Mengenai UN, dari Siswa

(tulisan ini dibuat tahun 2007 lalu dan menjadi juara III Lomba Penulisan Artikel tentang UN yang diadakan oleh Universitas Pasundan, Bandung)

Mengupas Ujian Nasional atau UN yang April lalu baru saja kita lewati, tak adil rasanya bila kita hanya merenungkannya sebagai indikator betapa tidak bersihnya lingkungan Indonesia hingga ritual sesakral ini pun diwarnai dengan kecurangan. Justru dengan banyaknya kasus kecurangan yang terumbar media dan dengan kenyataan yang sama-sama diketahui siswa bahwa kasus kecurangan ini adalah kasus gunung es, seharusnya mata dan telinga kita terbuka untuk dapat merasakan beban psikologis yang diderita siswa-siswa kelas tiga dengan diberlakukannya UN sebagai standar kelulusan mereka.

Ada Apa dengan UN?

Ditetapkannya UN sebagai standar kelulusan tak ayal membuat siswa terbebani. Beban ini makin berat lagi saat mereka mengetahui bahwa mata pelajaran yang diujikan adalah Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Walaupun mereka masih bisa bernafas lega karena bukan Fisika yang diujikan, namun beban berat masih tak terelakkan mereka rasakan.

Ada lebih dari dua puluh bab yang harus mereka kuasai dalam Matematika. Ada kejelian yang harus mereka miliki untuk dapat menentukan tema, topik, ide pokok, gagasan utama, dan unsur intrinsik dalam wacana Bahasa Indonesia. Ada lebih dari sepuluh jenis wacana dalam Bahasa Inggris yang harus dapat mereka bedakan. Terakhir sekaligus yang paling berat adalah mereka harus mampu menjawab benar minimal 50% dari total soal agar mereka lulus.

Beban mereka juga masih ditambah lagi dari sekolah ketika sekolah menyediakan soal-soal praUN. Siapa yang tidak tahu bahwa soal praUN jauh lebih sadis dibandingkan dengan soal UN sesungguhnya? Kumpulan soal UN tahun-tahun sebelumnya serta soal-soal prediksi guru tersebut jarang dapat mereka lalui dengan skor 80%. Salah siswakah untuk hal ini jika mereka sendiri mengeluhkan bahwa soal-soal praUN ini dihiasi dengan pilihan jawaban yang bias dalam soal Bahasa Indonesia, terlalu cepatnya pembacaan soal Listening dan sulitnya vocabulary serta seribu langkah yang harus mereka lalui untuk dapat menemukan jawaban soal Matematika?

Dua hal ini pada akhirnya menjadi faktor mengapa sampai ada kecurangan dalam UN. Penyebabnya jelas, karena mental siswa terganggu. Mereka cemas dan pesimis dalam menghadapi UN karena di tangan UN-lah nasib mereka bergantung.


Merah-Hitam UN, Guru, dan Siswa

Sejak awal siswa telah mendapat pukulan mental dari jeleknya nilai praUN dan ditetapkannya UN sebagai standar kelulusan, pukulan ini buruknya telah merusak psikologis mereka dengan mengubah mereka menjadi pribadi yang gampang cemas, pesimis, dan putus asa. Pukulan ini lalu bertambah subur lagi bersemayam dalam alam pikiran mereka saat mereka mendiskusikannya dengan teman-teman mereka yang juga mendapat nasib yang sama. Bukannya membantu namun diskusi ini akan berujung pada kecemasan dan kepesimisan massal.

Terkadang guru membantu memulihkan ketidakpercayaan mereka pada kemampuan mereka sendiri dengan meyakinkan mereka bahwa soal UN pasti bisa dikerjakan. Namun sayangnya hiburan ini akan berujung pada syarat, “Kalau kalian mau belajar,” dan akan berakhir dengan akibat, “Kalau nggak belajar ya pasti nggak bisa.” Kalau begini, bagaimana bisa siswa-siswa 'sakit' ini sembuh?

Bayangan pendahulu mereka yang gagal pada tahun-tahun sebelumnya juga ikut menambah panjang derita mereka. Ketakutan akan mengikuti jejak kelam tersebut tak diragukan telah membuat mereka jauh lebih dalam terperosok pada ketakutan menghadapi UN yang dijadikan standar kelulusan.

Tak ada api maka tak ada asap, prinsip ini dapat menganalogikan bahwa kecurangan-kecurangan dalam UN bukan datang tanpa sebab. Tentu ada alasan yang mengiringi siswa-siswa yang rajin mengunjungi warnet untuk menjelajahi dunia maya dan berharap mendapat kisi-kisi hingga soal, kebocoran soal UN, dan beredarnya sms berisi kunci jawaban.

Menghukum kepala sekolah atau guru, ujian ulang, dan pencabutan keputusan lulus bagi siswa yang terbukti curang tidak akan membawa pengaruh apapun kecuali semboyan lebih apik lagi melangkah curang tahun depan, karena itulah pembinaan yang tepat adalah pembinaan -atau tepatnya pencegahan- yang mampu menyembuhkan psikologis siswa. Kecemasan dan kepesimisan mereka yang muncul dari ketidakmampuan mereka dalam mengerjakan soal praUN, putusan 'pasti gagal', 'sulit', 'pasti nggak bisa' yang mereka cap pada diri mereka sendiri, contoh kasus kegagalan kakak-kakak mereka, dan keputusasaan mereka untuk terus mencoba mengakrabkan diri dengan materi adalah terdakwa utama yang seharusnya diperhatikan dan dibina untuk disembuhkan.

Siswa harus diyakinkan seyakin mungkin bahwa setelah mereka menempuh pendidikan selama tiga tahun mereka pasti akan bisa menyelesaikan tiga puluh dan lima puluh soal UN dengan hasil yang baik, itu satu-satunya cara untuk menyembuhkan psikologis siswa yang ketakutan dengan UN. Usaha ini tentunya takkan lepas dari peran guru, karena itulah guru harus dapat berperan sebagai pendidik, tidak hanya sebagai pengajar.

Ada kekurangan guru yang sering saya temukan, yakni mereka terlalu menyamaratakan kemampuan semua siswanya. Semua dianggap bisa karena tidak ada yang bertanya, padahal mereka tidak bertanya karena mereka memang tidak mengerti dengan apa yang diterangkan guru. Kadang materi selanjutnya diteruskan padahal masih ada siswa yang belum memahami betul materi yang telah diulangankan. Ada juga guru yang mengetahui kekurangan siswanya tapi mereka tidak memberikan tindakan responsif nyata. Mereka memang menanyakan mengapa si siswa ini sampai bisa mendapatkan nilai jelek, mereka juga menasihati siswa tersebut agar lebih rajin lagi belajar, namun sebenarnya bukan ini yang dibutuhkan oleh para siswa yang kemampuannya belum terlalu mantap. Mereka membutuhkan uluran tangan nyata dari guru untuk meningkatkan kemampuan mereka. Tidak adanya uluran tangan tulus dari guru ini pada akhirnya akan menambah lagi daftar beban psikologis siswa.



Ujung dari UN : Serangan Mental Permanen

Tak cukup dengan membawa dampak psikologis berupa kecemasan, pemberlakuan UN sebagai standar kelulusan juga membawa dampak panjang dan berpotensi permanen yakni lahirnya generasi calon pemimpin yang bermental instan.

Keterbatasan waktu pengerjaan soal UN dan banyaknya materi yang harus mereka kuasai untuk dapat menorehkan minimal angka 5 di ijazah secara langsung telah membuka jalan untuk mencari cara penyelesaian soal yang paling cepat. Tidak salah juga sebenarnya, mengingat bahwa rumus-rumus cepat ini menginduk pada konsep dasar. Namun sayangnya, ada guru yang tidak menerangkan bagaimana rumus itu bisa terlahirkan dan ada juga siswa yang tidak mau mendengarkan penjelasan guru sehingga pada akhirnya rumus cepat ini mengubah kepribadian merka menjadi kepribadian yang cenderung lebih nyaman dengan mendapatkan segala sesuatu secara instan.

Dua hal yang patut dicermati dengan adanya rumus-rumus cepat ini adalah, pertama, siswa tidak menghargai sekolah. Siswa yang terlanjur mencintai rumus cepat ini akan lebih menghargai bimbingan belajar karena di bimbingan belajar mereka bisa mendapat banyak rumus cepat. Dengan tidak menghargai sekolah maka akhirnya mereka pun tidak lagi menghargai proses pendidikan. Sekolah hanyalah alat untuk memperoleh ijazah setelah mereka dinyatakan lulus UN. Ini sangat memprihatinkan, UN sebagai standar kelulusan yang merupakan produk pendidikan malah menghilangkan nyawa dari penyelenggara pendidikan sendiri.

Kedua, berkaitan dengan akibat jangka panjang, adanya rumus cepat ini juga akan berakibat munculnya generasi yang tidak dapat memimpin masyarakat dengan baik. Adanya rumus cepat mau tidak mau pasti akan mengikis kemampuan bernalar secara sistematis mereka. Pertanyaannya, mau dibawa kemana masa depan negara kita bila dipimpin oleh mantan-mantan siswa yang bermental instan tersebut?



Masih Haruskah Ia Ada?

Ujian Nasional atau UN, biar bagaimanapun ia harus tetap ada. Tetap harus ada suatu standar nasional yang definitif untuk mengetahui sampai dimana kemampuan siswa setelah menempuh tiga tahun pendidikan dan sampai dimana keberhasilan sekolah menjalankan fungsinya. Nah, Inilah yang harus digarisbawahi, UN memang perlu namun hanya sebagai standar saja. Standar yang memperlihatkan kepada siswa bahwa selama tiga tahun mereka belajar inilah hasil yang mereka capai dan inilah perbandingan dengan siswa-siswa lain yang juga selama tiga tahun belajar. UN sebagai standar juga merupakan alat pengukur prestasi sekolah dan daerah dalam mendidik siswanya. Sekolah atau daerah yang siswanya mendapat hasil yang baik dalam UN dijadikan percontohan dan bagi sekolah atau daerah yang anak didiknya belum mendapat hasil yang baik akan mendapat perhatian dan pembinaan serius dari pusat agar prestasinya dapat terangkat.

Dengan menjadikan UN sebagai standar pengukur prestasi saja maka pendidikan merata di seluruh Indonesia akan terwujudkan. Selain itu, dampak buruk bagi psikologis siswa juga dapat dihindari. Siswa akan menjalani UN dengan tanpa beban dan pendidikan akan ternilai dari proses, bukan hasil. Akibat lebih jauhnya adalah Indonesia akan memiliki generasi pemimpin masa depan yang berkualitas, secara mental dan akademis.

Sungguh suatu awal yang baik dari pemerintah yang akhirnya pada tahun ini berkebijakan tidak menjadikan UN sebagai satu-satunya alat ukur kelulusan siswa, namun juga mempertimbangkan nilai-nilai yang diperoleh siswa dalam ujian sekolah. Semoga secara bertahap kelak UN hanya akan dijadikan standar untuk mengevaluasi prestasi sekolah dalam mendidik siswanya dan sebagai alat refleksi diri siswa sampai dimana kemampuannya setelah melalui tiga tahun proses pendidikan. Lagipula, pemberlakuan UN sebagai standar kelulusan siswa sangatlah tidak adil karena sampai saat ini bangsa Indonesia masih terlalu heterogen untuk disamaratakan dalam selembar ijazah.

(Ark.Mei'07)