Catatan dari UN dan Penerimaan Peserta Didik Baru SMA Tahun 2013 di Kota Bandung


Hal cukup melegakan terjadi pada penerimaan peserta didik kota Bandung tahun 2013 ini. Passing grade SMP dan SMA favorit yang terkumpul dalam cluster 1 mengalami penurunan ke tingkat yang saya sebut normal. SMAN 3 Bandung, contohnya. Setelah tahun 2012 lalu berpassing grade 39,1 atau kasarnya si calon siswa harus punya 3 nilai 10 dan 1 nilai 9 koma, tahun 2013 ini 'hanya' mensyaratkan nilai UN minimal 36,7.

Turunnya passing grade secara signifikan tersebut bagi saya jelas merupakan prestasi. Bahkan kalau saya boleh berlebihan, hal tersebut juga saya lihat sebagai arah perkembangan pendidikan yang lebih fair. Terdapat dua hal yang membuat saya berkata demikian, sekaligus yang saya lihat sebagai faktor pendorong turunnya passing grade. Pertama mengenai pengamanan UN tahun ini dari kebocoran, kedua mengenai penghapusan RSBI.


20 Paket UN
Saya awalnya mengira bahwa UN 20 paket hanya isu untuk menakuti murid agar lebih rajin belajar. Biasalah, saya juga pernah mengalami 'ancaman' kengerian UN saat saya sekolah. Masa-masa awal kelas 3 SMP/SMA memang sudah diskenariokan untuk melecut murid-murid lebih serius menghadapi hidup. Karena saya berpikir demikian, saya acuh saja saat murid-murid saya di Ganesha dulu sering sekali mengeluhkan ketakutannya, "Atuh, Bu, gimana dong UN sekarang mah 20 soal. Sekelas pada beda semua. Kita juga ngga dikasih tahu bakal dapat paket berapa. Guru-guru juga ngga ada yang tahu. Pokoknya on the spot." Tanggapan saya sok-sok netral saja (padahal dalam hati tertawa), "Makanya kalian belajar yang serius dari sekarang."

Eh, ternyata UN 20 paket bukan sekadar isapan jempol. Sempat diwarnai kepanikan karena soal yang terlambat datang di beberapa daerah, akhirnya UN 20 paket benar-benar terlaksana. Saya masih agak skeptis dengan teknisnya tapi kemudian murid saya curhat, "Bu, susah banget soal UN-nya. Mana 20 paket, sekelas nggak ada yang sama jadi terpaksa mengerjakan sendiri. Pusing."

Saya nggak paham sih dengan keluhan si murid yang masih sempat-sempatnya bilang, "terpaksa mengerjakan sendiri," bukankah memang seharusnya mengerjakan sendiri? Haha. Saya tanya soal sms kunci, dia mengeluh lagi. Katanya boro-boro mau nyari sms, dia aja nggak tahu bakal dapat soal tipe apa. Balik lagi ke mengerjakan semampu-mampunya otak mengerjakan.

Dahsyatnya soal UN 20 paket terlihat dari perolehan nilai UN para murid. Saya tahu nilai UN tidak sebesar biasanya saat murid saya mengirim message di fesbuk saya memberikan daftar nilai UN kawan-kawan sekelasnya di Ganesha. Dengan standar saya pada passing grade tahun lalu yang bahkan nilai 36 saja harus siap-siap terlempar ke sekolah swasta, saya sempat stres juga membaca message tersebut. Dua murid teratas saya di Ganesha Cabang Cinunuk, 'hanya' mendapat nilai 35 padahal mereka ingin melanjutkan ke kotamadya. Beberapa belas murid saya yang lain nilainya malah lebih mengenaskan lagi, antara 28-32. Aduh UN rata-rata nilai 7 mah atuh mau dibawa kemana. Saya tanya kenapa nilai mereka kecil, mereka bilang mereka juga nggak tahu. Yang jelas, di sekolah mereka, memang kebanyakan mendapat nilai 28-36. Bahkan ada juga yang di bawah 28. Nyut nyut.

Masuk ke musim penerimaan peserta didik baru (PPDB), data SMA macet tidak ada perubahan siginifikan hingga hari Jumat. Nilai-nilai yang masuk ke sekolah cluster 1 'masih' di kisaran 36. Saya pikir ini orang-orang kok berani banget ya nilai 36 masuk ke SMA 3, SMA 5, SMA 8. Sedikit menyinggung di tingkat SMP, hal yang hampir serupa juga terjadi di sana. SMP favorit lebih banyak diisi oleh nilai 27, padahal tahun lalu 27 sudah nggak punya tempat di cluster 1. Pemandangan berbeda justru saya lihat di SMP cluster 2. SMPN 17 Bandung yang notabene 'di bawah' SMPN 8 Bandung passig grade-nya melambung melebihi passing grade di SMPN 8 saat itu. Di sekolah lain dalam cluster 2 dan 3 pun serupa, nilai-nilai 26 berjubel. Saya rasa ibu-ibu muda yang mendaftrakan anaknya ke SMP punya perhitungan takut terlempar dari cluster 1 makanya memadati cluster 2 dan 3.

Tunggu punya tunggu, Sabtu akhirnya datang. Data SMA memang bertambah, namun angka passing grade tidak ada yang melonjak hingga ke angka 38. SMAN 3 Bandung yang tahun lalu memiliki 28 pendaftar dengan nilai terkecil 39,1 tahun ini sama sekali tidak memiliki pendaftar dengan nilai 39. Nilai terbesar hanya 38,95 dan dipegang oleh satu orang. Pemilik nilai 38 pun hanya 43 orang. Pun di SMAN 5, SMAN 8, SMAN 2. Tahun lalu saya ingat sekali nilai 39 dan 38 memadati seratus ranking teratas pendaftar. Berbeda dengan tahun ini yang tidak satu pun di antara mereka yang memiliki pendaftar dengan nilai 39.

Melihat tren nilai yang normal tersebut, saya jadi bingung . Saya yakin SKL UN punya standar yang baku setiap tahun. Dengan kata lain, saya nggak yakin kalau soal tahun ini lebih sulit dibanding tahun-tahun sebelumnya. Lagipula, masih banyak juga yang mendapat nilai 9 meski tak sebanyak tahun sebelumnya. Saya rasa penormalan nilai tersebut lebih didorong oleh 20 paket soal UN yang terbilang baru dibanding tahun-tahun sebelumnya yang hanya 2 atau 5 paket.

Dasar kesimpulan saya juga sebenarnya buruk, sih. Saya tetap merasa bahwa UN tahun-tahun sebelumnya diwarnai kecurangan. Kalau hanya 2 atau 5 paket soal sih mudah saja bagi pihak-pihak yang terlibat dalam UN untuk mengakali UN, apalagi anak-anak pun sudah tahu mereka akan mendapat paket yang mana. Berbeda pada UN kali ini. Kecurangan dikunci sedemikian rupa sehingga anak-anak pun dipaksa untuk berkonsentrasi menundukkan kepala menghadap soal, bukan lagi menghadap kolong bangku membaca secarik kertas salinan kunci atau bahkan menghadap meja membaca kunci jawaban yang telah disalin dengan spidol berwarna cerah.

Ya, memang saya yakin tidak semua murid pada UN tahun lalu menggunakan kunci jawaban yang beredar secara bebas. Tapi ini sepatutnya menjadi catatan tersendiri, mengapa pada tahun-tahun sebelumnya ada lebih banyak anak cerdas di Bandung ketimbang tahun ini?


Penghapusan RSBI
Faktor lain yang menormalkan passing grade adalah penghapusan RSBI pada tahun ajaran ini. Bagi sekolah yang menerapkan RSBI seperti SMAN 3 Bandung dan SMAN 5 Bandung,  jalur memasuki sekolah top di Bandung ini tak ayal menjadi beragam,namun sayangnya tidak memihak UN. Tes dilakukan secara mandiri jauh sebelum UN dan hasilnya pun sudah dapat diketahui sebelum pengumuman nilai UN.

Menjadikan sekolah-sekolah di Indonesia berstandar internasional itu bagus. Pun karena megahnya gelar yang disandang, yakni ‘internasional’, maka tak semua sekolah bisa langsung menerapkannya. Bertahaplah. Nah, namun demikian, ada harga yang harus dibayar dari keberadaan RSBI. Saya nggak membicarakan kastanisasi dalam pendidikan dan pengkhianatan terhadap bahasa pengantar Bahasa Indonesia di sin, tapi kaitan RSBI dengan UN.

Dari sisi UN, dengan tes mandiri yang diadakan oleh RSBI, saya rasa hal tersebut cukup menggelikan. Bagaimana mungkin sebuah sekolah yang nantinya akan menerapkan UN sebagai ujian akhir tapi di awal proses pendidikannya menepiskan UN? Saya nggak tahu apakah soal mandiri di RSBI itu lebih sulit atau lebih mudah dari UN. Dua-duanya tetap melecehkan UN. Pertama, bila soal tes mandiri RSBI lebih sulit daripada UN, pertanyaannya, mengapa harus demikian? Tidak percayakah pada UN? Bukankah UN digadang-gadang sebagai satu-satunya ujian standar dari proses belajar mengajar? Kedua, bila tes mandiri RSBI lebih mudah daripada UN, maka apakah fair tes mandiri tersebut dilakukan?

Selain itu, dari sisi passing grade, jelas keberadaan RSBI mengacaukan. Meski seolah mengurangi jumlah pendaftar ke sekolah negeri karena paling tidak sudah ada 700 orang yang sudah pasti diterima di sekolah RSBI, keberadaan jalur RSBI sudah barang tentu mengurangi kuota bagi jalur UN. Akhirnya, sekolah ber-RSBI hanya menerima kurang dari 50 anak dari jalur UN. Tidak heran sekolah seperti SMAN 3 dan SMAN 5 mensyaratkan passing grade kelewat tinggi bagi pendaftarnya.

Dengan dihapuskannya RSBI, satu hal yang paling terasa bagi orang luar seperti saya adalah kesempatan untuk masuk ke sekolah favorit dengan cara yang ‘semestinya’ yakni dari UN jadi jauh lebih besar. Tahun ini SMAN 3 Bandung kembali menerima 292 orang dengan passing grade 36,7, sebuah level yang memang wajar bagi kecerdasan anak SMP pada umumnya. Bandingkan bila SMAN 3 Bandung masih terikat pada RSBI sehingga hanya menyediakan 28 bangku bagi jalur UN. Data yang saya dapatkan dari ppdbkotabandung.web.id memperlihatkan ranking 28 pendaftar SMAN 3 Bandung ditempati oleh nilai 38,25. Dengan passing grade 38,25 tersebut, skenario satu yaitu nilai-nilai di bawahnya jelas akan menyebar ke SMA-SMA pilihan 2 seperti SMAN 1 dan SMAN 20 sehingga passing grade SMAN 1 dan SMAN 20 akan melonjak dari angka 33 yang resmi ditutup tahun ini. Akan banyak juga calon pendaftar dari SMAN 1 dan SMAN 20 yang terlempar ke cluster 3, dan anak cluster 3 pun akan terlempar ke swasta. Skenario tak kalah buruk juga datang dari SMA cluster 1 lain seperti SMAN 2 dan SMAN 8 yang kebanjiran pendaftar yang nilainya tak mencukupi di SMAN 3. Alurnya di cluster 2 dan 3 pun kemudian mengikuti skenario 1.


Normal
Meski tak menutup kemungkinan ada faktor-faktor lain yang menyebabkan turunnya passing grade SMA di Kota Bandung pada tahun 2013 ini, saya rasa pemaketan UN menjadi 20 tipe dan penghapusan RSBI sudah menampakkan taringnya. Hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Cluster
Sekolah
Tahun
2012
2013
PG
Kuota
PG
Kuota
1
SMAN 2 Bandung
 37.9 
316
 34.75
265
SMAN 3 Bandung
 39.1
28
 36.7
292
SMAN 5 Bandung
 38.9
23
 35.5
286
SMAN 8 Bandung
 38.2
298
 35.35
296
SMAN 24 Bandung
 37.65
237
 32.65
247
2
SMAN 1 Bandung
 37.35
283
 33.7
250
SMAN 20 Bandung
 37.5
215
 33.9
210
SMAN 22 Bandung
37
258
33.26
232
SMAN 7 Bandung
 36.6
253
 28.15
239

Penurunan passing grade di kedua cluster tersebut juga tidak main-main, minimal menyentuh selisih 2,4 (SMAN 3 Bandung). Bahkan, SMAN 7 mengalami penurunan hingga rentang 8. Selebihnya, SMAN 2 turun 3,15 poin; SMAN 5 3,4 poin; SMAN 8 2,85 poin; SMAN 24 turun 5 poin; SMAN 1 turun 3,65 poin; SMAN 22 turun 2,74 poin; dan SMA 20 turun 3,6 poin.  Jumlah siswa yang diterima di sekolah-sekolah favorit di atas jugasecara keseluruhan  meningkat meski di beberapa sekolah ada juga pengurangan siswa yang diterima. Tahun 2012 tercatat 1911 murid masuk sekolah favorit dari jalur UN, sedangkan tahun ini terdapat 2317 murid.

Ke depannya, saya tentu berharap passing grade tetap berada dalam jalur yang normal. Kalaupun ada peningkatan, pengennya sih bukan karena UN yang lagi-lagi kebobolan karena sudah ketahuan dimana celahnya, melainkan karena meningkatnya kemampuan siswa dalam mengerjakan UN. Saya sih sebenarnya nggak ada masalah dengan UN, RSBI, atau passing grade. Saya hanya berharap apa pun proses pendidikannya, proses tersebut tetap dijalankan secara fair.



Ark. Jul’13. 

Tips Seputar Ujian Nasional 2008…


Hiyaaaaa…bulan apa sekarang? Ternyata sudah Februari. Preparation buat anak kelas 6 SD, 3 SMP, 3 SMA yang mau ujian akhir, nih! Ihiy, UAN? Apaan tuh? Makanan jenis apa tuh? Hehehe. Blagu. Padahal baru juga keluar SMA setaun lalu. Hehe.

Okei, bagi adik-adik tercinta, khususnya yang kelas 3 SMA yang April nanti akan menghadapi UAN, berikut ini adalah pengalaman dari saya. Yah, walopun nilai saya cuma 26,3 dari 3 mata pelajaran, nggak kayak anak-anak lain di SMA saya tercinta yang 27 bahkan 29, coba disimak dengan baik ya...

1. Jangan Pernah Nongkrongin Warnet Untuk Alasan Nyari Kisi-Kisi UAN.

Kenapa? Nggak guna. Bener. Serius. Udah pernah dicobain soalnya. Hehe. Sebenernya waktu itu saya dan lima temen saya iseng doang main ke warnet buat tujuan nista kayak gitu. Kita sering curi denger dari penumpang angkot yang lagi ngobrol kalau soal-soal UAN itu ada di internet. Penasaran tuh. Akhirnya dicobain. Lahhhhh gugling dengan berbagai keywords pun hasilnya nihil. Kita emang sempat nemu soal-soal dari Diknas dan blog-blog guru se-Indonesia, tapi ya nggak guna. Malah jadi ngebuang waktu dan duit. Tapi kalau niatnya buat nyari tips sukses dan latihan soal sih masih boleh lah, ya..belum terlambat, sekalian buat nambah strategi belajar.

2. Belajar, Itu yang Terpenting!

Ya iyyyyyyyalahhhhhhhhhhhhhhhhh....semua juga tahu, rajin pangkal stres, hemat pangkal laper...hehehe. Nggak, ding..maksudnya Rajin Pangkal Pandai. Tapiiiiiii...rajin sama pandai apa dulu, nih? Maknanya kan luas. Misalnya, Rajin nyontek pangkal pandai nyontek. Rajin bolos pangkal pandai ngabur. Rajin telat pangkal pandai boongin guru piket. Rajin baca buku pangkal pandai Open Book di kolong bangku. hehehe. Ya, intinya nggak mungkin kita mengabaikan hal esensial satu ini. Sesedikit apa pun porsi kita dalam memegang buku apalagi membuka, membaca, dan mencermati isinya, tetep aja itu namanya belajar. Tapi masalahnya harus belajar kayak gimana sih supaya bisa mencapai hasil yang maksimal?

Kalau jaman dulu banget waktu saya masih ngerasain bangku perSMAan, belajar itu, selain di rumah, juga di kelas dan di kantin. Widihhhhhh. Bantai banget deh. Tapi itu bukan saya yang belajar, itu mah temen-temen saya. Hehe. Di kelas yang biasanya kalau lagi ngga ada guru diisi dengan main SOS, TTS, Kucing Sumput alias Petak Umpet, Poker, Gitar-gitaran mpe mampus tiba-tiba tergantikan dengan pembantaian buku 1001 Soal dan Kumpulan UAN. Insaffffff semua warga kelas. Untung saya nggak termasuk. Saya mah mainnya ke perpus. Ngenet. Frenster. Hehehe.

Di kantin juga penuh dengan sarasehan UAN. Giliran lagi matematika mah saya dianggurin. Ntar pas giliran Bahasa Indonesia sama Bahasa Inggris baru dipanggil jelasin konsep. Emangnya saya jurusan Sastra di SMA 3 apah...??? Uhhhhh. Ah gapapa deh. Matematika kan saya nggak bisa. Hehe.

Tapi suer banget, suasana nista antibelajar yang sudah berdiri sejak tahun pertama masuk SMA itu langsung sirna begitu masuk semester dua. Kantin penuh sama pembaca buku. Koridor diisi sama debat terbuka pengerjaan soal. Kelas jadi ajang pertukaran soal dan perang jawaban. Mentoring diisi sama berbagai motivasi meraih impian lulus UAN dan SPMB. Masjid penuh sama yang solat Duha. Wah, UAN memang determinan untuk mendorong masyarakat berperilaku irasional. Hehehe.

Saya sih nggak suka belajar di depan umum gitu. Bagi saya belajar paling efektif itu di rumah. Ngoprek buku sendirian malem-malem dan nemuin jawaban. Asik deh.

Di sekolah sih yang saya lakuin buat belajar ya yang ada di bawah ini. Gitu-gitu aja.


3. Ikut Program Perbaikan Pra-UAN Di Sekolah

Jangan terlalu PD sama hasil pra-UAN yang bagus. Kalau di sekolah kalian ada program perbaikan nilai pra-UAN buat anak-anak yang nilainya ancur-ancuran, hal yang positif banget kalau kalian ikutan nimbrung. Jangan pernah gengsi buat gabung karena di program itu kalian bakal dapet penjelasan lebih sabar dan jelas dari guru-guru senior kalian. Jelas berguna.

Pertama, sih kalian bisa minta izin sama guru kalian untuk ikutan program itu, bilang aja waktu pra-UAN mah nyontek atau lagi beruntung, itungan kancing ABCDEnya pas, pokoknya bilang aja kalian nggak puas sama hasil kemarin. Paksa aja deh gurunya. Rayu rayu gituh. Hehe. Nah kalau nggak bisa, nyerobot aja. Hehehehe. Tapi kalian juga harus tau diri. Kan status kalian nyerobot kelas, jangan sampai juga nyerobot bangku. Duduk di bawah aja kalau kursinya ngga cukup. Hehe. Bheuh, sungguh ya...perjuangan demi UAN.


4. Tongkrongin Tempat Fotokopian Sekolah

Nah ini yang paling sering dilakuin saya dan geng saya waktu SMA. Kita selalu ngamatin siapa aja yang masuk ke tempat fotokopian sekolah dan bawa apa aja mereka. Untungnya sempet kongkalikong juga sama tukang potokopaynya. Jadi kalau ada orang yang bawa soal, si pempotokopay bakal motokopiin satu soal buat diperbanyak. Hehehe. Pencuriankah? Bisaaaaa. Tapi ujungnya juga tanpa tukang potokopinya memperbanyak tanpa ijin, soal-soal itu akan beredar dengan sendirinya di sekolah. Siapa yang nyebarin? Ya si orang yang bawa itu sendiri.

Oia, tambahan...dengan keadaan yang saya bocorkan demikian, maka dapat diputuskan bahwa...Kalau kalian punya soal super rahasia, jangan difotokopi di sekolah atau di manapun yang deket sama sekolah, sekalipun itu sekolah tetangga kalian. Bener, deh. Fotokopi aja yang jauh. Ke timbuktu sekalian. Hehehehe.


5. Bawa Pulang Semua Buku di Kolong Meja

Buat para pelajar malas seperti saya yang suka ninggalin buku pelajaran di kolong bangku kelas...,udah hari deket UAN dan SPMB gini bawa pulang semua buku kalian! Dulu kita boleh ngerasa, siapa sih yang bakal nyuri ilmu? Nah, hapuslah anggapan ituh...sekarang prinsip ekskludabilitas alias sifat suatu barang yang dapat mencegah orang lain untuk memanfaatkannya itu sudah hilang! Setiap orang lagi butuh ilmu sebanyak-banyaknya dengan gratis.

Yah, buat yang pengen untung secara nista sih saran saya, tengokin aja setiap kolong bangku, siapa tahu nemu buku nganggur yang belum sempat disadari untuk diselamatkan. Hiehehehehe.


6. Nimbrung di Tiap Diskusi Kupas Soal Dengan Manusia Jenius


Wajib hukumnya!

Kalau kalian punya beragam soal yang sulit dipecahkan, jangan gengsi menunjukkan soal yang kalian anggap susah itu ke orang jenius di sekolah atau di kelas. Biasanya sih mereka ini tipe anak DKM gitu. Nah, jangan males juga untuk nungguin dia selesai solat Duha atau solat Duhur terus cecar mereka untuk ngerjain soal itu. Kita perhatiin kenapa otak dia bisa jenius sedangkan kita engga (Kita??? Wah, gue nggak ikutan bagian ini mah..hehe). Tapi kalian juga harus pilih-pilih anak jenius. Nggak semua anak jenius mau bantuin secara ikhlas tanpa ngerasa lebih tinggi derajatnya daripada kalian. Orang jenius kaya gitu mah tinggalin aja. Cari anak jenius yang low profile dan sabar. Dari situ kita tambah ngerti tanpa kelihatan bodoh dan dia pun bisa mengamalkan ilmunya. Heuheu. Tetep ya, harga diri. Hehe.


7. Latihan Soal Tahun Lalu

Ini penting. Biasanya soal yang muncul tuh pengulangan dari tahun lalu. Bukan pengulangan full, sih. Perhatikan tipe soal yang muncul. Misalnya, ada berapa soal dari dimensi tiga, tipenya dimensi tiga yang gimana. Statistika berapa soal dan statistika bagian mana yang keluar. EYD mana yang paling sering muncul. Segi apa yang sering ditanyakan pada bab Prosa Lama. Tipe wacana apa yang akan ditanyakan dalam Bahasa Inggris. Dan lain-lain. Bukan ngapalin soalnya tapi ngapalin tipe dan frekuensi soalnya. Apa gunanya? Supaya kalian nggak terlalu berat ngapalinnya. Rugi banget kalau kalian ngapalin tapi yang muncul bukan itu. Sekarang bukan waktunya untuk mengerti tapi mendapat nilai.

Menjauhkan tujuan dari proses belajarkah pandangan saya itu? Nggak. Bagi saya, tujuan dari proses belajar harus sudah dicapai sebelum UAN. Penyalahan pada UAN yang mendiskreditkannya sebagai ujian yang tidak mengukur kemampuan siswa sesungguhnya bukanlah hal yang bijak. Kenapa? Karena seharusnya apa yang hendak dicapai dari proses belajar-mengajar sudah tercapai sebelum UAN. Jika hal tersebut terpenuhi, maka ketika UAN sebagai kuantitator kognitif datang, kita dan guru kita sudah siap.

Jauhkan semua kutukan pada UAN karena itu nggak akan membantu kita dalam menghapal. Bagi saya, kutukan pada UAN disebabkan oleh ketidaksiapan kita dalam menyiapkan UAN. Kalau kita udah siap, pasti nggak bakal ada yang kayak gitu.


8. Kenali Kemampuan Kalian dan Mulai Susun Strategi


Gali dimana kelebihan kalian dan dimana kekurangan kalian. Mampukah kelebihan itu kalian jadikan pentolan dan mampukah si kelemahan itu kalian eliminasi. Contoh, oke saya lagi. Yang saya tau, jangan pernah kasih soal dimensi tiga untuk saya. Sumpah, nggak bisa! Harga mati, beneran deh. Dari tiga puluh soal yang diberikan dalam Matematika, saya cuma jawab 27 soal, sisanya yang nggak saya jawab itu soal dimensi tiga.

Kenapa saya pilih menyerah ? Karena saya tau waktu yang saya gunakan untuk belajar dimensi tiga akan terbuang percuma. Makanya waktu itu saya nggak belajar dimensi tiga tapi mengalihkannya ke bab lain dan pelajaran yang saya rasa bisa dijadikan andalan. Itu cara saya.

Lain lagi dengan cara adik saya yang juga tahun kemarin mengalami UAN SMP. Dia lemah dalam semua bab matematika, nilai pra-UANnya ancur banget deh. Tapi dia rajin. Dari Januari sampai hari H UAN, dia nggak lepas dari Matematika. Hasilnya? Nilainya malah 100. Whaha. Tapi di bidang bahasa nilai si adik standar aja, cuma 8.

Nah, silakan pilih mau pakai cara saya yang mengalokasikan waktu seefisien mungkin atau yang bantai semua dengan tekun kayak adik saya.


9. Minta Alumni untuk Bantuin

Kalau kalian punya kenalan alumni yang bisa diajak belajar, ajakin si alumni nongkrong di tempat PeWe buat belajar bareng geng kalian. Temen-temen saya malah sampai nongkrong di kantin sekolah sampai jam 3 pagi buat ngerjain soal-soal dan belajar sama alumni. Jangan pikir mereka anak-anak freak. Sama sekali engga. Mereka justru ’preman sekolah’ alias tipe pria yang produktif dalam membuat rekor panggilan wali kelas dan konseling yang nampak malas belajar. Tapi ternyata mereka punya cara sendiri yang efektif. Luasnya koneksi mereka dengan alumni yang nggak lebih normal dari mereka dimanfaatkan untuk menambah ilmu mereka. Hasilnya? Si Dika aja dapet 28 tuh. Buseeeeeettttt. Dapet darimana tuh, Dik...???? Hehehehe.

10. Jangan Mikir UAN itu Susssssahhhhh


Walaupun nilai saya cuman 26 lebih dikit, kalian harus percaya sama saya kalau... UAN itu nggak susah! Jangan terlalu mendewakan UAN. Santai aja. Ini kan ujian dengan skala nasional, tingkat kesulitannya nggak begitu pantas untuk menstreskan kita. Saran saya, jangan mempelajari tipe soal yang rumit. Logikanya gini, para pembuat soal itu tahu sampai mana kualitas soal dengan standar sedang yang bisa diselesaikan dalam waktu 2 jam, makanya soal-soal yang mereka buat itu bukan soal induksi matematika yang harus pakai perhitungan superpanjang. Dengan alokasi waktu yang singkat, nggak mungkin juga mereka ngasih soal yang sulitttttttt dan rumitttttttnya bisa bikin gila. Percaya deh sama mereka. Mereka nggak bakal mempersulit kita kok.

11. Berdoa

Paling penting yang ini. Sebelum ujian berdoa supaya lancar dan setelah juga berdoa biar cita-cita kita tercapai. Sebagai manusia lah, apa sih yang bisa kita kuasai, ya nggak..??

12. Jangan Percaya Kunci Jawaban

Ini penting nih buat hari H. Kunci jawaban tuh bisa menyesatkan, apalagi kalau kunci jawaban itu terdiri atas banyak kode. Widih. Jauhin hal demikian ya... Selama UAN tahun lalu, saya dapat peredaran kunci jawaban. Semua mata pelajaran. Kuncinya itu nggak cuman satu kode, paling engga ada tiga kode, malah matematika ada delapan kode. Bingung kan luh? Huh um. Hehe. Nggak saya aja yang dapet, pastinya. Rahasia umum bangetlah yang kayak ginian mah. Saya aja udah jadi tangan keberapa dari mata rantai setan itu.

Waktu itu karena penasaran, kuncinya saya tulis di meja pakai spidol warna warni, tapi yang warnanya nggak mencolok. Nulisnya di pinggiran meja biar nggak ketauan, hehe. Setelah selesai mengerjakan UAN, saya cek dengan jawaban kunci. Teryata semua kode itu menunjukkan jawaban yang berbeda dengan jawaban saya. Sempet takut juga. Walahhhhh jangan-jangan gue yang salah. Tapi waktu saya cocokkan dengan soal, saya tetap yakin dengan jawaban saya. Nah, ternyata hasilnya...? Jawaban saya nggak salah kok.

Kesimpulannya, jangan percaya sama kunci jawaban. Dosa, jelas. Bikin bingung dengan berbagai kodenya, pasti. Belum tentu jawaban dia bener, itu yang paling penting buat diingat. Meskipun itu bikinan oknum terpercaya, tetep ajalah, coba pikir, dia cuman punya waktu berapa lama untuk ngerjain? Kemungkinan human errornya gede kan? Mending kalau langsung dari kunci jawaban negaranya. Hehehe.

Sippppp, tuh tips mau UAN-nya...

Jangan pernah menyerah, ya...

Selamat belajar buat UAN...

Semoga hasilnya lebih bagus daripada hasil yang saya dapat.

Amin.

(Ark.Jan’08)


Mengenai UN, dari Siswa

(tulisan ini dibuat tahun 2007 lalu dan menjadi juara III Lomba Penulisan Artikel tentang UN yang diadakan oleh Universitas Pasundan, Bandung)

Mengupas Ujian Nasional atau UN yang April lalu baru saja kita lewati, tak adil rasanya bila kita hanya merenungkannya sebagai indikator betapa tidak bersihnya lingkungan Indonesia hingga ritual sesakral ini pun diwarnai dengan kecurangan. Justru dengan banyaknya kasus kecurangan yang terumbar media dan dengan kenyataan yang sama-sama diketahui siswa bahwa kasus kecurangan ini adalah kasus gunung es, seharusnya mata dan telinga kita terbuka untuk dapat merasakan beban psikologis yang diderita siswa-siswa kelas tiga dengan diberlakukannya UN sebagai standar kelulusan mereka.

Ada Apa dengan UN?

Ditetapkannya UN sebagai standar kelulusan tak ayal membuat siswa terbebani. Beban ini makin berat lagi saat mereka mengetahui bahwa mata pelajaran yang diujikan adalah Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Walaupun mereka masih bisa bernafas lega karena bukan Fisika yang diujikan, namun beban berat masih tak terelakkan mereka rasakan.

Ada lebih dari dua puluh bab yang harus mereka kuasai dalam Matematika. Ada kejelian yang harus mereka miliki untuk dapat menentukan tema, topik, ide pokok, gagasan utama, dan unsur intrinsik dalam wacana Bahasa Indonesia. Ada lebih dari sepuluh jenis wacana dalam Bahasa Inggris yang harus dapat mereka bedakan. Terakhir sekaligus yang paling berat adalah mereka harus mampu menjawab benar minimal 50% dari total soal agar mereka lulus.

Beban mereka juga masih ditambah lagi dari sekolah ketika sekolah menyediakan soal-soal praUN. Siapa yang tidak tahu bahwa soal praUN jauh lebih sadis dibandingkan dengan soal UN sesungguhnya? Kumpulan soal UN tahun-tahun sebelumnya serta soal-soal prediksi guru tersebut jarang dapat mereka lalui dengan skor 80%. Salah siswakah untuk hal ini jika mereka sendiri mengeluhkan bahwa soal-soal praUN ini dihiasi dengan pilihan jawaban yang bias dalam soal Bahasa Indonesia, terlalu cepatnya pembacaan soal Listening dan sulitnya vocabulary serta seribu langkah yang harus mereka lalui untuk dapat menemukan jawaban soal Matematika?

Dua hal ini pada akhirnya menjadi faktor mengapa sampai ada kecurangan dalam UN. Penyebabnya jelas, karena mental siswa terganggu. Mereka cemas dan pesimis dalam menghadapi UN karena di tangan UN-lah nasib mereka bergantung.


Merah-Hitam UN, Guru, dan Siswa

Sejak awal siswa telah mendapat pukulan mental dari jeleknya nilai praUN dan ditetapkannya UN sebagai standar kelulusan, pukulan ini buruknya telah merusak psikologis mereka dengan mengubah mereka menjadi pribadi yang gampang cemas, pesimis, dan putus asa. Pukulan ini lalu bertambah subur lagi bersemayam dalam alam pikiran mereka saat mereka mendiskusikannya dengan teman-teman mereka yang juga mendapat nasib yang sama. Bukannya membantu namun diskusi ini akan berujung pada kecemasan dan kepesimisan massal.

Terkadang guru membantu memulihkan ketidakpercayaan mereka pada kemampuan mereka sendiri dengan meyakinkan mereka bahwa soal UN pasti bisa dikerjakan. Namun sayangnya hiburan ini akan berujung pada syarat, “Kalau kalian mau belajar,” dan akan berakhir dengan akibat, “Kalau nggak belajar ya pasti nggak bisa.” Kalau begini, bagaimana bisa siswa-siswa 'sakit' ini sembuh?

Bayangan pendahulu mereka yang gagal pada tahun-tahun sebelumnya juga ikut menambah panjang derita mereka. Ketakutan akan mengikuti jejak kelam tersebut tak diragukan telah membuat mereka jauh lebih dalam terperosok pada ketakutan menghadapi UN yang dijadikan standar kelulusan.

Tak ada api maka tak ada asap, prinsip ini dapat menganalogikan bahwa kecurangan-kecurangan dalam UN bukan datang tanpa sebab. Tentu ada alasan yang mengiringi siswa-siswa yang rajin mengunjungi warnet untuk menjelajahi dunia maya dan berharap mendapat kisi-kisi hingga soal, kebocoran soal UN, dan beredarnya sms berisi kunci jawaban.

Menghukum kepala sekolah atau guru, ujian ulang, dan pencabutan keputusan lulus bagi siswa yang terbukti curang tidak akan membawa pengaruh apapun kecuali semboyan lebih apik lagi melangkah curang tahun depan, karena itulah pembinaan yang tepat adalah pembinaan -atau tepatnya pencegahan- yang mampu menyembuhkan psikologis siswa. Kecemasan dan kepesimisan mereka yang muncul dari ketidakmampuan mereka dalam mengerjakan soal praUN, putusan 'pasti gagal', 'sulit', 'pasti nggak bisa' yang mereka cap pada diri mereka sendiri, contoh kasus kegagalan kakak-kakak mereka, dan keputusasaan mereka untuk terus mencoba mengakrabkan diri dengan materi adalah terdakwa utama yang seharusnya diperhatikan dan dibina untuk disembuhkan.

Siswa harus diyakinkan seyakin mungkin bahwa setelah mereka menempuh pendidikan selama tiga tahun mereka pasti akan bisa menyelesaikan tiga puluh dan lima puluh soal UN dengan hasil yang baik, itu satu-satunya cara untuk menyembuhkan psikologis siswa yang ketakutan dengan UN. Usaha ini tentunya takkan lepas dari peran guru, karena itulah guru harus dapat berperan sebagai pendidik, tidak hanya sebagai pengajar.

Ada kekurangan guru yang sering saya temukan, yakni mereka terlalu menyamaratakan kemampuan semua siswanya. Semua dianggap bisa karena tidak ada yang bertanya, padahal mereka tidak bertanya karena mereka memang tidak mengerti dengan apa yang diterangkan guru. Kadang materi selanjutnya diteruskan padahal masih ada siswa yang belum memahami betul materi yang telah diulangankan. Ada juga guru yang mengetahui kekurangan siswanya tapi mereka tidak memberikan tindakan responsif nyata. Mereka memang menanyakan mengapa si siswa ini sampai bisa mendapatkan nilai jelek, mereka juga menasihati siswa tersebut agar lebih rajin lagi belajar, namun sebenarnya bukan ini yang dibutuhkan oleh para siswa yang kemampuannya belum terlalu mantap. Mereka membutuhkan uluran tangan nyata dari guru untuk meningkatkan kemampuan mereka. Tidak adanya uluran tangan tulus dari guru ini pada akhirnya akan menambah lagi daftar beban psikologis siswa.



Ujung dari UN : Serangan Mental Permanen

Tak cukup dengan membawa dampak psikologis berupa kecemasan, pemberlakuan UN sebagai standar kelulusan juga membawa dampak panjang dan berpotensi permanen yakni lahirnya generasi calon pemimpin yang bermental instan.

Keterbatasan waktu pengerjaan soal UN dan banyaknya materi yang harus mereka kuasai untuk dapat menorehkan minimal angka 5 di ijazah secara langsung telah membuka jalan untuk mencari cara penyelesaian soal yang paling cepat. Tidak salah juga sebenarnya, mengingat bahwa rumus-rumus cepat ini menginduk pada konsep dasar. Namun sayangnya, ada guru yang tidak menerangkan bagaimana rumus itu bisa terlahirkan dan ada juga siswa yang tidak mau mendengarkan penjelasan guru sehingga pada akhirnya rumus cepat ini mengubah kepribadian merka menjadi kepribadian yang cenderung lebih nyaman dengan mendapatkan segala sesuatu secara instan.

Dua hal yang patut dicermati dengan adanya rumus-rumus cepat ini adalah, pertama, siswa tidak menghargai sekolah. Siswa yang terlanjur mencintai rumus cepat ini akan lebih menghargai bimbingan belajar karena di bimbingan belajar mereka bisa mendapat banyak rumus cepat. Dengan tidak menghargai sekolah maka akhirnya mereka pun tidak lagi menghargai proses pendidikan. Sekolah hanyalah alat untuk memperoleh ijazah setelah mereka dinyatakan lulus UN. Ini sangat memprihatinkan, UN sebagai standar kelulusan yang merupakan produk pendidikan malah menghilangkan nyawa dari penyelenggara pendidikan sendiri.

Kedua, berkaitan dengan akibat jangka panjang, adanya rumus cepat ini juga akan berakibat munculnya generasi yang tidak dapat memimpin masyarakat dengan baik. Adanya rumus cepat mau tidak mau pasti akan mengikis kemampuan bernalar secara sistematis mereka. Pertanyaannya, mau dibawa kemana masa depan negara kita bila dipimpin oleh mantan-mantan siswa yang bermental instan tersebut?



Masih Haruskah Ia Ada?

Ujian Nasional atau UN, biar bagaimanapun ia harus tetap ada. Tetap harus ada suatu standar nasional yang definitif untuk mengetahui sampai dimana kemampuan siswa setelah menempuh tiga tahun pendidikan dan sampai dimana keberhasilan sekolah menjalankan fungsinya. Nah, Inilah yang harus digarisbawahi, UN memang perlu namun hanya sebagai standar saja. Standar yang memperlihatkan kepada siswa bahwa selama tiga tahun mereka belajar inilah hasil yang mereka capai dan inilah perbandingan dengan siswa-siswa lain yang juga selama tiga tahun belajar. UN sebagai standar juga merupakan alat pengukur prestasi sekolah dan daerah dalam mendidik siswanya. Sekolah atau daerah yang siswanya mendapat hasil yang baik dalam UN dijadikan percontohan dan bagi sekolah atau daerah yang anak didiknya belum mendapat hasil yang baik akan mendapat perhatian dan pembinaan serius dari pusat agar prestasinya dapat terangkat.

Dengan menjadikan UN sebagai standar pengukur prestasi saja maka pendidikan merata di seluruh Indonesia akan terwujudkan. Selain itu, dampak buruk bagi psikologis siswa juga dapat dihindari. Siswa akan menjalani UN dengan tanpa beban dan pendidikan akan ternilai dari proses, bukan hasil. Akibat lebih jauhnya adalah Indonesia akan memiliki generasi pemimpin masa depan yang berkualitas, secara mental dan akademis.

Sungguh suatu awal yang baik dari pemerintah yang akhirnya pada tahun ini berkebijakan tidak menjadikan UN sebagai satu-satunya alat ukur kelulusan siswa, namun juga mempertimbangkan nilai-nilai yang diperoleh siswa dalam ujian sekolah. Semoga secara bertahap kelak UN hanya akan dijadikan standar untuk mengevaluasi prestasi sekolah dalam mendidik siswanya dan sebagai alat refleksi diri siswa sampai dimana kemampuannya setelah melalui tiga tahun proses pendidikan. Lagipula, pemberlakuan UN sebagai standar kelulusan siswa sangatlah tidak adil karena sampai saat ini bangsa Indonesia masih terlalu heterogen untuk disamaratakan dalam selembar ijazah.

(Ark.Mei'07)


Ujian Praktek

Selepas UN, perjuangan masih belum selesai. Rehat dari kegiatan belajar selama tiga hari dari Jumat sampai Sabtu, hari Senin tanggal 23 April saya dan (mungkin) semua anak kelas tiga SMA seBandung raya ngejalanin yang namanya ujian praktek.

Ujian praktek sih sebenernya formalitas doang, soalnya pasti bakal dilulusin. Nggak mungkin gara-gara nggak ngegambar terus jadi nggak lulus kalau nilai UN-nya mencukupi. Sebenernya logikanya gitu tapiiiiiii justru karena ada bawaan kayak gini makanya kita semua jadi superasal-asalan buat ngerjain praktek-praktek dari sepuluh mata pelajaran.

Kayak kelas saya nih, kelas 3-5. Aduh, ujian praktek sih buat kita mah, kalau diibaratin sama main kartu remi mah, istilahnya cus banget lah. Lewat! Nggak tau mesti ngapain. Paling parah waktu ujian praktek agama.

Ujian itu jadi ujian hari pertama dan nggak ada satu pun dari kita yang dapet bocoran silabus apa yang bakal diujiin. Dateng ke sekolah dengan tenangnya, “Eh, agama ngapain ntar?” dan dijawab, “Hehe, teuing...” alias nggak tau. Baru pas jam delapan dimulai kita langsung pada mati.

Yang diujikan:

-Solat jenazah

-Mandiin dan ngafanin jenazah

-Hapalan doa sehari-hari

-Ngaji

-Solat gerhana atau solat duha

-Hapalan QS.Al-A'laa atau QS.Al-Ghasiyah


Baguuuuuuuus!

Ini dia tanggepan sekelas...

Ngerawat jenazah? Hehehe. Dimandiin kayak kita mandiin anak kecil gitu bukan, sih? Siram dari gayung atau lelepin aja?

Hapalan doa sehari-hari? Mmmm...paling doa makan, belajar, tidur, ke WC. Udah. Kalo doa naik kendaraan? Bismillah. Kalo turun dari kendaraan? Depan Kiri, Mang!

Al-A'laa? Nggak apal..nggak tau malah!

Al-Ghasiyah? Yang 19 ayat aja nggak apal...gimana yang 26 ayat????!!!!

Argh! Udahlah in mah cus aja!!!!! Ujian yang kayak gini sih buka kartu banget nggak pada beriman. Hehe. Tapi alhamdulillah bisa terlalui dengan baik, sih. Si Al-A'laa sama yang 26 ayat itu akhirnya boleh diganti sama dua surat juz amma yang lebih dari delapan ayat. Hmmm. Tapi kita masih juga belum puas, cule-cule brekele lagi jadi cuma dites Al-Kafirun sama Al Insyirah atau At Takatsur. Hehehe. Hapalan surat mah jaman SD banget tuh. Sekarang mah maksiat kitanya jadi udah lupa sama yang namanya surat-surat. Astagfiruloh.

Ujian hari kedua adalah ujian bahasa Indonesia. Materinya seperti biasa, mengarang, menyimak, dan berbicara. Nah, agak bermasalah sama materi berbicara yaitu drama! Argh! Nggak ada waktu buat bikin, ngapalin, dan latian. Ya iyalah, secara hari kedua..sekaligus kelas pertama yang nggak dapet bocoran dan kelas yang pada hari sebelumnya udah keteteran sama ujian agama. Akhirnya? Lagi-lagi cus dengan milih tema budaya buat drama.

Saya, Soni, Shova, Vivi, Rifki, Reza latian dadakan habis ujian agama sampe jam setengah enam sore, bikin naskah, bagi peran, latian bentar. Waktu yang disediakan maksimal lima belas menit dan kita dengan dodolnya show dengan cepat, lima menit beres! Judul dramanya nggak tau, intinya kita mainin tema Budaya Antri dan Budaya Meramal. Drama yang superenggak banget dan kacau -tapi kita enjoy...hehe. Namanya juga, cussssss!!!-. Saya jadi ibu-ibu yang percaya sama peramal, Shova jadi peramal gadungan, Rifki, Vivi, Soni jadi pengantre yang rebutan barisan buat diramal, Reza jadi dokter jiwa sekaligus suami saya. Argh. Tujlebnya, pas akhir drama, si Pak Abro nanya ke kita, “Jadi ini maksudnya semua orang gila, gitu ya..???” Argh.

Bukan, Pak!!!

Aduh, guru pun ternyata nggak nemuin apa amanatnya...Cussssss. Capede.

Hari ketiga...hari ketiga tuh ujiaaaaan..bentar bentar bentar bentar...Rabu tuh...Oiya, seni lupa! Pantes aja lupa! Hu um hu um, seni lupa! Alias seni rupa... Ujian ini ujian yang paling bikin tenang...kenapa? Bukan karena kita pada bisa nggambar tapi..justru kita nggak bisa nggambar. Hehe. Cussss. Pas hari H-nya, kita dikasih waktu dua jam buat nggambar dengan arsiran pensil tanpa penggaris dan penghapus di kertas HVS yang harus dikasih batas luas 15x12 cm atau 15x20 cm. Otomatis, pilih yang 15x12 lah. Hehe. Kita juga dikasih lembar perintah nggambar apa aja, yang sayangnya kita juga nggak ngerti sama arti perintahnya.

-Gambarlah dengan stilasi bla bla bla...

"Hah, stilasi apaan?”; “Wah, nggak tau, euy! Gambar ajalah...”

-Buatlah ragam hias asimetris kombinasi garis dan bidang bla bla bla..

Ini juga nggak tau lagi apa artinya cuma berhubung di situ ada kata-kata Abstrak-nya, yaudah kita cuma ngerti kalau intinya kita boleh pilih tema yang abstrak dari kombinasi garis dan bidang dan boleh nggak simetris...

Daaaaannnn, bisa ditebak, pada banyak yang ngambil tema abstrak asimetris ini. Kacau deh. Ya soalnya pemikiran kita cuma satu, gambar secara stilasi yang seharusnya nggak abstrak pun pasti ujungnya bakal ketangkep sama orang lain sebagai gambar yang abstrak. Whehe. Yaudah cari aman, mending ngegambar gambar abstrak aja, sekalian. Hehe.

Ujian selanjutnya adalah ujian komputer!! Whaha. Males. Vlookup, Hlookup, If. Lupa semua. Selama kelas tiga ini kita udah nggak dapet lagi pelajaran komputer. Hihihi. Cule cule brekele lagi ngecopy-paste rumus yang udah dikerjain sama anak kelas sebelumnya. Cussssssszzzs.

Ujian hari Jumat adalah ujian kimia. Praktikum titrasi, laju reaksi sama elektrolisis. Untung saya kebagian titrasi sama laju reaksi, bukan elektrolisis. Cuslah. Belum belajar si elek. Mati aja itu mah kalo dapet elek. Kasus di lab kim tuh rada dodol juga. Waktu lagi ngetitrasi, ternyata buretnya bocor...ngalir teruslah itu si NaOH nggak berhenti-berhenti, ditambah lagi anak yang dapet giliran sebelum saya itu numpahin HCl, udah gitu kayaknya ketetesan fenoftalin..akhirnya meja saya becek sama warna pink. Ugh. Nilai saya jadi ikut terkurangi gara-gara anak itu. Jorok.

Waktu lagi laju reaksi juga sempet degdegan. Na2SO3-nya kok nggak ada. Stak lima menit di meja dan diliatin pengawas, kayaknya sih dia bilang, nih anak dodol banget sih nggak mulai-mulai. Eugh, sumpah gugup banget tuh waktu itu. Apalagi waktu culang cileung ke Sonia, ternyata dia udah berhasil ngitung laju reaksi. Setelah lima menit yang dalam hati saya habisin buat ngutuk ditaro mana itu si natrium sulfat, ternyata...dia ada tepat di depan saya! Ya oloh...ngapain aja gua dari tadi. Hugh.

Hari Sabtu ada dua ujian. Fisika sama Aerobik.

Waktu ujian fisika, alhamdulillah saya dapet praktek kalor jenis. Untung bukan osiloskop atau apalah yang harus pake colok-colokan listrik. Terus berhubung saya telat dateng buat masuk shift pertama yang isiya cewek semua, akhirnya saya ikut shift kedua yang isinya semua laki-laki, nah di sini saya udah ngarep pasangannya sama Ferandi, Reza, Dani, Soni, atau siapalah gitu yang pinter dan bisa diperbudak untuk praktikum sendirian sekaligus masukin rumus, eeeeeeh taunya harapan saya hanyalah harapan kosong semata. Saya dapet pasangan sama si Karim! Oh, no! Udah mah saya tolol..ehhhhhh, pasangannya jauh lebih tolol lagiiiiiiii.

Karimmmm...kenapa kita begitu sering berjodohhhh!!!! Telat bareng, duduk bareng...Argh!

Ujian ini juga rada stak...tapi untungnya berhubung Karim sadar kalo dia emang rada dodol, jadi dia udah prepare..Cule cule brekele dia...bawa buku materi praktikum..jadi intinya kita OB alias open book. Hore! Berhasil!

Paling lega waktu udah ujian aerobik. Hummmmm. Perjuangan seminggu full pulang sampai magrib dan ditemani hujan superderes akhirnya berbuah manis. Hore, aerobiknya bagus. Cape banget tapi asik. Kebayar semua hari yang tersita buat aerobik. Tampil dengan gaya eighties, kelas 3-5 yang pake musik dugem ala 80an akhirnya bisa kompak lonjak-lonjak aerobik -yang jauh lebih pantes kalau dibilang gerakan modern dance, kayaknya- dengan powerfull. Nggak kalahlah sama anak 3-4 yang aerobiknya pake tema dangdut (dan pake lagu Mabok Janda!!!) dan gayanya harot pisan. Inul, Dewi Persik, Vetty Vera, Alam, Elvi Sukaesih mah kalah lah sama goyang aerobik dangdut mereka.

Hari berikutnya adalah ujian Biologi!!! Ini nih paling mending...saya dapet bagian Uji Mantan! Ups, maksudnyah Uji Makanan. Itu tuh yang nyari kandungan apa aja di dalam makanan. Yang pake tes biuret, benedict, lugol. Hehe. Ini mah nggak pake mikir. Tinggal tetes, tetes, tetes, panasin! Catet hasil! Yessssss.

Terakhirrrrrr adalah...bahasa Inggris. Huh, ini nih yang rada ngagetin...jadi dulu tuh kita sempet dikasih tugas buat bikin esai bahasa inggris, trus katanya boleh bawa kamus. Rada heran juga, ngapainnnnn?? Yaudah dulu tuh dengan lempengnya nulis apa aja. Ehhh, taunya sejuta taun kemudiannnnn..ada woro-woro titah raja bahwa apa yang sudah ditulis akan diujikan dalam bentuk wawancara. Inti-intinya mah kudu dispeakingin. Eugh. Tau gitu mah itu esai saya fotokopi dulu dehhhh. Hummm, untung tadi pas diwawancari lumayan lancar.
Keluar dari ruang ujian bahasa Inggris...hati rasanya legaaaaaaaaa bnaget! Tengkyu God...masih dikasih kesempatan buat nyelesein ujian praktek dengan lancar walaupun sangat-sangat hancur. Huks huks huks.

Ujian praktek lewat...nah sekarang tinggal berjuang buat ngehadepin yang namanya UAS. Oh, noooooooo!!!!!

(ark.Mei'07)

Untuk UN yang Menjelang... ...

Januari, Februari, Maret, April…
Tinggal tiga bulan lagi tuh kita ketemu sama bulan April. Emang ada apa, sih di bulan April? Nggak ada apa-apa, kan?

Wah, kalo jawabannya kayak gitu, sih artinya ada tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, yang jawab bukan anak kelas 3 es em a. Kedua, kalo yang jawab itu ternyata anak kelas 3 es em a berarti dia nggak punya tipi dan nggak pernah dengerin gosip terbaru di dunia pendidikan (ciah cuih!). Ketiga, orang yang jawab itu memang bukan anak kelas 3 es em a dan dia juga nggak punya tipi sama nggak pernah denger gosip.

Huuuu, cupu!

Bulan April 2007 ini, dari tanggal 17 sampai tanggal 19-nya bakal ada event besar yang mengguncang dunia persekolahan anak kelas 3 es em a. Masa depan mereka tergantung dari tanggal ini. Ada apa hayo…????

Ujian Akhir Nasional…yang tahun ini namanya dipersingkat jadi Ujian Nasional. Huh, apa bedanya, ya kan? Sama-sama sounds terrible dan annoying…mana soalnya juga tetep nggak berubah tuh jumlahnya. Matem 30, B.In 50, dan B.Ing 50… Kenapa sih nggak sekalian ikut dipersingkat jadi setengahnyaaaaaaa aja…??? Hehehe.

Menyambut event yang akan mempengaruhi hajat hidup rakyat banyak ini, murid-murid tidak tinggal diam. Mereka berupaya meningkatkan prestasi diri, dari belajar sampai mutusin pacar. Waaaaaah…. Oia, bahkan ada yang sampai pakai ramalan kartu, loh! Tujuan mereka pakai ramalan kartu itu supaya mereka bisa lebih tau secara spesifik bahasan-bahasan apa yang bakal diujikan di ujian yang katanya banyak dikeluhkan guru-guru ini. Katanya sih supaya mereka bisa menghemat waktu. Biar efisienlah belajar langsung ke sasaran, nggak mubeng-mubeng dulu sampe mabok.



“Yah, bukannya apa-apa, sih, kita kan ujian nggak cuman tiga pelajaran itu aja. Kan masih ada ujian akhir sekolah dan seleksi penerimaan mahasiswa baru… Kalo kita kebanyakan baca buat UN sampai akhirnya kita nggak sempet belajar buat ujian lain kan sayang banget. Apalagi kalau yang kita baca itu ternyata nggak dibuat pertanyaan. Nggak enaklah… Makanya kali-kali aja kalau kita ngeramal pakai kartu yah at least ketauanlah mana aja yang harus kita pelajari…” kata salah seorang sumber.


“Ya, sedih, sih diputusin mah, apalagi alasannya karena ujian. Tapi yah gimana lagi, sebagai cewek kan kita nggak bisa apa-apa kalau cowoknya udah ada mau. Saya mah pasrah ajalah. Semoga mantan saya itu lulus ujian dan saya juga lulus ujian. Semoga setelah lulus ujian, dia insaf dan meminang saya kembali, saya mah cinta mati-lah sama dia mah…Da buat saya mah, ujian ma pacaran sebenernya ga ada hubungan, jalannya pisah. Lagian kita juga kalo pacaran nggak pernah ngapa-ngapain selain bertengkar mulut dan fisik…” komentar salah seorang cewek yang baru aja diputusin pacarnya. Dia ngomong sambil nangis setelah sebelumnya cewek itu mengekor punggung mantan pacarnya dengan penuh kepiluan.


“Oia, kita juga manggil alumni buat ngajarin kita. Mereka baik dan mau ngeluangin waktu buat kita.”





“Belajarlah. Nggak ada yang lain selain belajar. Di perpus ini enak banget. Konsen banget kalo belajar.”





“UN? Gampang ujian kayak gitu mah.”





“Oh, di tempat les tuh gurunya asik-asik. Kalo kita lagi belajar di rumah terus ada yang nggak ngerti ya kita tinggal calling mereka aja. Mereka 24 jam siaga. Terus katanya kalo nanti waktu UN ada soal yang susah banget kita tinggal calling mereka, mereka pasti mbantu. Yah, hidup mah gampanglah.”





“UN? Saya sih nyantei aja, lagian saya emang pinter dan rajin. Liat, dong, di kantin aja saya belajar. Matematika lagih! Yah, tadi sih sempat ngabisin yamin sama mie ayam dulu terus minum jus sirsak campur stroberi, tapi setelah itu saya belajar lagi duoooongggg... Aduh, maaf yah, saya sibuk banget nih!” dan perempuan berambut keriting itu pun melanjutkan itung-itungan kalkulator.





“Enjoy aja lagih! Jangan dibawa tegang. Nyontek kan bisa. Nih kayak sekarang, gua lagi nyontek tugas, itung-itung latian buat nyontek pas UN.”






Waw, emang ya, kalo udah ngomongin UN…komentar tuh beragam! Tapi satu persamaan dari semua komentar itu adalah murid-murid rata-rata nggak takut sama yang namanya UN. Mereka udah siap-siap, mereka juga nggak tegang, trus mereka juga optimis banget bisa lulus UN.


Kalau dari saya sendiri, sih, kiat-kiat buat menghadapi UN ini yaitu :
1. Belajarlah, pasti…

2. Berdoa yang rajin, yang jelas, dan efektif. Maksudnya kalo berdoa tuh jangan setengah-setengah, “Tuhan, aku mau lulus UN…” itu kan masih umum banget, mau lulus UN apa? Tahun berapa? Nggak jelas dan nggak efektif tuh. Harusnya, “Tuhan, aku mau lulus UN Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dengan nilai antara 7 sampai 10, pada tahun 2007 ini. Aku mau lulus tanpa nyontek buku dan teman-teman sekelas maupun luar kelas. Aku mau lulus dengan mudah. Kalau aku udah stak nggak bisa, semoga itungan kancingku tepat…Amin.”

3. Jauhi kegiatan ngeceng, pacaran, terutama yang sampai nyita otak, hati, dan fisik. Kalau masih mau pacaran –ga mau putus–, bikin syarat sama pacar kalian supaya mau bantu pas UN. Mmmm, kayak nempelin kunci jawaban di pintu WC, njatuhin kertas kunci jawaban di jalan menuju WC, punya akses bluetooth dalam radius 400 kilometer tanpa terhalang tembok buat ngirim jawaban, hpnya bisa buat videocall jadi bisa kasih jawaban lewat mimik, atoooooo…ah, kok jadi maksiat gini…

4. Jangan sampai ketemuan sama musuh apalagi kalo sampai bertengkar

5. Jangan patah hati apalagi kalau sampai mau bunuh diri

6. Jangan makan makanan pedas, berlemak, berminyak, dan beracun…gawat, bisa-bisa ngerjain soal UN di kamar RS ato kamar mayat.

7. Hndari kebut-kebutan, taruhan, judi, dan sabung ayam




Selamat menempuh UN!!!







–Januari 07. Fst. Dok.pri–