Globalisasi : Malaikat Pencabut HAM Buruh




Buruh migran dan korporasi multinasional merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan saat kita membahas globalisasi. Mereka pun tak hanya sekedar menjadi identitas unsur-unsur globalisasi, tapi juga sebagai potret tarik-menarik nilai-nilai universal globalisasi mengenai pasar bebas dan HAM yang ternyata sampai saat ini masih dimenangkan oleh pasar bebas. Sepertinya negara lebih suka menyejahterakan rakyatnya melalui nilai uang ketimbang penegakan HAM.

Buruh di Pusaran Pasar Bebas

Buruh, baik buruh migran maupun buruh MNC, merupakan pihak yang paling rawan dirugikan dalam era pasar bebas.

Pertama, buruh migran. Hampir semua buruh migran merupakan orang-orang yang berasal dari pendidikan dasar. Mereka hanya merupakan pekerja tak terdidik dan tak terlatih. Sektor yang mempekerjakan mereka kebanyakan sector domestic. Kesulitan bermula dari sini. Dengan bekerja di sector domestic yang privat, negara sulit mengawasi pelanggaran yang mereka derita, penyiksaan fisik dan gaji yang tidak dibayarkan misalnya. Berharap pada hukum internasional juga sulit. Satu, hukum internasional memang mengakui individu sebagai subjek hukumnya, namun penuntutan masih harus dilakukan atas nama negara dan atas tindakan yang mengafeksi negara. Dua, para buruh migran yang hanya merupakan lulusan pendidikan dasar dan tinggal di kawasan rural kebanyakan buta hukum, ditambah lagi perusahaan penyalur mereka tidak memberikan pemahaman hukum yang memadai. Kebutaan mereka akan hukum membuat mereka tidak peka ketika mereka sedang dirugikan dan memiliki alasan kuat untuk meminta perlindungan hukum. Tiga, yang paling utama, negara-negara yang aktif melakukan transaksi penyaluran tenaga kerja tersebut sama-sama tidak terikat pada konvensi perlindungan tenaga kerja. Tanpa jaminan hukum, posisi mereka sangat rawan. Di negara tamu, mereka disiksa, dan di negara asal, mereka minim mendapatkan jaminan dan bekal perlindungan.

Kedua, buruh MNC. Kerawanan mereka terutama bersumber dari dua hal. Satu, dari kebandelan MNC yang betah memberikan status pegawai kontrak bagi mereka meski pemerintah negara tamu telah menetapkan peraturan pemberian status pegawai tetap bagi para buruh. Kebandelan MNC ini tentu saja meletakkan buruh sebagai pihak yang rawan kehilangan pekerjaan. Dalam suatu kondisi khusus, MNC bisa hengkang dengan tenang dari negara tamu saat ia merasa bahwa negara tamu tersebut tidak lagi menguntungkan bagi jalannya perusahaan tanpa memikirkan tunjangan dan pesangon bagi buruh yang ia tinggalkan. Lalu, selanjutnya kerawanan kedua. Kerawanan ini bersumber dari posisi para buruh sebagai salah satu factor produksi yang keberadaannya dianggap tak berbeda dari benda. Buruh tidak dianggap sebagai manusia yang di belakangnya berdiri sekumpulan anggota keluarga yang memiliki kebutuhan ekonomi sekaligus tertekan karenanya. Dalam posisinya sebagai sekedar factor produksi, apabila sang produsen merasa bahwa harga produksi terlalu mahal, produsen tersebut bisa dengan ringannya mengelak dari kewajiban upah minimum pekerja dan memberikan upah semampu produsen. Bahkan, bila produsen merasa bahwa mekanisasi lebih murah, mereka akan memihak pada mekanisasi dan mengurangi jumlah buruhnya.


Kerawanan Negara

Jika diagregasikan, kerawanan buruh migran dan buruh MNC tersebut sudah pasti menjadi kerawanan negara yang bersangkutan. Dalam istilah yang sarkastik, kerawanan tersebut sudah mulai mengarah pada penurunan harga diri negara. Dalam hal buruh migran, kerawanan mereka pada bidang perlindungan hukum akan menempatkan negara pada kondisi yang tidak lagi dipercaya rakyatnya. Di negeri sendiri, pemerintah tidak dapat menyediakan lapangan pekerjaan, di negeri lain pun pemerintah terkesan lepas tangan. Begitu pula pada kasus buruh MNC. Kerawanan dalam kesejahteraan pekerja tidak hanya memperlihatkan bahwa pemerintah tidak hanya tak bisa melindungi rakyatnya dari kesemena-menaan kapitalis, tapi juga pemerintah tidak bisa melindungi sumber dayanya dari eksploitasi secara langsung dan besar-besaran dari negara core.

Seharusnya, negara-negara yang tidak hanya diisi oleh buruh migran dan buruh MNC ini sadar bahwa mereka sedang berada dalam posisi dirugikan. Kesadaran tersebut seharusnya pula membawa mereka pada pertimbangan pembuatan kebijakan yang mampu mengatasi kerawanan tersebut. Tapi nyatanya, pemerintah negara-negara yang rata-rata berstatus negara berkembang ini bermental seperti para buruh migran dan buruh MNC-nya. Mereka bermental nrimo alias pasrah terhadap kondisi yang mereka hadapi. Bisa jadi karena memang bargaining position negara-negara berkembang yang membutuhkan pembangunan ini sama lemahnya dengan bargaining position para buruh migran dan buruh MNC yang tidak dilindungi negara saat sudah berhadapan dengan angka-angka ekonomi. Miris sudah kondisi keduanya.


Indonesia : Membela Siapa ?

Globalisasi sebenarnya tidak semata-mata memberikan kemirisan. Di satu sisi, ia memang mempermudah hisapan negara core kepada negara periphery, namun di sisi lain, globalisasi sebenarnya menyebarkan nilai-nilai universal mengenai perlindungan terhadap individu. Globalisasi sebenarnya memiliki misi pula untuk mengajak negara-negara menggeser terminology keamanannya menuju keamanan individu. Globalisasi sebenarnya ingin melindungi individu murni sebagai individu. Nah, permasalahannya, pesan kedua dari globalisasi ini merupakan pesan yang sulit dipenuhi oleh negara. Indonesia, contohnya.

Dari kekurangmampuan pemerintah Indonesia memfasilitasi rakyatnya untuk tetap bekerja di dalam negeri sehingga rakyatnya terpaksa mencari penghidupan di negara lain atau di negeri sendiri namun dengan upah dari korporasi multinasional; dari kebijakan-kebijakan perlindungan bagi buruh migran dan buruh MNC yang lemah, dengan berat hati, nilai yang bisa kita ambil dari sana adalah pemerintah Indonesia masih terjebak pada janji manis globalisasi yang dalam beberapa waktu mendatang akan menjadi boomerang menyakitkan. Indonesia masih menyandarkan keamanannya dalam skala nasional, belum pada level individu.


Pelanggaran HAM dibalas Kenaikan Upah


Setidaknya ada dua kecacatan yang dibuat pemerintah Indonesia dalam melindungi buruh migrant.

Pertama, Indonesia belum meratifikasi UN Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of Their Families padahal konvensi ini merupakan konvensi kunci bagi kuatnya perlindungan buruh, baik legal maupun illegal, dan anggota keluarganya. Dengan meratifikasi konvensi ini, buruh migrant akan memiliki kebebasan berserikat, asuransi, fasilitas pengacara, dan yang paling penting, perlindungan penuh dari negara asal serta jaminan ketiadaan pelanggaran HAM dari pengguna jasa di negara tujuan. Dalam Tempo Interaktif 1 Desember 2009 lalu , Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Muhaimin Iskandar mengisyaratkan ratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990 masih dua tahun lagi. Menurutnya, pemerintah masih terpaku untuk menyamakan presepsi antardepartemen, meski sudah ditandatangi sejak era Presiden Megawati dan masuk dua kali Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Menurut Muhaimin lagi, mereka perlu menyiapkan diri dan mematangkan kerangka infrastruktur yang harus disediakan konvensi ini. Selain itu, ke-14 negara tujuan pengiriman buruh migran Indonesia belum meratifikasi konvensi ini.

Menilik pada alasan pertama, alasan tersebut logis sebenarnya, mengingat peratifikasian memiliki konsekuensi yang cukup berat, namun pada alasan kedua, Indonesia terlihat sangat pasif, hanya menunggu inisiatif dari negara penerima sementara kebutuhan perlindungan buruh migran sudah sangat mendesak. Lihat saja berbagai kasus yang sepanjang tahun 2009 lalu sangat mencengangkan. Ya, negara penerima buruh migrant memang perlu diikat dalam konvensi tersebut karena pelanggarannya terhadap HAM buruh migrant, namun menunggu mereka tanpa bergerak juga tak dapat dibenarkan. Satu, konvensi tersebut memberikan akses lebih besar bagi negara asal untuk melindungi rakyatnya yang menjadi buruh migrant, baik ia buruh legal maupun illegal. Meski negara penerima belum meratifikasi konvensi tersebut, buruh migrant setidaknya sudah memiliki perlindungan yang besar dari negara asal karena posisi negara asal dalam memberikan perlindungan sudah lebih kuat. Hal itu akan lebih baik ketimbang kedua negara belum meratifikasi sehingga keduanya bisa lepas tangan atas pelanggaran HAM yang dialami buruh migrant. Dalam kondisi kedua negara belum meratifikasi konvensi tersebut, buruh tidak memiliki perlindungan dari siapa-siapa.

Kecacatan kedua, ada kejanggalan saat Indonesia berupaya memberi perlindungan buruh migrant tanpa melalui ratifkasi Konvensi 1990. Janggal saja saat sebuah negara berusaha menjadi pelindung bagi rakyatnya namun sebenarnya perlindungan tersebut tidak menyentuh kebutuhan sebenarnya dari sang rakyat. Kejanggalan pertama, Indonesia mengeluarkan Undang-Undang no 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Permasalahannya tidak hanya terletak pada keterbatasan undang-undang ini yang sekedar mengatur tata cara penempatan buruh migrant Indonesia dan menjelaskan bahwa buruh migrant Indonesia memiliki hak-hak yang dilindungi negara Indonesia atas penempatannya di luar negeri, tapi juga pada kecilnya peran Indonesia sebagai negara asal dalam melindungi buruh migrant yang tak lain adalah rakyatnya. Kecilnya peran pemerintah Indonesia tersebut terlihat dari ketatnya peraturan administrasi pergerakan buruh migrant yang ditetapkan pemerintah Indonesia seperti mereka wajib memiliki dokumen lengkap dan wajib melaporkan kedatangan dan kepulangan mereka namun dalam surat perjanjian yang dibuat buruh, pemerintah tidak ikut terlibat kecuali apabila buruh tersebut dipekerjakan di sector kepemerintahanan juga. Pada sector domestic dan swasta, pengurusan perlindungan terhadap buruh migrant dilimpahkan kepada perusahaan perekrut. Posisi perusahaan perekrut jelas tidak kuat dan tidak pula mampu menghentikan tindakan-tindakan pelanggaran HAM dari pengguna jasa buruh migrant.

Kejanggalan berikutnya adalah ketika pemerintah Indonesia mengupayakan perundingan bilateral dengan Malaysia sebagai negara penerima buruh migrant Indonesia. Perundingan tersebut membahas usulan memperbolehkan TKI memegang sendiri paspor mereka, memberikan hak cuti sehari dalam seminggu, transparansi kontrak kerja dan deskripsi kerja yang jelas, kenaikan gaji dan perlindungan kepada TKI, penghapusan penempatan secara individu, dan penegakan hukum bagi majikan yang memakai TKI ilegal. Dari keenam usulan pihak Indonesia tersebut, pihak Malaysia hanya menyetujui tiga poin, yakni paspor yang diserahkan kepada TKI, libur sehari dalam seminggu, dan adanya kenaikan skala gaji . Dalam poin kenaikan gaji, pihak Indonesia mendesak Malaysia untuk menaikkan gaji TKI tersebut menjadi kisaran 650 ringgit–800 ringgit atau Rp1,8 juta–2,4 juta . Malaysia sendiri masih bertahan dengan nilai 600 ringgit. Banyak pihak yang mengkritik perundingan tersebut. Kritikan tersebut senada dengan kritik penulis.

Bagi penulis, perundingan tersebut kecil sekali menyentuh persoalan utama yang dialami oleh buruh migrant. Perundingan tersebut memang sudah membahas kebutuhan buruh migrant, namun penekanan perundingan pada kenaikan gaji sepertinya bukan masalah yang krusial bila dibandingkan dengan perlindungan HAM yang minim. Kasus-kasus yang selama ini menimpa buruh migrant bagi penulis merupakan kasus yang erat kaitannya dengan HAM. Penyiksaan fisik, ketiadaan kesetaraan hukum saat buruh migrant melakukan tindak pidana di negara tujuan, dan penahanan gaji jelas merupakan pelanggaran HAM yang seharusnya menjadi konsentrasi utama negara. Untuk apa meminta peningkatan upah jika pada akhirnya upah tersebut malah tidak dibayarkan? Untuk apa upah yang tinggi bila sang buruh harus menanggung luka-luka bekas setrika?

Permasalahan pelanggaran HAM yang diderita buruh migrant sebenarnya telah mengemuka sejak tahun 2007 pada saat Sidang Sessi ke 4 Dewan HAM PBB di Geneva dalam sesi pemaparan laporan kunjungan UN Special Rapporteur on the Human Rights of Migrants ke Indonesia, Prof DR Jorge Bustamante . Bustamante mengemukakan bahwa kondisi buruh migran Indonesia berada pada situasi yang rentan, dan bahkan dia juga menyatakan telah ada pelanggaran hak asasi manusia terhadap buruh migran Indonesia. Kenyataan kerentanan HAM buruh migrant yang hanya direspon pemerintah Indonesia dengan pembagian peran pelindung antara negara dengan perusahaan penempatan TKI serta penekanan kenaikan upah buruh migrant jelas merupakan kejanggalan. Kejanggalan yang menggelikan.


World is Flat, SKB 4 Menteri, dan Buruh MNC

World is Flat yang ditulis Friedman merupakan rujukan yang penting dalam memahami kejayaan ekonomi global. Dalam bukunya ini, Friedman menggunakan gaya bahasa yang ringan dan posistif sehingga mengonstruksi pemikiran kita akan manisnya globalisasi. Namun tunggu dulu hingga kita membaca kasus-kasus ketidakadilan yang menimpa buruh korporasi multinasional. Penjelasan manis Friedman tersebut akan langsung mengantar kita pada kepesimisan terhadap globalisasi. Kekuatan globalisasi yang dipaparkan Friedman ternyata merupakan factor yang mendorong pengeksploitasian terhadap buruh MNC serta penurunan perlindungan negara terhadap buruh MNC.

Friedman menyebut globalisasi yang saat ini mengitari kita merupakan globalisasi gelombang tiga. Menurut Friedman, globalisasi gelombang tiga ini merupakan globalisasi yang didominasi oleh individu. Melalui berakhirnya Perang Dingin dan majunya teknologi, individu dari berbagai belahan dunia memiliki pintu penghidupan ekonomi yang lebih besar. Mereka bebas berkompetensi dengan orang-orang yang berada di belahan dunia mana saja. Melalui globalisasi, kesempatan begitu besar terbuka di mata mereka. Namun, kesempatan besar bagi individu ini sebenarnya tidak semanis itu. Faktor pertama, perusahaan multinasional masih memegang kendali yang kuat dalam masa ini meski era kejayaannya sudah disebut Friedman pada globalisasi gelombang dua. Melalui outsourcing, offshoring, supply-chaining, dan insourcing, posisi perusahaan multinasional semakin kuat. Harga produksi atau biaya operasional yang tinggi di suatu negara akan langsung membuat mereka memindahkan operasinya dari negara tersebut dan meninggalkan buruh-buruh yang terlibat di negara awal. Beruntunglah bagi buruh-buruh yang tinggal di kawasan yang berbiaya produksi dan operasional rendah namun berproduktivitas tinggi. Sementara sisanya? Entah, mungkin menumpuk menjadi angka-angka statistik pengangguran di negara berkembang yang didata oleh World Bank. Kesempatan yang besar untuk bermain di level global akhirnya hanya akan melahirkan seleksi alam, yang terefisienlah yang akan menang.

Faktor kedua, kuatnya perusahaan multinasional sejak globalisasi gelombang dua sangat nyata melemahkan peran negara dalam menjalankan perannya sebagai pelindung rakyat. Dalam suatu artikel menarik berjudul Negara, MNC, dan Buruh, penulisnya mengatakan,
“Pada masa antara 1945-1980, buruh menikmati perlindungan dari negara. Tetapi hal itu kemudian berubah….David Korten dalam bukunya When Corporations Rule the World (2001) dengan jelas dan gamblang melukiskan sepak terjang MNC di yang membuat negara Dunia Ketiga kewalahan menyusun kebijakan yang menguntungkan rakyatnya…Perusahaan tingkat nasional dengan skala yang lebih kecil tidak mungkin bersaing dengan mereka. Apa yang terjadi kemudian malah bersaing satu sama lain untuk memperoleh order dari MNC sebagai bagian dari strategi outsourcing. ”

Pelemahan peran negara juga terjadi ketika perusahaan multinasional tersebut memberikan pilihan yang sulit bagi negara antara hengkanganya perusahaan yang berujung pada PHK massal atau penentuan upah minimum buruh yang sesuai dengan kemampuan perusahaan multinasional.

Kasus tersebut terjadi di Indonesia tahun 2008 lalu. Posisi Indonesia? Tentu saja lebih memilih menjaga kestabilan jumlah angkatan kerja dengan bermanis-manis dengan perusahaan lewat Surat Keputusan Bersama Empat Menteri. Sepertinya pemerintah Indonesia lebih senang dalam menangani protes buruh ketimbang menghadapi tekanan perusahaan multinasional.
Pasal-pasal dalam SKB Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global yang diprotes buruh tersebut di antaranya,
  1. Pasal 2 huruf a : Konsolidasi unsur pekerja/buruh dan pengusaha melalui forum LKS tripartit nasional dan daerah serta dewan pengupahan nasional dan daerah agar merumuskan rekomendasi penetapan upah minimum yang mendukung kelangsungan berusaha dan ketenangan bekerja dengan senantiasa memperhatikan kemampuan dunia usaha khususnya usaha padat karya dan pertumbuhan ekonomi nasional.
  2. Pasal 2 huruf b : Upaya agar gubernur dalam menetapkan upah minimum dan segala kebijakan ketenagakerjaan di wilayahnya mendukung kelangsungan berusaha dan ketenagakerjaan dengan senantiasa memperhatikan kemampuan dunia usaha khususnya usaha padat karya dan pertumbuhan ekonomi nasional
  3. Pasal 3 : Gubernur dalam menetapkan upah minimum mengupayakan agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional (Namun kemudian pasal ini direvisi menjadi : Gubernur dalam menetapkan upah minimum diupayakan memperhatikan tingkat inflasi di masing-masing Daerah).

Menanggapi SKB tersebut, buruh ramai memprotes. Mereka mengerti bahwa pilihan yang diambil pemerintah untuk memihak keinginan perusahaan sebenarnya untuk melindungi mereka juga. Tentu lebih baik demikian daripada perusahaan-perusahaan tersebut memecat para buruh karena tidak kuat menanggung biaya produksi yang tidak sebanding dengan pemasukan di tengah krisis global. Namun, mereka mengkhawatirkan kelicikan perusahaan-perusahaan yang menggunakan SKB 4 Menteri tersebut untuk memanipulasi upah yang diterima buruh. Apalagi, SKB ini tidak jelas memuat kondisi seperti apa yang dijadikan syarat pemberlakuan dan pemberhentian SKB. Penetapan upah yang diserahkan pada pihak perusahaan tanpa ada campur tangan pemerintah ini tampak berlaku untuk selamanya meski suatu saat nanti keadaan ekonomi telah membaik. Bila menghubungkan SKB ini dengan penjelasan Ronaldo Munck dalam Globalisation and Labor, ketetapan SKB 4 Menteri tersebut mengukuhkan keberadaan sistem Labour Flexibility Market (LFM) yang meliputi :
  1. 1. External numerical flexibility: jumlah pekerja disesuaikan dengan kebutuhan pengusaha
  2. 2. Externalisation: sebagian dari pekerjaan perusahaan diserahkan kepada sub-kontrak
  3. 3. Internal numerical flexibility: jam kerja dan kerja itu sendiri disesuaikan dengan kebutuhan pengusaha
  4. 4. Fuctional flexibility: jenis pekerjaan disesuaikan dengan kebutuhan pengusaha
  5. 5. Wages flexibility: upah kerja disesuaikan dengan produktivitas dan situasi pasar

Pada era globalisasi gelombang ketiga saat ini, negara-negara benar-benar dijauhkan dari rakyatnya sehingga negara pun tidak lagi melindungi HAM buruh. Entah kata tidak melindungi tersebut disebabkan karena apa. Apakah karena tidak berdaya atau tidak mau. Apapun itu, buruh sudah murni dianggap sebagai individu yang harus survive sendirian meski secara administratif ia terdaftar di dalam dokumen kependudukan negara yang seharusnya berhak mendapat perlindungan negara.


HAM yang Makin Menghilang

Buruh migrant dan buruh MNC merupakan potret paradoksal dari globalisasi. Di satu sisi, globalisasi menyebarkan nilai-nilai perlindungan HAM bagi setiap individu, namun di sisi lain, globalisasi mengecilkan peran negara yang selama ini dijadikan tumpuan perlindungan HAM.

Globalisasi yang terjadi sekarang bagi penulis merupakan globalisasi yang belum direspon secara sempurna oleh semua pihak, baik negara, buruh, maupun korporasi multinasional. Menyadari peran negara saat ini makin kerdil dalam lalu lintas globalisasi, negara tidak berusaha memperpanjang keinginannya untuk mengatasi hal tersebut. Belum diratifikasinya konvensi buruh hingga sepuluh tahun ini oleh negara-negara yang terlibat dalam transaksi buruh migran merupakan ketidakpekaan negara atas konsekuensi globalisasi. Ketidakpedulian korporasi multinasional akan nilai-nilai kemanusiaan buruh yang mereka pekerjakan demi kelangsungan hidup perusahaan juga merupakan tindakan tak bertanggung jawab atas globalisasi yang mereka ciptakan. Tindakan dari negara dan korporasi multinasional tersebutlah yang menjadi sumber buramnya potret globalisasi di mata buruh. Amanah penghargaan HAM yang diusung globalisasi pun akhirnya hanya menjadi amanah usang di hadapan angka ekonomi. Globalisasi telah merengut nyawa kemanusiaan manusia. Manusia pun dianggap tak ubahnya seperti barang.




Ark, Jan'10