TKI dan Keterbatasan Gerak Negara


Hukuman pancung Ruyati di Arab Saudi membuat pemerintah Indonesia menjadi tertuduh utama. Ketidakmampuan pemerintah melindungi rakyat merupakan fokus dari media dan masyarakat. Tuntutan tersebut tidak salah karena sebagai representasi negara, pemerintah harus bisa melindungi warga negara. Namun demikian, persoalan TKI merupakan persoalan kompleks yang tidak bisa dilihat dari satu kacamata.


Konstruksi Sosial

Persoalan pertama menyangkut pengonstruksian agen-agen TKI kepada subjek yang berpotensi menjadi TKI. Karakteristik subjek yang memiliki keterbatasan dalam ekonomi dan keahlian khusus membuat mereka mudah dikonstruksi menjadi TKI hanya dengan janji pendapatan besar. Agen memang tidak berbohong tentang pendapatan besar, tetapi agen tidak transparan dalam menjelaskan bahwa di balik pendapatan besar tersimpan resiko yang juga besar karena adanya perbedaan budaya dengan negara tujuan. Tidak hanya kendala bahasa, tetapi juga karakteristik masyarakat luar dalam memperlakukan buruh serta sistem hukum negara mereka. Beberapa agen memang membekali calon TKI dengan pelatihan, namun bagaimana dengan agen-agen yang sengaja mempermudah proses birokrasi dan kelegalan TKI?

Persoalan kedua adalah peran media massa. Persoalan TKI menjadi agenda nasional tidak dapat dilepaskan dari peliputan media massa. Sebagai pengontrol pemerintah, liputan tersebut adalah pengingat pemerintah akan pekerjaan rumahnya. Liputan tersebut juga bisa menjadi penyeimbang janji manis pendapatan besar yang selama ini banyak dikejar. Namun, sebagai sumber utama informasi dan pembentuk opini publik, jika media massa berfokus hanya pada kelalaian pemerintah, masyarakat bisa terdorong untuk tidak percaya kepada pemerintah. Pembenahan-pembenahan yang dilakukan pemerintah berpotensi minim kepercayaan.


Keterbatasan Negara

Persoalan ketiga adalah keterbatasan gerak negara. Tuntutan mengenai ketidakmampuan negara dalam melindungi warga negara memang bukan tuntutan yang salah. Secara internal, kelemahan negara berasal dari minimnya lapangan kerja serta tidak meratanya distribusi kesejahteraan. Kelemahan ini mendorong warga negara mencari kehidupan di negara lain. Ketika TKI menjadi korban di negeri orang, negara dicap tidak mampu melindungi warganya dari mulai di tanah air hingga di tanah orang. Negara memang wajib melindungi warga negaranya, namun perlindungan menjadi istilah yang rumit ketika harus diproyeksikan di luar yurisdiksi. Prinsip kedaulatan merupakan prinsip yang paling umum yang harus ditaati setiap negara di dunia. Suatu negara tidak boleh mencampuri urusan domestik negara lain dan sebaliknya, suatu negara bisa dengan segala cara mencegah ikut campurnya negara lain ke dalam urusan domestiknya. Adil atau tidak adil, prinsip tersebut sudah menjadi batasan yang tidak bisa ditembus dalam hubungan internasional yang kemudian berkembang menjadi tameng suatu negara.

Melalui perjanjian internasional, prinsip kedaulatan bisa melunak, namun ketika perjanjian internasional tidak diratifikasi oleh semua pihak yang terlibat, negara yang dirugikan tidak bisa menuntut. Negosiasi bisa diupayakan, namun negosiasi bisa terhambat apabila dihadapkan oleh perbedaan sistem, terutama sistem hukum. Dengan sistem hukum syariah yang menerapkan qishash yang bergantung pada tuntutan keluarga korban, Indonesia memiliki hambatan dalam menegosiasikan hukuman tersebut dengan pemerintah Arab Saudi. Wajar sebenarnya jika masyarakat dan media massa menyoroti dilaksanakannya hukuman pancung bagi Ruyati sebagai gambaran kegagalan Indonesia melindungi warga negaranya, namun dengan keunikan setiap kasus dan beragam situasi yang mengelilinginya, tidak adil rasanya bila muncul generalisasi bahwa negosiasi Indonesia melempem.

Namun bukan berarti Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam masa moratorium TKI yang diberlakukan Presiden SBY, seluruh elemen yang terkait dengan urusan TKI harus berbenah. Pengetatan agen, pengonstruksian yang berimbang mengenai resiko dan peluang menjadi TKI, pengetatan standar kualifikasi TKI, penguatan sistem perlindungan TKI di dalam dan luar negeri merupakan beberapa hal yang wajib diupayakan negara selain meningkatkan peluang bekerja di tanah air dan pendistribusian kesejahteraan. Secara eksternal, upaya diplomasi yang dilakukan negara pun harus ditingkatkan terutama dalam hal perjanjian perlindungan tenaga kerja, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara yang berkepentingan dengan TKI. Selama menunggu perkembangan kemampuan Indonesia dalam melindungi warga negaranya, masyarakat dan media massa juga harus dapat menyikapi persoalan ini dengan kepala dingin.