Walau Sejuta Satria



Kinar menguap lalu dengan sadar menggeliatkan tubuhnya yang terbungkus selimut. Matanya mengerjap sejenak seiring dengan aroma lavender yang terhangatkan selusup sinar mentari.
Kinar lalu duduk dan menggaruk rambutnya yang mengembang tak teratur. Melirik sekilas pada karpet tebal di bawah ranjangnya, ada  laptop dan secangkir kopi yang semalam ia buat. Kinar lalu merakit ingatannya.
Ah, ya. Tadi malam ia begadang menyelesaikan order foto. Pukul sebelas malam ada sms lalu Kinar membacanya malas di atas kasur dan akhirnya tertidur.
Kinar menguap lagi lalu bernafas lega. Foto itu tinggal dicetak. Semalam ia telah selesai mengedit foto-foto indah tersebut.
“ Semoga kamu bahagia, Sat..” ucapnya miris dalam hati.
Agak lama Kinar pun bangkit dari tempat tidurnya lalu bergegas mandi. Kini telah pukul sepuluh pagi, itu yang membuatnya tersadar.
Pukul dua belas Kinar telah siap. Ransel berisi kamera dan bermacam lensa telah ia kaitkan di punggungnya. Sambil menyetir Feroza hijau tua, pikiran Kinar ternyata terus mengembara. Tak bisa mengelak ia terlalu sakit.
Satria. Satria. Satria. Satria.
Satu nama itu yang terpatri mengiang-ngiang. Satu nama itu yang membuat Kinar mati-matian menahan air matanya jatuh.
“Kenapa aku harus nunggu kamu, Sat ?”
“Kenapa aku harus percaya sama kamu, Sat?”
Akhirnya suara hati Kinar yang memberontak berhasil menjatuhkan satu tetes air mata yang akhirnya diikuti tetes-tetes berikutnya.
“Nar, ini Ayu. Dia juga fotografer kayak kita. Jepretannya bagus-bagus. Nggak kalah sama jepretan kamu.”
Andai Kinar tahu ucap santai Satria itu akan mengantarkannya bernasib seperti ini, sumpah, Kinar tidak ingin ada mendengarnya.
“Oh. Hai, Yu!”
Dan Kinar benar-benar ingin menarik senyum manisnya untuk Ayu saat ia menjabat tangan Ayu yang mungil.
“Sat, aku…”
“Eh, Satria, kamu tahu nggak kalau buat motret…”
“Harusnya gua marah waktu itu, Yu! Kenapa gua nggak nyadar kalau waktu itu lu motong omongan gua gara-gara lu nggak pengen Satria deket sama gua?”
“Sat…”
“Kenapa lagi, Nar ? Ayu kan lagi ngomong…”
“Emh, maaf..”
“Ya, terusin lagi, Yu! gimana tadi kita sampai mana?”
“Ah, kenapa juga waktu itu gua nggak nyadar kalau tatapan mata lu adalah tatapan mata kemenangan, Yu?”
“Sat…”
“Ada apa lagi…?”
“Aku pergi dulu, ya…”
“Oh, ya ya ya . Terus, akhirnya gimana tuh, Yu?”
“Dan kamu nggak nahan aku pergi, Sat? Kenapa kamu malah semangat melepas aku? Dan senyum kamu…kenapa buat Ayu?”
Kinar memencet klaksonnya panjang-panjang. Agak kesal ia dengan zig-zag angkot yang seenaknya.
“Sat… mau makan siang bareng nggak ?”
“Satria, Satria, Satria! Kapan mau motret lagi? Janjian, ya! Eh, aku bawa editan yang kemarin…”
“Wah, mana? Pasti bagus banget tuh!”
“Sat…”
“Eh? Ada kamu, Nar!”
“Dan aku hanya bisa memandangi kalian berdua membicarakan apa yang dulu tidak pernah mau kamu bicarakan dengan aku. Kamu paling anti dengan foto editan, kan? Lalu kenapa…?”
“Kemarin Ayu pinjam jurnalku. Kamu ingat ada bagian yang aku lagi down nggak, Nar?”
“Terus?”
“Ya, Ayu sms katanya, Jangan ngejudge diri sendiri…”
“Ehm ehm… Ayu suka kamu tuh, hehehe…”
“Ah? Nggak mungkin. Dia pernah cerita lagi suka banget sama temanku kok.”
“Itu yang selalu membuatku percaya bahwa tidak akan ada sesuatu di antara kalian. Rasa cemburuku pada awal kamu mempertemukan kami perlahan telah terpupus dengan logikaku yang menganggap kedekatan kalian adalah kedekatan satu profesi.”
“Nar…”
“….”
“Aku serius sama perkataanku waktu itu.”
“Perkataan?”
“Aku bakal balik sama kamu.”
“Balik?”
“Iya, janji aku dulu waktu kita putus. Nanti aku bakal balik sama kamu.”
“Dan aku benar-benar bersyukur pada waktu itu aku hanya menganggap angin lalu janjimu. Percayaku hanya empat puluh persen. Entah kenapa ada satu firasat untuk berhati-hati dengan apa yang kamu ucapkan, Sat.”.
Kinar memindahkan persnelingnya, satu sinergi dengan pemindahan memorinya. Kinar kini mengenang saat itu. Saat ia dan Satria masih berstatus ‘pacar’.
Satria adalah mimpi sempurnanya. Semua yang selalu Kinar harapkan dari kekasihnya ada pada diri Satria. Bertambah pula saat kedua orangtuanya yang sangat selektif setuju akan hubungan Kinar dan Satria.
Kinar selalu berharap Satrialah pangeran terakhirnya. Hingga saat itu datang.
Satria memutuskan hubungan mereka tanpa Kinar pernah mengerti apa sebabnya. Dan beberapa hari setelah itu Satria menyatakan suatu hari nanti hubungan itu akan ada lagi. Suatu hari dimana Satria telah siap.
Dan Kinar yang terlalu mencinta laki-laki atletis itu mengiyakan dan mencoba menanti hari itu. Kinar menutup semua sisi hatinya yang bisa terselusupi sosok lain. Demi siapa dan untuk siapa?
Demi Satria.
Untuk Satria.
Kinar menghela nafas panjang. Memindahkan lagi persnelingnya. Memorinya pindah lagi. Tertekan lagi dengan satu sosok Ayu yang telak mengacaukan harapan dan mimpinya.
“Nar…”
“Ya?”
“Aku mau bilang, aku dan Ayu nggak ada hubungan apa-apa.”
“???”
“Jadi kamu jangan cemburu sama dia, ya?”
“Maksud kamu?”
“Baca…”
“Dan aku terkesiap, Sat. Sms itu. Sms itu dari Ayu. Dan apa yang ia tulis di sana membuat kamu menegur aku, Sat? Kamu percaya aku seperti itu, Sat?”
“Aku nggak ngerti.”
Kinar terlalu enggan melupakan tatap mata yang menyiratkan sedikit kekesalan itu. Satria memandangnya seperti itu.
“Sat…”
“Sat, aku bukan mengadu, tapi…. Bukan aku yang berlaku kayak gitu, Sat…”
“Lalu?”
“Maaf. Tapi Ayu yang sebenarnya seperti itu.”
“….”
“Aku nggak tahu sejak kapan tapi setiap aku ketemu Ayu dan aku nyapa dia, Ayu selalu buang muka dan sinis. Jangankan aku nyapa, aku senyum pun dia buang muka. Dan… waktu kita jalan bareng dan kita ketemu Ayu, kamu ingat kan kalau aku nyapa dia? Dan dia? Dia pura-pura nggak lihat kita dan mukanya muka kesal, kan? Kamu nggak lupa, kan?”
“Kalian salah komunikasi kalau begitu. Ayu bilang, Ayu takut sama kamu.”
“Memangnya aku bakal ngapain dia, Sat? Kamu tahu aku, kan? Aku nggak mungkin marah sama orang gara-gara laki-laki! Toh kita pun nggak ada hubungan apa-apa.”
Kinar sakit lagi mengingat penegasannya itu.
” Ya, memang nggak ada apa-apa. Putus, kan? Waktu itu kita udah putus, kan?”
Kinar lupa bagaimana persisnya isi sms itu. Yang Kinar ingat Ayu mengadu bahwa selama ini Kinar selalu memandangnya dengan tatapan cemburu dan sangat membenci Ayu. Padahal Ayu tidak akan mengambil Satria darinya. Ayu tahu bahwa Satria dan Kinar akan saling memiliki suatu saat nanti. Ayu juga bilang tolong Satria jangan memberi tahu Kinar tentang sms itu.
Kinar mengganti air mata sedihnya menjadi air mata kesal. Kesal dan sakit, tepatnya.
“Aku salah. Kenapa aku harus menampakkan benciku pada Ayu di hadapanmu, Sat! Sejak saat itu, Ayu lah yang berhasil mengambil hatimu. Akku terpojokkan olehnya. Dia yang begitu halus mengungkapkan bencinya padaku dan aku yang terang-terangan mengungkap benciku padanya.”
“Kamu lalu menjauh dariku sejak saat itu, Sat.”
“Dan aku sakit mengira-ngira apa sebabmu mengacuhkanku di setiap sudut matamu yang memantulkan bayanganku.”
“Sat, ini amplop buat kamu. Aku udah janji, kan?”
“Eh, emm, emmm… Gimana, ya, Nar…? Ayu juga ngasih amplop buat aku…Tuh dia lagi beli…”
“Ayu?”
“Iiiiya…”
“Sat! Dulu kamu yang nitip amplop ke aku. Aku janji iya dan karena itu tadi malam jam sembilan aku naik motor ke swalayan yang hampir tutup buat beli amplop ini. Buat kamu, Sat. Buat kamu. Siapa yang lebih berjuang buat amplop ini? Dia cuma tinggal jalan sekarang ke kios itu atau aku yang tadi malam naik motor sampai lupa nggak pakai jaket?”
“Aku kira kamu nggak akan beli buat aku. Lagipula, buat apa sampai kayak gitu? Aku nggak apa-apa kok kalau kamu nggak jadi beli buat aku.”
“Dan kamu tersenyum tanpa berdosa lalu pergi. Dan aku tidak pernah tahu akhirnya kamu memakai amplop siapa untuk mengirimkan fotomu ke panitia lomba itu. Dan kamu tidak bertanya apakah aku ikut lomba itu atau tidak padahal dulu ada janji kita akan mengirimnya bersama. Dan ternyata kamu malah berlari mencari Ayu dan bertanya apakah ia ikut atau tidak. Dan aku tidak pernah tahu apakah kalian pergi bersama atau tidak. Walau firasatku mengatakan kalian pergi bersama.”
“Nar…”
“Ayu… Ayu ditolak Satria…”
“Maksudnya?”
“Ayu nembak Satria. Tadi Satria cerita sama gua.”
“Kok Satria nggak cerita, ya?”
“Nggak tahu tuh. Tapi yang jelas Ayu nembak Satria seminggu yang lalu.”
“Tenanglah, Nar. Ditolak kok…”
Kinar lagi-lagi menghela nafas panjang. Kinar masih hapal rasa itu. Rasa terkhianati. Terutama setelah Nanda menegaskan bahwa waktunya adalah seminggu yang lalu. Ya, seminggu yang lalu adalah saat dimana Satria menegurnya karena ada sms dari Ayu.
Timbul selaksa pikiran buruk.
“Jadi itu yang ngebuat lu ngejatuhin gua di depan Satria, Yu?”
“Jadi gara-gara sakit ditolak?”
“Jahat lu! Dasar licik! Bisanya main fitnah. Kalau lu suka sama cowok, jangan nusuk saingan lu dari belakang.”
Kinar mengerem mobilnya saat pelataran parkir yang sebenarnya tidak pantas disebut lapangan parkir di antara Dunkin Donuts dan Gramedia telah ia kuasai.
Kinar lalu melepas sabuk pengamannya dan meraih ransel hitam pemberian adiknya. Setelah yakin mobil telah aman, ia langkahkan kaki menuju Balai Kota yang terletak cukup dekat dari jalan Merdeka ini. Tempat favorit Kinar sejak SMP bila sedang ingin sendiri dan berpikir.
Kinar mengenakan topinya, sekedar bertahan dari sengat yang cukup menyengat. Otaknya kembali mengenang Satria.
“Kenapa lagi sih kalian berdua? Kalau kalian gini terus, lebih baik aku pergi. Nggak usah cari aku karena aku nggak bakal mau punya urusan lagi sama kamu. Nggak sama kamu aja, sama Ayu juga.”
Kinar merasakan mulutnya menganga dan alisnya terangkat bingung saat Satria menanggapi laporannya mengenai Ayu.
Bukan laporan sebenarnya, lebih tepat adalah keluhan.
“Maaf, Nar. Tapi tolong.. . Aku mau minta sesuatu dari kamu. Tolong jangan dekati aku untuk seminggu ini. Aku nggak bisa mikir kalau ada kamu.”
“Kenapa harus aku yang pergi?”
“Nggak kamu aja, Nar! Ayu juga. Lihat sendirilah, aku nggak pernah lagi ngobrol sama dia!”
“Dan aku menuruti kamu. Dan aku percaya kamu. Aku percaya bahwa kamu juga memperlakukan Ayu dengan hal yang sama.”
“Tapi ternyata aku salah.”
“Di depan mataku, Ayu duduk di samping kamu. Di depan mataku, ada senyuman di antara kalian.”
“Dan aku…”
“Aku selalu di belakang kamu, Sat. Menunggu tolehan wajah kamu hingga lebih dari satu minggu itu. Menunggu sapaan kamu hingga lebih dari satu minggu itu. Menunggu senyuman kamu, tatapan mata kamu. Menunggu semua itu kamu limpahkan untukku seperti sebelumnya. Saat sebelum ada seorang Ayu yang terparas lemah dan perlu dilindungi.”
“Aku selalu sakit. Kamu yang menjauh dan senyum di antara kalian berdua yang makin mendekat.”
“Dan kamu pun atau kalian, mungkin, entah tolol atau jahat… Dengan memintaku untuk menjadi fotografer kalian. Di hari yang paling sakral untuk kalian.”
“Kamu milih dia, Sat?”
“Dia sakit parah, Nar. Dia…”
“Ya, dia memang lebih lemah daripada aku. Aku kuat. Iitu kan yang membuat kamu suka sama aku pertama kali? Ya, ternyata kamu masih ingat. Hingga sekarang pun kamu milih aku untuk jadi fotografer kamu pasti karena alasan itu…”
“Maaf, Nar…”
“Udah banyak kamu minta maaf dan sekarang maafku untukmu udah terlalu habis, Sat…”
“Jadi?”
“Sekarang aku fotografer dan kamu minta jasa. Aku profesional. Aku tahu batas pekerjaan dan cinta.”
Kinar akhirnya menemukan perkataan itu. Aku tahu batas pekerjaan dan cinta.
Kinar menghela nafas panjang.
“Aku juga harus profesional tentang cinta. Toh dulu Ayu ada saat aku dan Satria sudah tidak ada apa-apa. Sudah. Masih ada yang akan menemaniku. Orang yang jauh lebih kuat dan tegas dari Satria.”
“Dan kini hidup tidak boleh berhenti karena Satria.”
Kinar menghela nafas yang jauh lebih panjang. Membuang semua sakitnya. Walau sejuta Satria terbayang di lensa kamera dan lensa otak nuraninya.

Surabaya, 27 September 2006





2 comments

jadi yang kamu benci namanya itu... KINAR APA AYU? *gubrak

Reply