Negara Maju dan Himbauan Antipekerja Anak



Kemarin sempat baca Kompas, tapi lupa edisi kapan. Masih baru, sih, sekitar tanggal belasan September 2009 ini. Seperti biasa, buka koran pasti liat yang bagian internasionalnya dulu. Bukan sok HI, tapi selain karena berita artisnya lagi ga asik (dan artisnya ga tenar yang begimana gituh), biasanya berita nasional apalagi daerah ga jauh-jauh dari tindakan perampokan, pembunuhan, dan sebagainya. Hehehe. Ya walaupun Kompas mah ngga sebegitunya jugaaaaa. Ini mah gara-gara trauma baca koran daerah ajeh. Tapi eniwei, di kolom internasional Kompas itu ada satu hal yang menarik meskipun bagian beritanya cuma seukuran 2x1 (seolah-olah dia kuburan ajah gituh, heuheu). Ya intinya beritanya ga terlalu banyak mengandung huruf sehubungan dengan kavling yang sempit. Berita tersebut adalah berita tentang himbauan AS terhadap negara-negara pengekspor barang jadi agar tidak mempekerjakan anak-anak dalam proses produksinya. What do you think about that? Is that any kind of human rights thing or another soft nontariffs barriers?

Bersyukurlah Teman-teman yang menganggap hal tersebut adalah persoalan kepedulian AS terhadap hak anak-anak nan polos dan ga seharusnya cape. Kalian lulus sebagai insan Allah yang banyak bertafakur di bulan Ramadhan yang akan habis tujuh hari sebelum hari ulang tahun saya! Hehe. Hmmmm. Bukannya saya ga melihat sisi manis itu sih. Ya lihat sih lihat, cuma ngga percaya-percaya amat. Hehehe. I don't have any hatred about that country, I even dream going there, but in this global circumstance, the thing that I saw from that news was it contains their interest for protecting their industries and shows their arrogancy in this world's complexity.

Begini, memang, anak-anak adalah bagian dari masyarakat yang sudah seharusnya dilindungi dan terjamin hak-haknya. Manis banget kan kalau kita melihat sekumpulan anak-anak yang polos, meskipun mereka sibuk mengusap hidungnya yang sedikit-sedikit berair, menendang bola hingga kaca ruang tamu kita pecah, menyangkutkan layangan di tiang listrik, melempar petasan sembarangan kepada pengendara sepeda motor yang melintas di dekat mereka (!#$@$%#%^$^&^%^~#$$), bebas menggapai cita-cita mereka sebebas mereka memimpikan cita-cita tersebut hingga akhirnya mereka bisa menjadi pemuda sang agents of change dan tetua yang bijaksana tanpa harus terbebani pikiran besok bisa makan 2x sehari kayak hari ini atau engga, besok papa pulang bawa uang atau engga, besok sakit batuk ibu sudah membaik apa belum, hingga akhirnya mereka harus bekerja banting tulang di pabrik sebagai buruh murah dan ngga punya jaminan kesehatan, apalagi jenjang karir yang menjanjikan seperti lulusan SMK.

Nah, masalahnya, apa alasan paling logis di balik himbauan AS kepada negara berkembang untuk berkomitmen tidak mempekerjakan anak-anak tersebut?

Secara murni, persoalan anak-anak saya rasa bukanlah persoalan yang mengancam keamanan AS. Jelas, ia masih berada pada ranah nonpolitic dan nonsecurity. Pekerja anak-anak kayaknya agak imposible bakal jadi tentara jihad yang akan mempergunakan tangan-tangan kecil mereka untuk menyelipkan nuklir di serat pakaian yang diekspor ke AS. Kemungkinan yang paling berbahaya dari keberadaan pekerja anak-anak adalah upah mereka yang kecil akan membuka peluang turunnya biaya produksi yang sudah jelas akan membuat harga barang yang mereka produksi sangat bersaing dengan harga yang diproduksi industri AS. Harga produksi dan harga jual produk industri AS jelas lebih mahal mengingat pemerintah AS menerapkan standar perlindungan pekerja yang cukup ketat. Nah, di sinilah letak bahayanya pekerja anak-anak. Secara tidak langsung, mereka akan mengancam keberadaan industri AS. Atas dasar tersebutlah maka himbauan untuk tidak menggunakan pekerja anak dalam proses produksi merupakan salah satu instrumen hambatan nontarif.

Berita tersebut juga menyebutkan bahwa pemerintah AS memantau dengan sangat cermat proses produksi barang yang diekspor ke AS dan pemerintah akan memberikan himbauan kepada warga untuk tidak membeli produk yang dihasilkan dari tangan anak-anak. Lewat iklan layanan masyarakat yang berisi dokumentasi penderitaan buruh berusia belasan tahun yang wajah dan ekspresinya sangat Dunia Ketiga sekali atau dengan kata lain, memprihatinkan, ibu dan bapak mana yang ngga akan miris? Himbauan pemerintah AS kepada warga AS untuk tidak membeli barang hasta karya anak-anak karena hal tersebut sama saja dengan mendukung perbudakan anak jelas akan dipatuhi.

Jadi inget artikel Teddy J. Fishman (kalo ga salah inget) di mata kuliah Multinational Corporation dalam Politik Dunia semester kemarin deh. Artikel yang saya lupa judulnya apa itu dibuka dengan protes Fishman atas program televisi yang menyiarkan penderitaan pekerja anak-anak. Menurut Fishman (bentar, ini seolah-olah saya yakin aja gituh nama penulisnya Fishman, padahal lupa-lupa inget. Okai, kita anggap saja namanya Fishman), film dokumenter tersebut terlalu dibuat-buat. Bukan Fishman ngga suka anak kecil, tapi Fishman melihat hal tersebut sebagai akibat dari tindakan AS sendiri tapi kok AS malah seolah-olah baik hati dan peduli terhadap anak. Nah, hal itu juga yang sepertinya mempengaruhi pandangan saya atas berita yang minggu lalu ditulis Kompas.

Sependapat dengan Fishman, begini deh, menurut Teman-teman, kenapa anak-anak yang harusnya sekolah dan bermain itu sampai mau mengorbankan diri membanting tulang, padahal ibu dan bapak mereka belum meninggal? Menurut saya, alasan mereka jelas bukan untuk mengisi waktu dengan kegiatan yang berguna atau kekuarangan uang jajan, melainkan karena mereka terdesak ekonomi. Keluarga mereka bener-bener ngga mampu dan ngga punya cukup pemasukan untuk mengatasi pengeluaran jika mereka ngga ikutan kerja. Nah, menurut Teman-teman lagi, apa salah satu alasan hidup mereka sebegitu susahnya? Okai, barang-barang mahal dan penghasilan orang tua mereka ngga cukup. Skip bagian barang mahal karena adanya inflasi, ketidakseimbangan penawaran-permintaan, kelangkaan, dan nilai tukar yang nggak stabil. Ntar jadi panjang ngomongnya. Masih nyambung sih tapi mari lebih dahulu kita lihat bagian mikroekonominya. Kita fokuskan pada penghasilan. Okai, penghasilan orang tua mereka ngga cukup karena orang tua mereka ngga punya keahlian hebat yang bisa membuat orang tua mereka menang persaingan atau NGGAK DI-PHK. Nah, lihat alasan terakhir, PHK. Kenapa mereka bisa di PHK?

Pertama, jika orang tua mereka adalah buruh pabrik perusahaan multinasional, bisa jadi mereka adalah korban kebijakan kantor pusat untuk memindahkan perusahaannya ke negara lain yang dinilai lebih produktif, efisien, dan ramah. Sebagaimana motif ekonomi perusahaan pada umumnya yang berpijak pada bagaimana meminimalisasi biaya produksi dan memaksimalisasi keuntungan, motif MNC masuk ke sebuah negara adalah untuk mendekati SDA dan mencari tenaga kerja murah nan produktif demi meminimalisasi biaya produksi serta mendekatkan diri dengan pasar serta terikat pada pajak, peraturan, dan standarisasi seringan mungkin demi mendapat keuntungan maksimal. Jika negara tersebut sudah mulai habis SDA-nya, tenaga kerjanya mulai terorganisasi dalam Serikat Pekerja yang menuntut berbagai jaminan kesejahteraan atau produktivitas mereka kalah dibanding produktivitas pekerja di negara lain, pasar mulai jenuh, dan pajak, peraturan, serta standardisasinya mulai tinggi, untuk apa mereka tetap bertahan di negara tersebut? Penutupan pabrik yang tentu berujung pada pemecatan bagi mereka mungkin hanya sebuah keputusan di atas kertas yang akan menuai demo selama beberapa waktu, tapi membawa implikasi dahsyat bagi para nama yang tidak sekedar nama, tapi nama tersebut adalah manusia yang di belakangnya berdiri beberapa manusia lain yang harus mereka nafkahi. Lapangan kerja yang sempit di negara berkembang yang menjadikan manusia-manusia korban PHK tersebut terpaksa menganggur sementara hidup setiap hari harus dibiayai tentu membuat anak-anak terpaksa turun tangan. Salah siapa? Bukankah orang tua yang sampai mengizinkan anaknya bekerja tersebut adalah korban dari perhitungan untung rugi perusahaan multinasional yang notabene hampir semuanya berasal dari negara maju, termasuk AS?

Kedua, jika orang tua mereka adalah buruh atau pekerja atau mungkin pemilik dari perusahaan domestik, alasan logis mengapa mereka bisa di-PHK selain karena ketidakseimbangan harga produksi dan harga jual yang mengakibatkan kerugian adalah karena barang yang mereka produksi dan mereka ekspor terkena hambatan ekspor, baik tariff maupun nontariff. Ada sebuah dualisme dari negara-negara maju, termasuk AS mengenai ekspor. Dalam mengekspor barangnya, negara maju tersebut segigih mungkin melobi negara berkembang untuk membuka pasarnya, sementara mereka (negara maju) terkenal sangat protektif dalam membuka pasarnya kepada negara berkembang. Ya emang ngga enak juga sih, kan negara maju jelas punya teknologi yang lebih canggih daripada negara berkembang, yang tentu teknologi tersebut berpengaruh terhadap hasil jadi. Dengan teknologi yang bagus, mereka memproduksi barang yang lebih bagus sehingga barang yang mereka ekspor ke negara berkembang jelas barang yang berkualitas. Beda dengan negara berkembang yang dengan teknologi terbatas tentu memproduksi barang dengan kualitas yang terbatas dan sangat mungkin berada di bawah kualitas barang produksi negara maju. Seolah-olah air susu dibalas air tuba aja gituh. Masa gue ngekspor barang bagus ke negara situ tapi situ ngekspor barang yang diproduksi pake teknologi yang di sini udah out of date? Tepercaya ngga nih keamanannya? Gue cek dulu deh. Kalo udah pas ama standar gue, gue kasih sertifikat, nah ntar kalau mau kirim barang lagi, tunjukkin sertifikatnya, baru kita terima. Tapi jangan mahal-mahal juga ya. Begitulah kira-kira omongan negara maju saat ia udah jadi anak gaul yang ekonomis dan pandai menawar. Di satu sisi, hal ini memacu negara berkembang untuk ikut maju seperti negara maju, nah tapi satu hal yang dilicikkin. Enak amat negara maju nyuruh-nyuruh maju tapi fasilitas untuk maju sendiri pun tidak ada.

Dalam dialog Utara-Selatan, hal yang paling sering dijanjikan Utara adalah transfer teknologi kepada Selatan. Tapi sayang sekali, realisasi hal ini sangat jauh dari kenyataan yang mengenakkan. Satu, teknologi yang ditransfer kepada Selatan biasanya teknologi yang sudah out of date di Utara (tapi gatau kenapa kitanya mah bukannya komplen tapi malah bangga..heuheu), dua, transfer teknologi sering berbenturan dengan masalah hak cipta, hak paten, pembajakan, dll. Pusing kan? Parahnya lagi, dalam kondisi seperti ini, normalnya kita harusnya inget ama omongan Bung Karno. Ayo berdikari! Nah, tapi sayangnya, semangat Bung Karno ini kayaknya sulit terealisasi. Kita udah terlalu banyak dimanjakan oleh hubungan Utara-Selatan yang bisa dibilang udah ngga sehat. Hubungan kita udah ngga bisa dinamai sebagai hubungan interdependensi alias saling tergantung, tapi justru hubungan Dependensi alias tergantung bener. Teori Modernisasi dan Teori Lima Tahap Pembangunan Ekonomi yang dicita-citakan Orde Baru dulu itu nyatanya ngga terwujud. Semakin kita berinteraksi sama negara maju, kita semakin sulit lepas dari kebaikan mereka. Ini sih jelas salahnya guru-guru kita. Inget kan kalo sekolah hal yang selalu dilarang adalah menyontek? Nah, inilah akibat dari ketakutan kita akan sontekan. Harusnya dalam urusan ini, kita giat menyontek keberhasilan mereka untuk kemudian kita kembangkan. Kita mah salah sih, nyontek engga, tapi maunya disuapin jadi. Kan mending nyontek, ada usahanya dulu, liat kiri kanan, deg degan, tulisannya dibedain (walopun dikit. Yah kalo sama banget mah entar namanya membajak, dong. Membajak kan pekerjaannya kerbau dan traktor), nah kalau udah disuapin begini mah udah susah. Susah. Susah. Susah.

Okai, balik lagi. Karena barang-barang produksi domestik kita terkena hambatan dan kalaupun lolos hambatan masih menghadapi dua ancaman, satu, ancaman barangnya kurang bersaing dengan barang di sana, dua, kalau ternyata barang kita laku, barang kita malah kena kuota, industri domestik kita jelas dong sulit bertahan. Nggak jadi masalah kalau industri domestik bisa mengalihkan penjualan produknya ke negara lain atau dijual di negara sendiri, tapi bagaimana jika barang tersebut tidak laku? Bagaimana perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan atau minimal balik modal? Jika mereka tidak dapat bertahan, apa mau dikata, kalau bukan pengetatan jumlah karyawan (PHK kecil-kecilan) ya perusahaannya mereka tutup (PHK semua). Pilihan tersebut menjadi pilihan yang paling logis ketimbang meningkatkan kualitas produk dalam usaha mendapatkan sertifikat. Belum tentu juga gituh perbaikan mutu tersebut akan serta merta membuat negara maju menerbitkan sertifikat atau membuat produk tersebut lancar bersaing di pasar. Permasalahan ini bukan saja menyangkut persoalan teknologi, tapi juga mental. Berbagai tekanan negara maju tentu mau tidak mau menekan mental perusahaan domestik.

Nah, makanya saya bilang kayaknya ngga bijak aja gituh kalau AS gencar melaksanakan kampanye antipekerja anak demi masa depan mereka yang lebih baik. Bukankah secara tidak langsung AS dan negara-negara maju lainlah yang mendorong adanya pekerja anak? Masalahnya juga kan nggak cuma karena anak-anak negara berkembang itu sangat peduli pada keluarga, tapi juga karena perusahaan-perusahaan negara berkembang membutuhkan tenaga murah agar produknya bisa bersaing di pasar negara maju.

Saya akui, pekerja anak adalah masalah yang sangat memprihatinkan. Tak dapat dipungkiri, jumlah pekerja anak bisa menjadi indikator rendahnya kemakmuran di suatu negara. Rendahnya kemakmuran tersebut pun dipastikan tidak hanya menjadi persoalan hari ini, tetapi juga persoalan masa depan. Bukankah anak-anak adalah pewaris estafet kepemimpinan bangsa? Kapan negara berkembang bisa maju kalau anak-anaknya sekarang nggak sekolah dan ngga punya waktu untuk mengembangkan diri di luar kegiatan akademis? Sekarang Dunia Ketiga tetap berstatus berkembang dan sampai anak cucu anak-anak itu lahir kalau pekerja anak masih ada ya Dunia Ketiga nggak bakal menyandang status Developed Countries. Dalam hal ini, himbauan AS tentang Say No to Children Slavery memang sangat visioner dan baik adanya. Namun, ketimbang AS dan negara maju hanya bisa menghimbau dan menutup pasar, saya rasa masih ada cara yang lebih bijak dan konkrit untuk menghentikan perbudakan anak.

Pertama, transfer teknologi yang nyata kepada negara berkembang sehingga selain skill tenaga kerja negara berkembang bisa meningkat dan dalam kasus MNC, MNC tidak perlu terlalu nomaden berpindah dari satu negara ke negara lain melulu, produksi dari negara berkembang juga bisa memenuhi standar negara maju, produknya masuk ke pasar negara maju, terus bisa bersaing, dan di dalam negeri, mereka bisa mengembangkan diri dan meningkatkan kemakmuran.

Kedua, agak malu nih bilangnya, hehe. Jika negara maju tidak menginginkan anak-anak menghabiskan waktunya menjadi pekerja, maka berilah mereka kesibukan sebagai pelajar dan pengembang bakat lewat bantuan dana pendidikan dan pengembangan diri. Sekarang sih SD-SMP memang gratis, tetapi apakah sekolah gratis tersebut telah menjamin diberikannya fasilitas pendidikan yang benar-benar maksimal dan gratis? Kalau bukan fasilitasnya biasa-biasa saja dan ngga ada peningkatan dari tahun ke tahun, pasti ada biaya-biaya tambahan, buat beli inilah itulah, yang ujung-ujungnya memberatkan orang tua yang jelas-jelas tidak mampu. Kalau sekolah malah menghabiskan uang padahal kebutuhan masih banyak yang belum dipenuhi, kenapa juga mereka harus sekolah? Bukankah lebih baik bekerja jadi buruh?

Hal lain yang mengganjal adalah sekolah gratis hanya sampai jenjang SMP. Lah, sekarang aja yang lulusan S1 belum tentu dapat kerja, apalagi yang lulusan SMP? Sejatinya, untuk membangun negara yang besar ini menjadi negara yang benar-benar besar tidak hanya dari segi besaran luas tapi juga dari segi kualitas, anak-anak Indonesia membutuhkan pendidikan lebih dari jenjang SMP. Ya, SMA dan universitas memang tersedia banyak sekali di bumi pertiwi ini. Kualitasnya juga ngga kalah sama kualitas luar negeri, tapi sayangnya, pendidikan pada kedua jenjang terakhir tersebut masih mahal, Sodara-sodara. Balik lagi ke pilihan rasional, mending juga jadi buruh daripada nerusin sekolah. Aduh, masa negara Indonesia yang pada zaman Revolusi Industri di Inggris sudah berjanji mau makan buah Palapa ini menjadi bangsa buruh yang produknya ditolak oleh negara maju karena pekerjanya kebanyakan anak-anak? Menuntut negara-negara maju untuk memberikan dana pendidikan kepada anak-anak di negara berkembang saya rasa sama pentingnya dengan kebersediaan mereka melakukan transfer teknologi dan membuka pasar mereka untuk negara berkembang.

Huffff. Okai. Nampaknya sudah cukup banyak huruf dalam ketikan ini. Panjang deh jadinya kalau udah ngomongin korelasi-korelasi. Posisi saya dalam melihat keberadaan pekerja anak jelas menolak. Tidak seharusnya anak-anak menghabiskan waktu mereka dengan memikirkan tanggung jawab menghidupi keluarga. Tapi permasalahannya, persoalan ini merupakan persoalan yang sangat nyata dan bahkan dekat dengan kehidupan kita. Persoalan ini tidak dapat kita hindari. Ia ada dan hidup di sekitar kita namun tidak dapat kita atasi. Kita juga tidak bijak jika melemparkan permasalahan ini sebagai kesalahan pemerintah kita. Permasalahan pekerja anak memiliki kaitan erat dengan kondisi global beserta rezim yang mengikat negara-negara. Lagipula, permasalahan pekerja anak adalah permasalahan yang lazim dialami negara berkembang sehingga tentu penyelesaian masalah ini berkaitan erat dengan solusi dari negara maju. Negara maju boleh menghimbau negara berkembang untuk memperhatikan hak anak, namun himbauan tersebut seharusnya diiringi dengan tindakan nyata yang membantu negara berkembang.

Woooooow, I have written so many wordssssssssss. Waktunya untuk tidur sekarang. Hohoohoohohohohohoho. Sampai jumpa pada analisis gaul lainnya di waktu mendatang!!!!


Ark.Sept'09.