusan penting pisan. Haha.


Alasan saya suka sama Energy? Hmmm, ya lagunya enak didengar, dari yang ballad sampai yang keras, terus skill ngedance mereka sungguh mempesona, beberapa di antaranya bermuka ganteng khas Asia Timur, warna suara dua vokalis utamanya, Ah Di dan Shu Wei, totally amazing, sempat banyak diliput media yang kerennya, liputan tersebut nggak memperlihatkan kepongahan, kesokterkenalan, atau eksklusivitas mereka. Energy itu selalu diceritakan sama seperti remaja-remaja pada umumnya yang gokil. Pokoknya nggak palsu. Kalau dianalogikan sama kehidupan saya selama mahasiswa sekarang ya mungkin Energy itu tipikal pria-pria yang suka makan di Pedca, nungguin dosen bimbingan, ngambil duit di ATM yang dua puluh ribuan, nongkrong di kafe sambil nge-kepoin orang-orang secara random, cuma bedanya Energy itu ganteng dan menjual, nggak kayak saya dan teman-teman saya.


Nah, selayaknya anak-anak remaja alay pada umunya, saya pun membuktikan ke-fetish-an sama terhadap Energy dengan membeli majalah, tabloid, dan kaset serta memutar lagu-lagu Energy terus menerus sampai saya hapal semua lagunya, nggak cuma lagu ballad, tapi juga lagu yang ada rap-nya. Jagoan lah pokoknya saya. Sampai sekarang kalau playlist saya secara random memutar lagu Energy, saya tanpa sadar langsung mengikuti liriknya. Hmmmm, saya juga pernah nangis dua kali terkait dengan Energy. Errrr, pertama waktu Toro, salah satu personel yang unyu, keluar dari Energy, dan kedua waktu Energy terancam bubar sekitar setahun atau dua tahun sepeninggal Toro. Ah, sedih pisanlah. Saya akui itu alay, tapi saya juga sampai sekarang nggak bisa bohong bilang kalau saya nggak merasa sesak dengan keretakan Energy. Lebay? Iya, sih, tapi saya seriuuuusssss ini seriusnya seriusssss. 

Namun demikian, di antara dedikasi saya yang begitu tulus untuk Energy dan meskipun kamar saya sempat penuh dihiasi poster Energy serta saya nggak berhenti memutarkan lagu Energy, saya punya dosa yang tidak terampuni soal Energy. Saya nggak pernah bisa menirukan dance-dance mereka macam anak-anak zaman sekarang yang gara-gara jatuh cinta sama Suju jadi lancar ngedance padahal nggak pernah ikut kursus cheerleader zaman sekolah. Bukan karena saya nggak niat dalam mencintai Energy, tapi saya emang nggak berbakat dalam mengoordinasikan mata, otak, tangan, kaki, pinggang, bahu, dan musik. Saya bebal masalah olah tubuh. Dosa berikutnya adalah saya juga nggak pernah datang ke konser Energy yang bahkan sempat konser di Bandung. Makanya saya sebel banget sama bapak saya yang pernah sepesawat sama Energy waktu Energy mau konser empat kota di Indonesia sekaligus saya menyesal nggak nganterin bapak saya ke bandara. Ah, gila, dulu saya punya kesempatan gituh buat ketemu Energy tapi saya meluputkannya. 


Hidup sembilan tahun dengan Energy dan mengoleksi kenangan-kenangan bersama Energy membuat perasaan saya jadi begitu sentimentil selama dua hari terakhir gara-gara waktu saya main ke fanpage-nya Energy di facebook, saya nemu video aplotan sesama penggemar Energy yang memutarkan suara Ah Di yang kini mendedikasikan dirinya untuk anak perempuannya. Ah, iya, sejak saya kuliah, saya agak longgar mengikuti berita-berita Energy sampai-sampai saya nggak tahu kalau Ah Di sudah menikah dan sudah punya anak cewek yang lucu. Jleb pisan rasanya tahu Ah Di punya berita besar tapi saya telat tahu. 



Nah, didorong oleh rasa jleb yang beberapa bulan lalu sempat menghinggapi saya, makanya waktu saya liat video Ah Di yang sedang menyanyi untuk anaknya, saya jadi merasa sentimentil dan melankolis. Saya jadi tersadar satu hal, yes we have grown up so far. Dulu saya hanya seorang gadis sekolah menengah dan mereka adalah sekumpulan remaja yang bernyanyi untuk fansnya. Sekarang saya sudah berumur 22 tahun dan idola saya juga sudah memiliki dunia lain di luar dunia panggungnya. Yappppp, dunia berputar dan mengoleh-olehkan saya kenangan masa lalu. Enggak, saya nggak akan berhenti suka sama Energy. Meskipun sekarang mereka sedang vakum bikin single atau album dan media sudah jarang meliput mereka, saya tetap suka sama mereka, yah setidaknya telinga saya paling nyaman kalau sedang mendengarkan lagu mereka. Hmmm, apa ya...saya sentimentil aja gitu, gila ya sekarang gue udah gede, mereka juga udah jadi bapak-bapak (meskipun belum semuanya nikah dan punya anak). Terus kayak, ah serius nih gue udah bukan anak SMP-SMA lagi. Beneran nih sekarang sudah mau tahun 2012? Bener nih kalau tahun 2012 dan tahun 2002 itu jaraknya sepuluh tahun yang kalau dikonversikan dengan usia manusia mah umur segitu udah mau Ujian Nasional SD. Ah, masa sih gue udah berjalan sejauh ini. Gila ajalah, ini udah sepuluh tahun. Sepuluh tahun gituloh. Pohon mangga dan jambu air yang dulu saya tanam berbarengan dengan saya mendengarkan lagu Energy yang masih sama Toro sekarang juga beberapa dahannya sudah ditebang karena tingginya sudah melebihi tinggi rumah saya. Hmmmmm....sepuluh tahun...Dunia sudah berjalan selama sepuluh tahun, ternyata.

Ark.Des'11

Ciwalk dan BIP : Representasi Citra Beauty dan Benign dalam Aspek Tourism dan Trade


Setelah Jumat lalu saya mengunjungi BSM, saya jadi kepikiran untuk mengunjungi mal-mal lain yang berada di Bandung. Sama sekali bukan untuk belanja, kok (errrr...tapi sempat membeli beberapa-suatu juga sih akhirnya). Saya lagi latihan menangkap citra-citra brilliance, beauty, benignity di mal supaya nanti kalau saya turun observasi lapangan di Singapura buat skripsi saya, saya nggak grogi lagi. Haha. Selain itu juga saya lagi menguji coba kamera hape saya apakah bisa digunakan sebagai alat kunci perekaman objek. Apa pasal? Pasalnya adalah kamera digital saya rusak dan kayaknya sayang aja kalau saya beli kamera digital baru. Nah, dalam melaksanakan uji coba tersebut, untuk menghindari niat belaka tanpa ada eksekusi, akhirnya pada hari Senin yang siangnya cerah dan sorenya hujan, saya pun melangkahkan motor ke Cihampelas Walk dan Bandung Indah Plaza setelah saya mengunjungi Kantor Pajak Majalaya di Jalan Peta. Sempat hujan deras dan jaket saya basah kuyup (termasuk juga sayalah tentunya), tapi hal tersebut tidak mengurangi kegigihan saya. Asek. Saya memulai petualangan mal pada pukul 16.30 hingga pukul 21.00. Kenapa lama sekali? Karena pada prinsipnya janganlah menyia-nyiakan perjalanan Anda tanpa menoleh-noleh Fitting Room.

Cihampelas Walk
Bangunan utama Ciwalk


Terletak di bilangan yang sudah terkenal seantero Indonesia sebagai pusat jeans dan sempat menjadi pusat turisme Bandung, Cihampelas Walk dibangun untuk melengkapi wisata belanja di sepanjang Jalan Cihampelas yang sejak saya TK sudah membuat saya ternganga karena keunikan bangunan-bangunannya. Menjadi cantik dan unik secara desain pun merupakan keharusan bagi Mal Cihampelas Walk. Citra beauty atau elok atau secara lengkap disebutkan Ruth Lorand dalam Aesthetic Order : A Philosophy of Order, Beauty, and Art sebagai bentuk abstrak yang dalam representasi materialnya mengandung nilai-nilai estetik dan mampu menciptakan kesenangan, kekaguman, dan pengidolaan di benak subyek yang mengamatinya pun saya temukan di beberapa sudut mal ini, terutama di ruang terbukanya. 


 Saya melihat beberapa hal yang mendorong kentalnya citra beauty di Ciwalk. Pertama karena Ciwalk harus bersaing menarik kunjungan wisatawan yang menyambangi toko-toko jeans di sekitarnya. Di kawasan Cihampelas, meskipun Ciwalk menjadi the only one mall, bukan berarti Ciwalk tidak memiliki saingan. Dalam hal ini, kita harus melihat Ciwalk tidak sebagai mal, tetapi sebagai toko yang menjual komoditas yang berada di kawasan turisme. Dibandingkan dengan toko-toko jeans di sekitarnya, Ciwalk tidak memiliki keunikan komoditas yang dijual. Ciwalk memang memiliki J.Co, Yogya Department Store, Adidas, Elizabeth, dan toko-toko bermerk lainnya, tetapi toko-toko seperti itu juga bisa ditemui para turis di wilayah asalnya. Selain itu, komoditas di Ciwalk juga dijual dengan harga yang standar alias di seluruh Indonesia atau singkat cerita, tidak ada harga atau promosi khusus bagi para pengunjung mal. 

Dengan minimnya keunikan, baik dari segi komoditas maupun harga, sementara pada dasarnya turis melakukan kegiatan turisme karena adanya dorongan ingin mencari sesuatu yang otentik dan unik, bagaimana Ciwalk dapat bertahan apabila Ciwalk tidak mengeksplorasi  citra beauty? Melalui citra beauty, Ciwalk dapat menunjukkan keunikannya dibanding toko-toko di sekitarnya. Dari beauty juga Ciwalk mengimpresi benak para pengunjungnya. Setelah pengunjung terimpresi kemudian tetarik menelusuri sudut-sudut Ciwalk, baru kemudian pengunjung diajak untuk menikmati komoditas yang dijual di Ciwalk. Pada proses penjualan komoditas di dalam Ciwalk, saya rasa Ciwalk menyerahkan sepenuhnya kepada para pemilik gerai. Tidak ada koordinasi khusus seperti adanya kartu anggota Ciwalk yang bisa dijadikan kartu diskon di gerai-gerai di Ciwalk.  
Kedua, kesatuan tema dengan bagunan-bangunan toko di kawasan Cihampelas menjadi alasan juga bagi Ciwalk untuk menjadi mal yang cantik. Sebagai bangunan yang terletak di kawasan yang bertema unik, tentu Ciwalk juga harus berada di dalam tema agar tidak menjadi alien. Kelebihan Ciwalk pada poin ini adalah sebagai mal, Ciwalk memiliki fleksibilitas yang tinggi untuk mempercantik diri dalam tema tertentu sesuai dengan perayaan terdekat. Ciwalk pun memiliki banyak wajah yang bisa dinanti-nanti oleh para wisatawan. Dalam perayaan Natal dan Tahun Baru kali ini, misalnya, kita bisa menikmati elemen estetik Ciwalk sejak kita masih berada di luar bangunan mal Ciwalk. Di ruang terbukanya yang luas, kita dengan mudah menemukan lampu-lampu Natal yang dirangkai di pepohonan, boneka salju lengkap dengan elemen-yang-saya-nggak-tahu-namanya-apa-tapi-bentuknya-seperti-tongkat, dan tentu saja pohon Natal yang besar lengkap dengan bintang-bintang cantiknya yang dengan mudah menarik perhatian pengunjung untuk berfoto di dekatnya. 




Melangkah ke pintu masuk utama Ciwalk, kita akan menemukan representasi citra beauty yang lebih total dengan adanya empat pohon Natal yang lagi-lagi lengkap dengan saya-nggak-tahu-namanya-apa-tapi-bentuknya-kayak-tongkat dan boneka santa serta rusa. Sebenarnya citra beauty dari penampilan tersebut sudah bisa kita temukan sejak kita berfoto di tiga obyek yang tadi saya sebutkan. Saya jadi melihat bahwa ketiga obyek tadi merupakan spoiler atau teaser atau cuplikan kecil dari citra beauty yang ingin ditampilkan Ciwalk. Representasi citra beauty yang utama berada di pintu masuk utama Ciwalk. Dari spoiler-spoiler yang ditampilkan di ruang terbuka Ciwalk, pengunjung digiring untuk menemukan representasi beauty utama dari Ciwalk. Uniknya lagi, berbeda dari mal-mal pada umumnya yang menampilkan citra beauty pada ruang dalam, Ciwalk menampilkannya pada ruang luar. Tema Natal pada ruang dalam Ciwalk hanya berupa lampu-lampu bergaya Natal yang menggantung. Nah, bila kita proyeksikan penampilan ruang luar Ciwalk ke ruang yang lebih luas di sekitar Ciwalk, yakni di kawasan Cihampelas, Ciwalk pun menjadi serupa dengan toko-toko lain di Cihampelas. Bukankah hampir semua toko di kawasan Cihampelas menonjolkan eksterior yang menggoda? Ada yang menampilkan Aladdin, Superman, bahkan kapal. Jejak-jejak khas Cihampelas ternyata masih menempel di Ciwalk yang notabene adalah mal, yakni toko yang mencoba berbeda dari toko-toko tradisional yang berada di Cihampelas. Dari keberadaan penampilan pintu masuk utama bertema Natal, Ciwalk ternyata masih satu tema dengan toko-toko di  Cihampelas.


Bandung Indah Plaza









Bandung Indah Plaza atau BIP merupakan mal tertua di Bandung yang sudah berdiri sejak tahun 1990 dan bahkan menurut bandungtourism.com sempat menjadi ikon belanja di Bandung karena sebelum BIP berdiri, orang Bandung hanya mengetahui konsep department store dan pasar swalayan. Terletak di Jalan Merdeka yang dekat dengan Alun-alun serta sekolah-sekolah terbaik Bandung, BIP pun selalu menjadi dibanjiri pengunjung yang kebanyakan berasal dari warga lokal.

Menjadi mal yang kebanyakan dikunjungi oleh warga lokal sekaligus menjadi ikon belanja tertua di Bandung membuat BIP berbeda dari Ciwalk yang mengeksplorasi citra beauty dalam aspek tourism. BIP dalam kacamata saya merupakan mal fungsional yang hanya bisa dilihat sebagai ruang perdagangan atau trade. BIP seolah bersepakat dengan warga Bandung bahwa BIP adalah tempat untuk berbelanja saja atau maksimal tempat bertemu/berkumpul dengan kawan. Dengan adanya 'kesepakatan' yang diamini secara tidak sadar tersebut, BIP seakan mendapat jaminan bahwa pengunjung yang mendatangi BIP hampir pasti akan mengeluarkan uangnya untuk membeli sesuatu atau banyak-suatu. BIP pun tidak perlu membuang banyak dana untuk mempercantik dirinya sebagaimana Ciwalk untuk menarik kunjungan dan pembelian. 

Nilai yang terkandung dalam BIP tersebut kemudian menggiring karakteristik BIP yang kita temui sekarang. Pertama, gerai-gerai di BIP merupakan gerai yang populer di mata masyarakat dan memiliki harga yang terjangkau. Keberadaan gerai-gerai tersebut kemudian menjadikan BIP sebagai mal yang ramah bagi penduduk Bandung. Tidak ada pengklasan sosial di BIP sehingga BIP menjadi ruang perkumpulan bagi masyarakat kota. Kedua, BIP juga merupakan mal yang paling banyak menawarkan diskon. Meskipun BIP juga tidak memiliki kebijakan kartu anggota yang memungkinkan pemberian potongan harga di gerai-gerainya sebagaimana Ciwalk, gerai-gerai di BIP kerap menawarkan diskon, bahkan tanpa perlu didorong perayaan khusus. Kedua hal tersebut membuat saya menyimpulkan bahwa BIP secara khusus mengeksplorasi citra benignity atau yang didefinisikan oleh Alexander Vuving sebagai kesantunan dalam bentuk pertolongan, perlindungan, dukungan, perhatian, penghormatan terhadap kebutuhan dan kepentingan subjek. Diskon yang diperlihatkan melalui banner-banner di depan gerai yang bersangkutan atau secara terkoordinasi diletakkan di tempat-tempat strategis oleh BIP merupakan representasi dari citra benign dari aspek trade yang ditujukan BIP untuk menarik dan mempertahankan konsumsi dari para pengunjungnya.

Usaha untuk mendorong kunjungan dan konsumsi yang terus-menerus dari pengunjungnya juga dilakukan BIP melalui penyelenggaraan live event. Dalam perayaan Natal dan Tahun Baru kali ini BIP secara khusus menyebarkan pamflet-pamflet serta poster yang berisi jadwal pertunjukan langsung. BSM juga melakukan usaha serupa, sebenarnya, namun promosi yang dilakukan BSM tidak segencar promosi yang dilakukan oleh BIP. Dengan adanya live event sebagai pengganti penampilan visual tema Natal seperti yang dilakukan Ciwalk, BIP ingin menyampaikan pesan perayaan yang vibrant atau hidup kepada para pengunjungnya. Berbeda dari Ciwalk yang berkomunikasi melalui penampilan visual, BIP berkomunikasi melalui audio. Namun demikian, tujuan keduanya sama, yakni mengajak pengunjungnya untuk terlibat dalam perayaan yang mereka buat yang kemudian berujung pada konsumsi. Ya, bagaimanapun juga, keduanya tetap mal yang hidup dari konsumsi para pengunjungnya.




Mal dan Ruang yang Tidak Pernah Kosong Makna

Mal bagi saya merupakan ruang yang paling banyak memuat citra atau yang disebut Daniel J.Borrstin di dalam The Image sebagai profil berupa nilai simbolik menyenangkan yang sengaja diciptakan untuk diperlihatkan kepada publik. Citra yang berasal dari penajaman beberapa hal tertentu yang dianggap dapat menarik perhatian publik diperlukan demi tujuan stand out from the crowd atau menjadi pembeda yang kasat mata sehingga mampu mengantarkan suatu obyek menjadi pemenang persaingan. Mal jelas membutuhkan pengeksplorasian citra, baik untuk bersaing dengan sesama mal maupun untuk bersaing dengan toko-toko tradisional, department store, atau pasar swalayan. Apalagi, beban mal dibandingkan dengan jenis toko lainnya lebih berat karena mal memuat banyak toko yang berusaha menghadirkan konsep one stop shopping.  

Pengeksplorasian citra pun dapat kita temukan di seluruh mal yang ada di dunia, dengan contoh yang paling dekat adalah Ciwalk dan BIP. Sama-sama terletak di Bandung, kedua mal ini mengeksplorasi citra berbeda pada aspek yang berbeda untuk menarik perhatian khalayak meski keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni menciptakan konsumsi terus-menerus dari pengunjung. Ciwalk lebih mengekplorasi citra beauty dalam aspek turismenya, sedangkan BIP mengeksplorasi citra benign dalam aspek perdagangannya. Dari pengeksplorasian citra yang berbeda tersebut, Ciwalk dan BIP pun memiliki karakteristik yang berbeda meskipun semua mengamini bahwa keduanya adalah mal. 

Kentalnya mal dengan citra-citra membuat mal tidak lagi cukup apabila hanya dianggap sebagai ruang tanpa makna. Bahkan, mal dalam pandangan Margaret Crawford merupakan contoh dari hiperrealitas dan menurut Featherstone merupakan ruang spektakuler yang mengonotasikan kemewahan, impian, dan nostalgia. Pengunjung mal pun dibuat terkesan oleh citra-citra yang terdapat di mal dan digiring untuk tidak bisa membedakan mana citra dan mana realita. Dari kesenangan dan kebiasan yang ditimbulkan oleh citra tersebut, pengunjung merasa betah berada di mal dan tidak berkeberatan menghabiskan lebih banyak lagi uangnya di sana.  Lebih jauh lagi, keberadaan mal malah telah menjadi sebuah syarat bagi kota atau bahkan negara untuk dapat dikategorikan sebagai tujuan/destinasi yang menarik dan patut dikunjungi. Mal pada masa kini telah berkembang menjadi salah satu aspek yang harus dipertimbangkan dalam GNC atau Gross National Cool suatu negara :)



Ark. Des'11

Kyaaa Kyaaa Men Award


Oke, sebagai bagian dari counting towards 2012 dan kaleidoskop 2011, maka saya dengan senang hati membuat Kyaaa Kyaaa Men Award sebagai dedikasi saya terhadap abang-abang ganteng yang mukanya menemani saya melewatkan malam-malam atau sore-sore galau banyak kerjaan tapi nggak mood mengerjakan.  Kayaknya ada banyak, deh film yang saya tonton sepanjang 2011 ini tapi sayangnya mengingat keterbatasan hati dan ingatan, maka hanya segelintir pria saja yang beruntung mendapatkan award bergengsi ini. Siapa sajakah merekaaaaaa? Okeh mari kita lihat.

1. Lee Min Ho
Semua orang pasti sudah menebak bahwa pria inilah yang menjadi nomor pertama di ajang Kyaaa Kyaaa Award. Tak heran, sejak awal tahun, nama pria yang tampan sejagat raya ini memang sudah sering menghiasi stat-stat fesbuk dan twit saya. Saking saya tergila-gilanya saya sama pria ini, saya sudah membeli DVD bajakan drama terbarunya, City Hunter, tapi saya tak kunjung menonton drama tersebut karena saya sudah janji nggak bakal nonton drama itu sampai saya sidang UP. Mengapa oh mengapa? Takut kedistrak aja. Eeeeeaaaa.

Kalo saya punya pacar macam begini, tiap hari mukanya pasti saya kresekin biar ga menimbulkan bunuh diri massal cewek-cewek ibukota
Entah kenapa orang ganteng ini memiliki takdir yang sangat abadi menyoal kegantengannya. Bahkan ketika dia manyun pun tetap ganteng.

2. Jang Geun Suk
Pria ini bersaing ketat dengan Lee Min Ho untuk menduduki posisi pertama, tapi apa daya, nomor satu tetaplah nomor satu sehingga mas berbadan kurus ini harus rela menempati posisi kedua sahahahahaja. Sebenarnya dari raut muka yang misterius cenderung galak namun menyimpan getaran afeksi yang cukup besar dalam setiap perannya, Jang Geun Suk bisa saja menempati urutan pertama. Apalagi, Jang Geun Suk punya kemampuan vokal mumpuni sehingga lagu-lagunya selalu bertahan di plyalist hape saya selama lebih dari satu bulan. Bukan karena Lee Min Ho punya senyum yang lebih cute dan membunuh ketimbang Jang Geun Suk. Sama sekali tidak. Jang Geun Suk juga memiliki senyum yang tak kalah bisa membuat saya pingsan kalau saya berdekatan dalam radius 3 meter darinya. Saya cuma harus memilih antara Lee Min Ho dan Jang Geun Suk, itu saja. Saya tidak tahu apa yang bisa saya lakukan lagi untuk memilih di antara dua pilihan sulit. 
Saya hanya bisa mengatakan Subhanallah sambil nyilet nadi orang di sebelah saya saat foto ini dengan selamat bisa saya sisipkan di posting ini

Lihat foto di bagian kanan. Angle foto yang digunakan Jang Geun Suk ini dikenal di Indonesia sebagai angle foto yang alay yang antidipraktekan oleh pria-pria seusia saya. Namun demikian, entah kenapa bila angle tersebut dipraktekan oleh Jang Geun Suk, seluruh dosa alay pun diampuni.


3. James Marsden
Atuhlah
Seiring dengan waktu dan bertambahnya umur, akhirnya saya mengalami masa-masa ini. Yak, masa-masa mengidolakan pria yang usianya menginjak akhir kepala 3. Setelah tahun lalu saya tergila-gila dengan Hugh Grant dan Matt Damon (sampai sekarang juga masih, sih) karena mata mereka yang begitu tajam dan perilaku mereka yang entah kenapa sangat seksi sekali, sekarang saya jatuh cinta oh oh oh oh jatuh cinta pada James Marsden si Cyclops di X-Men dan Kevin Doyle di 27 Dresses. Aduh, jejak cambangnya Abang James ini entah kenapa kok mempermanis mukanya yang sudah sahih banget manisnya.
I swear, if I get you, I will kresek you no matter what!!!


4. Taylor Launtner
FYI, I'm not a Twilight fan. Saya nggak pernah nonton Twilight dan saya bersyukur nggak menemukan Launtner di film yang jadi box office bagi seluruh gadis remaja dan gadis seusia saya sehingga rasa kyaaa kyaaa yang saya rasakan bagi Launtner bukanlah rasa kyaaa kyaaa artifisial dan serampangan. Saya menemukan Launtner di film Abduction dan sejak detik pertama film itu saya putar, saya tahu bahwa perasaan saya ini tulus dan suci adanya. I love you, Taylor, meskipun usiamu seusia adikkuh.

kenapa coba saya nggak sesekolah sama orang macem launtner? kenapa teman-teman pria saya harus semacam ari, solpa, remon, alex. bayu, gigih, dan sebagainya? ini pertanyaan besar yang harus dicari hikmahnya.

5. TR Knight
Dua kata yang menggambarkan TR? Imut dan penuhkasih. Tak peduli apapun orientasi seksualnya, TR tetap menjadi pria yang kalau dia menangis pasti akan langsung saya sodorkan bahu saya dan sapu tangan saya untuk sedikit menyeka dukanya. Begitu juga sebaliknya. Kalau saya menangis, orang yang paling ingin saya pakai bahunya untuk bersandar adalah TR. Ah, sedih sekali dia sudah meninggalkan Grey's Anatomy. I miss you, dr.George O'Malley.

pria ini pun akhirnya mengingatkan saya akan amanah dari ibu saya dan bapak saya yang sebenarnya menghendaki saya bersuami seorang dokter


Nah, itulah kelima pria beruntung yang memenangkan Kyaaa Kyaaa Award 2011. Semoga dengan adanya award ini, mereka tidak menjadi pribadi yang sombong. Semoga mereka menjadi insan yang ikhsan dan ikhlas. Semoga di tahun 2012 nanti bintang akan semakin bersinar terang di atas kepala mereka dan makin banyak anak muda yang terinspirasi oleh prestasi mereka. Tak lupa, semoga saya juga segera mendapat jodoh yang saya cintai sehingga posting-posting menyampah seperti ini bisa agak berkurang. Amin.

BSM yang Semakin Mal Banget

Meskipun sering melewati Jalan Gatot Subroto, tapi sudah satu tahun saya tidak mengunjungi BSM. Kalau Jumat lalu saya tidak terlibat pembicaraan dengan beberapa teman seperjuangan saya juga sepertinya saya entah kapan lagi akan menginjakkan kaki di BSM. Yap, setelah berbicara panjang lebar, akhirnya saya, Remon, Ari, Riri, Dewa, dan Alex iseng pergi ke BSM naik kereta api ekonomi dari Stasiun Rancaekek hingga stasiun Kiaracondong seharga seribu rupiah. Sampai di BSM, cukup kaget juga. BSM yang kini tak lagi seperti BSM satu tahun lalu, terutama sejak pembangunan Trans Studio. Berikut foto-foto dari kamera hape saya yang secara iseng dan alay saya tujukan untuk merekam atmosfer BSM. Cekiprotttt.


'plafon' interiior BSM

Nggak ada Ice Skating pun jadilah pakai lapangan superlicin yang digunakan sebagai lapangan permainan sepatu roda


'Pohon Natal' di depan pintu masuk
Entah siapakah mbak-mbak ini

Alex dan Ari terpesona melihat tirai 'kupu-kupu'
Arena roller skating di belakang Istana Barbie

Lift bertabur 'kupu-kupu'
Istana Barbie di depan pintu masuk
store directory BSM
Lumayan unyu
Om Santa mengaso di depan gerbang masuk 
Dulu BSM belum begini

Mal dan Persaingan Reputasi Jakarta, Malaysia, dan Singapura

 




Rabu petang sambil menunggu hujan reda, saya duduk di meja front office Ganesha Cibiru sambil membongkar koran-koran lama. Tidak ada intensi khusus untuk mencari iklan Singapore-mall-shopping di Kompas sebagai bahan skripsi saya, sebenarnya, sampai akhirnya saya menemukan iklan belanja di Mal The Shoppes, Marina Bay, Singapura. Saya jadi tersadar bahwa saat ini adalah bulan Desember, dekat Natal dan Tahun Baru, dan iklan-iklan belanja di mal pasti banyak. Dengan didasari keyakinan bahwa hujan masih akan lama reda, saya pun lebih berkonsentrasi mencari iklan-iklan belanja di koran.


Insecurity
Alih-alih menemukan iklan belanja di mal di Singapura, saya malah menemukan iklan belanja di mal di Malaysia yang dibuat oleh pemerintah Malaysia dan iklan-iklan belanja di mal di Jakarta yang dibuat oleh pengembang mal. Saya jadi berpikir, sudah tenggelamkah mal-mal di Singapura sehingga tidak lagi membuat iklan di media cetak mancanegara? 

Ah, tidak! Saya kemudian meralat pemikiran saya sendiri. Sama sekali tidak. Mal di Singapura tidak tenggelam. Saya teringat perkataan dosen pembimbing saya beberapa bulan ke belakang setelah beliau membaca sebuah buku (yang saya tidak tanyakan judulnya apa, tapi sepertinya buku Simon Anholt) yang mengatakan bahwa negara-negara yang sudah mantap akan reputasinya cenderung abai terhadap promosi besar-besaran. Dari situ saya menyimpulkan bahwa justru minimnya iklan yang dibuat oleh Singapura di media cetak mancanegara menunjukkan bahwa Singapura sudah mantap. Hal tersebut berbeda dari Malaysia dan Jakarta (Indonesia) yang memang baru membangun reputasi kemenarikan melalui mal pada awal milenium baru ini. Tanpa perlu mengiklankan diri pada saat ini, Singapura sudah memiliki reputasi yang kuat sebagai Negara Surga Belanja, sebuah reputasi yang menurut Brenda S. Yeoh sudah sengaja dibangun sejak dekade 1980-an ketika modernisasi sedang marak di Singapura sehingga mau tidak mau Singapura kehilangan aroma orientalnya. Sejak pengusahaan reputasi Surga Belanja tahun 1986 tersebut, Singapura sudah menjadi rujukan pertama di benak hampir seluruh masyarakat Asia, khususnya Asia Tenggara dan Timur, yang ingin berbelanja atau sekedar menikmati atmosfer urban. Dalam Country Brand Index yang datanya dapat diakses melalui www.futurebrand.com, dari kelima aspek yakni Value System, Quality of Life, Good for Business, Heritage and Culture and Tourism, Singapura menempati posisi 16 dari 113 dan menjadi nomor satu di kawasan Asia Tenggara, mengingat posisi Thailand di urutan 26, Malaysia 43, Vietnam 59, Indonesia 76, Filipina 78, Laos 80, dan Kamboja 83. Selain itu, menurut City Branding Index terbaru yang dikeluarkan oleh Simon Anholt, Singapura menempati ranking pertama di benak orang Cina dan India, ranking sepuluh di benak orang Jepang, dan ranking empat di benak orang Korea Selatan dalam hal kemenarikan tempat. Sayang, Anholt tidak melakukan survey juga bagi Kuala Lumpur dan Jakarta sebagai perbandingan dengan Singapura. Namun, dari data yang disajikan Anholt tersebut dapat kita simpulkan bahwa Singapura sudah memiliki reputasi yang kuat dalam hal kemenarikan. Selain itu, meski Singapura tidak gencar mengiklankan mal-nya di media cetak mancanegara, Laporan Turisme Tahunan Singapura masih menunjukkan bahwa pada tahun 2010 lalu Singapura masih dikunjungi oleh hampir sebelas juta turis internasional dan belanja merupakan aktivitas terbanyak yang dilakukan oleh mereka yang datang ke Singapura. Belanja jugalah yang menjadi sumber pemasukan utama bagi turisme Singapura.

Namun kemudian, apakah dengan kemantapan Singapura dalam hal reputasi maka Singapura benar-benar diam saja? Tidak sama sekali. Tahap yang saat ini dijalani Singapura bukan lagi tahap promosi, melainkan tahap penguatan. Penguatan yang dilakukan Singapura juga sudah beranjak dari penguatan dalam hal citra pada iklan menuju penguatan pada hal kasat mata. Keith Dinnie dalam City Branding menyebutnya sebagai usaha pembuktian. Setidaknya terdapat dua usaha yang saya lihat sebagai usaha pembuktian, yakni Orchard Redevelopment dan penyertaan mal di hampir semua kawasan turisme Singapura. 

Orchard Redevelopment merupakan program yang dijalankan bersama antara Singapore Tourism Board (STB), Urban Redevelopment Authority (URA), Land Transport Authority (LTA), dan National Parks Board (NPB) sejak tahun 2007 hingga tahun 2009. Orchard Redevelopment mencakup pemercantikan trotoar Orchard Road dari segi taman, fasilitas pejalan kaki, dan tata lampu sehingga trotoar Orchard Road menjadi lebih lebar, hijau, menyala, dan menghibur, serta menghadirkan mal-mal dan hotel-hotel baru yang menakjubkan, baik dalam hal desain maupun tenant.  Melalui Orchard Redevelopment, Singapura seolah meyakinkan dengan manis kepada para pendatang setianya bahwa Singapuralah kiblat bagi dunia shopping. Malaysia, Jakarta, atau bahkan Bangkok bisa saja memiliki mal atau one-stop-shopping dalam jumlah yang banyak, namun hanya Singapuralah yang menyediakan one-stop-region bagi dunia shopping. Apalagi, brand ternama dunia fashion juga banyak yang hanya membuka gerai di Singapura. Atau, brand tersebut juga membuka gerai di negara tetangga Singapura, namun dengan fasilitas, pemandangan, dan koleksi yang lebih menggiurkan di Singapura.

Kedua,  meskipun 2,2 km Orchard Road telah diisi oleh lebih dari 50 mal, kita juga masih dapat menemukan mal di kawasan wisata Singapura lainnya. Sebut saja Chinatown, Bugis, Little India, Singapore River, Marina Bay, Pulau Sentosa, Jurong, dan sebagainya. Dari banyaknya mal yang tersebar secara merata di seluruh kawasan Singapura, hal apa lagi yang ingin ditekankan Singapura selain sebagai Negara Surga Belanja?  


Mengejar Reputasi
Melihat mal yang semakin mantap di Singapura dan melihat keberhasilan Singapura dalam menciptakan pendapatan turismenya 'hanya' dari kegiatan belanja, Malaysia dan Indonesia sepertinya mencoba mengejar. Apalagi, mal juga tidak hanya bisa dilihat sebagai ruang berkegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai ruang pembuktian akan keberadaan modernitas. Dengan adanya mal ketimbang hanya pasar tradisional, suatu kawasan akan dipandang sebagai kawasan yang modern dan mengikuti tren. Selain itu, karena barang-barang di mal dibatasi pada barang-barang yang memiliki brand dan tentu dipasang harga mahal, keberadaan mal pun menjadi indeks bagi keberadaan masyarakat berada yang makmur. Dengan adanya makna demikian, negara-negara pun lebih suka menunjukan mal daripada menunjukan tradisionalitas, terlebih apabila negara tersebut sempat dicap sebagai negara yang 'eksotis' yang bermakna belum terlalu modern. Pembangunan mal beserta promosi mal dalam destination branding-nya pun menjadi kebutuhan untuk dapat diakui sebagai negara yang pantas didatangi oleh masyarakat berperadaban modern.