Tulisan ini berawal dari smsan saya sama Ayi Minggu malam. Berawal dari peluapan kekesalan saya terhadap parodi twit para pesolek prestise, Ayi pun ikut menyuarakan kekesalan hatinya atas masalah lain.
Saya : Sumpah deh geli ya baca twitnyaaaa hahahaha bĂȘte tapi ngakaklah aku hahahahaha.
Ayi : Twitnya sapa siiiihhhhhhh? **** apa ****? Eh sori baru bales, lg2 aku kesel sama pendapat org2 ttg org berkerudung. Huff.
Saya : 22nyaaa haha. Knp lg nih berkerudung..? ada apah ada apah?
Ayi : Ini loh ada orang bilang, “Duh, ni cewek kerudungan ngerokok, lepas ajalah mbak kerudungnya” Aku kesel sumpah!
Saya : Bwhahahahaha. Dikata lepas kerudung kyk lepas mukena abis beres solat. Hmmm tp pelik juga tuh permasalahan itu.
Ayi : Gimana ya riki, bagiku gak bisa juga ngerokok tuh dianggap salah. Kalo misalnya pake kerudung tapi dadanya atau belahan dada/pantat keliatan iya itu mslh karena dia gak komit, terutama dalam melindungi aurat tubuh. Tapi kalo ngerokok? Dalam agama aja itu makruh. Gak ada dosa dan memang itu kegiatan sia-sia. Kenapa kyai gak pernah disalahin krn mereka merokok? Apa karena mereka cowok? Aku benci pandangan begitu, kesannya orang pake kerudung harus selalu benar. Gitu. Makanya aku suka bete walopun bukan aku yang diomongin. Krn aku tau aku pake kerudung dan aku melakukan byk kesalahan. Aku juga ngerasain beratnya dibilang, “Kamu kan pake kerudung” gitu. Loh kok aku malah curhat?!?!?!
Asyik, kan? Panjang banget sms Ayi dan jawaban saya juga lebih panjang. Bahkan saking panjangnya bisa saya jadiin bahan nulis posting ini! Cekiprotssss!
All about Image
Seperti yang saya bilang, saya membalas sms Ayi dengan sms yang lebih panjang. Oh iya, Teman-teman harus tahu bahwa smsan panjang adalah salah satu seni yang perlu dilestarikan. Haha.
Hihihi. Iya yi.. Ekspektasi orang-orang awam sama perempuan muslim yang berkerudung itu ya begitu, harus yang alim-alim akhwat jilbab panjang, [ucapan] penuh dengan kalimat thoyyibah, mukanya selalu bersemu merah, ghadul bashar, tabah dipoligami, dan ga ngerokok. Terus juga nilai Timur memandang cewek itu ga pantes ngerokok. Terus pandangan mereka [orang yang memiliki konstruksi seperti itu] kan sempit, jadi dengan adanya nilai cewek jangan ngerokok&imej soleh muslim alim yang melekat di perempuan yang berkerudung, ya jadilah mereka gampang ngatain perempuan yang berkerudung. Selain itu, di dalam diri mereka ada keenggasukaan, kesinisan, dan mereka juga meremehkan cewek2 berkerudung. Mereka itu bersikap let’s see bisa ngga pake kerudung ke cewek-cewek karena pada dasarnya pandangan mereka ke cewek itu udah jelek. Mereka memiliki pandangan bahwa cewek itu ya penggoda, hiasan, ga kuat, dan ga mungkin bisa kaffah berkerudung.
Intinya, bagi saya, penyebab utama mengapa bisa timbul pengejekan kepada perempuan berkerudung dan merokok ya karena ada image yang bersemayam di dalam pemikiran dan hati si orang yang mengejek. Image itu begitu kuat bersemayam dan berkembang menjadi wacana. Ia pun melekat menjadi sesuatu yang seolah-olah universal dan nyata. Ketika hal tersebut dipertemukan dengan realita yang berbeda, seperti cewek berkerudung dan merokok, ia mengalami suatu guncangan dan memutuskan bahwa hal yang berlainan dengan kepercayaannya itu sebagai hal yang salah. Ia tidak akan mengoreksi dirinya sendiri lalu menjadikan hal tersebut sebagai wawasan baru atau minimal eksepsional yang ia apresiasi. Ia akan langsung mengklasifikasikan hal tersebut sebagai hal yang aneh, salah, dan harus dibasmi.
Hey, itu menyakitkan!
Citra atau image yang berasal dari bahasa Latin, yaitu imitari yang artinya meniru itu tidak lain tidak bukan, seperti yang didefinisikan Berger dan Karl, adalah hal yang tidak sebenarnya. Ia adalah hal yang telah direproduksi. Ia adalah representasi yang seharusnya tidak ditumpangtindihkan dengan objek material asli. Kita nggak bisa begitu saja mempercayainya. Kita nggak bisa memutuskan suatu hal sebagai hal yang salah atau benar hanya atas dasar citra yang berkembang di masyarakat menjadi wacana dan akhirnya menjadi kaidah yang (seolah-olah) universal dan given.
Kasihannya Cewek
Saya suka deh sama kata-kata Ayi yang dia protes kenapa cewek berkerudung dan merokok diprotes sedangkan kalau laki-laki nggak diprotes. Saya yakin hampir semua orang akan menjawab, “Ya karena perempuan itu sebaiknya tidak merokok.” Nah, iya, tapi kenapa? Kenapa perempuan sebaiknya tidak merokok? Kenapa nilai Timur kita memegang hal demikian?
Saya dan Ayi juga nggak merokok. Saya dan Ayi juga suka bĂȘte sama asap rokok. Saya dan Ayi cuma nggak habis pikir mengapa rokok menjadi hal yang permisif bagi laki-laki sementara bagi perempuan ia adalah suatu ketidakpantasan, bahkan penentangan terhadap norma sosial. Nilai itu bahkan sudah menjadi justifikasi perendahan martabat perempuan yang sudah menggunakan atribut kemuliaan seperti kerudung. Ia dianggap tidak legal lagi menggunakan kerudung hanya karena ia merokok.
Tidak hanya rokok saja yang memiliki power untuk merendahkan perempuan. Selingkuh, misalnya. Selingkuh merupakan dualitas yang unik. Di satu sisi ia adalah peristiwa yang lazim dikutuk ibu-ibu di seluruh dunia, namun di sisi lain ibu-ibu ini pun masih mau memaafkan dan menerima suami mereka padahal mereka tahu dengan jelas dan hati yang luka bahwa suaminya berselingkuh. Penerimaan kembali dari istri kepada suaminya itu merupakan bukti bahwa laki-laki secara tidak langsung ‘diizinkan’ untuk berselingkuh. Tanggapan orang-orang sekitar juga tidak akan menyudutkan si suami. Perselingkuhan yang dilakukan suami sudah dianggap sebagai hal yang biasa, bahkan disebut juga sebagai imbas ketidakmampuan istri memenuhi ekspektasi suami. Lagi-lagi perempuan yang disalahkan dalam pelanggaran janji pernikahan.
Nah, menyakitkannya lagi, coba jika kita balikkan kondisi tersebut. Bagaimana jika istri yang berselingkuh? Pertanyaannya, pertama, apakah suami mereka akan menerima istrinya dengan hati yang lapang? Kedua, apakah pandangan lingkungan sekitar akan menyudutkan suami dengan menuduh suami sebagai pihak yang tidak mampu memenuhi kebutuhan istri? Pada pertanyaan pertama, jawaban ‘ya’ akan sangat jarang terjadi. Perselingkuhan yang dimotori oleh istri biasanya akan berakhir di tangan suami, baik melalui penyiksaan fisik maupun penandatanganan surat talak. Pun pada pertanyaan kedua. Awalnya, ya, masyarakat akan menduga bahwa suami tidak mampu memenuhi kebutuhan istri. Namun, pada akhirnya, lagi-lagi istri yang disalahkan dengan sebuatn tidak mensyukuri dan menghargai suami. Akhirnya, perempuan itu akan dicap serakah dan materialistis.
Masalah lain adalah hubungan seksual, khususnya dalam penyunatan klitoris pada wanita. Perdebatan agama untuk memperkuat boleh tidaknya hal ini dilakukan sangat banyak. Saya nggak mengikutinya dengan baik jadi saya nggak akan membahas dari sudut agama. Saya hanya akan membahas dari sisi ketimpangan gender. Penyunatan klitoris ini nggak hanya mengerikan kalau dibayangkan pelaksanaannya, tetapi juga mengerikan kalau dibayangkan akibat pascapenyunatan. Klitoris adalah organ yang penting dalam menerima rangsangan dalam hubungan seksual. Kalau nggak ada klitoris, masalah urgennya nggak hanya terletak pada ketidakmampuan si perempuan menerima rangsang sehingga ia tidak mendapatkan kepuasan yang setara dengan suaminya, tetapi juga pada bagaimana perempuan itu mengatasi kesakitan ketika melakukan hubungan seksual. Itu hal pertama yang merugikan perempuan. Ia akan menjadi pihak yang kesakitan dalam hubungan seksual, lebih jelasnya dalam pemenuhan nafsu laki-laki. Ketika hubungan seksual menjadikan salah satu pihak yang terlibat di dalamnya kesakitan, dan pihak itu kebetulan adalah perempuan, maka ketika itulah kekerasan terhadap perempuan terjadi, bahkan di dalam ranah yang sangat privat sekali.
Kedua, karena klitoris adalah organ yang sangat berkaitan dengan rangsang, ada yang mengatakan bahwa penyunatan itu dilakukan untuk membatasi nafsu seksual perempuan yang dipercaya lebih tinggi daripada laki-laki. Pertanyaannya, memang ada yang salah jika nafsu perempuan lebih tinggi? Apa yang ditakutkan oleh laki-laki dari kenyataan tersebut? Tidak cukupkah selama ini mereka ‘menyunat’ nafsu perempuan melalui kaidah sosial yang meletakkan perempuan yang ‘tidak bisa mengendalikan’ nafsu seksualnya sebagai perempuan sundal, binal, jalang, dan berkelainan sehingga akhirnya mereka pun mewacanakan penyunatan klitoris? Mengapa permasalahan nafsu seksual tinggi menjadi hal yang permisif bila hal tersebut dikaitkan dengan laki-laki sementara bila dikaitkan dengan perempuan, perempuan tersebut secara otomatis terdemonisasi menjadi sosok lacur?
Selain permasalahan rokok, selingkuh, dan hubungan seksual, masih banyak lagi permasalahan yang mengitari perempuan. Banyak sekali batasan yang tidak boleh dilanggar perempuan yang kemudian hal tersebut menjadi ranah yang otoritasnya hanya dipegang laki-laki. Batasan itu lebih berat lagi dihadapi oleh perempuan-perempuan yang sudah berkerudung. Citra kemuliaan yang kemudian berkembang menjadi wacana-wacana kemuliaan banyak disodorkan kepada mereka dan diperkuat lagi oleh keniscayaan agama. Mereka dipaksa untuk tunduk, mengabdi, patuh, afirmatif, dan permisif atas banyak hal yang sebenarnya buatan interpretasi dan kepentingan manusia, khususnya laki-laki. Mereka pun bahkan dilatih untuk tidak bertanya dan tidak berpikir di luar batasan yang ditetapkan laki-laki. Mereka hanya boleh memodifikasi hal yang didesain laki-laki untuk bisa dimodifikasi. Mereka disenangkan dan dipuja agar tetap patuh pada norma yang dibuat laki-laki sehingga mereka sendiri yang memustahilkan kesetaraan gender. Bahkan untuk menyetarakan gender mereka yang terinjak, mereka harus menunggu persetujuan laki-laki. Mana bakal bisa tercapai itu kesetaraan yang dari tahun kapan sudah diperjuangkan? Bila ada satu perempuan yang berani keluar dari batasan, secara otomatis mereka akan dikenai sanksi yang tentu saja berat, baik dari laki-laki maupun dari kaum perempuan sendiri. Ya, seperti yang Ayi bilang tadi. Begitu ada perempuan berkerudung merokok, ya langsung dicerca, padahal kenal juga engga dan padahal juga beriman tidaknya seorang hamba nggak diindikasikan dengan merokok tidaknya ia.
Lalu ?
Lalu gimana?
Saya nggak bertujuan mengajari kefrontalan dalam blog ini. Saya cuma ingin membuka pandangan Teman-teman. Nah, karena itu saya nggak akan mengusulkan Gerakan 1000 Wanita Kerudung Boleh Merokok yang bakal turun protes ke Gedung DPR tepat pas saya ulang tahun nanti untuk mengatasi permasalahan ini.
Ada dua skenario. Pertama, jika tidak ingin menuai protes dari masyarakat yang memegang teguh norma sosial tentang bagaimana seharusnya bertindak, maka sadarilah posisi dan kewajiban yang Teman-teman emban. Turuti kaidah sosial dengan kaffah. Jangan melakukan hal-hal labil seperti sok nekat melanggar peraturan tapi takut menghadapi resiko dikucilkan, diejek, dicerca, dan bahkan dirajam omongan sinis. Hadapi resiko atau diam sama sekali.
Kedua, belajar menyadari dan menghargai. Sadari bahwa kaidah sosial yang mengitari kita adalah bikinan manusia yang harus kita pilah mana yang logis sehingga perlu diikuti dan mana yang irasional dan nyeleneh sehingga boleh kita negosiasikan. Sadari bahwa peraturan buatan manusia itu memang berkekurangan di sana-sini dan hanya berlaku pada tempat dan masa tertentu. Jangan terlalu percaya dan tunduk pada peraturan manusia. Percayalah pada Tuhan, Rasul, Kitab, Malaikat, dan Hari Akhir saja. Selama kita masih berstatus manusia yang ilmunya terbatas, jangan coba-coba menegosiasikan urusan itu. Ah, ya, satu hal lagiyang penting adalah jangan mencampuradukkan peraturan manusia dengan peraturan keagamaan. Udah dosa, sok tau, belum tentu bener pula! Haha.
Lalu setelah sadari, tahap berikutnya adalah hargai. Yang laki-laki hargai perempuan. Jangan mudah menyudutkan, jangan berekspektasi terlalu tinggi, apalagi sampai mengikat perempuan untuk memenuhi ekspektasi tersebut. Dengarkan perspektif perempuan dan berikan kesempatan baginya untuk menginterpretasikan hal-hal di sekitarnya menurut perspektifnya. Sebaliknya buat perempuan, hargai juga laki-laki.
Secara umum, kita juga harus menghargai perbedaan yang muncul di sekitar kita. Jangan gampang mengklasifikasikan hal-hal di luar kepercayaan kita sebagai hal yang aneh, salah, dan patut dibasmi. Kita juga harus mencoba memandang dari perspektif yang berbeda dari perspektif kita dan tidak bersikap keras kepala apalagi antipati terhadap hal-hal baru itu.
Nasihat itu juga berlaku buat saya, sebenarnya. Terutama lagi soal kekesalan saya yang suka meluap kayak banjir bandang sama hal-hal nyeleneh di sekitar saya yang saya tumpahkan di twitter. Hihihi. Ya, implementasi itu selalu lebih susah daripada teorisasi. Ah tapi yang penting twitter ramelah. Hahahha.
Ark. Mar’11.