WHY….?
Kartini yang Begitu Menggemparkan
Nggak bisa dipungkiri, saya dan pastinya Teman-teman pembaca anaksawah hidup pada zaman yang memberi kelonggaran kepada perempuan untuk bersekolah dan berkarya. Nah, karena kita terbiasa hidup pada zaman yang kayak begitu, waktu kecil, waktu belum tahu apa-apa soal kesetaraan gender, pernah nggak sih kita mempertanyakan, “Emang Kartini hebat di bagian mananya sampai buku Habis Gelap Terbitlah Terangnya sangat fenomenal?”
Saya pernah mempertanyakan itu, bahkan hingga SMA. Saya sih dari TK sampai SMA nggak pernah absen ikut upacara dan pawai kebaya tiap Kartinian tapi ya saya nggak pernah dapat esensi, seberapa pentingnya sih Kartini?
Saya akhirnya sadar juga bahwa ternyata Tante Kartini ini sangat hebat! Kesadaran ini begitu menggugah! Sama menggugahnya ketika akhirnya saya mengamini bahwa kunci perdamaian Asia Tenggara adalah ASEAN! Ternyata setelah ditelisik lebih dalam, Kartini adalah sosok orang yang bisa think out of the box dan do out of the pattern!
Kartini dalam benak saya yang baru tercerahkan merupakan sosok wanita yang sangat cerdas. Cerdas karena ia mampu merasa janggal dengan keadaan yang dirasa nyaman-nyaman saja oleh wanita yang hidup sezaman dengannya dan dengan kejanggalan yang ia rasakan tersebut ia mempergunakan otaknya untuk mencari tahu kenapa dan harus apa. Proses pencariannya pun tidak hanya ia lakukan dalam satu kali berpikir. Ketika ia melihat perempuan diperistri hanya sebagai syarat pelengkap status sosial laki-laki tapi perempuan itu malah merasa senang, Kartini melihat bahwa kebahagiaan perempuan tersebut bukanlah murni suatu kebahagiaan melainkan ejawantah dari kepasrahan perempuan kepada laki-laki untuk menjamin hidupnya karena perempuan itu sendiri sebenarnya tidak bisa berjuang untuk hidupnya sendiri. Kepasrahan tersebut merupakan buah dari tekanan yang dialami perempuan yang diturunkan turun temurun dan diwacanakan sebagai kodrat. Hasilnya, ya perempuan begitu-begitu aja. Terkungkung dalam kebodohan dan nggak punya daya untuk keluar dari lingkaran mitos kodrat.
Itulah. Saya kagum dengan Kartini bukan karena ia wanita dari golongan menak yang mau turun ke rakyat dan membangun sekolah untuk rakyat berjenis kelamin perempuan dan digenderkan sebagai feminin. Saya juga bukan kagum karena ketika mengajar ia masih menggunakan kebaya. Oke, mungkin alasan saya kagum terlalu masuk ke golongan Naïve Deductive Theory, tapi nggak apa-apa lah, daripada saya bilang saya kagum dengan atribut kebaya Tante Tini. Kekaguman saya kepada Kartini lebih didasari pada pandangan saya yang melihat bahwa Kartini merupakan orang cerdas yang mau mempergunakan otaknya secara maksimal. Dari ide yang out of the box, ia mampu membuat sebuah perubahan. Do out of the pattern.
Relasi dengan Kebaya?
Nah, karena saya melihat Kartini sebagai tonggak kemerdekaan berpikir, saya jadi nggak bisa melihat relasi dan relevansi antara kebaya dengan Kartini.
Bagi saya ya itu, kepahlawanan Kartini bersumber dari otaknya, bukan dari kebayanya. Apa sih yang mau kita teladani dari atribut kebaya yang digunakan Kartini? Bukankah memang sudah sewajarnya Kartini mengenakan kebaya karena dia memang putri seorang bangsawan yang pastinya nggak mungkin kalau dia pakai baju kemben dan jarik ala pemeran figuran Tutur Tinular yang jadi rakyat jelata? Dan apakah Kartini menyisipkan pesan khusus tentang emansipasi melalui kebayanya? Saya nggak menemukan pesan khusus mengenai emansipasi dari mitos kebaya itu. Saya melihat Kartini dengan kebayanya yaaaaa sepintas seperti saya melihat saya pakai celana jins pas kuliah karena udah kultur dan tren berpakaiannya seperti itu. Kalau pun di dalam kebaya itu makna konotatif, makna konotatif tersebut saya lihat tidak ada sangkut pautnya dengan dukungan terhadap emansipasi. Malah saya melihat bahwa kebaya merupakan hal yang kontroversi dengan pemikiran Kartini!
Pertama, kebaya beserta sanggulnya merupakan simbol keningratan. Nggak semua orang bisa membeli kebaya dan memakaianya secara lengkap beserta sanggul dan selop setiap hari, kan? Nah, di sini saya melihat kebaya sebagai symbol keningratan. Dengan status itu, maka kita melihat sebuah pembeda atau ketidaksetaraan antara wanita itu sendiri. Dengan kebaya beserta sanggulnya yang rapi itu, Kartini tetap bertindak sebagai menak yang derajatnya lebih tinggi daripada rakyat yang ia ajar. Melalui kebaya tersebut malah Kartini menindas kultur wanita yang berkultur rakyat jelata. Ya, memang, Kartini dengan hasil pengamatan dan perenungannya memang menyimpulkan suatu penindasan yang dialami perempuan dan berkeinginan untuk memupus semua itu. Tapi permasalahannya, pandangan tersebut terlalu subjektif. Terlalu berpusat pada dirinya. Ketika Kartini membuat suatu wadah untuk mengentaskan perempuan dari penindasan, ia membuat metode yang benar dan tepat menurut dirinya, menurut kelasnya, tanpa melepaskan atribut keningratannya. Ia tidak melepas kebayanya lalu menggantinya dengan penampilan yang lebih merakyat, yang lebih bisa menyentuh dan mewakili penindasan yang dialami mayoritas perempuan rakyat jelata. Kartini tetap dengan kebaya tersebut. Kartini tetap melihat keadaan perempuan dari kacamata ia sendiri, yang ia rasa janggal dan harus dientaskan.
Kedua, kebaya menuurut saya adalah symbol pembatas bagi perempuan yang justru disematkan sebagai symbol keanggunan dan kebanggaan bagi perempuan. Keanggunan dan kebanggaan itu mitos! Ada makna konotatif lain di dalam kebaya. Saya sering mendengar ucapan manis dari banyak narasumber yang disiarkan oleh media massa bahwa kebaya dan jarik sebenarnya tidak membatasi gerak kita, perempuan. Ya, secara kasat mata memang demikian. Kita masih mungkin kok jogging pakai kebaya, itu kan hanya masalah pengikatan jarik dan model kebayanya saja bagaimana. Tapi, masalahnya bukan dari signifier tersebut melainkan dari signified atau ide dari alat budaya tersebut. Dengan menggunakan kebaya, meski kita masih bisa ikut terjun payung atau rock climbing, kita terikat oleh ide bahwa perempuan yang memakai kebaya itu harus behave supaya terlihat anggun dan memesona.
Nah, terus apa salahnya gituh kalau perempuan nggak terlihat anggun dan memesona? Kita nggak pernah dapat jawaban pasti dari pertanyaan ini. Kalau saya tanya ke nenek saya, nenek temen saya, nenek murid saya, nenek guru saya, dan nenek Teman-teman pembaca anaksawah, jawabannya ga bakal beda jauh walaupun mereka nggak pernah ikutan training kebaya se-Indonesia, “Perempuan itu kalau nggak anggun sulit dapet jodoh…”
Argh! Apakah keanggunan dan keelokan yang saya perjuangkan melalui kaki yang rapat di balik jarik *padahal saya terbiasa jalan ngangkang* dan perut yang sok rata karena stagen *padahal sebenarnya perut saya buncit akibat makan malam* hanya bermuara pada JODOH aka PRIA?
Ini lho yang membuat saya bertanya-tanya kenapa sih kebaya harus kita bawa-bawa ketika kita merayakan kelahiran Bu Tini. Kebaya itu justru controversial dengan emansipasi. Ketika kita terikat dengan ide anggun ketika memakai kebaya, kita terikat pada ketergantungan kita kepada laki-laki sekaligus terikat pada pembatasan bahwa hidup kita nanti akan dibaktikan kepada laki-laki sehingga ngga ada alasan bagi kita untuk memaksimalkan kompetensi hidup kita. Susah amat sekolah toh juga nanti bakal hidup di depan kompor, kalau mau hari tua bahagia, dapatkan pria mapan dengan menjaga keanggunan, pemikiran itu yang tertanam dari balik kebaya. Ketika Kartini membuka sekolah dan mengajar dengan menggunakan kebaya, Kartini juga sebenarnya nggak bebas-bebas amat dalam berpikir karena dia masih terikat pada mitos yang ia anggap day to day life saja. Mungkin yang ada di benak Kartini, “Lha wong baju saya cuman kebaya dan saya terbiasa pakai kebaya terus mau ngapain?”
Tapi justru ini kekurangan Kartini. Kartini ternyata cerdas dalam melihat penindasan tapi kurang jeli dalam melilhat makna konotatif. Kalau Kartini bangun dari kuburnya, semoga Jumat pukul 09.40 dia mau mampir ke kelas Studi Budaya deh.
Dengan poin kedua mengenai kebaya tersebut, saya jadi melihat bahwa kebaya merupakan salah satu alat untuk memperkukuh maskulinitas dan superioritas pria. Ya, kebaya memang bukan pakaian pria, tapi justru dengan pengidentifikasian kebaya dengan wanita itulah laki-laki memperkuat supremasi maskulinitas dan superioritasnya terhadap perempuan. Karena dengan kebaya dan idenya yang membuat kita terbatasi secara gerak fisik dan gerak otak, kita sulit turun tangan ke ranah yang dikuasai pria. Masalahnya lagi, meski saat ini kita nggak tiap hari pakai kebaya, ide mengenai keanggunan ala kebaya itu tertanam dengan kuat di otak kita. Kita terbatasi secara fisik dan mental. Kita terdoktrin untuk menjadi perempuan ala kebaya. Kalau kita nggak jadi perempuan kebaya, jangan harap bisa nikah muda dengan pria mapan yang aduhai. Kebaya adalah kepasrahan dan pengakuan kita secara tidak langsung bahwa kita definitely needs men! Both for money and affection. Kebutuhan kita yang begitu mutlak dan terikat itu justru bertabrakan dengan ide emansipasi, ide kebangkitan. Dan penindasan yang begitu halus tersebut lahir dari sebuah kebaya yang malah kita pakai setiap Kartinian.
Saya Cinta Kebaya, kok, tapi Hanya sebagai Benda Budaya
Ya, di sini saya bukan mau mengatakan bahwa kebaya adalah hal buruk yang harus kita tumpas. Sama sekali enggak. Saya cinta kok sama kebaya. Saya juga suka kalau saya pakai kebaya. Namun, kecintaan saya pada kebaya hanya sebatas pada kebaya sebagai benda budaya. Secara ide, dengan argumentasi yang tadi saya paparkan, sampai saat ini saya menyimpulkan bahwa kebaya adalah salah satu pembatas bagi perempuan yang bersumber dari keinginan pengukuhan maskulinitas dan superioritas pria.
Secara ide, saya kurang setuju dengan pemakaian kebaya pada hari Kartini. Pertama, jelas kebaya adalah salah satu tanda budaya yang tidak disadari oleh Kartini sebagai hal yang berseberangan dengan ide emansipasinya padahal jelas kebaya adalah symbol keningratan dan kepasrahan wanita. Nah, karena itulah di sini harus kita pahami bahwa pengidentikkan kebaya dengan Kartini adalah sebuah salah kaprah. Kartini sendiri sepertinya tidak meninggalkan pesan melalui kebayanya. Ia memakai kebaya sepertinya karena ia nggak ikutan kuliah Stubud pada zamannya. Nah, itu alasan kedua. Kebaya mah jangan dibawa-bawa dalam perayaan hari Kartini soalnya Kartininya juga nggak melihat sinyal bahaya dari kebaya jadi pemikiran dia jangan disangkutpautkan dengan sehelai kebaya dan sehelai jarik.
Nah, kalau melihat fenomena pengidentifikasian kebaya dengan dua puluh satu April, saya jadi mikirnya gini, kayaknya nih kita-kita orang Indonesia senengnya merayakan sesuatu hal secara seremonial, belum secara substantive. Karena Kartini atributnya pakai kebaya, makanya kita bikin karnaval kebayaan biar mirip Kartini. Tapi sebenarnya yang harus kita teladani dan renungi kan bukan kebayanya Tante Kartin, emangnya dia model Anna Avantie dan Dedi Dores.
Yang harus kita teladani dan sempurnakan adalah pemikiran dan semangatnya untuk mengentaskan penindasan, meski ya memang itu masih sangat subjektif dari pengamatannya sendiri sehingga ia mencari metode yang sesuainya sama kalangan dari kelas sosial dia sendiri. Kita tuh sebenarnya tahu masalah ini, tapi kita terlalu senang untuk memvisualisasikan suatu hal yang abstrak melalui simbol-simbol. Tapi salah. Simbol yang kita agungkan sebenarnya tidak relevan dan memliki relasi yang sangat kecil dengan substansi yang seharusnya kita rayakan.
Ini baru dari segi kebaya. Belum dari segi kenapa harus tanggal 21 April? Itu kan ulang tahunnya Kartini. Apa hubungan antara hari ulang tahun dengan pemikiran seseorang? Kenapa kita nggak merayakan hari Kartini pada tanggal ketika Kartini membuka sekolah untuk perempuan atau ketika buku Habis Gelap Terbitlah Terang terbit dan menggugah hati manusia lain yang hidup sezaman dengannya? Kenapa sih harus 21 April? Kurang mengenai sasaran menurut saya.
Yah, begitulah. Jadi bingung mau ngomong apa lagi. Saya kagum terhadap pemikiran Kartini, bukan terhadap kebayanya. Namun bukan berarti pula saya ingin membinasakan kebaya sebagai benda budaya, saya cuman pengen ide yang melekat di kebaya itu memudar seiring dengan perkembangan emansipasi.
Ark.Apr’10.