Buku Pelajaran yang (Masih) Saja Bermasalah

Saya termasuk orang yang paling anti beli di Koperasi Sekolah. Bukan antibunghatta, tapi antiyangmahalmahal. Coba saya tanya, koperasi sekolah mana yang harganya lebih murah daripada pasar biasa? Nggak ada, kan? Nih koperasi yang gini nih yang nggak mendidik. Hehehehe.

Dalam tulisan saya tentang mengunduh buku pelajaran (search rikianarsyi di google lagi, heuheu), inti terselubung dari sejuta argumen saya adalah saya sangat mendukung kebijakan pemerintah untuk membeli hak cipta ratusan buku untuk kemudian dapat didownload dengan bebas oleh para pelajar, karena swasta (baca : kongkalikong insentif dari penerbit untuk sekolah) udah terlalu parah memonopoli dunia belajar-mengajar kita. Dalam satu semester, nggak kurang dari tiga ratus ribu kita keluarkan untuk membeli buku yang tahun depannya sudah out to date alias adik kita nggak bisa pakai lagi, itu sungguh jumlah yang sangat relatif bagi orang-orang, Ada yang bilang murah, kalau mereka mampu, tapi pasti lebih banyak yang mengatakan mahal karena kita hidup di negara yang lebih mementingkan perut daripada otak.

Karena kebijakan menggratiskan sekolah, dimulai dari DSP sampai SPP sangat sulit dihapuskan, terutama bagi sekolah swasta yang harus luntang-lantung cari biaya sendiri, kebijakan ‘menggratiskan’ buku pelajaran merupakan kebijakan yang tidak kalah cerdas karena tujuannya mencerdaskan anak bangsa yang tidak sanggup membeli buku tapi harus punya buku. Buku pelajaran gratis merupakan dorongan yang kuat bagi masyarakat untuk tidak putus sekolah karena nyatanya, bila dibanding-bandingkan, uang buku merupakan beban kedua yang berat setelah DSP (ketiga : seragam dan alat sekolah; keempat : ongkos dan jajan; kelima : SPP –soalnya bisa nunggak tanpa denda). Jika buku sudah bebas, modal untuk sekolah bisa lebih ringan. Bisa cicil kelengkapan hidup lain dan bisa nyekolahin adik yang lain.

Kebijakan download buku, dalam pandangan saya, merupakan kebijakan yang sangat komunal. Sangat menyangkut hajat hidup orang banyak. Seharusnya sih didukung, tapi sayangnya si pihak swasta itu merasa lapangan pekerjaannya terebut oleh pemerintah. Jika kita berkaca pada teori bahwa intervensi pemerintah akan sangat mematikan bisnis (baca lengkapnya dalam tulisan saya itu), argumen itu seolah dapat diterima. Tapi yang paling ingin dikritisi oleh pemerintah dalam penerbitan kebijakan itu sebenarnya adalah kongkalikong penerbit dan sekolah yang sangat merugikan siswa karena harga buku jadi sangat melambung. Kalau bedanya cuman seribu dua ribu bisa saja tidak masalah, hitung-hitung ongkos, tapi bagaimana jika perbedaannya melebihi angka lima puluh ribu rupiah? Kenapa sekolah jadi ajang mencari untung para oknum dan penerbit? Pasti swasta yang merasa terancam keberadaannya oleh download buku lebih memperhitungkan unsur yang satu ini sebagai motif utama keberatan.

Pemerintah sebenarnya tanggap dengan gejala ini jauh sebelum mereka membeli hak cipta buku, tapi sayangnya meski peringatan sudah dilayangkan berkali-kali, pemerintah tetap kecolongan. Sekarang malah muncul trend baru, penerbit buku menyewa tempat di dekat sekolah sebagai kios. Kios ini memonopoli lewat ‘ancaman’ kepada anak-anak labil, “Buku ini cuma ada kios ini! Tidak ada di tempat lain.”

Ancaman tersebut bukan hanya membuat praktek kongkalikong tetap menjamur di awal semester baru melainkan juga membuat buku download tidak populer di kalangan siswa, apalagi mengingat jaringan internet belum seluas jaringan GSM di Indonesia.

Mengantisipasi kekurangpopuleran buku download, alangkah baiknya jika pemerintah mengawalinya dengan dua langkah. Pertama, menyadari bahwa jaringan internet kita masih harus dibangun. Kedua, memberi kebijakan bagi sekolah-sekolah untuk tidak memaksakan buku wajib yang sama bagi setiap siswanya. Kurikulum yang sama tentu memungkinkan pemuatan bab yang sama dalam buku yang berbeda penerbit. Jika swasta menyalahkan tindakan pemerintah yang menggratiskan buku sebagai langkah monopolistis, tak bisakah langkah mereka untuk menyeragamkan buku wajib kita anggap sebagai tindakan yang lebih monopolistis juga? Pelajar sebagai konsumen tentu memiliki hak untuk memilih buku apa yang ingin dan mampu mereka beli, mengapa tidak kita berikan saja hak itu kepada mereka? Toh, ini persoalan ekonomis, bukan?

Tapi tentu saja jika kita sudah berbicara tentang uang, kita harus siap berdebat tiada akhir. Setiap pihak memiliki kepentingan dan hal utama yang harus disiapkan adalah memahami kepentingan-kepentingan tersebut sehingga solusi yang tercapai pun bukan solusi yang berat sebelah, tapi mengusung kepentingan semuanya.