TKI dan Keterbatasan Gerak Negara


Hukuman pancung Ruyati di Arab Saudi membuat pemerintah Indonesia menjadi tertuduh utama. Ketidakmampuan pemerintah melindungi rakyat merupakan fokus dari media dan masyarakat. Tuntutan tersebut tidak salah karena sebagai representasi negara, pemerintah harus bisa melindungi warga negara. Namun demikian, persoalan TKI merupakan persoalan kompleks yang tidak bisa dilihat dari satu kacamata.


Konstruksi Sosial

Persoalan pertama menyangkut pengonstruksian agen-agen TKI kepada subjek yang berpotensi menjadi TKI. Karakteristik subjek yang memiliki keterbatasan dalam ekonomi dan keahlian khusus membuat mereka mudah dikonstruksi menjadi TKI hanya dengan janji pendapatan besar. Agen memang tidak berbohong tentang pendapatan besar, tetapi agen tidak transparan dalam menjelaskan bahwa di balik pendapatan besar tersimpan resiko yang juga besar karena adanya perbedaan budaya dengan negara tujuan. Tidak hanya kendala bahasa, tetapi juga karakteristik masyarakat luar dalam memperlakukan buruh serta sistem hukum negara mereka. Beberapa agen memang membekali calon TKI dengan pelatihan, namun bagaimana dengan agen-agen yang sengaja mempermudah proses birokrasi dan kelegalan TKI?

Persoalan kedua adalah peran media massa. Persoalan TKI menjadi agenda nasional tidak dapat dilepaskan dari peliputan media massa. Sebagai pengontrol pemerintah, liputan tersebut adalah pengingat pemerintah akan pekerjaan rumahnya. Liputan tersebut juga bisa menjadi penyeimbang janji manis pendapatan besar yang selama ini banyak dikejar. Namun, sebagai sumber utama informasi dan pembentuk opini publik, jika media massa berfokus hanya pada kelalaian pemerintah, masyarakat bisa terdorong untuk tidak percaya kepada pemerintah. Pembenahan-pembenahan yang dilakukan pemerintah berpotensi minim kepercayaan.


Keterbatasan Negara

Persoalan ketiga adalah keterbatasan gerak negara. Tuntutan mengenai ketidakmampuan negara dalam melindungi warga negara memang bukan tuntutan yang salah. Secara internal, kelemahan negara berasal dari minimnya lapangan kerja serta tidak meratanya distribusi kesejahteraan. Kelemahan ini mendorong warga negara mencari kehidupan di negara lain. Ketika TKI menjadi korban di negeri orang, negara dicap tidak mampu melindungi warganya dari mulai di tanah air hingga di tanah orang. Negara memang wajib melindungi warga negaranya, namun perlindungan menjadi istilah yang rumit ketika harus diproyeksikan di luar yurisdiksi. Prinsip kedaulatan merupakan prinsip yang paling umum yang harus ditaati setiap negara di dunia. Suatu negara tidak boleh mencampuri urusan domestik negara lain dan sebaliknya, suatu negara bisa dengan segala cara mencegah ikut campurnya negara lain ke dalam urusan domestiknya. Adil atau tidak adil, prinsip tersebut sudah menjadi batasan yang tidak bisa ditembus dalam hubungan internasional yang kemudian berkembang menjadi tameng suatu negara.

Melalui perjanjian internasional, prinsip kedaulatan bisa melunak, namun ketika perjanjian internasional tidak diratifikasi oleh semua pihak yang terlibat, negara yang dirugikan tidak bisa menuntut. Negosiasi bisa diupayakan, namun negosiasi bisa terhambat apabila dihadapkan oleh perbedaan sistem, terutama sistem hukum. Dengan sistem hukum syariah yang menerapkan qishash yang bergantung pada tuntutan keluarga korban, Indonesia memiliki hambatan dalam menegosiasikan hukuman tersebut dengan pemerintah Arab Saudi. Wajar sebenarnya jika masyarakat dan media massa menyoroti dilaksanakannya hukuman pancung bagi Ruyati sebagai gambaran kegagalan Indonesia melindungi warga negaranya, namun dengan keunikan setiap kasus dan beragam situasi yang mengelilinginya, tidak adil rasanya bila muncul generalisasi bahwa negosiasi Indonesia melempem.

Namun bukan berarti Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam masa moratorium TKI yang diberlakukan Presiden SBY, seluruh elemen yang terkait dengan urusan TKI harus berbenah. Pengetatan agen, pengonstruksian yang berimbang mengenai resiko dan peluang menjadi TKI, pengetatan standar kualifikasi TKI, penguatan sistem perlindungan TKI di dalam dan luar negeri merupakan beberapa hal yang wajib diupayakan negara selain meningkatkan peluang bekerja di tanah air dan pendistribusian kesejahteraan. Secara eksternal, upaya diplomasi yang dilakukan negara pun harus ditingkatkan terutama dalam hal perjanjian perlindungan tenaga kerja, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara yang berkepentingan dengan TKI. Selama menunggu perkembangan kemampuan Indonesia dalam melindungi warga negaranya, masyarakat dan media massa juga harus dapat menyikapi persoalan ini dengan kepala dingin.


Globalisasi : Malaikat Pencabut HAM Buruh




Buruh migran dan korporasi multinasional merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan saat kita membahas globalisasi. Mereka pun tak hanya sekedar menjadi identitas unsur-unsur globalisasi, tapi juga sebagai potret tarik-menarik nilai-nilai universal globalisasi mengenai pasar bebas dan HAM yang ternyata sampai saat ini masih dimenangkan oleh pasar bebas. Sepertinya negara lebih suka menyejahterakan rakyatnya melalui nilai uang ketimbang penegakan HAM.

Buruh di Pusaran Pasar Bebas

Buruh, baik buruh migran maupun buruh MNC, merupakan pihak yang paling rawan dirugikan dalam era pasar bebas.

Pertama, buruh migran. Hampir semua buruh migran merupakan orang-orang yang berasal dari pendidikan dasar. Mereka hanya merupakan pekerja tak terdidik dan tak terlatih. Sektor yang mempekerjakan mereka kebanyakan sector domestic. Kesulitan bermula dari sini. Dengan bekerja di sector domestic yang privat, negara sulit mengawasi pelanggaran yang mereka derita, penyiksaan fisik dan gaji yang tidak dibayarkan misalnya. Berharap pada hukum internasional juga sulit. Satu, hukum internasional memang mengakui individu sebagai subjek hukumnya, namun penuntutan masih harus dilakukan atas nama negara dan atas tindakan yang mengafeksi negara. Dua, para buruh migran yang hanya merupakan lulusan pendidikan dasar dan tinggal di kawasan rural kebanyakan buta hukum, ditambah lagi perusahaan penyalur mereka tidak memberikan pemahaman hukum yang memadai. Kebutaan mereka akan hukum membuat mereka tidak peka ketika mereka sedang dirugikan dan memiliki alasan kuat untuk meminta perlindungan hukum. Tiga, yang paling utama, negara-negara yang aktif melakukan transaksi penyaluran tenaga kerja tersebut sama-sama tidak terikat pada konvensi perlindungan tenaga kerja. Tanpa jaminan hukum, posisi mereka sangat rawan. Di negara tamu, mereka disiksa, dan di negara asal, mereka minim mendapatkan jaminan dan bekal perlindungan.

Kedua, buruh MNC. Kerawanan mereka terutama bersumber dari dua hal. Satu, dari kebandelan MNC yang betah memberikan status pegawai kontrak bagi mereka meski pemerintah negara tamu telah menetapkan peraturan pemberian status pegawai tetap bagi para buruh. Kebandelan MNC ini tentu saja meletakkan buruh sebagai pihak yang rawan kehilangan pekerjaan. Dalam suatu kondisi khusus, MNC bisa hengkang dengan tenang dari negara tamu saat ia merasa bahwa negara tamu tersebut tidak lagi menguntungkan bagi jalannya perusahaan tanpa memikirkan tunjangan dan pesangon bagi buruh yang ia tinggalkan. Lalu, selanjutnya kerawanan kedua. Kerawanan ini bersumber dari posisi para buruh sebagai salah satu factor produksi yang keberadaannya dianggap tak berbeda dari benda. Buruh tidak dianggap sebagai manusia yang di belakangnya berdiri sekumpulan anggota keluarga yang memiliki kebutuhan ekonomi sekaligus tertekan karenanya. Dalam posisinya sebagai sekedar factor produksi, apabila sang produsen merasa bahwa harga produksi terlalu mahal, produsen tersebut bisa dengan ringannya mengelak dari kewajiban upah minimum pekerja dan memberikan upah semampu produsen. Bahkan, bila produsen merasa bahwa mekanisasi lebih murah, mereka akan memihak pada mekanisasi dan mengurangi jumlah buruhnya.


Kerawanan Negara

Jika diagregasikan, kerawanan buruh migran dan buruh MNC tersebut sudah pasti menjadi kerawanan negara yang bersangkutan. Dalam istilah yang sarkastik, kerawanan tersebut sudah mulai mengarah pada penurunan harga diri negara. Dalam hal buruh migran, kerawanan mereka pada bidang perlindungan hukum akan menempatkan negara pada kondisi yang tidak lagi dipercaya rakyatnya. Di negeri sendiri, pemerintah tidak dapat menyediakan lapangan pekerjaan, di negeri lain pun pemerintah terkesan lepas tangan. Begitu pula pada kasus buruh MNC. Kerawanan dalam kesejahteraan pekerja tidak hanya memperlihatkan bahwa pemerintah tidak hanya tak bisa melindungi rakyatnya dari kesemena-menaan kapitalis, tapi juga pemerintah tidak bisa melindungi sumber dayanya dari eksploitasi secara langsung dan besar-besaran dari negara core.

Seharusnya, negara-negara yang tidak hanya diisi oleh buruh migran dan buruh MNC ini sadar bahwa mereka sedang berada dalam posisi dirugikan. Kesadaran tersebut seharusnya pula membawa mereka pada pertimbangan pembuatan kebijakan yang mampu mengatasi kerawanan tersebut. Tapi nyatanya, pemerintah negara-negara yang rata-rata berstatus negara berkembang ini bermental seperti para buruh migran dan buruh MNC-nya. Mereka bermental nrimo alias pasrah terhadap kondisi yang mereka hadapi. Bisa jadi karena memang bargaining position negara-negara berkembang yang membutuhkan pembangunan ini sama lemahnya dengan bargaining position para buruh migran dan buruh MNC yang tidak dilindungi negara saat sudah berhadapan dengan angka-angka ekonomi. Miris sudah kondisi keduanya.


Indonesia : Membela Siapa ?

Globalisasi sebenarnya tidak semata-mata memberikan kemirisan. Di satu sisi, ia memang mempermudah hisapan negara core kepada negara periphery, namun di sisi lain, globalisasi sebenarnya menyebarkan nilai-nilai universal mengenai perlindungan terhadap individu. Globalisasi sebenarnya memiliki misi pula untuk mengajak negara-negara menggeser terminology keamanannya menuju keamanan individu. Globalisasi sebenarnya ingin melindungi individu murni sebagai individu. Nah, permasalahannya, pesan kedua dari globalisasi ini merupakan pesan yang sulit dipenuhi oleh negara. Indonesia, contohnya.

Dari kekurangmampuan pemerintah Indonesia memfasilitasi rakyatnya untuk tetap bekerja di dalam negeri sehingga rakyatnya terpaksa mencari penghidupan di negara lain atau di negeri sendiri namun dengan upah dari korporasi multinasional; dari kebijakan-kebijakan perlindungan bagi buruh migran dan buruh MNC yang lemah, dengan berat hati, nilai yang bisa kita ambil dari sana adalah pemerintah Indonesia masih terjebak pada janji manis globalisasi yang dalam beberapa waktu mendatang akan menjadi boomerang menyakitkan. Indonesia masih menyandarkan keamanannya dalam skala nasional, belum pada level individu.


Pelanggaran HAM dibalas Kenaikan Upah


Setidaknya ada dua kecacatan yang dibuat pemerintah Indonesia dalam melindungi buruh migrant.

Pertama, Indonesia belum meratifikasi UN Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of Their Families padahal konvensi ini merupakan konvensi kunci bagi kuatnya perlindungan buruh, baik legal maupun illegal, dan anggota keluarganya. Dengan meratifikasi konvensi ini, buruh migrant akan memiliki kebebasan berserikat, asuransi, fasilitas pengacara, dan yang paling penting, perlindungan penuh dari negara asal serta jaminan ketiadaan pelanggaran HAM dari pengguna jasa di negara tujuan. Dalam Tempo Interaktif 1 Desember 2009 lalu , Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Muhaimin Iskandar mengisyaratkan ratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990 masih dua tahun lagi. Menurutnya, pemerintah masih terpaku untuk menyamakan presepsi antardepartemen, meski sudah ditandatangi sejak era Presiden Megawati dan masuk dua kali Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Menurut Muhaimin lagi, mereka perlu menyiapkan diri dan mematangkan kerangka infrastruktur yang harus disediakan konvensi ini. Selain itu, ke-14 negara tujuan pengiriman buruh migran Indonesia belum meratifikasi konvensi ini.

Menilik pada alasan pertama, alasan tersebut logis sebenarnya, mengingat peratifikasian memiliki konsekuensi yang cukup berat, namun pada alasan kedua, Indonesia terlihat sangat pasif, hanya menunggu inisiatif dari negara penerima sementara kebutuhan perlindungan buruh migran sudah sangat mendesak. Lihat saja berbagai kasus yang sepanjang tahun 2009 lalu sangat mencengangkan. Ya, negara penerima buruh migrant memang perlu diikat dalam konvensi tersebut karena pelanggarannya terhadap HAM buruh migrant, namun menunggu mereka tanpa bergerak juga tak dapat dibenarkan. Satu, konvensi tersebut memberikan akses lebih besar bagi negara asal untuk melindungi rakyatnya yang menjadi buruh migrant, baik ia buruh legal maupun illegal. Meski negara penerima belum meratifikasi konvensi tersebut, buruh migrant setidaknya sudah memiliki perlindungan yang besar dari negara asal karena posisi negara asal dalam memberikan perlindungan sudah lebih kuat. Hal itu akan lebih baik ketimbang kedua negara belum meratifikasi sehingga keduanya bisa lepas tangan atas pelanggaran HAM yang dialami buruh migrant. Dalam kondisi kedua negara belum meratifikasi konvensi tersebut, buruh tidak memiliki perlindungan dari siapa-siapa.

Kecacatan kedua, ada kejanggalan saat Indonesia berupaya memberi perlindungan buruh migrant tanpa melalui ratifkasi Konvensi 1990. Janggal saja saat sebuah negara berusaha menjadi pelindung bagi rakyatnya namun sebenarnya perlindungan tersebut tidak menyentuh kebutuhan sebenarnya dari sang rakyat. Kejanggalan pertama, Indonesia mengeluarkan Undang-Undang no 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Permasalahannya tidak hanya terletak pada keterbatasan undang-undang ini yang sekedar mengatur tata cara penempatan buruh migrant Indonesia dan menjelaskan bahwa buruh migrant Indonesia memiliki hak-hak yang dilindungi negara Indonesia atas penempatannya di luar negeri, tapi juga pada kecilnya peran Indonesia sebagai negara asal dalam melindungi buruh migrant yang tak lain adalah rakyatnya. Kecilnya peran pemerintah Indonesia tersebut terlihat dari ketatnya peraturan administrasi pergerakan buruh migrant yang ditetapkan pemerintah Indonesia seperti mereka wajib memiliki dokumen lengkap dan wajib melaporkan kedatangan dan kepulangan mereka namun dalam surat perjanjian yang dibuat buruh, pemerintah tidak ikut terlibat kecuali apabila buruh tersebut dipekerjakan di sector kepemerintahanan juga. Pada sector domestic dan swasta, pengurusan perlindungan terhadap buruh migrant dilimpahkan kepada perusahaan perekrut. Posisi perusahaan perekrut jelas tidak kuat dan tidak pula mampu menghentikan tindakan-tindakan pelanggaran HAM dari pengguna jasa buruh migrant.

Kejanggalan berikutnya adalah ketika pemerintah Indonesia mengupayakan perundingan bilateral dengan Malaysia sebagai negara penerima buruh migrant Indonesia. Perundingan tersebut membahas usulan memperbolehkan TKI memegang sendiri paspor mereka, memberikan hak cuti sehari dalam seminggu, transparansi kontrak kerja dan deskripsi kerja yang jelas, kenaikan gaji dan perlindungan kepada TKI, penghapusan penempatan secara individu, dan penegakan hukum bagi majikan yang memakai TKI ilegal. Dari keenam usulan pihak Indonesia tersebut, pihak Malaysia hanya menyetujui tiga poin, yakni paspor yang diserahkan kepada TKI, libur sehari dalam seminggu, dan adanya kenaikan skala gaji . Dalam poin kenaikan gaji, pihak Indonesia mendesak Malaysia untuk menaikkan gaji TKI tersebut menjadi kisaran 650 ringgit–800 ringgit atau Rp1,8 juta–2,4 juta . Malaysia sendiri masih bertahan dengan nilai 600 ringgit. Banyak pihak yang mengkritik perundingan tersebut. Kritikan tersebut senada dengan kritik penulis.

Bagi penulis, perundingan tersebut kecil sekali menyentuh persoalan utama yang dialami oleh buruh migrant. Perundingan tersebut memang sudah membahas kebutuhan buruh migrant, namun penekanan perundingan pada kenaikan gaji sepertinya bukan masalah yang krusial bila dibandingkan dengan perlindungan HAM yang minim. Kasus-kasus yang selama ini menimpa buruh migrant bagi penulis merupakan kasus yang erat kaitannya dengan HAM. Penyiksaan fisik, ketiadaan kesetaraan hukum saat buruh migrant melakukan tindak pidana di negara tujuan, dan penahanan gaji jelas merupakan pelanggaran HAM yang seharusnya menjadi konsentrasi utama negara. Untuk apa meminta peningkatan upah jika pada akhirnya upah tersebut malah tidak dibayarkan? Untuk apa upah yang tinggi bila sang buruh harus menanggung luka-luka bekas setrika?

Permasalahan pelanggaran HAM yang diderita buruh migrant sebenarnya telah mengemuka sejak tahun 2007 pada saat Sidang Sessi ke 4 Dewan HAM PBB di Geneva dalam sesi pemaparan laporan kunjungan UN Special Rapporteur on the Human Rights of Migrants ke Indonesia, Prof DR Jorge Bustamante . Bustamante mengemukakan bahwa kondisi buruh migran Indonesia berada pada situasi yang rentan, dan bahkan dia juga menyatakan telah ada pelanggaran hak asasi manusia terhadap buruh migran Indonesia. Kenyataan kerentanan HAM buruh migrant yang hanya direspon pemerintah Indonesia dengan pembagian peran pelindung antara negara dengan perusahaan penempatan TKI serta penekanan kenaikan upah buruh migrant jelas merupakan kejanggalan. Kejanggalan yang menggelikan.


World is Flat, SKB 4 Menteri, dan Buruh MNC

World is Flat yang ditulis Friedman merupakan rujukan yang penting dalam memahami kejayaan ekonomi global. Dalam bukunya ini, Friedman menggunakan gaya bahasa yang ringan dan posistif sehingga mengonstruksi pemikiran kita akan manisnya globalisasi. Namun tunggu dulu hingga kita membaca kasus-kasus ketidakadilan yang menimpa buruh korporasi multinasional. Penjelasan manis Friedman tersebut akan langsung mengantar kita pada kepesimisan terhadap globalisasi. Kekuatan globalisasi yang dipaparkan Friedman ternyata merupakan factor yang mendorong pengeksploitasian terhadap buruh MNC serta penurunan perlindungan negara terhadap buruh MNC.

Friedman menyebut globalisasi yang saat ini mengitari kita merupakan globalisasi gelombang tiga. Menurut Friedman, globalisasi gelombang tiga ini merupakan globalisasi yang didominasi oleh individu. Melalui berakhirnya Perang Dingin dan majunya teknologi, individu dari berbagai belahan dunia memiliki pintu penghidupan ekonomi yang lebih besar. Mereka bebas berkompetensi dengan orang-orang yang berada di belahan dunia mana saja. Melalui globalisasi, kesempatan begitu besar terbuka di mata mereka. Namun, kesempatan besar bagi individu ini sebenarnya tidak semanis itu. Faktor pertama, perusahaan multinasional masih memegang kendali yang kuat dalam masa ini meski era kejayaannya sudah disebut Friedman pada globalisasi gelombang dua. Melalui outsourcing, offshoring, supply-chaining, dan insourcing, posisi perusahaan multinasional semakin kuat. Harga produksi atau biaya operasional yang tinggi di suatu negara akan langsung membuat mereka memindahkan operasinya dari negara tersebut dan meninggalkan buruh-buruh yang terlibat di negara awal. Beruntunglah bagi buruh-buruh yang tinggal di kawasan yang berbiaya produksi dan operasional rendah namun berproduktivitas tinggi. Sementara sisanya? Entah, mungkin menumpuk menjadi angka-angka statistik pengangguran di negara berkembang yang didata oleh World Bank. Kesempatan yang besar untuk bermain di level global akhirnya hanya akan melahirkan seleksi alam, yang terefisienlah yang akan menang.

Faktor kedua, kuatnya perusahaan multinasional sejak globalisasi gelombang dua sangat nyata melemahkan peran negara dalam menjalankan perannya sebagai pelindung rakyat. Dalam suatu artikel menarik berjudul Negara, MNC, dan Buruh, penulisnya mengatakan,
“Pada masa antara 1945-1980, buruh menikmati perlindungan dari negara. Tetapi hal itu kemudian berubah….David Korten dalam bukunya When Corporations Rule the World (2001) dengan jelas dan gamblang melukiskan sepak terjang MNC di yang membuat negara Dunia Ketiga kewalahan menyusun kebijakan yang menguntungkan rakyatnya…Perusahaan tingkat nasional dengan skala yang lebih kecil tidak mungkin bersaing dengan mereka. Apa yang terjadi kemudian malah bersaing satu sama lain untuk memperoleh order dari MNC sebagai bagian dari strategi outsourcing. ”

Pelemahan peran negara juga terjadi ketika perusahaan multinasional tersebut memberikan pilihan yang sulit bagi negara antara hengkanganya perusahaan yang berujung pada PHK massal atau penentuan upah minimum buruh yang sesuai dengan kemampuan perusahaan multinasional.

Kasus tersebut terjadi di Indonesia tahun 2008 lalu. Posisi Indonesia? Tentu saja lebih memilih menjaga kestabilan jumlah angkatan kerja dengan bermanis-manis dengan perusahaan lewat Surat Keputusan Bersama Empat Menteri. Sepertinya pemerintah Indonesia lebih senang dalam menangani protes buruh ketimbang menghadapi tekanan perusahaan multinasional.
Pasal-pasal dalam SKB Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global yang diprotes buruh tersebut di antaranya,
  1. Pasal 2 huruf a : Konsolidasi unsur pekerja/buruh dan pengusaha melalui forum LKS tripartit nasional dan daerah serta dewan pengupahan nasional dan daerah agar merumuskan rekomendasi penetapan upah minimum yang mendukung kelangsungan berusaha dan ketenangan bekerja dengan senantiasa memperhatikan kemampuan dunia usaha khususnya usaha padat karya dan pertumbuhan ekonomi nasional.
  2. Pasal 2 huruf b : Upaya agar gubernur dalam menetapkan upah minimum dan segala kebijakan ketenagakerjaan di wilayahnya mendukung kelangsungan berusaha dan ketenagakerjaan dengan senantiasa memperhatikan kemampuan dunia usaha khususnya usaha padat karya dan pertumbuhan ekonomi nasional
  3. Pasal 3 : Gubernur dalam menetapkan upah minimum mengupayakan agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional (Namun kemudian pasal ini direvisi menjadi : Gubernur dalam menetapkan upah minimum diupayakan memperhatikan tingkat inflasi di masing-masing Daerah).

Menanggapi SKB tersebut, buruh ramai memprotes. Mereka mengerti bahwa pilihan yang diambil pemerintah untuk memihak keinginan perusahaan sebenarnya untuk melindungi mereka juga. Tentu lebih baik demikian daripada perusahaan-perusahaan tersebut memecat para buruh karena tidak kuat menanggung biaya produksi yang tidak sebanding dengan pemasukan di tengah krisis global. Namun, mereka mengkhawatirkan kelicikan perusahaan-perusahaan yang menggunakan SKB 4 Menteri tersebut untuk memanipulasi upah yang diterima buruh. Apalagi, SKB ini tidak jelas memuat kondisi seperti apa yang dijadikan syarat pemberlakuan dan pemberhentian SKB. Penetapan upah yang diserahkan pada pihak perusahaan tanpa ada campur tangan pemerintah ini tampak berlaku untuk selamanya meski suatu saat nanti keadaan ekonomi telah membaik. Bila menghubungkan SKB ini dengan penjelasan Ronaldo Munck dalam Globalisation and Labor, ketetapan SKB 4 Menteri tersebut mengukuhkan keberadaan sistem Labour Flexibility Market (LFM) yang meliputi :
  1. 1. External numerical flexibility: jumlah pekerja disesuaikan dengan kebutuhan pengusaha
  2. 2. Externalisation: sebagian dari pekerjaan perusahaan diserahkan kepada sub-kontrak
  3. 3. Internal numerical flexibility: jam kerja dan kerja itu sendiri disesuaikan dengan kebutuhan pengusaha
  4. 4. Fuctional flexibility: jenis pekerjaan disesuaikan dengan kebutuhan pengusaha
  5. 5. Wages flexibility: upah kerja disesuaikan dengan produktivitas dan situasi pasar

Pada era globalisasi gelombang ketiga saat ini, negara-negara benar-benar dijauhkan dari rakyatnya sehingga negara pun tidak lagi melindungi HAM buruh. Entah kata tidak melindungi tersebut disebabkan karena apa. Apakah karena tidak berdaya atau tidak mau. Apapun itu, buruh sudah murni dianggap sebagai individu yang harus survive sendirian meski secara administratif ia terdaftar di dalam dokumen kependudukan negara yang seharusnya berhak mendapat perlindungan negara.


HAM yang Makin Menghilang

Buruh migrant dan buruh MNC merupakan potret paradoksal dari globalisasi. Di satu sisi, globalisasi menyebarkan nilai-nilai perlindungan HAM bagi setiap individu, namun di sisi lain, globalisasi mengecilkan peran negara yang selama ini dijadikan tumpuan perlindungan HAM.

Globalisasi yang terjadi sekarang bagi penulis merupakan globalisasi yang belum direspon secara sempurna oleh semua pihak, baik negara, buruh, maupun korporasi multinasional. Menyadari peran negara saat ini makin kerdil dalam lalu lintas globalisasi, negara tidak berusaha memperpanjang keinginannya untuk mengatasi hal tersebut. Belum diratifikasinya konvensi buruh hingga sepuluh tahun ini oleh negara-negara yang terlibat dalam transaksi buruh migran merupakan ketidakpekaan negara atas konsekuensi globalisasi. Ketidakpedulian korporasi multinasional akan nilai-nilai kemanusiaan buruh yang mereka pekerjakan demi kelangsungan hidup perusahaan juga merupakan tindakan tak bertanggung jawab atas globalisasi yang mereka ciptakan. Tindakan dari negara dan korporasi multinasional tersebutlah yang menjadi sumber buramnya potret globalisasi di mata buruh. Amanah penghargaan HAM yang diusung globalisasi pun akhirnya hanya menjadi amanah usang di hadapan angka ekonomi. Globalisasi telah merengut nyawa kemanusiaan manusia. Manusia pun dianggap tak ubahnya seperti barang.




Ark, Jan'10


Negara Maju dan Himbauan Antipekerja Anak



Kemarin sempat baca Kompas, tapi lupa edisi kapan. Masih baru, sih, sekitar tanggal belasan September 2009 ini. Seperti biasa, buka koran pasti liat yang bagian internasionalnya dulu. Bukan sok HI, tapi selain karena berita artisnya lagi ga asik (dan artisnya ga tenar yang begimana gituh), biasanya berita nasional apalagi daerah ga jauh-jauh dari tindakan perampokan, pembunuhan, dan sebagainya. Hehehe. Ya walaupun Kompas mah ngga sebegitunya jugaaaaa. Ini mah gara-gara trauma baca koran daerah ajeh. Tapi eniwei, di kolom internasional Kompas itu ada satu hal yang menarik meskipun bagian beritanya cuma seukuran 2x1 (seolah-olah dia kuburan ajah gituh, heuheu). Ya intinya beritanya ga terlalu banyak mengandung huruf sehubungan dengan kavling yang sempit. Berita tersebut adalah berita tentang himbauan AS terhadap negara-negara pengekspor barang jadi agar tidak mempekerjakan anak-anak dalam proses produksinya. What do you think about that? Is that any kind of human rights thing or another soft nontariffs barriers?

Bersyukurlah Teman-teman yang menganggap hal tersebut adalah persoalan kepedulian AS terhadap hak anak-anak nan polos dan ga seharusnya cape. Kalian lulus sebagai insan Allah yang banyak bertafakur di bulan Ramadhan yang akan habis tujuh hari sebelum hari ulang tahun saya! Hehe. Hmmmm. Bukannya saya ga melihat sisi manis itu sih. Ya lihat sih lihat, cuma ngga percaya-percaya amat. Hehehe. I don't have any hatred about that country, I even dream going there, but in this global circumstance, the thing that I saw from that news was it contains their interest for protecting their industries and shows their arrogancy in this world's complexity.

Begini, memang, anak-anak adalah bagian dari masyarakat yang sudah seharusnya dilindungi dan terjamin hak-haknya. Manis banget kan kalau kita melihat sekumpulan anak-anak yang polos, meskipun mereka sibuk mengusap hidungnya yang sedikit-sedikit berair, menendang bola hingga kaca ruang tamu kita pecah, menyangkutkan layangan di tiang listrik, melempar petasan sembarangan kepada pengendara sepeda motor yang melintas di dekat mereka (!#$@$%#%^$^&^%^~#$$), bebas menggapai cita-cita mereka sebebas mereka memimpikan cita-cita tersebut hingga akhirnya mereka bisa menjadi pemuda sang agents of change dan tetua yang bijaksana tanpa harus terbebani pikiran besok bisa makan 2x sehari kayak hari ini atau engga, besok papa pulang bawa uang atau engga, besok sakit batuk ibu sudah membaik apa belum, hingga akhirnya mereka harus bekerja banting tulang di pabrik sebagai buruh murah dan ngga punya jaminan kesehatan, apalagi jenjang karir yang menjanjikan seperti lulusan SMK.

Nah, masalahnya, apa alasan paling logis di balik himbauan AS kepada negara berkembang untuk berkomitmen tidak mempekerjakan anak-anak tersebut?

Secara murni, persoalan anak-anak saya rasa bukanlah persoalan yang mengancam keamanan AS. Jelas, ia masih berada pada ranah nonpolitic dan nonsecurity. Pekerja anak-anak kayaknya agak imposible bakal jadi tentara jihad yang akan mempergunakan tangan-tangan kecil mereka untuk menyelipkan nuklir di serat pakaian yang diekspor ke AS. Kemungkinan yang paling berbahaya dari keberadaan pekerja anak-anak adalah upah mereka yang kecil akan membuka peluang turunnya biaya produksi yang sudah jelas akan membuat harga barang yang mereka produksi sangat bersaing dengan harga yang diproduksi industri AS. Harga produksi dan harga jual produk industri AS jelas lebih mahal mengingat pemerintah AS menerapkan standar perlindungan pekerja yang cukup ketat. Nah, di sinilah letak bahayanya pekerja anak-anak. Secara tidak langsung, mereka akan mengancam keberadaan industri AS. Atas dasar tersebutlah maka himbauan untuk tidak menggunakan pekerja anak dalam proses produksi merupakan salah satu instrumen hambatan nontarif.

Berita tersebut juga menyebutkan bahwa pemerintah AS memantau dengan sangat cermat proses produksi barang yang diekspor ke AS dan pemerintah akan memberikan himbauan kepada warga untuk tidak membeli produk yang dihasilkan dari tangan anak-anak. Lewat iklan layanan masyarakat yang berisi dokumentasi penderitaan buruh berusia belasan tahun yang wajah dan ekspresinya sangat Dunia Ketiga sekali atau dengan kata lain, memprihatinkan, ibu dan bapak mana yang ngga akan miris? Himbauan pemerintah AS kepada warga AS untuk tidak membeli barang hasta karya anak-anak karena hal tersebut sama saja dengan mendukung perbudakan anak jelas akan dipatuhi.

Jadi inget artikel Teddy J. Fishman (kalo ga salah inget) di mata kuliah Multinational Corporation dalam Politik Dunia semester kemarin deh. Artikel yang saya lupa judulnya apa itu dibuka dengan protes Fishman atas program televisi yang menyiarkan penderitaan pekerja anak-anak. Menurut Fishman (bentar, ini seolah-olah saya yakin aja gituh nama penulisnya Fishman, padahal lupa-lupa inget. Okai, kita anggap saja namanya Fishman), film dokumenter tersebut terlalu dibuat-buat. Bukan Fishman ngga suka anak kecil, tapi Fishman melihat hal tersebut sebagai akibat dari tindakan AS sendiri tapi kok AS malah seolah-olah baik hati dan peduli terhadap anak. Nah, hal itu juga yang sepertinya mempengaruhi pandangan saya atas berita yang minggu lalu ditulis Kompas.

Sependapat dengan Fishman, begini deh, menurut Teman-teman, kenapa anak-anak yang harusnya sekolah dan bermain itu sampai mau mengorbankan diri membanting tulang, padahal ibu dan bapak mereka belum meninggal? Menurut saya, alasan mereka jelas bukan untuk mengisi waktu dengan kegiatan yang berguna atau kekuarangan uang jajan, melainkan karena mereka terdesak ekonomi. Keluarga mereka bener-bener ngga mampu dan ngga punya cukup pemasukan untuk mengatasi pengeluaran jika mereka ngga ikutan kerja. Nah, menurut Teman-teman lagi, apa salah satu alasan hidup mereka sebegitu susahnya? Okai, barang-barang mahal dan penghasilan orang tua mereka ngga cukup. Skip bagian barang mahal karena adanya inflasi, ketidakseimbangan penawaran-permintaan, kelangkaan, dan nilai tukar yang nggak stabil. Ntar jadi panjang ngomongnya. Masih nyambung sih tapi mari lebih dahulu kita lihat bagian mikroekonominya. Kita fokuskan pada penghasilan. Okai, penghasilan orang tua mereka ngga cukup karena orang tua mereka ngga punya keahlian hebat yang bisa membuat orang tua mereka menang persaingan atau NGGAK DI-PHK. Nah, lihat alasan terakhir, PHK. Kenapa mereka bisa di PHK?

Pertama, jika orang tua mereka adalah buruh pabrik perusahaan multinasional, bisa jadi mereka adalah korban kebijakan kantor pusat untuk memindahkan perusahaannya ke negara lain yang dinilai lebih produktif, efisien, dan ramah. Sebagaimana motif ekonomi perusahaan pada umumnya yang berpijak pada bagaimana meminimalisasi biaya produksi dan memaksimalisasi keuntungan, motif MNC masuk ke sebuah negara adalah untuk mendekati SDA dan mencari tenaga kerja murah nan produktif demi meminimalisasi biaya produksi serta mendekatkan diri dengan pasar serta terikat pada pajak, peraturan, dan standarisasi seringan mungkin demi mendapat keuntungan maksimal. Jika negara tersebut sudah mulai habis SDA-nya, tenaga kerjanya mulai terorganisasi dalam Serikat Pekerja yang menuntut berbagai jaminan kesejahteraan atau produktivitas mereka kalah dibanding produktivitas pekerja di negara lain, pasar mulai jenuh, dan pajak, peraturan, serta standardisasinya mulai tinggi, untuk apa mereka tetap bertahan di negara tersebut? Penutupan pabrik yang tentu berujung pada pemecatan bagi mereka mungkin hanya sebuah keputusan di atas kertas yang akan menuai demo selama beberapa waktu, tapi membawa implikasi dahsyat bagi para nama yang tidak sekedar nama, tapi nama tersebut adalah manusia yang di belakangnya berdiri beberapa manusia lain yang harus mereka nafkahi. Lapangan kerja yang sempit di negara berkembang yang menjadikan manusia-manusia korban PHK tersebut terpaksa menganggur sementara hidup setiap hari harus dibiayai tentu membuat anak-anak terpaksa turun tangan. Salah siapa? Bukankah orang tua yang sampai mengizinkan anaknya bekerja tersebut adalah korban dari perhitungan untung rugi perusahaan multinasional yang notabene hampir semuanya berasal dari negara maju, termasuk AS?

Kedua, jika orang tua mereka adalah buruh atau pekerja atau mungkin pemilik dari perusahaan domestik, alasan logis mengapa mereka bisa di-PHK selain karena ketidakseimbangan harga produksi dan harga jual yang mengakibatkan kerugian adalah karena barang yang mereka produksi dan mereka ekspor terkena hambatan ekspor, baik tariff maupun nontariff. Ada sebuah dualisme dari negara-negara maju, termasuk AS mengenai ekspor. Dalam mengekspor barangnya, negara maju tersebut segigih mungkin melobi negara berkembang untuk membuka pasarnya, sementara mereka (negara maju) terkenal sangat protektif dalam membuka pasarnya kepada negara berkembang. Ya emang ngga enak juga sih, kan negara maju jelas punya teknologi yang lebih canggih daripada negara berkembang, yang tentu teknologi tersebut berpengaruh terhadap hasil jadi. Dengan teknologi yang bagus, mereka memproduksi barang yang lebih bagus sehingga barang yang mereka ekspor ke negara berkembang jelas barang yang berkualitas. Beda dengan negara berkembang yang dengan teknologi terbatas tentu memproduksi barang dengan kualitas yang terbatas dan sangat mungkin berada di bawah kualitas barang produksi negara maju. Seolah-olah air susu dibalas air tuba aja gituh. Masa gue ngekspor barang bagus ke negara situ tapi situ ngekspor barang yang diproduksi pake teknologi yang di sini udah out of date? Tepercaya ngga nih keamanannya? Gue cek dulu deh. Kalo udah pas ama standar gue, gue kasih sertifikat, nah ntar kalau mau kirim barang lagi, tunjukkin sertifikatnya, baru kita terima. Tapi jangan mahal-mahal juga ya. Begitulah kira-kira omongan negara maju saat ia udah jadi anak gaul yang ekonomis dan pandai menawar. Di satu sisi, hal ini memacu negara berkembang untuk ikut maju seperti negara maju, nah tapi satu hal yang dilicikkin. Enak amat negara maju nyuruh-nyuruh maju tapi fasilitas untuk maju sendiri pun tidak ada.

Dalam dialog Utara-Selatan, hal yang paling sering dijanjikan Utara adalah transfer teknologi kepada Selatan. Tapi sayang sekali, realisasi hal ini sangat jauh dari kenyataan yang mengenakkan. Satu, teknologi yang ditransfer kepada Selatan biasanya teknologi yang sudah out of date di Utara (tapi gatau kenapa kitanya mah bukannya komplen tapi malah bangga..heuheu), dua, transfer teknologi sering berbenturan dengan masalah hak cipta, hak paten, pembajakan, dll. Pusing kan? Parahnya lagi, dalam kondisi seperti ini, normalnya kita harusnya inget ama omongan Bung Karno. Ayo berdikari! Nah, tapi sayangnya, semangat Bung Karno ini kayaknya sulit terealisasi. Kita udah terlalu banyak dimanjakan oleh hubungan Utara-Selatan yang bisa dibilang udah ngga sehat. Hubungan kita udah ngga bisa dinamai sebagai hubungan interdependensi alias saling tergantung, tapi justru hubungan Dependensi alias tergantung bener. Teori Modernisasi dan Teori Lima Tahap Pembangunan Ekonomi yang dicita-citakan Orde Baru dulu itu nyatanya ngga terwujud. Semakin kita berinteraksi sama negara maju, kita semakin sulit lepas dari kebaikan mereka. Ini sih jelas salahnya guru-guru kita. Inget kan kalo sekolah hal yang selalu dilarang adalah menyontek? Nah, inilah akibat dari ketakutan kita akan sontekan. Harusnya dalam urusan ini, kita giat menyontek keberhasilan mereka untuk kemudian kita kembangkan. Kita mah salah sih, nyontek engga, tapi maunya disuapin jadi. Kan mending nyontek, ada usahanya dulu, liat kiri kanan, deg degan, tulisannya dibedain (walopun dikit. Yah kalo sama banget mah entar namanya membajak, dong. Membajak kan pekerjaannya kerbau dan traktor), nah kalau udah disuapin begini mah udah susah. Susah. Susah. Susah.

Okai, balik lagi. Karena barang-barang produksi domestik kita terkena hambatan dan kalaupun lolos hambatan masih menghadapi dua ancaman, satu, ancaman barangnya kurang bersaing dengan barang di sana, dua, kalau ternyata barang kita laku, barang kita malah kena kuota, industri domestik kita jelas dong sulit bertahan. Nggak jadi masalah kalau industri domestik bisa mengalihkan penjualan produknya ke negara lain atau dijual di negara sendiri, tapi bagaimana jika barang tersebut tidak laku? Bagaimana perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan atau minimal balik modal? Jika mereka tidak dapat bertahan, apa mau dikata, kalau bukan pengetatan jumlah karyawan (PHK kecil-kecilan) ya perusahaannya mereka tutup (PHK semua). Pilihan tersebut menjadi pilihan yang paling logis ketimbang meningkatkan kualitas produk dalam usaha mendapatkan sertifikat. Belum tentu juga gituh perbaikan mutu tersebut akan serta merta membuat negara maju menerbitkan sertifikat atau membuat produk tersebut lancar bersaing di pasar. Permasalahan ini bukan saja menyangkut persoalan teknologi, tapi juga mental. Berbagai tekanan negara maju tentu mau tidak mau menekan mental perusahaan domestik.

Nah, makanya saya bilang kayaknya ngga bijak aja gituh kalau AS gencar melaksanakan kampanye antipekerja anak demi masa depan mereka yang lebih baik. Bukankah secara tidak langsung AS dan negara-negara maju lainlah yang mendorong adanya pekerja anak? Masalahnya juga kan nggak cuma karena anak-anak negara berkembang itu sangat peduli pada keluarga, tapi juga karena perusahaan-perusahaan negara berkembang membutuhkan tenaga murah agar produknya bisa bersaing di pasar negara maju.

Saya akui, pekerja anak adalah masalah yang sangat memprihatinkan. Tak dapat dipungkiri, jumlah pekerja anak bisa menjadi indikator rendahnya kemakmuran di suatu negara. Rendahnya kemakmuran tersebut pun dipastikan tidak hanya menjadi persoalan hari ini, tetapi juga persoalan masa depan. Bukankah anak-anak adalah pewaris estafet kepemimpinan bangsa? Kapan negara berkembang bisa maju kalau anak-anaknya sekarang nggak sekolah dan ngga punya waktu untuk mengembangkan diri di luar kegiatan akademis? Sekarang Dunia Ketiga tetap berstatus berkembang dan sampai anak cucu anak-anak itu lahir kalau pekerja anak masih ada ya Dunia Ketiga nggak bakal menyandang status Developed Countries. Dalam hal ini, himbauan AS tentang Say No to Children Slavery memang sangat visioner dan baik adanya. Namun, ketimbang AS dan negara maju hanya bisa menghimbau dan menutup pasar, saya rasa masih ada cara yang lebih bijak dan konkrit untuk menghentikan perbudakan anak.

Pertama, transfer teknologi yang nyata kepada negara berkembang sehingga selain skill tenaga kerja negara berkembang bisa meningkat dan dalam kasus MNC, MNC tidak perlu terlalu nomaden berpindah dari satu negara ke negara lain melulu, produksi dari negara berkembang juga bisa memenuhi standar negara maju, produknya masuk ke pasar negara maju, terus bisa bersaing, dan di dalam negeri, mereka bisa mengembangkan diri dan meningkatkan kemakmuran.

Kedua, agak malu nih bilangnya, hehe. Jika negara maju tidak menginginkan anak-anak menghabiskan waktunya menjadi pekerja, maka berilah mereka kesibukan sebagai pelajar dan pengembang bakat lewat bantuan dana pendidikan dan pengembangan diri. Sekarang sih SD-SMP memang gratis, tetapi apakah sekolah gratis tersebut telah menjamin diberikannya fasilitas pendidikan yang benar-benar maksimal dan gratis? Kalau bukan fasilitasnya biasa-biasa saja dan ngga ada peningkatan dari tahun ke tahun, pasti ada biaya-biaya tambahan, buat beli inilah itulah, yang ujung-ujungnya memberatkan orang tua yang jelas-jelas tidak mampu. Kalau sekolah malah menghabiskan uang padahal kebutuhan masih banyak yang belum dipenuhi, kenapa juga mereka harus sekolah? Bukankah lebih baik bekerja jadi buruh?

Hal lain yang mengganjal adalah sekolah gratis hanya sampai jenjang SMP. Lah, sekarang aja yang lulusan S1 belum tentu dapat kerja, apalagi yang lulusan SMP? Sejatinya, untuk membangun negara yang besar ini menjadi negara yang benar-benar besar tidak hanya dari segi besaran luas tapi juga dari segi kualitas, anak-anak Indonesia membutuhkan pendidikan lebih dari jenjang SMP. Ya, SMA dan universitas memang tersedia banyak sekali di bumi pertiwi ini. Kualitasnya juga ngga kalah sama kualitas luar negeri, tapi sayangnya, pendidikan pada kedua jenjang terakhir tersebut masih mahal, Sodara-sodara. Balik lagi ke pilihan rasional, mending juga jadi buruh daripada nerusin sekolah. Aduh, masa negara Indonesia yang pada zaman Revolusi Industri di Inggris sudah berjanji mau makan buah Palapa ini menjadi bangsa buruh yang produknya ditolak oleh negara maju karena pekerjanya kebanyakan anak-anak? Menuntut negara-negara maju untuk memberikan dana pendidikan kepada anak-anak di negara berkembang saya rasa sama pentingnya dengan kebersediaan mereka melakukan transfer teknologi dan membuka pasar mereka untuk negara berkembang.

Huffff. Okai. Nampaknya sudah cukup banyak huruf dalam ketikan ini. Panjang deh jadinya kalau udah ngomongin korelasi-korelasi. Posisi saya dalam melihat keberadaan pekerja anak jelas menolak. Tidak seharusnya anak-anak menghabiskan waktu mereka dengan memikirkan tanggung jawab menghidupi keluarga. Tapi permasalahannya, persoalan ini merupakan persoalan yang sangat nyata dan bahkan dekat dengan kehidupan kita. Persoalan ini tidak dapat kita hindari. Ia ada dan hidup di sekitar kita namun tidak dapat kita atasi. Kita juga tidak bijak jika melemparkan permasalahan ini sebagai kesalahan pemerintah kita. Permasalahan pekerja anak memiliki kaitan erat dengan kondisi global beserta rezim yang mengikat negara-negara. Lagipula, permasalahan pekerja anak adalah permasalahan yang lazim dialami negara berkembang sehingga tentu penyelesaian masalah ini berkaitan erat dengan solusi dari negara maju. Negara maju boleh menghimbau negara berkembang untuk memperhatikan hak anak, namun himbauan tersebut seharusnya diiringi dengan tindakan nyata yang membantu negara berkembang.

Woooooow, I have written so many wordssssssssss. Waktunya untuk tidur sekarang. Hohoohoohohohohohoho. Sampai jumpa pada analisis gaul lainnya di waktu mendatang!!!!


Ark.Sept'09.

Review Cerpen : Ramadhan Kesepuluh

Ramadhan Kesepuluh. Mulanya judul ini tidak saya rencanakan. Bahkan ceritanya pun tidak saya rencanakan. Suatu siang, saya membuka akun email saya. Ada satu pesan dari redaktur Tribun Jabar yang memberitahukan cerpen saya tentang 17 Agustus dengan sangat terpaksa tidak dapat dimuat karena momennya sudah lewat (telat kirim). Bapak itu mengajukan piihan bagaimana kalau saya mengirim cerpen tentang Ramadhan. Waw. Sungguh suntikan semangat yang sangat luar biasa. Beberapa menit kemudian, tangan saya sudah lancar mengetikkan cerita baru yang saya juga sama sekali nggak tahu bagaimana Allah bisa menyisipkan ide itu ke otak dan jari saya. Cerpen itu selesai dalam waktu tiga jam.

Setelah saya edit dua kali dan saya tunggu dua minggu, alhamdulillah cerpen tersebut dimuat. Ini karya kelima saya yang dimuat secara umum lewat seleksi redaksi. Awal yang cukup baik, tentunya, tapi saya sadar di luar sana ada begitu banyak penulis hebat yang menelurkan karya hebat sehingga saya masih harus banyak belajar dan menambah jam terbang.

Komentar positif alhamdulillah juga banyak saya terima. Terima kasih semuanya. Kalau nggak ada Allah nggak rame. Hehe. Itu beneran jalan Allah kok buat ngasih semangat saya. Selama tahun ini nggak ada satu kejuaraan pun yang saya juarai. Hmmm. Rezeki saya bukan di situ lagi, nampaknya. Sekarang saatnya media massa, mengingat tahun ini tiga karya saya dimuat tanpa menunggu waktu berbulan-bulan dalam skup nasional maupun provinsional.

Saya masih mengangkat tema sosial dalam cerpen ini. Amanah utama yang ingin saya sampaikan adalah betapa Allah adalah dzat yang kreatif karena selalu mampu menghadirkan cobaan yang unik kepada setiap makhluk-Nya lewat racikan permasalahan social yang kompleks.

Ia adalah Lodi yang terkejut saat menerima surat dari Pak Pos. Surat itu memberi jawaban atas segala rindunya kepada sang Ayah yang tak pernah tersampaikan. Ternyata sang Ayah yang menghilang dalam sepuluh Ramadhan itu sama sekali tidak mati. Ia masih hidup! Ia dulu dipenjara karena polisi di negeri jiran salah menangkap orang. Lodi hanya ingin senang atas surat yang memberi kabar bahwa ayahnya akan segera kembali, namun sayang ia tidak bisa. Ibunya sudah menikah lagi dan mereka kini telah hidup berkecukupan. Lodi mereka-reka siapa yang salah atas pernikahan ibu. Ibunya dan ia yang terlalu ekonomiskah? Karena mempertimbangkan untung rugi saat memilih menerima lamaran sang dokter atau menunggu kedatangan ayahnya. Atau justru ayahnyalah yang salah karena tidak pernah memberi kabar? Tapi ayahnya jelas dipenjara! Mana mungkin dapat memberi kabar? Belum tuntas gundah Lodi, ayahnya malah duluan datang. Lodi akhirnya hanya bisa terkejut di dalam dekapan ayahnya yang baru saja membakar rumah yang sedang menaungi tidur siang istri dan suami maduannya.

Kisah yang klasik. Diorama keluarga miskin. Tapi justru dari kisah yang klasik inilah ada tiga hal yang ingin saya perlihatkan.

Pertama, sikap para penegak hukum. Salah tangkap takkan bisa terganti dengan kata maaf dan pemulihan nama baik. Begitu banyak kehidupan yang terenggut saat penegak hukum melakukan human error. Luka, sedih, rindu, hampa, sepi, hancur, bagaimana cara memulihkannya?

Kedua, dengan menyetting TKI pun saya ingin memperlihatkan betapa lemahnya instrumen hukum internasional kita dalam melindungi warga negara sendiri. Faktor yang menyebabkan adanya TKI adalah ketidakmampuan negara kita memberi penghidupan bagi kaum yang tersisihkan. Tidak semua warga negara bisa menjadi insinyur dan dokter, bukan? Ada bagian yang terpaksa menerima menjadi orang buta huruf dan anak SMA IMPIAN. Tapi sayangnya baik dokter, insinyur, pejabat maupun orang buta huruf, kuli, dan korban PHK sama-sama butuh makan dan menghidupi keluarga. Urusan itu yang mereka kejar sehingga timbul pemikiran jika negara sendiri tak sanggup mengayomi, maka siapa tahu negara lain bisa. Apalagi jika dihitung-hitung kurs negara luar lebih tinggi sehingga dengan menghemat uang makan di sana, mereka akan mampu mengangkat keluarganya beranjak dari garis kemiskinan di Indonesia. Nah, negara sendiri harus menyadari keadaan ini. Jika negara tak mampu membiayai hidup rakyatnya, seharusnya mereka mampu memberi perlindungan kepada mereka di tanah lain. Saat ini kita tidak sedang membicarakan keseharusan adanya swadaya kepedulian swasta, karena bagaimanapun posisi bargaining yang paling kuat ada di tangan negara, bukan di tangan LSM atau IGO, apalagi di tangan individu. Peran negara sangat dibutuhkan dalam kasus TKI. TKI memang mengurusi hal domestik, hal yang sangat kecil bila dibandingkan dengan hal politis, tapi bukankah negara kita menganut kesederajatan, dimana setiap orang, tak peduli berprofesi apa, memiliki derajat yang sama untuk memperoleh perlindungan? Toh mereka pun sudah menjadi korban di negaranya sendiri, jangan sampai juga mereka menjadi korban di negara lain.

Yang patut disalahkan dalam permasalahan ini bukan para diplomat kita, sebenarnya, tapi payung hukum yang mengatur bilateral kita. Sebagai dua negara yang saling membutuhkan, katakanlah Indonesia membutuhkan negara X untuk menampung TKI-nya dan negara X membutuhkan TKI untuk menyokong ekonominya, seharusnya ada usaha dari kedua belah pihak untuk serius menjalankan kesepatakan perTKIan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Demokratisasi harus ada. Posisi kedua negara harus sederajat. Jangan karena kita adalah pemasok maka kita direndahkan oleh negara ‘majikan’. Kesepakatan tersebut pun seharusnya memuat kebijakan atas deviasi yang mungkin saja terjadi. TKI illegal, misalnya. Legal atau illegal, mereka adalah warga negara yang patut dilindungi. Jangan hanya karena illegal malah si TKI tersebut diacuhkan bahkan dapat diperlakukan semena-mena oleh majikan.

Bagi bilateral antarnegara yang berada dalam organisasi serupa pun seharunya TKI dapat lebih terlindungi. Jika international law bersifat mengikat, kaku dan tidak mengantisipasi perubahan serta pendekatan diplomatik cenderung terlalu akomodatif pada dinamisasi sehingga dapat digoyahkan, maka pada momen inilah pendekatan organisasional seharusnya masuk. Kesepakatan yang difasilitasi oleh pendekatan organisasional bersifat akomodatif akan dinamisasi internal dan kekuatan hukumnya pun bersifat mengikat, selain ia pun memberi posisi bargaining yang sama kuatnya bagi dua negara. ASEAN, untuk menyebut satu nama organisasi, tentu akan lebih dipercaya kiprahnya oleh masyarakat Asia Tenggara jika ia menunjukkan giginya dalam urusan soft politic seperti ini.

Hal ketiga dari Ramadhan Kesepuluh adalah gender. Ada banyak yang ingin saya sampaikan sebenarnya, tapi saya rasa pembahasan poin ini akan sangat sensitif, debatable, dan makin melebar, karena itu hanya ini yang bisa saya hadirkan. Saat Bapak Lodi menemukan istrinya menikah lagi, serta merta ia membakar rumah beserta istrinya. Saya sengaja tidak menghadirkan sudut pandang si Ibu dalam memaknai perkawinannya dengan Pak Dokter yang kaya. Saya ingin memperlihatkan rasa sakit hati yang dirasakan laki-laki saat mengetahui istrinya sudah melupakan dirinya. Saya ingin meperlihatkan bahwa sakit hati karena dimadu bukan hanya milik wanita, tapi juga milik laki-laki, bahkan laki-laki bisa bertindak lebih tak waras. Selama ini kita terlalu sering dibombardir oleh kegilaan wanita yang tersakiti, padahal laki-laki pun dapat bertindak serupa jika sudah dikendalikan amarah.

Persoalan sosial merupakan persoalan yang akan banyak menyangkut tetek bengek yang bahkan tidak pernah terlintas di dalam benak kita. Kritik akannya pun merupakan kritik yang dapat disampaikan lewat banyak media. Saya memilih sastra sebagai medianya. Sastra mampu mengangkat beragam persoalan sosiologis dalam harmoni sisi paling manusiawi kita. Sastra pun dapat dinikmati semua orang, tak terbatas pada kalangan intelek. Lewat cakupannya yang luas, saya ingin berkiprah memperlihatkan gejala sosial yang terjadi di sekeliling kita dan menjadikannya sebagai cambukan bagi kita untuk menciptakan hidup yang lebih baik. Sastra bukan hanya milik Fakultas Sastra dan budayawan, tapi juga milik penstudi HI, politikus, dan masyarakat.

NB : search Rikianarsyi di google untuk membaca cerpen ini.