Lebaran, Pukul 03.45


Bandung, Juli 2006

Satu minggu menjelang Lebaran.
Senja memerah mega. Sebentar lagi adzan maghrib pasti akan menyergap telingaku. Dengan langkah lebar yang tak ingin kusebut lari, kutapaki jalan berbatu yang menebarkan aroma sampah. Ingin cepat masuk gubuk bututku, melihat Emak tirus tersenyum dalam rebahnya.
“Assalamualaikum!” sapa kecilku beradu dengan derit pintu.
“Waalaikumsalam,” lemah kudengar balas Emak.
“Emak nggak puasa, kan?” tanyaku memastikan. Mana boleh Emak berpuasa! Aku belum ingin sendirian hidup di dunia yang makin kejam ini.
Emak terkekeh sinis, “Apa bedanya puasa dan nggak puasa, Lin..?”
Aku terkesiap. Benar juga, keadaan seperti ini mau tak mau memaksa kami untuk tak merasakan perbedaan Ramadan dengan Syawal, Sya’ban, Jumadil, ataupun dengan bulan lainnya.
“Iya, sih, Mak. Tapi kan setidaknya Emak masih bisa minum,” kilahku menghibur.
“Alhamdulillah Emak puasa, kok,” sahut Emak sambil bangun dari dipan kerasnya.
“Batuknya masih berdarah, Mak? Oya, Alin bawa kolak, tadi ada ibu-ibu yang ngasih. Semua anak jalanan dapat! Coba setiap hari, ya, Mak…”
Aku mengeluarkan dua bungkus plastik kecil berisi kolak. Katanya, satu kolak untuk buka, satu lagi untuk sahur. Tapi, ah, kumakan sekarang saja dengan Emak. Sahur tak masalah. Aku atau Emak tak pernah mengenal apa itu sahur.
“Buat kamu sajalah. Emak malas makan. Nanti malah muntah, kan mubazir,” Emak tertatih meraih tungku dan menjerang air. Sekilas Emak melirik bungkus teh yang tak seberapa lagi isi serbuknya.
Aku menganga mendengar jawaban Emak yang enteng dan marahku terpancing, “Emak ini bagaimana, sih? Emak harus makan! Jangan alasan lagi, Alin nggak mau Emak tambah sakit!” Astaghfirullah, dalam hati aku meralat.
Emak tak bereaksi, hanya mengikat rambut tipisnya yang melewati bahu lalu menguap, “Emak nggak mau, kok malah dimarahi,” sindirnya.
Aku menunduk, “Maaf, Mak,” bisikku langsung.
“Lin, kamu ada uang? Tadi Bu Susilo datang…,” Emak memandangku tak tega. Momok yang menakutkan setiap kali Emak menyinggung nama itu. Bu Susilo, wanita gendut berkonde yang dua sikunya tertutup juntai gelang emas.
“Katanya, paling lambat Lebaran,” lanjut Emak tak ingin lagi menatap pias takutku. Matanya beliau sibukkan memandangi api yang lamban memanaskan air.
“Akan Alin usahakan, Mak,”
Taruhan, Emak atau Bu Susilo pasti sudah bosan mendengar jawaban ini keluar dari mulutku. Tapi mau bagaimana lagi, memang sulit mendapatkan orang yang mau kusemirkan sepatunya. Mana bisa aku cepat mendapatkan uang.
Terminal Cicaheum, Senin siang.
“Hari ginih masih nyemir sepatu? Hahahaha,” Upang, pengamen yang rambutnya bewarna kuning tertawa sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
“Ibu mau mati malah nyemir sepatu, hahahaha! Mana bisa punya duit banyak?” kali ini, Jurig yang bersuara. Suara cemprengnya menambah pekak telingaku yang kemasukan suara klakson bis yang panjang.
“Fuuuuuuuuh,” Upang hamburkan nafas baunya ke arahku. Asap rokok laknatnya dan asap knalpot bis telak membuatku menahan hasrat hidung untuk menarik oksigen.
“Hahahahahahahaha,” tawanya mengiringi batukku.
“Berisik! Sana ngamen! Dasar kunyuk pasar!” makiku lalu melengos pergi tanpa melihat kanan kiri. Semoga Allah memaafkanku. Semoga puasaku masih diberi pahala setelah ini.
“ Heh, Budug! Minggir! Aing tabrak, siah!” hardik seorang pria sangar berkumis tebal. Aku cepat-cepat menyingkir. Ingin memaki lagi namun mengingat dosa akhirnya kuurungkan. Hanya dengan cemberut kecil aku lampiaskan kesalku memandangi angkot kosong yang ia kemudikan ugal-ugalan keluar dari terminal.
“Semir, Kang! Semir, semir! Semir sepatu! Semir sepatu! Biar kilap! Mangga, semir!”
Kilat panas matahari kutantang dengan jajaan yang kuteriakkan. Kutantang juga udara panas dan kotor dengan langkahku menyusuri terminal. Hanya sesekali menyerah, berhenti untuk menyeka keringat yang terkucurkan dari pelipisku.
“Puasa nih, ye..!” ledek Bubun, pedagang asongan yang setiap pagi kulihat mengisap lem dalam-dalam di belakang WC terminal. Usianya lebih tua dua tahun dariku.
“Haus, Calon Haji?” tambah Jalaprang si tukang koran. Sangat asyik ia menikmati es jeruk yang mengalir ke dalam mulutnya lewat sedotan transparan. Aku menelann ludah. Iri.
“Prang, dia mau minuman kamu tuh! Hahaha,” sambung Bubun puas.
Aku mendelik sinis dan kuangkat kaki menjauhi dua bajingan tengik itu. Tawa mereka masih kudengar panjang di antara selip klakson bis, angkot, mobil, dan motor yang tak putus bersahutan.
Lama aku berjalan dengan langkah yang kunjung menyeok lemah. Puasa bagiku memang hal yang amat berat. Ditambah dengan jajaan untuk menawarkan semir yang tak terhirau, suaraku makin parau menahan haus. Begitu rindunya aku akan adzan maghrib pada saat-saat ini.
“Alin!” aku menoleh mencari arah suara.
“Alin, hoy! Kesini!” Bang Japran melambaiku, mengajakku bergabung dengannya di warung kopi Ceu Inah.
Bagi kerbau dicocok hidung aku mengikuti ajakannya padahal aku tahu Bang Japran adalah preman paling licik bin jahat di kawasan Cicaheum.
“Ada apa, Bang?” tanyaku agak takut.
“Belum ada uang,” lanjutku pelan. Perihal itu yang membuatku gemetar.
Bang Japran tak menanggapi. Malah matanya menjelajahi tubuhku yang hanya dibalut celana hitam selutut dan kaos putih kumal yang gambarnya sudah pudar. Senyumnya terkembang misterius. Aku bertambah gemetar dibuatnya.
Tak ada yang bersuara di antara kami berdua. Bang Japran jelalatan dan aku menunduk takut.
“Kepada penumpang Bis Harum menuju Solo, bis akan segera berangkat,” pengeras suara hingga tiga kali mengulang pengumuman itu dan belum ada tanda-tanda Bang Japran akan membuka maksudnya memanggilku.
Punten, Bang..,” hati-hati kupanggil lelaki Batak berambut gondrong keriting ini.
“Eh, oh, eh, iya, iya, duduk, Lin. Sini duduk deket Abang,” ajaknya ramah tiba-tiba.
Diamnya sirna. Aku mengernyitkan dahi bingung dan tanpa bertanya kuikuti maunya. Daripada digorok seperti Jang Usep, tetanggaku.
“Alin udah makan? Sok atuh pesen, nanti Abang yang bayar,” ujarnya sangat ramah.
Nadanya merayu, itu pikirku.
Aku menggeleng, “Alin puasa.”
“Oooh, puasa… Pesen buat buka puasa atuh, Lin… Nih enak, nih.. Tuh, kan.. Yah, Ceu, yah..?” basa-basi Bang Japran meminta pendapat Ceu Inah yang memakai kaos merah ketat.
Ceu Inah mengangguk manis. Tangannya gemulai membentuk gerik sensual dengan mengikat rambut keriting panjangnya. Ia tersenyum dalam pose itu. Baru sekali aku melihat senyum perempuan judes yang selalu berlipstik merah tebal itu.
“Makasih, Bang. Nanti aja,” tolakku halus.
“Terserahlah, nanti bilang aja sama Ceu Inah kalau mau apa-apa. Jangan bayar, kan Abang yang bayar,” Alisnya terangkat lalu satu matanya mengedip. Ke arahku. Ya, Bang Japran berkedip padaku.
“Alin udah gede, ya..” tangan kiri Bang Japran terjulur meraih daguku yang lancip. Serta merta kutarik daguku menjauhi jari Bang Japran yang hanya empat, kelingkingnya tak ada.
Bang Japran tertawa lebar menanggapi ekspresiku, “Hahahaha. Maaf, Lin… Udahatuh, jangan takut gitu wajahnya. Abang nggak bakal nanaonkeun Alin.”
“Iyah, Lin, jangan takut… Justru kamu harus terimakasih sama Bang Japran. Bang Japran mau kasih kerjaan buat kamu,” Ceu Inah urun bicara. Matanya ia kedipkan pada Bang Japran, membuat satu isyarat aneh.
Aku memandangi kedua orang di hadapanku, Bang Japran dan Ceu Inah, bergantian. “Ada apa, ya, dengan mereka?” bisik hatiku.
Satu hari menjelang Lebaran.
Takbir saling bersahutan mengiringi senja, meniupkan aroma syahdu hari kemenangan. Kulihat sukacita tergambar di tiap paras yang kutemui di terminal.
Aku tertunduk. Kalut. Mungkin satu-satunya gambar sedih ada pada parasku.
Bagaimana tidak?
Batuk Emak makin parah, darah mengalir deras dari tiap goncang tubuhnya yang mengikuti irama batuk. Emak sudah dekat dengan kuburan, ucap Emak kemarin malam.
Bu Susilo besok akan menagih, padahal tak ada uang yang aku punya. Kalaupun aku punya, Emak yang akan aku prioritaskan. Hanya Emak yang aku miliki di dunia ini. Masalah Bu Susilo, biarkan ia mengusir kami dari gubuk reot itu. Toh, kehilangan uang dari kami tak berarti baginya. Hartanya sudah menumpuk di antara lemaknya.
Tapi..
Sekarang masalahnya tak ada uang. Aku tidak mau kehilangan Emak dan gubuk itu. Akan bagaimana aku nanti? Akan dimana aku nanti?
Aku memandangi Cicaheum yang kini sepi. Melamun. Bingung. Rasa haus tak aku indahkan. Adzan maghrib sedang tak berarti saat ini. Aku kehilangan selera buka puasa.
“Kamu cantik, Lin. Abang nggak mengada-ngada! Tuh, tanya Ceu Inah. Ceu Inah juga denger kalau Pak Zul muji-muji kamu,” suara Bang Japran berdengung di kepalaku.
Kepalaku makin berat setiap kali apa yang Bang Japran ucapkan Senin lalu terngiang di memoriku yang terbuka. Membuatku bingung antara larangan agama dengan realita.
“Ah,Lin, kata Ceu Inah mah, jangan banyak mikir! Apalagi mikirin agama, ah buat apa? Agama mah suka nyuruh yang aneh-aneh! Puasalah, solatlah, ngajilah, jangan ginilah, jangan gitulah, alaaaaaah! Zaman sekarang mah realita, weh! Jangan sok agama!” cibir Ceu Inah.
Kepalaku makin berat.
“Kamu butuh uang, kan? Sok ikutin agama kamu, bakal dapet uang nggak?” Ceu Inah tajam menghujat apa yang selama ini aku yakini.
Saat itu aku hanya tertunduk. Satu hatiku membenarkannya, satu lagi sakit mendengarnya.
“Sakali-kali ngadosa mah nggak apa-apa atuh, Lin.. Nanti tobat lagi… Emangnya kamu pikir ustad-ustad itu seratus persen orang suci? Mereka juga manusia, Lin! Dulu kotor terus tobat!”
Ya, kenyataan itu memang benar. Bang Japran benar.
Pikirkeun, Lin! Jangan sok suci! Sesucinya kamu, pasti ntar mah masuk neraka juga,”
“Ya Allah, Alin harus gimana?” sakit aku berteriak dalam hati. Air mata menuruni pipiku. Bahuku naik turun bergoncang. Aku roboh jongkok. Kubenamkan wajahku di antara lipat tangan dan pahaku.
Lebaran, pukul 03.45.
“Emaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak…!!!!!!!!!!!!!” enam lembar lima puluh ribuan kuhamburkan begitu kulihat sosok kurus milik Emak tersungkur di lantai gubuk kami yang berupa tanah. Teriak histerisku mengguncang kampung kumuh. Seperti lalat, tetangga mengerumuniku yang tak henti mengguncang selonjor kaku tubuh Emak. Darah bercampur lendir tak kuhiraukan melumuri betisku. Aku terus tersengguk.
Selepas waktu shalat Id yang aku lewatkan.
Diantara ucap saling memaafkan jemaah shalat, Emak akhirnya dikuburkan seadanya. Hanya beberapa tetangga yang membantu. Selebihnya? Entahlah, mungkin ikut menjadi jemaah shalat Id di Arcamanik. Aku tak peduli. Kepada mereka atau pada kewajiban shalat itu.
Tiga ratus ribu lenyap, entah siapa yang memungutnya di saat sedihku. Namun tak ada rasa menyesal dalam hatiku. Aneh. Mungkin karena aku mendapatkannya dengan cara hina. Merelakan Pak Zul menelusuri tubuhku yang ia aku, sintal. Sudahlah. Lupakan malam tadi, walau kurasa sulit.
Hatiku gundah namun aku tak tega memanggil Allah, seperti yang selalu Emak ajarkan dulu. Selalu memanggil Allah setiap kali ada kesulitan. Terlalu hina aku memanggil Allah. Terlalu hina. Aku malu.
Aku langkahkan kakiku menuju rumah Pak Zul, bermaksud mengabarinya bahwa aku bersedia menjadi simpanan kelimanya.
Keputusan salah. Tapi bagaimana lagi, Bu Susilo sudah mengusirku.


*Cerpen ini menjadi 12 Cerpen Terbaik Tingkat Nasional Komunitas Magma tahun 2006 dan pada tahun 2011 diangkat menjadi film indie berjudul sama oleh Himpunan Seniman Bandung

Walau Sejuta Satria



Kinar menguap lalu dengan sadar menggeliatkan tubuhnya yang terbungkus selimut. Matanya mengerjap sejenak seiring dengan aroma lavender yang terhangatkan selusup sinar mentari.
Kinar lalu duduk dan menggaruk rambutnya yang mengembang tak teratur. Melirik sekilas pada karpet tebal di bawah ranjangnya, ada  laptop dan secangkir kopi yang semalam ia buat. Kinar lalu merakit ingatannya.
Ah, ya. Tadi malam ia begadang menyelesaikan order foto. Pukul sebelas malam ada sms lalu Kinar membacanya malas di atas kasur dan akhirnya tertidur.
Kinar menguap lagi lalu bernafas lega. Foto itu tinggal dicetak. Semalam ia telah selesai mengedit foto-foto indah tersebut.
“ Semoga kamu bahagia, Sat..” ucapnya miris dalam hati.
Agak lama Kinar pun bangkit dari tempat tidurnya lalu bergegas mandi. Kini telah pukul sepuluh pagi, itu yang membuatnya tersadar.
Pukul dua belas Kinar telah siap. Ransel berisi kamera dan bermacam lensa telah ia kaitkan di punggungnya. Sambil menyetir Feroza hijau tua, pikiran Kinar ternyata terus mengembara. Tak bisa mengelak ia terlalu sakit.
Satria. Satria. Satria. Satria.
Satu nama itu yang terpatri mengiang-ngiang. Satu nama itu yang membuat Kinar mati-matian menahan air matanya jatuh.
“Kenapa aku harus nunggu kamu, Sat ?”
“Kenapa aku harus percaya sama kamu, Sat?”
Akhirnya suara hati Kinar yang memberontak berhasil menjatuhkan satu tetes air mata yang akhirnya diikuti tetes-tetes berikutnya.
“Nar, ini Ayu. Dia juga fotografer kayak kita. Jepretannya bagus-bagus. Nggak kalah sama jepretan kamu.”
Andai Kinar tahu ucap santai Satria itu akan mengantarkannya bernasib seperti ini, sumpah, Kinar tidak ingin ada mendengarnya.
“Oh. Hai, Yu!”
Dan Kinar benar-benar ingin menarik senyum manisnya untuk Ayu saat ia menjabat tangan Ayu yang mungil.
“Sat, aku…”
“Eh, Satria, kamu tahu nggak kalau buat motret…”
“Harusnya gua marah waktu itu, Yu! Kenapa gua nggak nyadar kalau waktu itu lu motong omongan gua gara-gara lu nggak pengen Satria deket sama gua?”
“Sat…”
“Kenapa lagi, Nar ? Ayu kan lagi ngomong…”
“Emh, maaf..”
“Ya, terusin lagi, Yu! gimana tadi kita sampai mana?”
“Ah, kenapa juga waktu itu gua nggak nyadar kalau tatapan mata lu adalah tatapan mata kemenangan, Yu?”
“Sat…”
“Ada apa lagi…?”
“Aku pergi dulu, ya…”
“Oh, ya ya ya . Terus, akhirnya gimana tuh, Yu?”
“Dan kamu nggak nahan aku pergi, Sat? Kenapa kamu malah semangat melepas aku? Dan senyum kamu…kenapa buat Ayu?”
Kinar memencet klaksonnya panjang-panjang. Agak kesal ia dengan zig-zag angkot yang seenaknya.
“Sat… mau makan siang bareng nggak ?”
“Satria, Satria, Satria! Kapan mau motret lagi? Janjian, ya! Eh, aku bawa editan yang kemarin…”
“Wah, mana? Pasti bagus banget tuh!”
“Sat…”
“Eh? Ada kamu, Nar!”
“Dan aku hanya bisa memandangi kalian berdua membicarakan apa yang dulu tidak pernah mau kamu bicarakan dengan aku. Kamu paling anti dengan foto editan, kan? Lalu kenapa…?”
“Kemarin Ayu pinjam jurnalku. Kamu ingat ada bagian yang aku lagi down nggak, Nar?”
“Terus?”
“Ya, Ayu sms katanya, Jangan ngejudge diri sendiri…”
“Ehm ehm… Ayu suka kamu tuh, hehehe…”
“Ah? Nggak mungkin. Dia pernah cerita lagi suka banget sama temanku kok.”
“Itu yang selalu membuatku percaya bahwa tidak akan ada sesuatu di antara kalian. Rasa cemburuku pada awal kamu mempertemukan kami perlahan telah terpupus dengan logikaku yang menganggap kedekatan kalian adalah kedekatan satu profesi.”
“Nar…”
“….”
“Aku serius sama perkataanku waktu itu.”
“Perkataan?”
“Aku bakal balik sama kamu.”
“Balik?”
“Iya, janji aku dulu waktu kita putus. Nanti aku bakal balik sama kamu.”
“Dan aku benar-benar bersyukur pada waktu itu aku hanya menganggap angin lalu janjimu. Percayaku hanya empat puluh persen. Entah kenapa ada satu firasat untuk berhati-hati dengan apa yang kamu ucapkan, Sat.”.
Kinar memindahkan persnelingnya, satu sinergi dengan pemindahan memorinya. Kinar kini mengenang saat itu. Saat ia dan Satria masih berstatus ‘pacar’.
Satria adalah mimpi sempurnanya. Semua yang selalu Kinar harapkan dari kekasihnya ada pada diri Satria. Bertambah pula saat kedua orangtuanya yang sangat selektif setuju akan hubungan Kinar dan Satria.
Kinar selalu berharap Satrialah pangeran terakhirnya. Hingga saat itu datang.
Satria memutuskan hubungan mereka tanpa Kinar pernah mengerti apa sebabnya. Dan beberapa hari setelah itu Satria menyatakan suatu hari nanti hubungan itu akan ada lagi. Suatu hari dimana Satria telah siap.
Dan Kinar yang terlalu mencinta laki-laki atletis itu mengiyakan dan mencoba menanti hari itu. Kinar menutup semua sisi hatinya yang bisa terselusupi sosok lain. Demi siapa dan untuk siapa?
Demi Satria.
Untuk Satria.
Kinar menghela nafas panjang. Memindahkan lagi persnelingnya. Memorinya pindah lagi. Tertekan lagi dengan satu sosok Ayu yang telak mengacaukan harapan dan mimpinya.
“Nar…”
“Ya?”
“Aku mau bilang, aku dan Ayu nggak ada hubungan apa-apa.”
“???”
“Jadi kamu jangan cemburu sama dia, ya?”
“Maksud kamu?”
“Baca…”
“Dan aku terkesiap, Sat. Sms itu. Sms itu dari Ayu. Dan apa yang ia tulis di sana membuat kamu menegur aku, Sat? Kamu percaya aku seperti itu, Sat?”
“Aku nggak ngerti.”
Kinar terlalu enggan melupakan tatap mata yang menyiratkan sedikit kekesalan itu. Satria memandangnya seperti itu.
“Sat…”
“Sat, aku bukan mengadu, tapi…. Bukan aku yang berlaku kayak gitu, Sat…”
“Lalu?”
“Maaf. Tapi Ayu yang sebenarnya seperti itu.”
“….”
“Aku nggak tahu sejak kapan tapi setiap aku ketemu Ayu dan aku nyapa dia, Ayu selalu buang muka dan sinis. Jangankan aku nyapa, aku senyum pun dia buang muka. Dan… waktu kita jalan bareng dan kita ketemu Ayu, kamu ingat kan kalau aku nyapa dia? Dan dia? Dia pura-pura nggak lihat kita dan mukanya muka kesal, kan? Kamu nggak lupa, kan?”
“Kalian salah komunikasi kalau begitu. Ayu bilang, Ayu takut sama kamu.”
“Memangnya aku bakal ngapain dia, Sat? Kamu tahu aku, kan? Aku nggak mungkin marah sama orang gara-gara laki-laki! Toh kita pun nggak ada hubungan apa-apa.”
Kinar sakit lagi mengingat penegasannya itu.
” Ya, memang nggak ada apa-apa. Putus, kan? Waktu itu kita udah putus, kan?”
Kinar lupa bagaimana persisnya isi sms itu. Yang Kinar ingat Ayu mengadu bahwa selama ini Kinar selalu memandangnya dengan tatapan cemburu dan sangat membenci Ayu. Padahal Ayu tidak akan mengambil Satria darinya. Ayu tahu bahwa Satria dan Kinar akan saling memiliki suatu saat nanti. Ayu juga bilang tolong Satria jangan memberi tahu Kinar tentang sms itu.
Kinar mengganti air mata sedihnya menjadi air mata kesal. Kesal dan sakit, tepatnya.
“Aku salah. Kenapa aku harus menampakkan benciku pada Ayu di hadapanmu, Sat! Sejak saat itu, Ayu lah yang berhasil mengambil hatimu. Akku terpojokkan olehnya. Dia yang begitu halus mengungkapkan bencinya padaku dan aku yang terang-terangan mengungkap benciku padanya.”
“Kamu lalu menjauh dariku sejak saat itu, Sat.”
“Dan aku sakit mengira-ngira apa sebabmu mengacuhkanku di setiap sudut matamu yang memantulkan bayanganku.”
“Sat, ini amplop buat kamu. Aku udah janji, kan?”
“Eh, emm, emmm… Gimana, ya, Nar…? Ayu juga ngasih amplop buat aku…Tuh dia lagi beli…”
“Ayu?”
“Iiiiya…”
“Sat! Dulu kamu yang nitip amplop ke aku. Aku janji iya dan karena itu tadi malam jam sembilan aku naik motor ke swalayan yang hampir tutup buat beli amplop ini. Buat kamu, Sat. Buat kamu. Siapa yang lebih berjuang buat amplop ini? Dia cuma tinggal jalan sekarang ke kios itu atau aku yang tadi malam naik motor sampai lupa nggak pakai jaket?”
“Aku kira kamu nggak akan beli buat aku. Lagipula, buat apa sampai kayak gitu? Aku nggak apa-apa kok kalau kamu nggak jadi beli buat aku.”
“Dan kamu tersenyum tanpa berdosa lalu pergi. Dan aku tidak pernah tahu akhirnya kamu memakai amplop siapa untuk mengirimkan fotomu ke panitia lomba itu. Dan kamu tidak bertanya apakah aku ikut lomba itu atau tidak padahal dulu ada janji kita akan mengirimnya bersama. Dan ternyata kamu malah berlari mencari Ayu dan bertanya apakah ia ikut atau tidak. Dan aku tidak pernah tahu apakah kalian pergi bersama atau tidak. Walau firasatku mengatakan kalian pergi bersama.”
“Nar…”
“Ayu… Ayu ditolak Satria…”
“Maksudnya?”
“Ayu nembak Satria. Tadi Satria cerita sama gua.”
“Kok Satria nggak cerita, ya?”
“Nggak tahu tuh. Tapi yang jelas Ayu nembak Satria seminggu yang lalu.”
“Tenanglah, Nar. Ditolak kok…”
Kinar lagi-lagi menghela nafas panjang. Kinar masih hapal rasa itu. Rasa terkhianati. Terutama setelah Nanda menegaskan bahwa waktunya adalah seminggu yang lalu. Ya, seminggu yang lalu adalah saat dimana Satria menegurnya karena ada sms dari Ayu.
Timbul selaksa pikiran buruk.
“Jadi itu yang ngebuat lu ngejatuhin gua di depan Satria, Yu?”
“Jadi gara-gara sakit ditolak?”
“Jahat lu! Dasar licik! Bisanya main fitnah. Kalau lu suka sama cowok, jangan nusuk saingan lu dari belakang.”
Kinar mengerem mobilnya saat pelataran parkir yang sebenarnya tidak pantas disebut lapangan parkir di antara Dunkin Donuts dan Gramedia telah ia kuasai.
Kinar lalu melepas sabuk pengamannya dan meraih ransel hitam pemberian adiknya. Setelah yakin mobil telah aman, ia langkahkan kaki menuju Balai Kota yang terletak cukup dekat dari jalan Merdeka ini. Tempat favorit Kinar sejak SMP bila sedang ingin sendiri dan berpikir.
Kinar mengenakan topinya, sekedar bertahan dari sengat yang cukup menyengat. Otaknya kembali mengenang Satria.
“Kenapa lagi sih kalian berdua? Kalau kalian gini terus, lebih baik aku pergi. Nggak usah cari aku karena aku nggak bakal mau punya urusan lagi sama kamu. Nggak sama kamu aja, sama Ayu juga.”
Kinar merasakan mulutnya menganga dan alisnya terangkat bingung saat Satria menanggapi laporannya mengenai Ayu.
Bukan laporan sebenarnya, lebih tepat adalah keluhan.
“Maaf, Nar. Tapi tolong.. . Aku mau minta sesuatu dari kamu. Tolong jangan dekati aku untuk seminggu ini. Aku nggak bisa mikir kalau ada kamu.”
“Kenapa harus aku yang pergi?”
“Nggak kamu aja, Nar! Ayu juga. Lihat sendirilah, aku nggak pernah lagi ngobrol sama dia!”
“Dan aku menuruti kamu. Dan aku percaya kamu. Aku percaya bahwa kamu juga memperlakukan Ayu dengan hal yang sama.”
“Tapi ternyata aku salah.”
“Di depan mataku, Ayu duduk di samping kamu. Di depan mataku, ada senyuman di antara kalian.”
“Dan aku…”
“Aku selalu di belakang kamu, Sat. Menunggu tolehan wajah kamu hingga lebih dari satu minggu itu. Menunggu sapaan kamu hingga lebih dari satu minggu itu. Menunggu senyuman kamu, tatapan mata kamu. Menunggu semua itu kamu limpahkan untukku seperti sebelumnya. Saat sebelum ada seorang Ayu yang terparas lemah dan perlu dilindungi.”
“Aku selalu sakit. Kamu yang menjauh dan senyum di antara kalian berdua yang makin mendekat.”
“Dan kamu pun atau kalian, mungkin, entah tolol atau jahat… Dengan memintaku untuk menjadi fotografer kalian. Di hari yang paling sakral untuk kalian.”
“Kamu milih dia, Sat?”
“Dia sakit parah, Nar. Dia…”
“Ya, dia memang lebih lemah daripada aku. Aku kuat. Iitu kan yang membuat kamu suka sama aku pertama kali? Ya, ternyata kamu masih ingat. Hingga sekarang pun kamu milih aku untuk jadi fotografer kamu pasti karena alasan itu…”
“Maaf, Nar…”
“Udah banyak kamu minta maaf dan sekarang maafku untukmu udah terlalu habis, Sat…”
“Jadi?”
“Sekarang aku fotografer dan kamu minta jasa. Aku profesional. Aku tahu batas pekerjaan dan cinta.”
Kinar akhirnya menemukan perkataan itu. Aku tahu batas pekerjaan dan cinta.
Kinar menghela nafas panjang.
“Aku juga harus profesional tentang cinta. Toh dulu Ayu ada saat aku dan Satria sudah tidak ada apa-apa. Sudah. Masih ada yang akan menemaniku. Orang yang jauh lebih kuat dan tegas dari Satria.”
“Dan kini hidup tidak boleh berhenti karena Satria.”
Kinar menghela nafas yang jauh lebih panjang. Membuang semua sakitnya. Walau sejuta Satria terbayang di lensa kamera dan lensa otak nuraninya.

Surabaya, 27 September 2006