Sindiran Sosial dalam Pemakanaan Godzilla secara Konotatif

Dari beres kuliah Cultural Studies Jumat dua pekan lalu sebenernya saya udah gatel buat posting tapi pas depan komputer entah kenapa tiba-tiba saya lupa saya mau nulis post apa. Hehe. Sekarang mumpung ingat, mari saya tulis! Haha.

Akhirnya setelah ditunggu-tunggu sekian lama, kuliah Cultural Studies akhir Maret lalu diramaikan oleh model yang dibawa Bima. Bukan model macam perempuan ramping atau pria berperut six packs dengan bentuk udel yang menggoda melainkan film documenter dari Bima. Film itu menceritakan budaya Jepang, khususnya budaya film horror.

Jepang memiliki terminology horror yang berbeda dengan kita. Saya juga baru mengetahuinya setelah Bima mempresentasikan intisari film dokumenter buatan BBC Inggris tersebut. Horor bagi Jepang tidak melulu tentang hantu. Film macam Godzilla juga termasuk dalam genre horror kalau di Jepang mah.


Rentetan Cerita Godzilla

Nah, ini kajian saya yang pertama. Horror kan artinya menakutkan, nah ketika Jepang memasukkan film Godzilla ke dalam genre horror, maka kita akan melihat persepsi orang Jepang akan rasa takut.

Kalian masih hapal jalan cerita Godzilla kayak apa? Kita mulai dari sosok Godzilla itu sendiri. Godzilla sih jelas banget itu fiktif. Tapi melalui kefiktifan tersebutlah kita bisa melihat gambaran ketakutan orang Jepang itu seperti apa.

Bayangkan lagi seperti apa Godzilla. Godzilla itu monster. Godzilla itu gede. Godzilla itu mampu menghancurkan kota dengan sekali tebas, libas, rengkuh, gigit, dan remas. Godzilla juga ga mempan senjata konvensional. Nah, lalu dari jalan cerita. Godzilla itu lahir dari kadal yang terkena radiasi nuklir warisan Hiroshima Nagasaki. Godzilla itu gara-gara suatu masalah yang diakibatkan oleh keteledoran manusia akhirnya tersulut kemarahannya lalu menyerang kota. Ingat kota, bukan desa. Dia menginjak-injak dan meluluh leburkan pusat modernitas Jepang macam gedung pencakar langit, stasiun bawah tanah, pusat perbelanjaan, apartemen, mobil, kereta Shinkansen, dan beragam pusat peradaban lainnya. Namun sebenarnya Godzilla tidak jahat. Kemarahannya hanya disebabkan jika ia diganggu duluan. Godzilla malah menjadi pahlawan bagi Jepang. Ketika Jepang diserang oleh makhluk luar angkasa yang entah dari mana, Godzilla muncul dari lautan lalu melawan si alien sampai aliennya kalah.


Sindiran Sosial

Nah, mari kita runut. Penggambaran Godzilla yang begitu seram dan besar tersebut mengisyaratkan bahwa orang Jepang memiliki ketakutan yang sangat besar terhadap suatu sosok yang memiliki kekuatan untuk menghacurkan pusat modernitas Jepang. Parahnya, si sumber ketakutan tersebut juga tidak mempan dengan segala macam persuasi dan ancaman, ini terlihat dari kekebalan Godzilla yang sudah dikasih ratusan peluru dan bahan peledak. Tapi, Godzilla yang kita anggap sebagai sumber ketakutan orang Jepang tidak tinggal di luar territorial Jepang. Ia malah tinggal di laut wilayah Jepang. Saya melihat hal ini sebagai pertanda bahwa ancaman yang ditakuti orang Jepang tersebut tidak berasal dari luar tetapi dari dalam negerinya sendiri.

Lalu kita runut lagi dari sejarah terciptanya Godzilla. Dari radiasi nuklir! Radiasi nuklir dari bom atom yang dijauhkan sepuluh hari sebelum hari kemerdekaan Indonesia itu ternyata mampu mengubah seekor kadal yang tidak tahu apa-apa menjadi mutan mengerikan. Saya melihat hal tersebut sebagai symbol bahwa bom atom yang dijatuhkan Sekutu karena keserakahan Jepang menambah daerah jajahan mengakibatkan korban dari kalangan masyarakat yang tidak tahu apa-apa. Luka Hiroshima dan Nagasaki tersebut mengubah kehidupan mereka dengan begitu pesatnya, dari awalnya kadal menjadi Godzilla, hingga mereka pun terpaksa mengungsi dari tempat tinggalnya.

Coba kita lihat dimana tempat tinggal Godzilla, di laut kan? Kita sendiri tahu bahwa laut merupakan tempat luas yang tenang tapi menyimpan bahaya gelombang dan badai. Nah, di tempat seperti itulah mutan korban Hiroshima Nagasaki tinggal.

Nilai yang dapat kita tarik dari Godzilla adalah Godzilla merupakan bagian masyarakat Jepang yang menjadi korban langsung perang dunia yang berpotensi menghancurkan Jepang karena protes mereka atas modernitas Jepang. Pasca-PD II, Jepang menjadi negara yang tidak berkapabilitas militer karena ia dijamin oleh Amerika Serikat namun pesat dalam ekonomi. Simbol kepesatan ekonomi sendiri adalah modernitas Jepang. Selepas peristiwa menyerahnya Jepang kepada Sekutu, Jepang yang tradisional dan lekat dengan nilai budaya local malah menjelma menjadi negara modern, maju, dan kaya. Bisa jadi Godzilla adalah representasi masyarakat yang masih ingin mengedepankan budaya local ketimbang modernitas.
Lalu ketika Godzilla tidak mempan ditembaki peluru dan bahan peledak, nilai yang bisa kita ambil adalah betapa kuatnya masyarakat adat Jepang memegang tradisi, nilai, dan ideologinya. Seperti apapun bujukan dan rayuan serta sekuat apapun tekanan yang dialamatkan kepada mereka, mereka tidak akan goyah menentang modernitas Jepang.

Namun demikian, ada yang perlu kita catat dari keberadaan Godzilla ini. Di satu sisi mereka memang menakutkan. Mereka adalah sumber ketakutan masyarakat Jepang pada umumnya. Di sisi lain, kita harus mencatat bahwa satu, kedatangan Godzilla ke pusat peradaban tidak sekonyong-konyong saja, tapi setelah dipicu suatu sebab. Ini menyiratkan bahwa para kaum adat ini juga sebenarnya tidak jahat. Kemarahan mereka hanya muncul apabila ada faktor pengganggu. Lalu dua, saat kita melanjutkan tontonan hingga pada bagian kedatangan alien yang hanya dapat dilawan oleh Godzilla, dimana saya melihat alien ini sebagai symbol kedatangan budaya, pengaruh, ancaman, tekanan dari luar teritori Jepang dan Godzilla sebagai pemegang adat local yang sangat kuat, maka nilai yang bisa kita tarik adalah sebenarnya betapa besar potensi yang dimiliki oleh nilai lokal Jepang untuk menangkal bahaya dari luar.

Saya sendiri pada akhirnya melihat film Godzilla made in Japan ini sebagai suatu sindiran sosial bahwa,
  1. Keserakahan Jepang di masa lalu dalam hal wilayah menyebabkan Jepang mengorbankan rakyat yang tidak tahu apa-apa dan tidak berambisi apa-apa
  2. Perubahan Jepang menjadi negara yang super modern sebenarnya tidak didukung oleh seluruh rakyat Jepang
  3. Jepang kerap menekan masyarakat yang menganut nilai lokal dengan kuat melalui berbagai cara, halus maupun keras karena mereka dianggap sebagai musuh internal Jepang
  4. Jepang tidak menyadari bahwa tidak selamanya hal yang berasal dari luar merupakan hal yang baik. Justru hal tersebut sebenarnya adalah ancaman bagi Jepang sendiri.
  5. Kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan diri dari serangan dari luar, baik serangan fisik maupun ide, adalah dengan menjunjung nilai-nilai local, yang sayangnya sering dilupakan oleh pemerintah dan rakyat Jepang lainnya.

Bermain dalam Pemaknaan

Sama seperti Sinchan, ternyata Godzilla yang sangat fiktif ini memiliki pesan sosial yang tinggi. Pesan sosial tersebut hanya akan dapat terlihat jika kita mau melihat Godzilla berdasarkan pemaknaan yang konotatif, bukan lagi sekedar pemaknaan yang denotative yang tampak dengan mudah dalam bentuk isual, deskriptif, dan literal. Ini yang membedakan film bagus dan film jelek. Pada film yang bagus, tingginya sisi idealis dalam pesan moral tersebut terkadang membahayakan pembuat film tersebut karena memang bermaksud untuk menyindir pemerintah dan kaum mayoritas, namun hal tersebut tidak lantas membuntukan idealisme tersebut. Pesan moral berupa sindiran sosial tersebut bisa mereka selimuti dengan visualisasi yang netral dan imajinatif. Bayangkan, Godzilla, si makhluk jelek mengerikan, dan bau amis ini, siapa yang akan menyangka bahwa ia adalah sindiran betapa buruknya citra yang dimiliki oleh kaum adat di mata kaum modernis. Orang Jepang pun pintar dalam memilih jalur imajinatif fiktif sefiktif-fiktifnya sebagai wadah penyaluran sindiran. Dengan jalan cerita yang penuh petualangan dan imajinasi tersebut, mereka bebas mengeksplorasi imajinasinya untuk menyuarakan sindirannya sekaligus menyebarkan sindiran tersebut dengan bebas tanpa control dan sensitivitas pemerintah dan kaum mayoritas.

Pada film jelek, ada dua kemungkinan. Satu, pesan moral atau sindiran sosialnya tidak ada. Ini yang sering terjadi di industri perfilman Indonesia. Film yang dikeluarkan kebanyakan film yang memiliki muatan komersil yang tinggi meski dengan melecehkan kaum-kaum marginal. Pemaknaannya benar-benar denotative dan sulit dieksplorasi bagaimana makna konotatifnya. Kedua, film tersebut kurang mengeksplorasi imajinasi-imajinasi yang bisa membalut pesan sosial sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan resistansi dari banyak golongan. Ini juga sering terjadi di Indonesia. Saya sendiri sebagai penulis melihat bahwa penulis cerita dan penulis scenario di Indonesia terlalu vulgar dalam menyampaikan sindiran sosial. Akibat yang didapat, film tersebut mengalami penyensoran yang tentu mengerdilkan pesan sosial yang sebenarnya ingin ia sampaikan. Belum lagi meski kita menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, kita belum menyatu dalam kesatuan ideologi media. Tidak ada keseragaman yang terlihat dari industri film Indonesia.

Sebenarnya film, karya sastra, manga merupakan sarana yang potensial untuk menyuarakan sindiran sosial secara bebas. Namun permasalahannya, sejauh mana kita bisa menggali symbol-simbol yang sesuai dengan kebutuhan kita sehingga symbol tersebut bisa mewakili pesan sosial yang ingin kita sampaikan tanpa menimbulkan resistensi. Itu yang harus kita temukan. Ada banyak hal-hal yang anomaly di sekitar kita, daripada kita turun ke jalan dan berdemonstrasi namun tidak membawa perubahan apa-apa, mengapa kita tidak meneladani Jepang yang telah mampu menyampaikan sindiran sosial dalam pemaknaan konotatif?


Ark. Apr’10.