Sebal yang Kini Tak Bisa Sembarangan

Rasa sebal bisa terjadi karena banyak sebab musabab. Saya pernah disebali oleh orang yang baru mengenal saya hanya karena saya mirip dengan mantan orang yang kini jadi kekasihnya. Saya mahfum. Sebagai sesama perempuan, saya tahu rasa sebal itu. Haha.

Saya juga sebal kepada banyak orang untuk alasan-alasan yang tak masuk akal. Tidak hanya untuk alasan kepentingan bersama seperti bau yang menyeruak setiap kali ia mengayunkan tangannya, tetapi juga untuk alasan nonteknis seperti karena ia adalah teman perempuan pacar saya yang saat bertemu di toilet umum tidak membalas senyum saya. 

Saya akui, saya mudah sebal untuk hal-hal yang kelewat antimainstream di benak saya. Hal-hal yang tidak pernah saya temui sebelumnya dalam hidup saya yang tenang. Hal-hal yang terjadi tidak sesuai dengan ekspekstasi saya. Hal-hal yang mengingatkan saya akan hal-hal yang tidak ingin saya tahu dan rasakan. Hal-hal yang mengganggu secara kodrati dan terlintas begitu saja. 

Dulu saya mudah mengekspresikan rasa sebal saya tanpa berpikir panjang. Waktu SMP saya pernah menenpeleng kawan lelaki saya karena ia terasa begitu mengganggu selama seminggu memamerkan nilainya yang 10 sementara saya hanya 9. Saya juga pernah mengalami teror kelas saya dikepung belasan kakak kelas karena saya bersikeras tidak mau memberikan komputer umum di perpustakaan saat kakak kelas saya menyelonong hendak memotong antrian saya. Itu hanya dua kisah heroik. Sejak TK, tiap tahun saya memiliki tumbal berupa orang yang terlibat baku mulut dan baku hantam dengan saya tanpa memandang gender dan usia. Prinsipnya, saat saya menganggap dia aneh karena tidak sesuai kaidah yang saya terima dalam sistem pendidikan saya, saya akan mati-matian membela keyakinan saya dan memojokkannya. 

Namun demikian, nampaknya saya kini harus mulai mengendalikan ketidaksukaan saya kepada orang. Alasannya klise, karena saya adalah makhluk sosial yang kelak pasti akan membutuhkan bantuannya. Dorongan lain adalah rasa tidak nyaman setiap kali saya harus bertemu dia dengan perasaan yang selalu gondok. Pertimbangan ini tentu berbeda dari pertimbangan saya saat mencoba untuk tidak sering-sering sebal kepada pacar saya. Untuk pacar, alasan saya adalah demi terwujudnya relasi sehat yang dilandasi oleh kesalingpahaman dan belajar untuk menertawakan hal-hal yang menyebalkan di masa kini menjadi hal lucu di masa mendatang. Plus, apalah saya ini yang sebenarnya juga memiliki banyak hal menyebalkan di mata pacar saya. Saya tentu tidak boleh kufur nikmat untuk gampang sebal dengan kebiasaan pacar saya yang kalau kentut buru-buru menempelkan hape ke pantat agar saya juga menikmati kentutnya dari kejauhan, padahal saya juga sering menyuruhnya menunggu saya di bawah terik matahari saat saya masih belum selesai mencatok rambut.

Kalau pilihan untuk banyak berdamai dengan orang-orang yang saya sebali untuk berbagai alasan dan motivasi, ya saya hanya ingin hidup tenang. Saya pikir, janganlah saya sering-sering menampakan ketidaksukaan saya karena ujungnya meja, kursi, pintu, dan silaturahmi menjadi taruhan. Berkarir dari bawah dan sendirian, saya pikir saya harus hati-hati memilih waktu untuk menyerang dan menahan diri. 






Ark.Okt.14