Pada Sebuah Hujan di Antara Lampu Merah....

Bandung seperti biasa, hujan. Sebenarnya tidak cukup deras namun cukup membuat sekujur tubuh basah dan menggigil, mungkin karena airnya yang dingin atau karena udara yang ditiupkan angin cukup dingin.

Saya yang duduk di angkot, tepatnya di kursi "Artis" -karena letaknya di belakang sopir sehingga semua mata tertuju kemari- dalam hati sempat menggerutu halus, apalagi kalau bukan karena air hujan itu terciprat ke baju saya dan hp saya yang sedang saya tekan keypad-nya. Bukan apa-apa, sepatu saya sudah cukup menjadi korban keganasan air hujan -tiga hari belum kering- dan saya tidak mau besok saya ke sekolah dengan rok abu hasil pinjaman -seperti sepatu saya- dan tanpa membawa hp karena hpnya rusak tertetesi air hujan.

Angkot melaju tersendat. Pertama karena si sopir mencoba mencari rezeki dari beberapa orang yang kebetulan lewat, sekedar berharap saja si sopir agar satu atau dua dari orang yang lewat itu mampir ke dalam angkotnya dan menyerahkan dua lembar seribuan beberapa menit kemudian. Kedua, apalagi kalau bukan karena Bandung pada pukul 17.30 yang macet. Rush hour, istilah beberapa koran untuk menyebut jam pulang aktivitas outdoor ini.

Angkot tetap terhenti di antara pepohonan yang mungkin sudah mati hasrat untuk membatuki polusi yang kerap melibas mereka, saya berusaha untuk mencondongkan tubuh ke dalam angkot untuk sekedar berlindung dari cipratan air yang bergerak memasuki angkot terdorong oleh energi yang ditinggalkan motor-motor gesit yang mencoba menyalip dari kiri. Sempat meringis karena kaki kiri saya terleceti oleh besi yang dibawa oleh bapak tua di hadapan saya. Ingin memaki lagi dalam hati karena perih namun ada satu scene dalam drama angkot itu yang membuat saya melupakan keinginan memaki itu.

Anak jalanan yang usianya sebaya dengan adik bungsu saya, tujuh tahun, berlari kecil menentang songsongan tetes air dari langit. Untung tak ada motor yang khilaf menyalip tanpa melihat arah depan dengan seksama, yang bisa membuat anak itu mati seketika tanpa diiringi tangis dari yang melihat. Tubuhnya kuyup, kuyup sekali. Dalam remang cahaya yang terbaurkan oleh lensa alami yang terciipta dari air, kulitnya saya tangkap dalam warna gelap. Gelap karena selama hidup selalu terpangang matahari dan beberapa helai dakinya jarang terbasuh air bersih. Ditambah lagi kini air hujan yang tak sebersih seperti yang dulu saya pikir memberondonginya.

Dia menghampiri kendaraan hijau muda yang saya tumpangi. Tangannya mengayunkan tumpukan tutup botol minuman yang disatukan oleh paku di sebuah kayu kecil yang entah ia dapat darimana. Mulutnya bernyanyi. Matanya yang kosong ia sapukan tak kepada saya ataupun kepada kepala-kepala lain yang ada di dalam angkot.

Beberapa lama ia menyanyi dengan iringan klakson panjang dari beberapa kendaraan yang tak sabar ingin segera diparkir di garasi rumah. Lewat fals semua nadanya, mudah saya temukan lewat liriknya bahwa lagu yang ia bawakan untuk mengundang recehan penumpang itu adalah lagu milik grup Ungu. Lagu Ungu yang entah judulnya apa, tapi saya tahu lagu itu sering dikumandangkan ketika bulan Ramadhan. Lagu religius.

Ada yang menarik yang saya perhatikan dari si anak jalanan yang tidak mengerti mengapa sebutan rendah itu ia sandang. Mulutnya dan matanya.

Mulutnya yang ia set agar terlihat seperti menyanyi itu berusaha menahan keinginan untuk menderakkan giginya. Saya tahu ia kedinginan. Siapa yang tidak, logikanya. Saya saja yang berada di dalam angkot dan tubuh saya tidak terkuyupi oleh basahnya seragam merasa dingin, apalagi ia yang jelas seluruh tubuhnya terkuyupi oleh basah baju merah yang kehilangan gambar depannya itu. Ia berusaha untuk tidak menggigil. Ia berusaha untuk tetap dapat bernyanyi. Ia berjuang dengan sangat keras untuk sekedar tidur dengan perut yang kenyang diisi makanan murahan. "Allahu Akbar, Allah Maha Besar..." lirik itu saya tangkap dengan miris. Ada sirat harap dari sana, nampaknya. Meminta sedikit saja ia dari semua besar yang dimiliki Dzat Pengasih ini agar setidaknya ia bisa tertawa esok hari.

Lagu berlanjut dengan lirik yang kurang saya perhatikan lagi karena kini saya memperhatikan matanya. Matanya yang kosong mungkin juga telah kosong akan harapan yang dibawa mimpi di sela bantal yang empuk. Huh, untuk menemukan tempat tidur saja kadang ia harus berkelahi dulu dengan rekannya, apalagi untuk melapisi kepalanya dengan bantal. Dan itu yang saya jadikan jawaban mengapa matanya begitu kosong. Matanya malu-malu ia sapukan ke badan mobil yang cukup mewah yang juga terjebak macet dan semrawutnya perang sisip menyisip di antara lampu merah, mungkin ia juga berharap dan sagat bermimpi bisa mendatangi mobil itu bukan untuk mengais receh seratusan yang ditolak penjaga warung , namun untuk menjadi penumpangnya, maaf, pemiliknya, itu lebih tepat. Bukan untuk bergaya ia memiliki harapan itu, namun untuk dijadikannya sebuah indikator bahwa ia juga memiliki rumah mewah yang sangat layak dan makanan yang mencukupi kriteria gizi yang ditetapkan biologi.

Terlalu asyik memperhatikannya, tanpa saya sadari kelopak mata saya memanas. Hampir saja saya meneteskan air mata namun untung saja angkot memasukkan gigi dan mulai melaju. Saking asyik memperhatikan anak itu, saya juga lupa di tas saya tersimpan kamera digital sejak saya SMP yang selalu saya bawa untuk merekam menit yang saya temukan sebagai menit yang indah.

Angkot mulai menjejakkan kembali roda hitamnya yang aus. Hujan tetap mengalun. Anak itu mengulurkan tangannya cepat-cepat ke hadapan penumpang. Tangannya mengatup sesaat setelah terisi lembar dan receh yang disisihkan tiga orang di angkot. Cepat-cepat ia masukkan uang itu ke dalam saku, takut rezekinya terenggut oleh predator jalanan yang tak belas kasihan membuatnya kelaparan sepanjang hari. Ia lalu turun dari angkot dengan melompat. Tuhan menyayangnya dengan tak mengarahkan kendaraan ke arahnya.

Saya mengekor pandangnya dengan suatu semangat baru. Anak itu pun kuat menghadapi jalan hidupnya yang tak ia minta, jadi kenapa saya dan mungkin Teman-teman mengeluh untuk menjalani hidup yang bahkan terkadang kita sendiri yang membuatnya susah.

Anak itu mungkin tak tahu, ia yang kini membuat saya tersenyum bahkan pada saat saya tahu saya boleh tidak tersenyum.

Kepada seorang anak jalanan yang bernyanyi di angkot yang terhenti lampu merah, terimakasih drama hujannya!







Kiarras. Bdg, 30 Jan 07.

Untuk UN yang Menjelang... ...

Januari, Februari, Maret, April…
Tinggal tiga bulan lagi tuh kita ketemu sama bulan April. Emang ada apa, sih di bulan April? Nggak ada apa-apa, kan?

Wah, kalo jawabannya kayak gitu, sih artinya ada tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, yang jawab bukan anak kelas 3 es em a. Kedua, kalo yang jawab itu ternyata anak kelas 3 es em a berarti dia nggak punya tipi dan nggak pernah dengerin gosip terbaru di dunia pendidikan (ciah cuih!). Ketiga, orang yang jawab itu memang bukan anak kelas 3 es em a dan dia juga nggak punya tipi sama nggak pernah denger gosip.

Huuuu, cupu!

Bulan April 2007 ini, dari tanggal 17 sampai tanggal 19-nya bakal ada event besar yang mengguncang dunia persekolahan anak kelas 3 es em a. Masa depan mereka tergantung dari tanggal ini. Ada apa hayo…????

Ujian Akhir Nasional…yang tahun ini namanya dipersingkat jadi Ujian Nasional. Huh, apa bedanya, ya kan? Sama-sama sounds terrible dan annoying…mana soalnya juga tetep nggak berubah tuh jumlahnya. Matem 30, B.In 50, dan B.Ing 50… Kenapa sih nggak sekalian ikut dipersingkat jadi setengahnyaaaaaaa aja…??? Hehehe.

Menyambut event yang akan mempengaruhi hajat hidup rakyat banyak ini, murid-murid tidak tinggal diam. Mereka berupaya meningkatkan prestasi diri, dari belajar sampai mutusin pacar. Waaaaaah…. Oia, bahkan ada yang sampai pakai ramalan kartu, loh! Tujuan mereka pakai ramalan kartu itu supaya mereka bisa lebih tau secara spesifik bahasan-bahasan apa yang bakal diujikan di ujian yang katanya banyak dikeluhkan guru-guru ini. Katanya sih supaya mereka bisa menghemat waktu. Biar efisienlah belajar langsung ke sasaran, nggak mubeng-mubeng dulu sampe mabok.



“Yah, bukannya apa-apa, sih, kita kan ujian nggak cuman tiga pelajaran itu aja. Kan masih ada ujian akhir sekolah dan seleksi penerimaan mahasiswa baru… Kalo kita kebanyakan baca buat UN sampai akhirnya kita nggak sempet belajar buat ujian lain kan sayang banget. Apalagi kalau yang kita baca itu ternyata nggak dibuat pertanyaan. Nggak enaklah… Makanya kali-kali aja kalau kita ngeramal pakai kartu yah at least ketauanlah mana aja yang harus kita pelajari…” kata salah seorang sumber.


“Ya, sedih, sih diputusin mah, apalagi alasannya karena ujian. Tapi yah gimana lagi, sebagai cewek kan kita nggak bisa apa-apa kalau cowoknya udah ada mau. Saya mah pasrah ajalah. Semoga mantan saya itu lulus ujian dan saya juga lulus ujian. Semoga setelah lulus ujian, dia insaf dan meminang saya kembali, saya mah cinta mati-lah sama dia mah…Da buat saya mah, ujian ma pacaran sebenernya ga ada hubungan, jalannya pisah. Lagian kita juga kalo pacaran nggak pernah ngapa-ngapain selain bertengkar mulut dan fisik…” komentar salah seorang cewek yang baru aja diputusin pacarnya. Dia ngomong sambil nangis setelah sebelumnya cewek itu mengekor punggung mantan pacarnya dengan penuh kepiluan.


“Oia, kita juga manggil alumni buat ngajarin kita. Mereka baik dan mau ngeluangin waktu buat kita.”





“Belajarlah. Nggak ada yang lain selain belajar. Di perpus ini enak banget. Konsen banget kalo belajar.”





“UN? Gampang ujian kayak gitu mah.”





“Oh, di tempat les tuh gurunya asik-asik. Kalo kita lagi belajar di rumah terus ada yang nggak ngerti ya kita tinggal calling mereka aja. Mereka 24 jam siaga. Terus katanya kalo nanti waktu UN ada soal yang susah banget kita tinggal calling mereka, mereka pasti mbantu. Yah, hidup mah gampanglah.”





“UN? Saya sih nyantei aja, lagian saya emang pinter dan rajin. Liat, dong, di kantin aja saya belajar. Matematika lagih! Yah, tadi sih sempat ngabisin yamin sama mie ayam dulu terus minum jus sirsak campur stroberi, tapi setelah itu saya belajar lagi duoooongggg... Aduh, maaf yah, saya sibuk banget nih!” dan perempuan berambut keriting itu pun melanjutkan itung-itungan kalkulator.





“Enjoy aja lagih! Jangan dibawa tegang. Nyontek kan bisa. Nih kayak sekarang, gua lagi nyontek tugas, itung-itung latian buat nyontek pas UN.”






Waw, emang ya, kalo udah ngomongin UN…komentar tuh beragam! Tapi satu persamaan dari semua komentar itu adalah murid-murid rata-rata nggak takut sama yang namanya UN. Mereka udah siap-siap, mereka juga nggak tegang, trus mereka juga optimis banget bisa lulus UN.


Kalau dari saya sendiri, sih, kiat-kiat buat menghadapi UN ini yaitu :
1. Belajarlah, pasti…

2. Berdoa yang rajin, yang jelas, dan efektif. Maksudnya kalo berdoa tuh jangan setengah-setengah, “Tuhan, aku mau lulus UN…” itu kan masih umum banget, mau lulus UN apa? Tahun berapa? Nggak jelas dan nggak efektif tuh. Harusnya, “Tuhan, aku mau lulus UN Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dengan nilai antara 7 sampai 10, pada tahun 2007 ini. Aku mau lulus tanpa nyontek buku dan teman-teman sekelas maupun luar kelas. Aku mau lulus dengan mudah. Kalau aku udah stak nggak bisa, semoga itungan kancingku tepat…Amin.”

3. Jauhi kegiatan ngeceng, pacaran, terutama yang sampai nyita otak, hati, dan fisik. Kalau masih mau pacaran –ga mau putus–, bikin syarat sama pacar kalian supaya mau bantu pas UN. Mmmm, kayak nempelin kunci jawaban di pintu WC, njatuhin kertas kunci jawaban di jalan menuju WC, punya akses bluetooth dalam radius 400 kilometer tanpa terhalang tembok buat ngirim jawaban, hpnya bisa buat videocall jadi bisa kasih jawaban lewat mimik, atoooooo…ah, kok jadi maksiat gini…

4. Jangan sampai ketemuan sama musuh apalagi kalo sampai bertengkar

5. Jangan patah hati apalagi kalau sampai mau bunuh diri

6. Jangan makan makanan pedas, berlemak, berminyak, dan beracun…gawat, bisa-bisa ngerjain soal UN di kamar RS ato kamar mayat.

7. Hndari kebut-kebutan, taruhan, judi, dan sabung ayam




Selamat menempuh UN!!!







–Januari 07. Fst. Dok.pri–

Semacam Kata Pengantar Bagi Kahalayak yang Layak...

Assalamualaikum warohmatuwlohhiwabarokatuh...
Setelah pemilihan ketua RT yang cukup alot tadi malam selepas isya dan dipilihlah seorang bapak menjadi ketua RT yang baru, saya merasa sangat terharu...
Dengan dipilihnya ia maka saya pun dapat membuat blog baru setelah 4 blog saya sebelumnya hilang tanpa jejak dikarenakan saya lupa alamat atau lupa password...
Blog ini adalah blog perjalanan saya selama saya berada di luar rumah saya yang mana rumah saya itu ada di desa. Dekat sawah, kebun, ladang, sungai, tanah, dan akar-akar. Saya bangga bisa masuk kota karena di kota saya mendapat banyak pengalaman yang tidak berharga...eh, berharga diiiingggg... Di kota ini pun saya menemukan banyak hal yang mungkin sama orang kotanya sih disepelein tapi bagi saya hal tersebut adalah hal yang sangat-sangat-sangat amazing...saya mau membagi apa-apa saja yang saya dapatkan di kota kepada teman-teman di desa agar mereka bisa mengambil nilai positif yang sesuai dengan nilai yang diusung oleh pemerintah desa yang dipimpin oleh Bapak Endang Taefur Rahman yang mana sebentar lagi ia akan dikudeta oleh pemilihan Kades yang baru...(bukan dikudeta sih, emang masa jabatannya udah abis aja...).
Saya mendukung gerakan pemerintah untuk memperkecil urbanisasi, maka dari itulah di blog ini akan lebih banyak mengetengahkan permasalahan di kota daripada keindahannya...Saya hanya ingin membuka mata orang desa yang kebetulan menonton blog ini bahwa kota tidaklah seindah biasa seperti lagu Siti Nurhaliza.
Akhir kata saya ucapkan kepada segenap orang desa yang mau membaca dan mau mengambil nila-nilai yang saya siratkan secara agak sedikit maksa dan mendalam ini dan saya juga mengucapkan kepada orang kota yang telah membaca blog saya dan menyadari bahwa orang desa tidak mungkin bisa membaca blog ini karena di desa belum ada internet, bahkan listrik pun tak ada. Akhirnya dengan penuh rasa ketidakmnengertian yang amat sangat dalam dari tulisan yang telah saya tulis ini, saya ucapkan terimakasih.
Wasalamualaekomwarohmatuwlohiwabarokatuhhhhh.





_Rikian aka Kiarras_