"Bu, Pak Indra meninggal,
cek fesbuk Pak Rian."
"Innalillahi wa innailaihi
rajiun, telah meninggal pimpinan Ganesha, Bapak Indrayanto Sabtu, 12 Juli 2014
pukul 23.15. Semoga amal ibadah beliau diterima Allah, diampuni dosanya, dan
keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan."
Mata saya masih setengah tertutup dan kesadaran saya belum pulih benar
saat saya membuka dua notifikasi sms pagi Ramadhan itu. Pak Indra? Meninggal?
Maksudnya? Ya Allah? PAK INDRA? MENINGGAL? Hah, ini gimana, maksudnya apa?
Saya membalas dua sms tersebut dengan ketidakpercayaan lalu saya
membuka fesbuk Pak Rian. Saya berusaha menolak apa yang saya baca. Namun memang
itu kenyataannya. Pak Indra
telah berpulang. Pikiran saya lalu melayang pada Bu Tari, istri Pak
Indra. Lalu Ilham, Uzi, Rara, dan adik kecilnya yang baru beberapa belas bulan
lalu lahir. Adik saya yang sejak tahun lalu meneruskan saya mengajar di Ganesha
kemudian mengingatkan hal yang lebih ironis, "Mana besok [Ilham, Uzi,
Rara] masuk sekolah..." Ah, iya, besok hari pertama Uzi dan Rara, anak
kembar Pak Indra, masuk SMP. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya
masuk sekolah baru dengan babak kehidupan yang juga baru tanpa ayah yang selama
ini mewanti-wanti belajar yang keras agar bisa masuk sekolah yang baik.
Pagi itu, saya juga menyesali keputusan untuk tidak pulang pada pekan
ini ke Bandung. Andai saya pulang, saya bisa memberi penghormatan terakhir
kepada atasan yang dengan baik hati telah membesarkan saya selama 5 tahun. Saya
berutang budi banyak sekali kepada beliau. Berat sekali akhirnya saya hanya bisa mengirim sms belasungkawa
kepada Bu Tari.
Terduduk di kamar asrama, saya teringat pembicaraan pada suatu malam di
Ramadhan tahun 2011, sehabis acara buka bersama Ganesha dalam perjalanan
kembali menuju Cibiru setelah mengantarkan guru-guru cabang di area belakang.
Di mobil ada Bu Sukroh yang menyetir, Pak Tedi di sebelah Bu Sukroh, dan saya
yang duduk di kursi tengah Avanza.
"Gimana ya, Pak, Bu, kehidupan kita nanti setelah ini?" tanya
saya memecah kantuk Bu Sukroh yang bosan dengan pemandangan jalan raya yang
gelap-gelap saja.
Agak lama tak ada jawaban, akhirnya Pak Tedi buka suara, "Ya, yang
pasti akan bertambah baik." Bu Sukroh mengamini namun pikiran saya masih
melayang. Iya ya akan
seperti apa hidup setelah ini, duh lulus kuliah juga belum, begitu pikir saya
saat itu.
Saat bertanya itu, saya sedang takut-takutnya berpisah. Saat itu,
terutama setelah outing Ganesha ke Pangandaran akhir tahun 2010, silaturahmi guru-guru
Ganesha sedang erat-eratnya. Pak Indra juga sedang nyaman-nyamannya mengayomi
kami. Persoalan padatnya jadwal promo -yang selalu berhasil saya hindari karena
malas bangun pagi dan dibalut alasan, "Ada kuliah, Pak," dan iritnya
jatah fotokopi latihan soal adalah
hal lain. Yang jelas, Ganesha adalah rumah kedua, literally, bagi saya dan guru-guru lain. Bagaimana tidak, di
Ganesha kami bisa
menghabiskan waktu untuk mengajar sejak jam 7 pagi sampai setengah 9 malam,
bahkan dari Senin hingga Minggu, minimal di 6 cabang, tak terhitung jumlah kelas yang dipegang.
Ya, tentu tidak setiap hari jadwal full Senin-Minggu seperti itu. Hanya beberapa kali saja di musim ujian. Lagipula ada jeda-jeda
tertentu di antara kelas pukul 7-20.30. Meski lelah, nyatanya padatnya jadwal tersebut tidak membuat stres karena jalinan kebersamaan dengan murid, pengajar, dan sekretaris cabang juga
begitu kuat. Kedekatan dengan
Pak Indra dan keluarga juga sangat erat karena frekuensi peredaran Pak Indra,
Bu Tari, Ilham, Uzi, dan Rara yang juga tinggi ke berbagai cabang.
Kembali pada ingatan
saya akan malam Ramadhan di Avanza kantor, pembicaran itu sampai saat
ini selalu terasa nyata. Terlebih saat ternyata perpisahan itu mulai datang
pelan-pelan menyerang
lingkaran pertemanan saya yang tercipta karena lamanya jam beredar di Ganesha
dan mendapat jadwal berdekatan. Pak Tedi mulai sibuk di kantor barunya sehingga hanya
mengajar di malam hari dan akhir pekan –lalu belakangan menghilang lalu juga
menikah, Bu Ina pindah ke Jakarta, Bu Sukroh dan Pak Rian makin jauh
melanglangbuana ke cabang-cabang baru, Bu Egy mengajar di sekolah dan lebih
banyak mengambil jadwal di Cicalengka, Pak Ajat menikah, Pak Dicky menikah, Bu
Ely dan Bu Sukroh juga menikah, dan beberapa bulan selepas saya lulus saya juga
hijrah ke Jakarta. Kini, perpisahan itu makin terasa dengan berpulangnya Pak
Indra ke sisi Sang Pencipta tanpa disangka-sangka karena sakit yang juga
tiba-tiba.
Entahlah, rasanya……Byaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr….hal
yang dulu retak-retak kini berhamburan pecah, hilang, dan meninggalkan banyak
pertanyaan kenapa.
Saya benci sekali
dengan perpisahan meski dalam hati saya selalu berusaha menerima bahwa
perpisahan adalah hal yang pasti akan selalu saya alami. Pun mengenai
perpisahan yang ini, yang bagi saya tak ubahnya seperti perpisahan dengan
keluarga. Pak Indra, orang yang selalu kami ‘jaga’ kehadirannya dengan sms
notifikasi semacam,
“Bu, jangan telat ya, Pak Indra udah otw ke
Rancaekek dari Cicalengka,”
“Bu, Pak Indra lagi di Ujungberung ngga?”
“Si Bapak mau kemana Bu, habis ini?”
bagaimanapun juga
adalah orang baik yang pernah memperkerjakan saya selama 5 tahun. Saya masih
ingat saat pertama kali melamar pekerjaan, dites mengajar, diwawancarai oleh
beliau saat saya masih menjadi mahasiswa semester 2. Kepercayaan beliau untuk
menerima saya menjadi pengajar Bahasa Indonesia, lalu bertambah menjadi
pengajar Bahasa Inggris pada saat itu adalah pintu yang dibukakan Allah untuk
saya sehingga bisa hidup baik-baik saja selama kuliah. Gaji yang diterima tiap
bulan tentu adalah salah satunya, tetapi yang lebih terasa hingga kini adalah
ilmu dan kepercayaan diri yang terbangun selama di Ganesha.
Mengingat sosok Pak
Indra, beliau adalah orang yang sangat kompleks dalam pemikiran saya, bahkan
hingga saat ini. Itu juga yang menyebabkan saya masih belum bisa percaya bahwa
Pak Indra sekarang sudah tiada. Dedikasinya yang begitu luar biasa akan usaha
yang dibangunnya susah payah adalah hal yang begitu sulit dirumuskan dengan
kata-kata. Kadang saya sebal pada Pak Indra. Biasa, bawahan males mah kayak
begini hehe. Kadang saya paham dan menghargai juga mengapa Pak Indra mengambil
keputusan A, B, C, dan sebagainya. Kadang Pak Indra juga nampak acuh dengan
beberapa persoalan. Tapi tak jarang pula saya malu dan salah tingkah karena Pak
Indra tahu hal-hal personal dan percintaan saya hahahaha. Pernah pula Pak Indra
nampak keras kepada anak-anaknya dari soal jajan di luar hingga jadwal les yang
sangat padat. Namun saya juga tersentuh saat melihat Pak Indra bercengkrama dengan
anak-anaknya saat jeda jadwal belajar. Saya juga terpesona saat saya tahu Pak
Indra memanggil Bu Tari dengan panggilan, “Yang” di umur mereka yang senior dan
di depan kami semua.
Mengingat lagi
pembicaraan di Ramadhan 3 tahun lalu itu, perginya Pak Indra tadi malam Ramadhan
kali ini telah membuat tradisi Ramadhan yang baru bagi Ganesha. Biasanya tiap
Ramadhan Pak Indra akan mengumpulkan kami dalam acara buka bersama. Saya selalu
mendapat jatah membuat angket guru dan cabang, jadi MC dengan Pak Rian, dan
ikut mengantar pulang guru-guru dengan
Bu Sukroh dan Pak Tedi. Bu Ely belanja hadiah, menyiapkan jadwal acara,
makanan, dan dekorasi. Bu Sukroh jadi seksi sibuk segala urusan dalam dan
transportasi. Pak Tedi menyiapkan slide acara dan pernah juga jadi ustad
dadakan. Semua bergembira, terutama Pak Indra. Beliau banyak sekali menebar
senyum –meski sempat juga tegang saat menyempaikan evaluasi tahunan hihi-, menyapa
dan meledek guru dengan akrab, dan semangat mengajak foto bersama. THR dan
bingkisan juga menjadi penyemarak. Ah, Pak Indra.
Mulai kini, sepeninggal
beliau, entahlah bagaimana Ramadhan akan terlewati. Semua pasti akan berbeda
tanpa Pak Indra meski saya yakin semua juga akan tetap baik-baik saja atau bahkan lebih baik lagi seperti yang
diyakini Pak Tedi. Sudah banyak kebaikan yang ditanam Pak Indra, baik bagi
Ganesha dan bagi keluarganya sehingga tentu ya…hidup akan selalu berjalan
dengan baik. Ya tapi, kehilangan itu akan selalu terasa.
Ada yang berkata bahwa
orang yang meninggal pada bulan Ramadhan adalah orang baik. Saya jadi curiga
bahwa memang memang kejadian yang begitu mendadak ini adalah skenario yang
sengaja dibuat untuk menunjukkan bahwa Pak Indra memang orang baik. Ah, tapi bagi
saya, beliau memang orang baik, tidak peduli beliau meninggal pada bulan
Ramadhan atau bukan. Kalau saya menyesali mengapa beliau meninggal pada bulan
Ramadhan tadi malam, itu hanya karena saya merasa masih berutang budi pada
beliau dan belum sempat mengunjunginya setahun ini, bahkan ketika saya mendapat
kabar beliau masuk rumah sakit dan malah kini niat saya ditikung ajal. Sedih
sekali rasanya saya hanya bisa mengantar kepergian beliau melalui posting ini
dan sedikit doa tadi pagi.
Saya tidak tahu harus
menulis apa lagi. Perasaan saya masih penuh dan otak saya masih berusaha
meyakinkan diri bahwa Pak Indra sudah tiada. Sementara ini, saya hanya bisa
mengucapkan, “Selamat jalan, Bapak. Banyak tersenyumlah di sana.”
Ark.Jul’14.