Manusia ?

Beberapa jam lalu saat sedang jeda The Promotor, saya menyempatkan diri membaca koran nasional yang terbit pada Kamis, 20 Mei 2010 ini. Awalnya biasa saja sampai akhirnya saya menemukan kutipan yang sangat menohok. Sejurus kemudian, saya hanya bisa bertanya pada diri saya sendiri, “Masihkah serdadu militer dianggap manusia?”

Kecewa

“Hidup sederhana harus menjadi ciri Tentara Indonesia. Jika prajurit terbiasa hidup mewah, itu akan menyulitkan mereka sendiri saat harus bertempur dalam kondisi yang serba terdesak. Pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas prajurit tetapi pada dasarnya menjadi tentara adalah mengabdi. Tentara tidak boleh mudah tergoda dengan hal-hal yang ada di depan mata.” (Tentara, Bertahan dengan Kesederhanaan, Kompas, 20 Mei 2010)

Secara spontan, mata saya langsung terbelalak dan hati saya terpanggil untuk segera berkomentar. Secara umum, saya miris dan tidak setuju dengan ungkapan Panglima tersebut. Namun demikian, saya juga tidak menutup mata atas kondisi keuangan negara kita. Akan tetapi, saya rasa akan lebih baik jika Panglima tersebut tidak selurus itu memberikan pandangannya. Saya benar-benar kecewa dengan pernyataan Bapak Panglima saat menjawab masalah kesejahteraan. Jika saja Pak Panglima menjawabnya dengan kalimat yang lebih singkat seperti, “Pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas tentara,” saya rasa posting ini tidak akan saya lahirkan dan hati saya tidak usah risau selama iklan IM3 J-Rocks diputar di dalam jeda The Promotor.

Prajurit dan Kesederhanaan

Hidup sederhana harus menjadi ciri Tentara Indonesia.

Tidak hanya tentara tentu saja yang harus hidup sederhana, tetapi kita semua harus hidup sederhana. Namun, bukankah hidup sederhana adalah hidup sesuai dengan kebutuhan? Samakah makna yang dipakai oleh Sang Panglima dengan makna yang seharusnya melekat pada kesederhanaan? Saya malah melihat bahwa istilah sederhana yang dipakai oleh panglima tersebut merupakan bentuk ameliorasi dari kenyataan yang dipaparkan dalam paragraf-paragraf awal.

  1. Inti paragraf 1 : Seorang Kapten yang tidak menyangka bahwa kehidupan sebagai tentara akan dipusingkan oleh urusan cicilan rumah dan kebutuhan sehari-hari karena ia pikir ia hanya akan berurusan dengan pertempuran membela bangsa dan negara.
  2. Inti paragraf 2 : Kapten tersebut baru menyadari kehidupan serba pas-pasan ketika ia beranjak dewasa.
  3. Inti paragraf 3 : Namun apa pun pangkat dan gajinya, Kapten tersebut akan selalu bersyukur.
  4. Inti paragraf 4 : Hidup sederhana merupakan kunci untuk bertahan dengan gaji 3juta/bulan.
  5. Inti paragraf 5 : Kapten tersebut sangat menikmati hidup sebagai tentara.
  6. Inti paragraf 6 : Sersan Satu yang bernasib sama dengan kaptennya, harus mencukupi kebutuhan hidup dari gaji yang tidak seberapa.
  7. Inti paragraf 7 : Sersan Satu tersebut sangat menikmati karya bakti dengan masyarakat
  8. Inti paragraf 8 : Hidup sederhana memang harus jadi ciri Tentara Indonesia.
  9. Inti paragraf 9 :Menjadi tentara adalah mengabdi.

Dengan menyimpulkan tujuh paragraf yang mengawali pernyataan Panglima KOdam III/Siliwangi, kesederhanaan yang dipakai oleh Sang Panglima sepertinya hanya ungkapan diplomatis yang menutupi dan menyangkal kondisi memprihatinkan para prajuritnya. Ia mengesankan bahwa hidup sederhana adalah suatu hal yang berguna bagi tentara padahal sebenarnya ia sadar bahwa ‘kesederhanaan’ yang ia ungkapkan tersebut adalah mitos. Hal tersebut bisa kita lihat dari pemaparannya kemudian yang menyebutkan bahwa pemerintah sedang berupaya untuk mengingkatkan kesejahteraan dan profesionalitas parajurit.

Hal lain yang mengganjal adalah pernyataan, …pada dasarnya menjadi tentara adalah mengabdi. Nah, apakah kata pengabdian yang bagi saya adalah kata sakral nan mulia ini harus pula meletakkan pengabdinya pada kondisi yang menyusahkan dirinya?

Nonmaterial
Saya yakin ada beberapa di antara Teman-teman yang menganggap kritik saya ini sangat nggak penting karena toh prajurit-prajurit TNI yang gagah berani itu, menurut penuturannya kepada wartawan, tidak merasa terbebani dengan gajinya yang tidak sebanding dengan kebutuhannya sehari-hari. Dalam inti-inti paragraf yang tadi saya kemukakan pun malah Teman-teman akan mengamini bahwa mereka ternyata sangat senang sekali mengabdi.

Hmmm, saya juga sebenarnya hampir sependapat dengan kalian,

“Lah, prajuritnya aja nggak pusing, ngapain gue ikut pusing, nggak ganggu kehidupan gueee jugaaaa…”

Namun, Teman-teman, permasalahan yang paling memiriskan saya adalah orang-orang yang berdiri di belakang tentara-tentara tersebut.

Siapa lagi kalau bukan anak dan istrinya?

Di satu sisi, ya tentara adalah pengabdi. Karena dia pengabdi, maka ia harus mau dan ikhlas menuruti semua perintah, kebijakan, dan keadaan yang ditujukan padanya. Nah, tapi jangan lupa, tentara ini ternyata juga manusia yang memiliki keluarga. Ia juga adalah laki-laki yang terikat pada sistem patriarki. Keterikatannya dengan patriarki yang begitu otomatis setelah ia berijab kabul dengan anak mertuanya mewajibkan dia untuk menafkahi anak dan istrinya.

Jadi, Teman-teman, jika kita bertemu dengan seorang tentara yang berstatus kawin, kita juga harus melihat sisinya yang lain, sisinya yang harus kita pandang sebagai sisi manusia. Bagaimanapun juga, tentara masih memiliki sisi sebagai manusia berjenis kelamin laki-laki yang terikat dengan sistem patriarki sehingga ia masih memiliki tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya.

Saya tidak memungkiri besarnya keberadaan nasionalisme yang menjadi pendorong utama para tentara itu untuk mengabdi. Saya yang tidak menjadi tentara pun punya rasa nasionalisme yang begitu besar yang mendorong saya untuk lebih memilih bekerja menjadi PNS dengan gaji yang susah buat dipakai bertahan hidup dengan gaya foya-foya di Jakarta daripada bekerja di perusahaan asing yang gajinya bisa membuncahkan rekening saya yang selama ini nggak pernah mencapai nominal tujuh digit. Nasionalisme para tentara itu mungkin serupa dengan nasionalisme saya. Pertimbangan mereka barangkali sama dengan pertimbangan saya. Namun, keadaan yang mengitari saya dan tentara tersebut berbeda. Itulah masalahnya. Saya nggak punya kewajiban untuk menafkahi suami dan anak-anak saya, sedangkan mereka si tentara laki-laki punya kewajiban itu. Itu yang harus dipertimbangkan negara! Negara seharusnya memafhumi itaran patriarki itu.

Ya, namun seperti yang saya utarakan tadi, negara memiliki begitu banyak agenda di atas kenyataan bahwa anggaran pemasukan masih berada di bawah permintaan pengeluaran. Negara kita yang begitu besar dan luas ini juga tak melulu hanya memikirkan persoalan keamanan. Ketika ia memikirkan keamanan pun, ia juga tidak melulu hanya memikirkan prajurit. Ada begitu banyak agenda, Teman-teman. Kedaulatan kita harganya mahal. Namun tetap saja otak saya senantiasa mempertanyakan dua hal sejak saya membaca artikel yang ditujukan untuk merayakan hari ulang tahun Kodam III/Siliwangi itu,

  1. Minimalisasi gaji prajurit berpangkat rendah di antara tugasnya yang berat dalam menjaga kedaulatan negara hingga negara tersebut masih berdiri dengan kokoh dan gagah tepatkah bila saya persamakan dengan gaji buruh yang juga minimal padahal mereka menyumbang besar pada proses produksi yang menghasilkan keuntungan bagi produsen? Tepat jugakah bila saya melihat bahwa tentara juga mengalami alienasi tak ubahnya seperti buruh? Bukankah tentara tak bisa dengan sempurna menikmati kedaulatan negara yang ia perjuangkan?
  2. Apakah nasionalisme yang menyamankan para prajurit untuk tetap menjadi prajurit padahal ia tahu menjadi prajurit itu sulit dan beresiko juga bisa saya lihat sebagai kekerasan simbolik seperti yang dikatakan Gramsci ketika membahas kebetahan para buruh untuk tetap menjadi buruh padahal ia tahu ia teralienasi?

Hmmmm….

Saya sama sekali nggak menghimbau para tentara untuk melakukan revolusi atau berontak dengan sistem yang melihat mereka sebagai pengabdi negara. Sama sekali engga. Saya hanya ingin memperlihatkan kepada negara bahwa betapa hebat tentara-tentara ini. Mereka benar-benar mencintai negaranya, bagaimanapun keadaan negara itu dan bagaimanapun negara itu memperlakukan mereka. Kesungguhan mereka ini seharusnya menggugah negara untuk juga mencintai mereka dan peduli dengan orang-orang yang berada di balik punggung tentara itu.

Negara harus ingat bahwa mereka adalah tentara yang juga manusia berjenis kelamin laki-laki yang tidak lepas dari ikatan patriarki sehingga mereka memiliki peran ganda, sebagai individu yang berada di garis depan dalam menjaga kedaulatan negara dan sebagai pria yang harus mengayomi keluarga. Mereka sendiri lebih banyak menjaga kedaulatan negara, dengan demikian jelas bahwa negara tidak hanya berutang pada mereka tetapi juga pada keluarga yang ditinggalkan oleh mereka.

Pada kalimat hampir terakhir dari paragraf terakhir diungkapkan bahwa pemerintah, sebagai pelaksana negara, sedang berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas tentara. Saya menyambut baik cetusan itu. Namun demikian, tentu saya akan lebih senang lagi jika negara benar-benar merealisasikan upaya tersebut. Saat ini saya sedang menunggu negara untuk membuktikan salah satu cirinya yang rasional yaitu dapat mempertimbangkan dan memilih dengan baik prioritas yang harus dibiayai. Semoga di masa mendatang tidak ada lagi tentara yang teralienasi.

Yah, begitulah, Teman-teman…Ini hanya pemikiran dari seorang perempuan yang belum lulus S1….Monggo mau disetujui atau mau dimaki.


Ark.Mei’10.