Saya harus mengakui bahwa selama satu setengah bulan saya lagi susah konsen sama murid-murid saya. Persoalan di kampus yang begitu asyik untuk ditekuni (sampai pengen loncat batu nias) adalah hal pertama yang membuat saya mengedepankan mencatat banyak bab dan soal di papan tulis ketimbang menerangkan satu bab dengan seksama lalu keliling kelas mengawasi cara mereka mengerjakan soal seperti biasanya. Hufff. I feel so sorry about that.
Saya sebenarnya juga mengerti, sih, kenapa dua bulan ini juga murid saya lebih seneng mengobrol daripada tekun dan khidmat belajar. Mood saya yang rusak ternyata memberi celah kepada mereka untuk nggak konsen belajar. Saya mau menegur mereka juga kok kayaknya nggak adil, ya. Kalau saya negur mereka karena megang hape melulu selama pelajaran, lah ya saya juga
Ah, tapi untunglah mereka nggak benci saya. Mereka masih mengidolakan saya. Hahahaha. Nggak penting.
Nah, tapi lama-lama saya risih juga sama mereka. Dua minggu terakhir ini
Nah, akhirnya selama satu minggu, semua kelas yang saya masuki, setelah saya menerangkan sedikit materi dan sedikit soal tapi dengan banyak peer, saya mengadakan sesi curhat. Bukan sembarang curhat. Supaya agak akademis, curhatnya dimasukkan ke dalam materi Conversation. Hehehehhe. Mamam deh curhat pake Bahasa Inggris. Awalnya belepotan dan akhirnya larut dalam percakapan bahasa
#1 Guru di Sekolah Aku Jarang Masuk, kalau Masuk juga Nggak Nerangin, kalau Nerangin juga Ngebingungin, Nggak Ngerti, deh!
Ini adalah masalah klasik yang selalu ada, terutama di sekolah negeri. Nggak usah bawa-bawa sekolahnya sekolah favorit atau pinggiran. Waktu saya SMA juga persoalan saya kayak begini. Kalau saya waktu SMA sih, dalih yang terkenal adalah, “Anak-anak SMA 3
Hey, that’s totally ridiculous!
Ya, saya tahu dan saya ngerti bahwa dalam kegiatan belajar-mengajar atau KBM, murid adalah subjek yang ingin dan harus mendapatkan ilmu. Saya juga paham tentang kurikulum yang selalu disempurnakan, dari jaman CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif, sekitar jaman saya SD), lalu kurikum 2000, 2004, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), dan sekarang KPTS yang kesemuanya memang meletakkan siswa sebagai subjek, sedangkan guru sebagai pendamping dan fasilitator. Hal yang saya nggak ngerti adalah kenapa semua kurikulum yang tujuannnya mencerdaskan kehidupan bangsa macam yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 itu dijadikan sebagai justifikasi bagi guru yang malas mengajar? Dalam kasus saya dan teman-teman saya si anak SMA 3 yang dimitoskan sebagai anak cerdas, ya kami memang memiliki kemampuan penyerapan pelajaran yang baik, namun bagaimana kami bisa menyerap pelajaran jika pelajarannya, paling tidak, konsep dasarnya saja tidak diberikan? Apa yang mau diserap dan dikembangkan?
Nah, kekosongan kepamahan tersebut sebenarnya memiliki dua muara. Muara pertama adalah motivasi untuk belajar lebih rajin di tempat les sebagai alternatif karena sekolah, gara-gara beberapa oknum guru yang malas, nggak bisa berfungsi sebagai tempat belajar yang sebenar-benarnya. Nah, ini kalau anaknya memang rajin, punya motivasi dan cita-cita tinggi, serta paham hakikat hidupnya, Haha. Nah, yang jadi masalah, dan sayangnya, ini yang banyak saya temui pada diri murid-murid saya, adalah jika alur tersebut berakhir pada muara kedua, yaitu ketidakterbiasaan anak-anak untuk berpikir. Karena di sekolah mereka tidak mendapatkan pelajaran yang cukup, mereka jadi nggak tau apa yang harus mereka lakukan. Mereka nggak tahu bahwa ada ilmu yang harus mereka pelajari. Mereka nggak tahu ada soal yang harus mereka pecahkan melalui ilmu tersebut. Mereka nggak tahu kenapa mereka harus les, harus belajar, harus serius. Akhirnya, ketika mereka les, mereka datang dengan kepala kosong dan hanya dengan niat ketemu kecengan doanggggg.
#2 Mmmmm, Aku Mau Ngelanjutin Kemana, ya? Nggak Tahu, Ah! Gimana Nanti Aja…
I hate that answer!
I hate I hear that answer very frequently!
Waktu saya masih sekolah, masih SMP atau SMA, saya suka geleng-geleng kepala sama temen-temen saya yang males belajar, nilainya jelek, remedial tetep dapet jelek, dateng sekolah terlambat, dan di kelas tidur (sama lah kayak saya, segeng, heheheh) tapi kalau ditanya mau ngelanjutin sekolah kemana, mereka dengan pedenya dan entengnya bilang, SMA 3, SMA 5, SMA 8, SMA 2, ITB, Kedokteran, Hukum, Ekonomi, HI, Farmasi, UGM, UI, Unpad, NTU, dll. Saya pikir, perbaikin dulu pola hidup looooo baru bisa songong mau ke
Aduuuuhhhhhh.
Saya syok, oh mai goat, jadi murid-murid saya yang lutchu-lutchu dan unyu-unyu itu nggak tahu mau ngapain setelah UN? Pantas saja mereka lebih senang ngomongin pacar daripada ngomongin Obama makan bakso pake sambel atau engga.
#3 Pacaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrr (Ah, Sh*d, they have, but I don’t! *curhat pribadi*)
Ini adalah hal yang paling membuat saya miris setelah dua hal di atas. Nggak ada hubungannya dengan kepatahhatian saya baru-baru ini, walopun saya rasa ada korelasi yang kuat dengan ketimpangan status sosial antara murid-murid berusia abege yang sedang punya 2 pacar dan 25 mantan dengan seorang guru berusia 21 tahun yang hanya pacaran sebanyak 3x dalam hidupnya dan jumlah itu juga adalah jumlah mantan pacarnya.
Curhat yang paling panjang dalam sesi penggalian masalah berbalut Conversation in English tersebut adalah curhat menyangkut cinta. Ah, gila, saya syok sekali waktu saya tahu berapa jumlah pacar mereka saat ini dan berapa mantan yang mereka punya. Saya lebih syok lagi bahwa selain pacaran, mereka juga masih tebar pesona ke lawan jenis lain dan masih menjalin hubungan tanpa status dengan beberapa lawan jenis yang sudah terpikat pada mereka. Yang bikin saya lebih syok dan hampir menelepon Lee Min Ho supaya segera pulang ke
Kata mereka, pacaran itu untuk memotivasi mereka buat dateng ke sekolah. Kalau nggak ada yang bisa dilihat mah ngapain ke sekolah. Terus, kenapa mereka bermain cinta dengan banyak lawan jenis, itu mah biar nggak bete. Kalau yang satu nggak bales sms, bisa smsan sama yang lain. Kalau yang satu ngeselin, bisa dihibur sama yang lain. Kalau yang satu nyelingkuhin, bisa bales selingkuh sama yang lain. Pokoknya kenapa mereka pacaran dan berhubungan dengan banyak cinta adalah supaya nggak bosen dan nggak sakit hati. Terus, yang penting mah bagi waktu aja dan jangan sampai ketauan. Solusinya, nomer hape jangan satu, hape jangan dipinjam-pinjam, dan pacarannya harus backstreet. Kalau belajar, ya kalau ada peer aja. Percaya, sih saya. Hape saya selalu bunyi tiap malem kalau mereka lagi ada peer. Isinya soal yang mereka harapkan saya kerjakan. Kalau saya nggak bales sms mereka, ya sudahlah mereka smsan lagi sama pacarnya, mantannya, selingkuhannya, pedekateannya, kecengannya. Intinya, mereka nggak belajar.
Huffff. You guys, don’t ever ever ever do that! Bagi saya, persoalan cinta adalah persoalan yang unik. Persoalan itu langsung berhubungan dengan hati dan saya percaya bahwa hati berhubungan sama mood dan mood sangat berhubungan dengan kesediaan kita untuk melakukan sesuatu. Mau cintanya lagi bagus atau lagi jelek, itu pasti akan berpengaruh pada produktivitas kita. Gara-gara cinta, pasti ada aja hal wajib yang kita tinggalin, terutama belajar. Ah, ketika kita meninggalkan suatu hal wajib macam belajar gara-gara mabuk kepayang atau patah hati, wah kita sudah merugikan diri kita sendiri. Jangan sok nggak percaya karena saya sudah expert dalam hal tersebut. Punya mantan 3 dan beberapa kecengan yang semuanya menyebalkan aja udah bikin gilaaaaaaaaaaaaa dan ngulang hukin 3 kali, gimana kalau saya ikut metode percintaan ala murid saya? Haduh, saya miris dengan murid-murid saya yang sudah lebih melek cinta ketimbang melek EYD.
Yang saya bingungkan sekarang adalah, bagaimana saya bisa mengentaskan mereka dari peradaban cinta yang barbar itu? Dalam pembelajaran di kelas yang ditujukan untuk meraih kesuksesan dalam UN, saya bisa mengatasi permasalahan guru mereka di sekolah yang jarang menerangkan dan kalau menerangkan pun malah membingungkan. Selain itu, saya juga masih bisa membuat mereka untuk sedikit saja berani dan mau bercita-cita. Nah, untuk masalah ketiga, saya nggak mungkin dong menyita hape mereka dan bikin sms ke semua orang yang terlibat percintaan dengan mereka yang isinya, “Sayang, aku mau belajar buat UN. Kita nggak usah smsan lagi SELAMANYA.” Bisa dirajam dan dilempar ke kawah gunung Vesuvius nih saya sama mereka. Ah, tapi masalahnya, dari ketiga permasalahan yang sudah saya paparkan, masalah inilah yang paling mempengaruhi kesediaan belajar mereka. Mereka sudah terlalu terlena dengan cinta sehingga benar-benar menganggap bahwa dunia takkan berhenti berputar jika nilai UN rata-rata enam asalkan sang ayang masih ada di ujung
Ya ampun, anak-anak zaman sekarang……………….
Tapi yasudahlah, seengganya dari tiga permasalahan, saya bisa bisa mengatasi dua poinnya.