Beberapa hari lalu saya ngobrol sama temen saya tentang Idul Adha. Eh, ralat, nggak ngobrol yang gimana sih, saya cuman iseng dan basa-basi aja sebenernya nanyain soal Idul Adha sama dia, tapi gara-gara jawabannya cukup membuat saya terdiam lima detik, saya pun jadi kepikiran untuk membuat posting ini.
Saya : “Idul Adha hari ini atau besok, Pak?
Dia : “Hari ini.”
Saya : “Oh, hari ini? Kenapa?”
Dia : “Kan di Arab hari ini.”
Yak, sampai di percakapan itu saya terdiam. Errrrr. Akhirnya setelah lima detik terdiam, saya cuman bisa menimpali, “Bapak orang Arab?”
Globalisasi
Jawaban si teman saya yang membuat saya terdiam lima detik itu adalah jawaban yang membuat saya berkesimpulan bahwa dia sebenarnya sudah terkena dan terpengaruh oleh angin globalisasi tapi dia nggak sadar, atau tepatnya nggak tahu. Saking dia nggak sadarnya, dia pun menjadi bangga dan mearasa lebih berderajat, tepatnya lebih terpandang alim, saat ia mengucapkan, “Kan di Arab hari ini.”
Jawabannya itu tak ubahnya membuat saya membandingkan ia dengan orang-orang yang dengan nada bangga dan lebih terhormat berkata,
“Ini ‘kan model jam tangan yang dipakai Beckham.”
“Gue nonton Glee, kali. Nggak nonton Cinta Fitri.”
“Di Jepang, baju model kayak gini lagi in, kali!”
Meskipun berbeda negara, nada dan pride yang terkandung dalam perkataan mereka itu sama! Nada yang lebih merasa terhormat karena memiliki atau memilih hal yang berada di luar lokalnya, Indonesia. Namun, ada lagi yang lebih menarik dari nada si teman saya itu. Dengan berkata bahwa alasan ia merayakan Idul Adha pada hari Selasa adalah karena di Arab Idul Adha dirayakan pada hari Selasa juga, dan secara tersirat saya melihat bahwa ia menyimbolkan Arab sebagai Islam, pride yang ia tunjukkan bukan menyangkut soal modernitas seperti yang ditunjukkan pada tiga contoh ungkapan pemujaan terhadap Barat di atas, melainkan menyangkut soal religiusitas. Ketika kita membicarakan sesuatu yang dibalut religiusitas, kita akan terjebak pada suatu membran yang tidak dapat atau sulit kita tembus. Secara halus, kita diancam bahwa hal tesrebut adalah hal yang tidak patut dipertanyakan karena akan mengundang dosa. Kita dibuat percaya bahwa hal tersebut adalah hal yang benar. Dengan kelekatan Arab dan Islam, sulit bagi orang Islam untuk membedakan mana yang agama Islam dan mana yang budaya Arab. Akhirnya, globalisasi Arab pun menjadi begitu langgeng.
Nah, tapi masih ada satu hal lagi yang menjadi kesalahan kita (tentu saja saya juga termasuk, tapi itu dulu, hehe). Kita terlalu terbiasa menggeneralisasi bahwa globalisasi adalah produk Barat. Anthony Mc Grew, Oom ahli globalisasi aja hanya membagi globalisasi dalam lima terminologi, salah satunya adalah westernisasi, khususnya amerikanisasi, padahal kalau kita perhatikan, nggak cuman paham Barat, khususnya Amerika aja yang menghiasi dunia ini. Bagaimana dengan Cina? Negeri ini terkenal dengan diasporanya di seluruh dunia. Ketika anggota bangsa ini menetap di luar tanah Cina, mereka masih dengan lekat mempertahankan adat, budaya, dan falsafah hidupnya, serta menyebarkannya. Dan yang tadi juga, jangan lupakan Arab. Arab dengan Islamnya adalah hal yang paling jelas mengglobal namun jarang dipandang sebagai fenomena globalisasi. Yang dinamakan globalisasi ya hanya westernisasi, amerikanisasi, mcdonaldisasi. Karena pelekatan yang demikian, bagi kawan-kawan yang awam dan terjebak pada Arabisasi-Islamisasi, globalisasi pun dianggap sebagai hal yang berlawanan dengan Arab-Islam. Arab-Islam muncul sebagai sisi putih, sedangkan globalisasi terdemonisasi sebagai sisi buruk, satanik, dan harus dibasmi. Ini lucu karena sebenarnya Arabisasi juga adalah bagian dari globalisasi. Ia juga sejajar dengan amerikanisasi, mcdonaldisasi, dan lain-lain. Hanya saja, ia mengusung kekuatan religiusitas sehingga ia bisa dicitrakan sebagai hal yang lebih baik dalam khazanah para Muslim.
Glokalisasi dan Grobalisasi
Walaupun saya bukan jebolan pesantren dan nggak pernah ikutan lomba MTQ, saya Muslim dan saya juga nggak pernah berniat pindah agama atau bikin tuhan baru. Saya sangat yakin kok dengan Islam. Yang saya kritik dalam tulisan ini bukan Islam, melainkan Arabisasi dan pandangan kawan-kawan saya mengenai Islam dan Arab. Hal yang membuat saya tergelitik untuk membuat tulisan ini sebenarnya adalah kecintaan teman-teman saya yang berlebihan terhadap agama sehingga menafikkan identitas kebangsaan mereka.
Hey, we’re Indonesian!
Kita bukan orang Arab. Kita nggak dosa kok kalau kita berperilaku nggak-Arab-Arab-banget saat kita beragama. Kita harus bisa memilah mana yang Islam dan mana yang Arab. Kalau hal itu memang hal yang Islami, ya kita ikuti dengan sebaik-baiknya, namun jika hal tersebut nyatanya hanyalah budaya Arab, kenapa juga kita harus mengikutinya tanpa penyesuaian?
Hal utama yang ingin saya katakan dalam tulisan ini adalah sudah seharusnya kita mengglokalisasikan suatu hal yang global agar lebih sesuai dengan kepribadian, kebutuhan, dan keadaan kita. Islam adalah hal yang global, hal yang bukan asli punya kita. Hal yang asli punya kita, yang lokal banget, ya identitas kita sebagai orang Indonesia yang tinggal di Indonesia, yang posisi atronomis dan geografisnya jauh dari Arab. Nah, dua hal itu yang harus kita olah. Hasil olahan itu yang dinamakan oleh Roland Robertson sebagai glokalisasi, suatu interpenetrasi antara hal global dan lokal.
Dalam kasus perayaan Idul Adha yang dirayakan teman saya pada hari Selasa, mungkin kalau alasannya adalah karena ia secara langsung melihat hilalnya, ya saya masih bisa menerima alasan tersebut, tapi karena ia mengemukakan alasannya adalah karena di Arab dirayakan hari Selasa, saya melihat suatu kejanggalan. Lah, kita hidupnya kan di Indonesia, jadi kenapa harus ikut Arab? Terpaksa, saya kan jadi berpikir bahwa ia adalah objek yang tergrobalisasi.
Ya, grobalisasi, bukan sok-nggak-cadel-bilang-globalisasi. Ini istilah yang baru saya dapatkan dari artikel-artikel yang didownloadkan oleh dosen saya sebagai bahan UTS dan bahan praktikum. Grobalisasi, menurut oom pionirnya, Oom George Ritzer adalah suatu ambisi dari suatu pihak yang ingin menyebarkan nilai dan produknya ke pihak lain (yang lazimnya ke seluruh dunia) secara paksa sehingga pihak yang menjadi objek tersebut harus terpengaruh, menurut, dan mengikutinya. Paksaan yang dimaksudkan di sini nggak hanya terbatas pada paksaan kekerasan fisik, tapi juga melalui paksaan halus. Seperti yang tadi saya ungkapkan, dalam balutan religiusitas yang sulit ditentang, misalnya. Ditambah lagi, saya juga menangkap ungkapan pride dalam ucapannya saat mengucap Arab sebagai kiblat pandangannya. Seolah-olah kita nggak akan dianggap kaffah kalau kita nggak melakukan ritual Islami ala Arab. Saya nggak bisa menerima itu. Islam memang berasal dari Arab dan so what gitu? Apa kita harus memaksakan diri kita untuk berbudaya Arab?
Satu hal lagi yang membuat saya agak tertegun dan seperti biasa, nggak lancar berbicara (baru lancar mengkritik kalau udah ketemu MS.Word doang, hehe) adalah dialog part dua ini,
Saya : “Berarti takbirannya pas malam Senin kemarin, dong?”
Dia : “Takbiran?”
Saya : “Iya, kan kalau lebarannya hari ini berarti sekarang udah nggak
takbiran dong? Kan udah Senin malam kemarin.”
Dia : “Oh, takbiran kan budaya Indonesia tuh, jadi ya saya takbirannya
di dalam hati aja.”
Saya : Terdiam sesi dua lalu mengucap, “OH.”
Ada yang salah bila takbiran itu adalah budaya Indonesia? Justru bagus, kan? Itu adalah glokalisasi yang saya idamkan. Dengan adanya glokalisasi itu, berarti manusia Indonesia cerdas dalam menyikapi Islam. Saya nggak tahu sejarah takbiran seperti apa, tapi hey sebagai orang Indonesia yang suka heboh dalam merayakan sesuatu, sangat menyenangkan rasanya menikmati malam dengan gempita takbiran! Itu pasti akan menjadi suatu hal yang paling saya rindukan kalau suatu hari nanti saya nggak tinggal di Indonesia. Dengan adanya takbiran, lokalitas saya sebagai orang Indonesia yang masih suka hal heboh dan rame terfasilitasi dalam menanggapi hal global dari Islam berupa Lebaran. Lagipula, meskpiun kehebohan itu punya Indonesia, hal tersebut juga bukankah tidak bertentangan dengan Islam yang memang menghendaki sebarkanlah kabar gembira? Dengan pertimbangan sederhana itu saja, takbiran seharusnya bukan hal yang inferior dalam khazanah si teman saya.
Dari pernyataannya itu juga saya melihat sebenarnya si teman saya itu cukup cerdas untuk membedakan mana budaya dan mana agama, namun ya kembali lagi, saya menyayangkan, mengapa saat membicarakan budaya Indonesia dalam Islam, ia seolah-olah menanggapinya sebagai sesuatu yang nggak terlalu penting untuk dilaksanakan, sedangkan pada wacana praktek Arab dan Islam, ia malah menjadikannya sebagai alasan yang menunjukkan bahwa ia beridentitas Muslim. Bagi saya itu paradoks, janggal, dan saya nggak setuju. Saya jadi melihat identitas kemuslimannya hanya ditentukan oleh seberapa Arabkah ia. Tak berbeda kalau kita berkaca pada orang-orang yang bangga nonton Glee daripada Cinta Fitri hanya karena Glee adalah produk gaul dari AS sehingga mereka bisa kecipratan identitas sebagai anak gaul dan modern, bukan karena secara substansi nonton Glee lebih bermanfaat daripada nonton Cinta Fitri.
Bagi saya, seharusnya ada kebijakan dari dalam diri kita masing-masing untuk menentukan mana substansi dan mana yang budaya serta praktek. Substansi jelas harus dilaksanakan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya, sedangkan budaya dan praktek ya harus disesuaikan dengan ruang dan waktu yang kita huni. Kita harus bisa menjadi subjek yang melakukan glokalisasi, nggak cuman jadi objek grobalisasi.
NB : Saya nggak tahu si teman saya ini bakal baca tulisan ini atau engga, tapi kalau dia baca tulisan ini, saya cuman mau bilang maaf sebesar-besarnya kalau isi tulisan ini menyinggung perasaan dan prinsip dia. Saya sadar sesadar-sadarnya ini adalah hal prisipil yang pasti membuat otak dan jiwa teraduk lalu emosi. Saya juga nggak bermaksud untuk memaksa dia dan Teman-teman setuju dengan pandangan saya. Ini hanya tulisan yang mengungkapkan pandangan dan sikap saya saja dari perspektif saya yang sungguh buta atas perspektif dia dan Teman-teman. Saya yakin pasti dia dan Teman-teman bisa meluruskan pandangan saya yang begitu dangkal ini.
Hmmm, hei , Pak, kalau Bapak baca tulisan ini dan merasa keberatan dengan tulisan ini, saya berharap Bapak mau meluruskan pandangan dalam tulisan ini di kolom komentar.
Buseeet, seolah-olah dia udah setua apa gitu ya saya sapa “Bapak” hehehe. No, itu hanya panggilan di bimbel tempat saya kerja. Aslinya dia cuman beda dua tahun di atas saya dan dia adalah orang yang sangat ramah dan menyenangkan.
Ark. Nov’10.