Totalitas

Saya nggak peduli setelah baca postingan kali ini kalian bakal mencap saya sebagai anak abege labil atau perempuan yang mudah tergiur dengan sosok pengisi dunia hiburan. I don’t care. Bagi saya, selama sosok itu mampu memberi pelajaran yang baik, saya pasti bakal mendukung dia. Ehm, tapi sekedar catatan, walaupun setiap saya googling jurnal saya suka kepeleset googling dan youtubing kabar dan aksi terbaru orang itu, saya nggak pernah sedikit pun kepikiran jadi gadis-gadis yang berteriak,

“Kyyyyaaaaa, kyaaa, oppa, oppa!!! Saranghae, oppa…!!!”

pas lagi konser atau jumpa fans. Kayaknya kalau saya ketemu dia saya bakal speechless dan kembali ke kodrat saya yang awal, PENDIAM. Hahaha.

Orang yang saya kagumi saat ini adalah sosok yang sama mayoritas pria bakal dicibir sebagai sosok pria cantik a.k.a pretty boy.

Hmmm, sungguh cibiran yang sangat dangkal.

Kenapa?

Oke, oke, putih, tinggi, kurus, rambut lembut, dan fashionable adalah hal yang nggak umum bagi pria, tapi bagi saya, apa ada yang salah, toh orang itu adalah artis yang harus jadi pusat perhatian? Di antara garis linear ekstrem yang sisi kirinya memuat pendapat pretty boy, metroseksual, dan gay-look-alike dari mayoritas pria dan sisi kanannya memuat pujaan dan histeria ganteng dari mayoritas wanita, satu poin yang ingin saya tekankan di sini adalah kita nggak seharusnya melihat orang secara dangkal. Kita harus melihat nilai-nilai yang ia miliki sebelum kita memutuskan untuk mencibir atau memuja.

Saya memang bisa dikategorikan sebagai perempuan yang sama seperti fans-fans lain yang sempat pengen bunuh diri atau minimal mengiris jari gara-gara kegantengannya, tapi saya rasa itu pantas karena si orang yang mulai saya idolakan pada bulan ini nggak cuma punya kegantengan yang bisa memperdaya wanita, tapi juga nilai totalitas dalam melakukan pekerjaannya.

Cekidot, guys!


Ganteng

Agak kejam memang, tapi saya selalu punya pembagian penilaian buat manusia-manusia yang lewat di depan mata saya dan bertahan beberapa lama hidup di dekat saya, entah sebagai kawan, lawan, atau pacar. Penilaian tersebut berlaku untuk laki-laki dan perempuan, sebenarnya, tapi karena sekarang saya mau ngomongin laki-laki jadi terminologi yang saya pakai di sini adalah ganteng. Oke, setuju? Baik, mari kita mulai.


Tabelnya oke sekali, bukaaaan?

Jadi bagi saya, intinya manusia yang berjenis kelamin laki-laki itu ada empat kelompok. Kalau dilihat dari ekspresi smiley dan kuantitas smiley tersebut, pasti kalian sudah langsung menyimpulkan bahwa di dalam otak saya, orang yang paling menyebalkan adalah orang yang nggak ganteng dan nggak pernah sungguh-sungguh dalam suatu sistem, sebaliknya orang yang paling ideal dan paling saya inginkan untuk jadi jodoh saya adalah orang yang secara fisik ganteng dan dia juga memiliki totalitas dalam suatu sistem. Yap! Benar!

Ujian pertama yang pasti akan selalu dilewati oleh manusia adalah uji fisik.

Kejam?

Okei, memang kejam, tapi ini kenyataan. Fisik adalah hal yang paling dapat terlihat secara jelas meski mata kita mengalami rabun senja, rabun jauh, atau rabun dekat. Mata menangkap bayangan orang yang lewat di depannya lalu meneruskan penilaian ganteng atau nggak ganteng ke proses subjektivitas yang ada di otak. Setiap orang pasti punya kriteria ganteng dan nggak ganteng masing-masing yang bergantung pada konstruksi yang mengelilinginya. Konstruksi-konstruksi yang mengungkung kita secara nggak sadar itu lalu menciptakan generalisasi dan pengelompokkan mana yang ganteng dan mana yang nggak ganteng.

Saya nggak tahu proses apa yang terjadi di dalam otak Teman-teman setelah melakukan uji fisik pada orang yang lewat di depan mata Teman-teman, tapi kalau saya sendiri setelah uji fisik masih ada uji lain yang akan menentukan berapa nilai dia di mata saya. Uji kedua adalah uji tanggung jawab. Uji tanggung jawab inilah yang saya ungkapkan dalam tabel di atas sebagai totalitas dalam suatu sistem. Ini ujian yang penting, Teman-teman.

Penghargaan tertinggi tentu hanya akan saya berikan kepada orang-orang yang total. Bisa dilihat, kan di dalam tabel? Ada pertanyaan? Oh, kenapa antara orang yang nggak ganteng dan ganteng ada selisih satu smiley? Ada tiga pertimbangan,

1. Ya iya dong, kan orang yang ganteng itu udah bisa mencuri hati dari awal, beda sama yang biasa-biasa aja. Kayak begini, deh, meskipun pada akhirnya mereka berdua mendapat nilai sembilan pada tes kedua, tapi kan pada tes pertama yang ganteng udah dapat nilai delapan, sedangkan yang nggak ganteng nilainya masih tujuh. Nah, nilai total mereka berbeda, kan?

2. Saya mempertimbangkan bahwa sedikit sekali orang ganteng yang sadar bahwa dirinya ganteng tapi tetap mau berusaha untuk terus-menerus membangun potensinya di bidang selain wajah dan tubuh. Kebanyakan orang ganteng yang sadar dirinya ganteng lebih memilih hanya mengoptimalkan kegantengan tersebut sebagai jalan penghidupan padahal ia punya potensi lain yang bisa ia kembangkan untuk menopang hidup dan memberi kebahagiaan. Satu hal yang selama ini saya perhatikan, keputusan untuk tetap berjuang di atas anggapan dan penilaian orang lain yang sudah menganggap cukup merupakan keputusan yang berat. Ini poin yang sangat keren yang dimiliki oleh tipe ganteng dan selalu total bekerja.

3. Selisih satu poin lebih sedikit bagi orang yang nggak ganteng tapi selalu bertanggung jawab dalam setiap pekerjaannya saya berikan karena sepengalaman saya sebagai orang yang nggak cantik, pilihan untuk memenangkan persaingan hidup dan menjadi salah satu orang yang diperhitungkan dalam suatu sistem yang harus kita akui lebih memihak pada wajah dan penampilan tampan atau ayu ya hanya dengan mengoptimalkan diri di bidang nonfisik. Jadi, bagi saya, perjuangan mereka yang diungkapkan lewat tanggung jawab yang besar dalam setiap pekerjaan merupakan perjuangan yang memang sudah seharusnya mereka lakukan dalam dunia yang sudah menghapuskan apartheid namun tetap mengusung nilai diskriminasi antara yang ganteng dengan yang nggak ganteng.

Alasan pada poin kedua membuat saya memberi penilaian dua smiley muram pada orang ganteng yang nggak total dalam pekerjaan nonfisik. Ya, karena memang itulah yang umum terjadi. Banyak, deh orang ganteng yang lebih sibuk jadi playboy daripada sekolah dan bantuin orang tuanya dengan baik dan benar, sama banyaknya kayak artis ganteng yang kemampuan nyanyi dan aktingnya bikin saya lebih memilih hidup di zaman prasejarah aja sekalian biar nggak usah nonton tivi. Kasihan aja gituh.

Ya, mereka memang ganteng, tapi selain ganteng, apa lagi yang mereka punya untuk bekal mereka di kemudian hari agar tetap bertahan hidup? Meski kita hidup dalam dunia yang memihak pada orang ganteng, kita juga harus mahfum dunia ini memiliki batasan sampai kapan seseorang tetap bisa dianggap ganteng. Saat mereka didepak dari penjara konstruksi ganteng yang selama ini menyamankan mereka dengan berbagai pujaan menggila dari sejuta umat wanita dan senyum penghormatan takzim dari pelayan-pelayan toko, apa yang bisa mereka lakukan untuk tetap dapat berdiri tegak dengan penuh kepercayaan diri di kemudian hari?

Hal lebih memiriskan akan dialami oleh orang-orang nggak ganteng dan tidak pula memiliki totalitas dalam pekerjaan yang mereka tekuni. Mereka sudah kalah dua set. Kalau mereka nggak memutuskan untuk bunuh diri melalui tiang gantung, mereka juga pasti akan mati dibunuh zaman. Congrats!


Idola

Nah, pertanyaannya, adakah orang ganteng dan memiliki totalitas di dunia ini?

Hampir dua puluh satu tahun hidup di dunia, akhirnya pada bulan Mei yang penuh berkah ini saya menemukan orang tersebut! Alhamdulilah, seengganya saya bisa menapaki usia dua puluh satu tahun dengan harapan suatu saat bisa bertemu orang yang demikian sebagai jodoh, meski orang itu bukan orang yang saat ini menyadarkan saya bahwa orang ganteng dan total dalam bekerja itu ada di kehidupan nyata!

Siapakah ia…?

Toreng toreng toreng…

Aduh jadi malu nulisnya…

Hahahha.

Pria ini saya lihat aktingnya dalam DVD yang dibeli adik saya awal bulan lalu. Dalam film ini, dia memerankan sosok penyanyi yang galak *ya tipikal lah seperti film biasanya*, yang bajunya sangat fashionable *aih, agak geli juga, ini fashionablenya berlebihan*, dan yang dalam beberapa episode dia pakai tata rambut yang agak mengganggu karena poninya nutupin salah satu matanya.

Norak?

Yak, silakan kalian bermain dengan cibiran dangkal kalian, saya nggak peduli. Awalnya saya juga beranggapan demikian, namun kehidupan saya yang tenang ketika belum menonton film itu akhirnya terusik setelah saya menonton tuntas film itu.

Hei, di balik penampilannya yang ‘biasa’ tersebut, saya melihat suatu magnet yang terpancar dari dirinya. Suatu maget yang berasal dari nilai totalitas. Cara dia memerankan sosok yang galak dari episode satu sampai episode enam belas itu sungguh dalam sekali. Penghayatannya sangat apik! Saya juga makin menyadari bahwa penampilan dia yang mau pakai baju fashionable berlebihan dan poni yang menusuk mata adalah salah satu totalitas dia dalam dunia peran. Selain itu, hal ketiga yang membuat saya kagum adalah kemampuannya dalam bernyanyi. Mendengar suaranya yang khas dan teknik vokalnya yang tepat, saya pikir dia adalah penyanyi yang loncat jadi actor.

Ups, ternyata saya salah.

Mbah Google sama sekali nggak ngasih data album dia waktu saya semedi di warnet.
Ternyata dia memang bukan penyanyi yang mengeluarkan album. Dia hanya nyanyi di film-filmnya yang ternyata sudah segudang sejak tahun 1997 waktu dia masih SD. Bagi dia, karena dalam banyak filmnya ia kebagian peran jadi penyanyi maka ia merasa perlu untuk mengolah vokalnya. Baginya lagi, itu adalah salah satu totalitasnya dalam menjadi aktor.
Kepenasaranan saya akannya terus berlanjut.

Saya relakan mendata warnet-warnet yang koneksinya cepat hanya untuk mendownload youtube-nya dan menyingkirkan harga diri saya untuk mengubek-ubek rak drama Asia di depan cibiran mata pedagang DVD dan pembeli pria yang asyik memilih film Barat.

Voila, saya jadi nemu banyak hal mengagumkan dari orang itu. Pertama, di umurnya yang hampir seumur dengan saya, dia sudah banyak membintangi film. Kedua, peran yang dia dapat tidak monoton. Oke, dalam beberapa film ia didaulat untuk memerankan tokoh penyanyi, namun secara keseluruhan, peran dia bervariasi seperti peran sebagai anggota gangster, anak presiden, orang gila, pembunuh psikopat, konduktor sebuah orkestra, bisu tuli, dan masih banyak lagi (nggak tahu soalnya filmnya belum ketemu semua). Posisi dia yang selalu menjadi tokoh utama dalam film juga menunjukkan bahwa dia memiliki nilai jual dan kemampuan mumpuni dalam berakting.

Saya juga dibisiki Mbah Google bahwa dalam wawancara yang dimuat di berbagai media massa yang berhasil dihimpun oleh Mbah Google dalam satu keyword, secara tersirat dia selalu menyuguhkan kesungguhannya dalam seni akting. Secara dangkal, kita akan menilainya sebagai orang yang terlalu ambisius tapi justru di situlah letak kesungguhannya. Lagipula, keambisiusan dia untuk selalu menampilkan yang terbaik dan selalu berkembang dari waktu ke waktu juga bukan sekedar isapan jempol. Dalam film-filmnya, saya selalu melihat perkembangan dia yang signifikan , baik dalam seni peran maupun olah vokal.

Hal yang mengagumkan lagi adalah penampilannya yang selalu sejalan dengan tuntutan peran. Ketika jadi penyanyi pop yang diidolakan, ia memakai pakaian yang superfashionable; ketika menjadi penyanyi rock, ia tampil dengan gaya sangar; ketika menjadi anak presiden, ia tampil dengan dandanan santun; ketika jadi anak bisu tuli, ia mengupayakan mimik dan bahasa yang dikuasai penderita bisu tuli asli; ketika jadi pembunuh psikopat, penampilan terbaik tidak hanya ia suguhkan melalui aksen Meksiko dalam dialog-dialognya yang menggunakan Bahasa Inggris, tapi juga dari gestur serta sorot matanya yang misterius. Jaim, menurutnya dalam suatu wawancara yang mengkritik kenapa sebagai orang yang tampan ia mau menanggalkan image manis, adalah sumber utama ketidaktotalan seorang aktor. Sebagai aktor, orang tersebut harus mau menampilkan peran semaksimal mungkin dan menghilangkan gap antara dirinya yang asli dengan karakter yang ia mainkan.

Nah, tapi ada juga poin yang mengganjal hati saya. Biasanya, orang yang terlampaui total dalam pekerjaan akan menomorduakan masalah cinta, baik dalam bentuk keengganannya pacaran apalagi menikah maupun dalam sepak terjangnya yang menganggap wanita dan cinta adalah mainan. Faktor itu juga yang membuat saya berhati-hati dalam menyukai orang yang total bekerja. Namun demikian, si idola saya yang satu ini mampu menepiskan asumsi tersebut. Totalitasnya tidak hanya ia tuangkan dalam pekerjaan, tapi juga dalam urusan cinta. Sebagai aktor yang dikelilingi aktris cantik nan bening dan groupies yang rela melakukan apa saja, ternyata ia terikat dalam hubungan perpacaranan yang telah berlangsung melampaui periode empat tahun.

Nah, itulah Teman-teman, itulah yang saya katakan sebagai sebuah totalitas! Bagi saya, orang seperti dia merupakan orang ideal! Ganteng dan bertanggung jawab dalam pekerjaan dan cinta!


Pekerjaan

Ayo ngaku, pasti banyak di antara Teman-teman yang menyepelekan pekerjaan di dunia hiburan. Malah pasti banyak yang menganggap bahwa menjadi aktor dan aktris bukanlah suatu pekerjaan. Hayoloh hati-hati. Ada murid saya yang bilang ke saya setelah dia malu-malu bilang kalau dia sebenarnya pengen merantau ke Jakarta dan menjadi artis di sana kayak Raffi Ahmad dan Irwansyah,

“Jadi artis itu jangan dikira gampang dan santai lho, Bu. Di sana kita dituntut professional dan jangan kaget aja kalau Ibu ngelihat ada artis terkenal dimarah-marahin sama kru film. Sepintas, sih, kita ngelihat kalau kehidupan artis itu glamor, tapi sebenarnya keglamoran mereka itu bukan tanpa perjuangan. Lagian juga mereka sebenernya tersiksa sama keglamoran tersebut. Keglamoran bagi mereka bukan sebagai bonus, tapi sebagai beban untuk mempertahankan nilai jual mereka.”

Hmmmm. Ya, saya setuju banget sama pendapat murid saya yang tahun lalu ikut pertukaran pelajar ke Turki selama setahun itu. Tampil di layar kaca itu adalah pekerjaan. Jadi artis ya sama kayak jadi diplomat, jadi guru, jadi penulis, jadi wartawan, jadi dosen, jadi menteri, jadi apoteker, jadi dokter. Profesi tersebut menuntut profesionalitas dan tentu saja totalitas. Kalau kita mau jadi pemenang dalam pekerjaan tersebut, kita harus total mengeksplorasi potensi diri kita. Meskipun kita ganteng atau cantik, kalau kiita nggak total dan nggak berani mengeksplor potensi yang bisa mendukung totalitas kita dalam pekerjaan tersebut, ya mati aja.

Nggak ada satu pun dari kita yang nggak terikat dalam sistem. Orang-orang yang secara jelas terikat dalam sistem namun tidak berjuang sekeras mungkin pasti akan tersisih. Idola saya yang dari tadi saya bicarakan dalam posting ini secara tidak langsung mengajarkan pada saya mengenai pentingnya sebuah totalitas.

Secara fisik, dia tampan, tapi ada banyak orang tampan di industri perfilman. Tampan saja nggak cukup bagi dia walaupun memang dalam sistem perfilman, tampan merupakan prasyarat tak tertulis yang sebaiknya dipenuhi untuk menjadi nilai jual pertama, “Eh, artisnya ganteng, nih. Nonton, yuk!” Karena tampan saja nggak cukup untuk dijadikan daya tarik dan lagian ada banyak orang tampan di negaranya, ia pun berjuang dengan keras untuk nggak cuman dikenal sebagai artis yang tampan tapi juga dikenal sebagai aktor berkemampuan akting mahadewa dan serbabisa.

Kesalahkaprahan juga acapkali dibuat oleh orang-orang yang ingin memenangkan persaingan dalam pekerjaan. Mereka ganteng, serbabisa, tapi sayang cacat dalam cinta, jadi playboy atau perempuan penggoda yang nggak mau kehilangan pemuja, atau kalau nikah gampang banget bilang cerai, atau malah sama sekali nggak nikah karena takut sama komitmen. Ini kesalahan juga. Secara pekerjaan, memang mereka total, tapi secara kehidupan keseluruhan, mereka nggak total.

Jangan sepelekan masalah cinta, deh. Kayak gini, sama kayak PNS, semua pekerjaan punya batas umur. Ada saatnya mereka harus pensiun. Sama kayak ketampanan dan kecantikan, pekerjaan juga nggak berlangsung selamanya. Ketika seseorang nggak terlatih dalam bertanggung jawab dalam masalah cinta, hidup dia nggak bakal bahagia di hari tua. Itu kalau kita bicara masalah hari tua, tapi cinta juga nggak cuman berguna di hari tua, lho.

Pekerjaan merupakan hal yang paling banyak mengandung resiko dan beban. Banyak orang jahat, banyak hal kotor, banyak ketegangan, intinya banyak hal yang membuat kita cape tenaga, hati, dan otak. Sebagai manusia, kita butuh perdamaian dan ketenangan. Perdamaian dan ketenangan yang tulus itu nggak bisa upayakan secara mandiri, tapi melalui kerja sama dengan orang lain. Landasan kerja sama yang damai adalah ketulusan, ketulusan sendiri akarnya dari cinta. Nah, dengan demikian, maka untuk mencapai kehidupan yang membahagiakan, kita nggak bisa melepaskan diri yang namanya cinta.

Karena cinta berurusan langsung dengan orang, kita juga nggak sepatutnya bermain-main dengan masalah ini. Sama kayak pekerjaan yang menuntut totalitas, cinta juga membutuhkan totalitas. Totalitas ini nggak akan tercapai dengan sendirinya dan tanpa perjuangan. Saya mengamini sekali bahwa totalitas dalam masalah cinta merupakan hal yang sulit dicapai, oleh karena itu saya sangat menghargai orang-orang yang mampu total dalam pekerjaan sekaligus total dalam cinta. Seperti idola saya dan saya, tentunya. Hahaha.

Yah, begitulah Teman-teman, intinya bagi saya, semua orang yang total dalam pekerjaan dan cinta adalah orang yang mengagumkan. Saya sangat menghargai orang-orang seperti itu, apalagi kalau dia tampan atau cantik. Sebaliknya, saya mengutuk keras orang-orang yang nggak total dalam menjalankan perannya dalam sistem.

Ayolah, Tuhan Maha Adil memberikan potensi kelebihan dan tidak ingatkah kalian akan amanah bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi? So, why don’t you turn your as-long-as-I-can-finish-it’s habit and start a more responsible life?



Ark.Mei’10.