Selamat Jalan, Pak Indra


"Bu, Pak Indra meninggal, cek fesbuk Pak Rian."
"Innalillahi wa innailaihi rajiun, telah meninggal pimpinan Ganesha, Bapak Indrayanto Sabtu, 12 Juli 2014 pukul 23.15. Semoga amal ibadah beliau diterima Allah, diampuni dosanya, dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan."

Mata saya masih setengah tertutup dan kesadaran saya belum pulih benar saat saya membuka dua notifikasi sms pagi Ramadhan itu. Pak Indra? Meninggal? Maksudnya? Ya Allah? PAK INDRA? MENINGGAL? Hah, ini gimana, maksudnya apa?
Saya membalas dua sms tersebut dengan ketidakpercayaan lalu saya membuka fesbuk Pak Rian. Saya berusaha menolak apa yang saya baca. Namun memang itu kenyataannya. Pak Indra telah berpulang. Pikiran saya lalu melayang pada Bu Tari, istri Pak Indra. Lalu Ilham, Uzi, Rara, dan adik kecilnya yang baru beberapa belas bulan lalu lahir. Adik saya yang sejak tahun lalu meneruskan saya mengajar di Ganesha kemudian mengingatkan hal yang lebih ironis, "Mana besok [Ilham, Uzi, Rara] masuk sekolah..." Ah, iya, besok hari pertama Uzi dan Rara, anak kembar Pak Indra, masuk SMP. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya masuk sekolah baru dengan babak kehidupan yang juga baru tanpa ayah yang selama ini mewanti-wanti belajar yang keras agar bisa masuk sekolah yang baik.
Pagi itu, saya juga menyesali keputusan untuk tidak pulang pada pekan ini ke Bandung. Andai saya pulang, saya bisa memberi penghormatan terakhir kepada atasan yang dengan baik hati telah membesarkan saya selama 5 tahun. Saya berutang budi banyak sekali kepada beliau. Berat sekali akhirnya saya hanya bisa mengirim sms belasungkawa kepada Bu Tari.
Terduduk di kamar asrama, saya teringat pembicaraan pada suatu malam di Ramadhan tahun 2011, sehabis acara buka bersama Ganesha dalam perjalanan kembali menuju Cibiru setelah mengantarkan guru-guru cabang di area belakang. Di mobil ada Bu Sukroh yang menyetir, Pak Tedi di sebelah Bu Sukroh, dan saya yang duduk di kursi tengah Avanza.
"Gimana ya, Pak, Bu, kehidupan kita nanti setelah ini?" tanya saya memecah kantuk Bu Sukroh yang bosan dengan pemandangan jalan raya yang gelap-gelap saja.
Agak lama tak ada jawaban, akhirnya Pak Tedi buka suara, "Ya, yang pasti akan bertambah baik." Bu Sukroh mengamini namun pikiran saya masih melayang. Iya ya akan seperti apa hidup setelah ini, duh lulus kuliah juga belum, begitu pikir saya saat itu.
Saat bertanya itu, saya sedang takut-takutnya berpisah. Saat itu, terutama setelah outing Ganesha ke Pangandaran akhir tahun 2010, silaturahmi guru-guru Ganesha sedang erat-eratnya. Pak Indra juga sedang nyaman-nyamannya mengayomi kami. Persoalan padatnya jadwal promo -yang selalu berhasil saya hindari karena malas bangun pagi dan dibalut alasan, "Ada kuliah, Pak," dan iritnya jatah fotokopi latihan soal adalah hal lain. Yang jelas, Ganesha adalah rumah kedua, literally, bagi saya dan guru-guru lain. Bagaimana tidak, di Ganesha kami bisa menghabiskan waktu untuk mengajar sejak jam 7 pagi sampai setengah 9 malam, bahkan dari Senin hingga Minggu, minimal di 6 cabang, tak terhitung jumlah kelas yang dipegang.
Ya, tentu tidak setiap hari jadwal full Senin-Minggu seperti itu. Hanya beberapa kali saja di musim ujian. Lagipula ada jeda-jeda tertentu di antara kelas pukul 7-20.30. Meski lelah, nyatanya padatnya jadwal tersebut tidak membuat stres karena jalinan kebersamaan dengan murid, pengajar, dan sekretaris cabang juga begitu kuat. Kedekatan dengan Pak Indra dan keluarga juga sangat erat karena frekuensi peredaran Pak Indra, Bu Tari, Ilham, Uzi, dan Rara yang juga tinggi ke berbagai cabang.
Kembali pada ingatan saya akan malam Ramadhan di Avanza kantor, pembicaran itu sampai saat ini selalu terasa nyata. Terlebih saat ternyata perpisahan itu mulai datang pelan-pelan menyerang lingkaran pertemanan saya yang tercipta karena lamanya jam beredar di Ganesha dan mendapat jadwal berdekatan. Pak Tedi mulai sibuk di kantor barunya sehingga hanya mengajar di malam hari dan akhir pekan –lalu belakangan menghilang lalu juga menikah, Bu Ina pindah ke Jakarta, Bu Sukroh dan Pak Rian makin jauh melanglangbuana ke cabang-cabang baru, Bu Egy mengajar di sekolah dan lebih banyak mengambil jadwal di Cicalengka, Pak Ajat menikah, Pak Dicky menikah, Bu Ely dan Bu Sukroh juga menikah, dan beberapa bulan selepas saya lulus saya juga hijrah ke Jakarta. Kini, perpisahan itu makin terasa dengan berpulangnya Pak Indra ke sisi Sang Pencipta tanpa disangka-sangka karena sakit yang juga tiba-tiba.
Entahlah, rasanya……Byaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr….hal yang dulu retak-retak kini berhamburan pecah, hilang, dan meninggalkan banyak pertanyaan kenapa.
Saya benci sekali dengan perpisahan meski dalam hati saya selalu berusaha menerima bahwa perpisahan adalah hal yang pasti akan selalu saya alami. Pun mengenai perpisahan yang ini, yang bagi saya tak ubahnya seperti perpisahan dengan keluarga. Pak Indra, orang yang selalu kami ‘jaga’ kehadirannya dengan sms notifikasi semacam,
“Bu, jangan telat ya, Pak Indra udah otw ke Rancaekek dari Cicalengka,”
“Bu, Pak Indra lagi di Ujungberung ngga?”
“Si Bapak mau kemana Bu, habis ini?”
bagaimanapun juga adalah orang baik yang pernah memperkerjakan saya selama 5 tahun. Saya masih ingat saat pertama kali melamar pekerjaan, dites mengajar, diwawancarai oleh beliau saat saya masih menjadi mahasiswa semester 2. Kepercayaan beliau untuk menerima saya menjadi pengajar Bahasa Indonesia, lalu bertambah menjadi pengajar Bahasa Inggris pada saat itu adalah pintu yang dibukakan Allah untuk saya sehingga bisa hidup baik-baik saja selama kuliah. Gaji yang diterima tiap bulan tentu adalah salah satunya, tetapi yang lebih terasa hingga kini adalah ilmu dan kepercayaan diri yang terbangun selama di Ganesha.
Mengingat sosok Pak Indra, beliau adalah orang yang sangat kompleks dalam pemikiran saya, bahkan hingga saat ini. Itu juga yang menyebabkan saya masih belum bisa percaya bahwa Pak Indra sekarang sudah tiada. Dedikasinya yang begitu luar biasa akan usaha yang dibangunnya susah payah adalah hal yang begitu sulit dirumuskan dengan kata-kata. Kadang saya sebal pada Pak Indra. Biasa, bawahan males mah kayak begini hehe. Kadang saya paham dan menghargai juga mengapa Pak Indra mengambil keputusan A, B, C, dan sebagainya. Kadang Pak Indra juga nampak acuh dengan beberapa persoalan. Tapi tak jarang pula saya malu dan salah tingkah karena Pak Indra tahu hal-hal personal dan percintaan saya hahahaha. Pernah pula Pak Indra nampak keras kepada anak-anaknya dari soal jajan di luar hingga jadwal les yang sangat padat. Namun saya juga tersentuh saat melihat Pak Indra bercengkrama dengan anak-anaknya saat jeda jadwal belajar. Saya juga terpesona saat saya tahu Pak Indra memanggil Bu Tari dengan panggilan, “Yang” di umur mereka yang senior dan di depan kami semua.
Mengingat lagi pembicaraan di Ramadhan 3 tahun lalu itu, perginya Pak Indra tadi malam Ramadhan kali ini telah membuat tradisi Ramadhan yang baru bagi Ganesha. Biasanya tiap Ramadhan Pak Indra akan mengumpulkan kami dalam acara buka bersama. Saya selalu mendapat jatah membuat angket guru dan cabang, jadi MC dengan Pak Rian, dan ikut mengantar pulang guru-guru  dengan Bu Sukroh dan Pak Tedi. Bu Ely belanja hadiah, menyiapkan jadwal acara, makanan, dan dekorasi. Bu Sukroh jadi seksi sibuk segala urusan dalam dan transportasi. Pak Tedi menyiapkan slide acara dan pernah juga jadi ustad dadakan. Semua bergembira, terutama Pak Indra. Beliau banyak sekali menebar senyum –meski sempat juga tegang saat menyempaikan evaluasi tahunan hihi-, menyapa dan meledek guru dengan akrab, dan semangat mengajak foto bersama. THR dan bingkisan juga menjadi penyemarak. Ah, Pak Indra.
Mulai kini, sepeninggal beliau, entahlah bagaimana Ramadhan akan terlewati. Semua pasti akan berbeda tanpa Pak Indra meski saya yakin semua juga akan tetap baik-baik saja  atau bahkan lebih baik lagi seperti yang diyakini Pak Tedi. Sudah banyak kebaikan yang ditanam Pak Indra, baik bagi Ganesha dan bagi keluarganya sehingga tentu ya…hidup akan selalu berjalan dengan baik. Ya tapi, kehilangan itu akan selalu terasa.
Ada yang berkata bahwa orang yang meninggal pada bulan Ramadhan adalah orang baik. Saya jadi curiga bahwa memang memang kejadian yang begitu mendadak ini adalah skenario yang sengaja dibuat untuk menunjukkan bahwa Pak Indra memang orang baik. Ah, tapi bagi saya, beliau memang orang baik, tidak peduli beliau meninggal pada bulan Ramadhan atau bukan. Kalau saya menyesali mengapa beliau meninggal pada bulan Ramadhan tadi malam, itu hanya karena saya merasa masih berutang budi pada beliau dan belum sempat mengunjunginya setahun ini, bahkan ketika saya mendapat kabar beliau masuk rumah sakit dan malah kini niat saya ditikung ajal. Sedih sekali rasanya saya hanya bisa mengantar kepergian beliau melalui posting ini dan sedikit doa tadi pagi.
Saya tidak tahu harus menulis apa lagi. Perasaan saya masih penuh dan otak saya masih berusaha meyakinkan diri bahwa Pak Indra sudah tiada. Sementara ini, saya hanya bisa mengucapkan, “Selamat jalan, Bapak. Banyak tersenyumlah di sana.”


Ark.Jul’14.

Menunggu di Depan Pintu


Sepertinya tidak ada yang tahu mengenai hal yang ingin saya tuturkan di sini, termasuk ayah saya. Saya tidak pernah menganggap bahwa laki-laki adalah makhluk yang baik, terutama dalam hal ingin menyenangkan hati orang lain, ya salah satunya karena apa yang saya lihat sejak saya kecil.

Ayah saya seorang pekerja keras. Ketika masih bekerja di Bandung, setiap pagi saya selalu melihat ayah saya ganteng sekali mengancingkan lengan panjang bajunya yang rapi. Saya yang masih kecil akan dengan bersemangat mengambilkan sepatunya yang telah saya semir setiap jam 6 pagi sekadar agar saya terlibat dalam ritual pagi ganteng ala ayah saya. Ayah saya lalu akan berjalan untuk mengeluarkan mobil, saya mengantarnya dengan lambaian tangan di depan pagar.

Saya selalu bangga karena ayah saya ganteng dan pintar hehe. Pokoknya ayah saya yang paling hebat di dunia. Setiap hari saya selalu ingin menceritakan hal baru tentang ayah saya kepada kawan-kawan namun sayangnya tidak sampai di akhir pekan, saya kehabisan bahan. Oleh karena itu pula saya selalu merindukan momen libur di akhir pekan agar saya bisa bercengkrama dengan ayah saya.

Namun apa dikata, pekerjaan yang padat bagi seorang pekerja keras hanya akan meninggalkan lelah sejak Jumat malam. Itu yang saya baru pahami hari ini ketika saya sudah bekerja. Perjalanan pengertian yang sungguh lama sejak saya mulai mengenal konsep ayah dalam perkembangan pengetahuan anak.

Ayah saya tidak tahu betapa saya merindukan akhir pekan hanya untuk mendengar cerita-ceritanya atau mendengarkan cerita saya. Ayah saya juga tidak tahu bahwa di setiap tidurnya yang panjang pada akhir pekan, saya berkali-kali melongokkan kepala di pintu kamar untuk menunggunya terbangun lalu merangkul saya bersamanya sambil bercerita, jika memang ayah saya tidak cukup kuat untuk mengajak saya berjalan-jalan keliling kota dengan mobil Katana yang pada saat itu menjadi tren. Setiap Sabtu dan Minggu pada masa itu adalah penungguan akan kejutan menyenangkan namun sayangnya selalu ditutup dengan upaya penabahan diri anak-anak atas ungkapan, "Aba capek." 

Lama-kelamaan, sambil tetap menunggu Sabtu dan Minggu untuk bermain banyak dengan ayah saya, saya pun menjadi dewasa sendiri. Dewasa dalam arti menganggap bahwa keinginan terdalam saya itu tidak akan selalu disambut degan semangat ayah saya yang semenggebu saya. Ayah saya hanya tahu bahwa Sabtu dan Minggu adalah hari pelepasan penat, tanpa tahu bahwa saya sejak Senin hingga Jumat menunggu Sabtu dan Minggu untuk pelepasan rindu. Ya, walaupun saya setiap malam juga masih betemu ayah saya dan ditanyai soal sekolah. Entahlah, saya juga akhirnya menjadi lebih dewasa dengan berkata pada diri sendiri bahwa saya seharusnya sudah cukup bersyukur dengan pembicaraan singkat setiap malam dengan ayah saya.

Bukan berarti ayah saya sama sekali tidak pernah mengajak saya berjalan-jalan panjang pada Sabtu dan Minggu. Ada momen ketika ayah saya mengajak kami berjalan-jalan yang selalu saya anggap istimewa. Ayah saya tidak tahu bahwa selepas saya tahu rencana pergi esok hari, hati saya membuncah dan melonjak yang kekuatannya cukup untuk menggerakkan saya memilih-milih baju yang akan saya kenakan esok sambil otak saya berencana akan membicarakan apa saja besok dengan ayah saya dan tentu saja menerka-nerka besok ayah saya akan bercerita apa. Ya tapi momen itu terlalu istimewa  -penghalusan dari istilah : sedikit.

Beranjak umur, dengan tetap menyayangi ayah saya tidak peduli beliau suka mengajak saya berjalan-jalan atau tidak di Sabtu-Minggu masa kecil saya, kedewasaan yang ditempa dari pemaksaan diri untuk menerima apa yang saya terima ternyata menjadi ketidakpercayaan saya bahwa laki-laki memiliki kepedulian untuk menyenangkan orang di sekitarnya. Saya selalu menganggap bahwa ketika laki-laki membuat orang di sekelilingnya senang, ya dia melakukannya karena dia memang mau, bukan karena mau menyenangkan orang itu. Saya selalu skeptis dengan cerita teman-teman lelaki saya yang mengatakan betapa mereka ingin menyenangkan istrinya. Setahu apa mereka dengan keinginan yang sebenarnya ingin disuarakan istrinya tapi akhirnya tidak dibicarakan karena takut membebani mereka? Ya seperti ayah saya yang merasa sudah membuat saya senang sepanjang hidup tapi tidak tahu bahwa saya menunggunya bangun di setiap jam pada Sabtu dan Minggu.

Ah, iya. Sekarang ayah saya sudah pensiun, sudah banyak waktu untuk mengurus keluarga. Ada titik dimana saya iri dengan adik saya tapi juga saya sudah terlampau malas untuk mendekat. Adik saya bahkan tidak usah menunggu dengan sabar pada Sabtu dan Minggu untuk dibawa berkeliling kota atau dirangkul dalam tidur karena ayah saya setiap hari dengan semangat yang tinggi mengantar jemput adik saya ke sekolah dan ke tempat latihan renang dan kempo, bahkan les juga. Saat saya masih tinggal di rumah pun ayah saya beberapa kali berniat mengantarkan saya ke kampus atau rumah murid privat saya, tapi ah sudahlah saya malas. Saya sudah cukup terbiasa dengan penungguan yang tidak tentu akhirnya akan seperti apa sehingga saya menganggap bahwa tidak ada yang peduli juga dengan penungguan saya. Ya sudah.

Meskipun demikian, saya juga mungkin harus berterima kasih pada 'cara mendidik' ayah saya yang membuat saya menjadi seperti sekarang. Laki-laki pekerja keras dan tidak sadar kehadirannya ditunggu tentu bukan ayah saya saja. Selain itu, berkaca pada ketidakpercayaan saya akan laki-laki yang mau menyenangkan orang lain tanpa dorongan dari dirinya sendiri, ya berarti episode penungguan yang tidak disadari itu juga tidak akan sekali saya alami. Bahkan mungkin kelak juga akan dialami anak saya. Ya sudahlah. Semoga nanti anak saya juga akan baik-baik saja seperti yang akhirnya saya putuskan.

Surat Acak-acakan untuk Ayie Annisa



Untuk sahabatku tersayang, Annisa Utami Seminar yang baru saja menjadi seorang istri

Pertemuan pertama kita, sebagaimana yang dialami oleh HI Unpad 2007 adalah ketika menyiapkan Makrab. Beberapa kali kami menyambangi kostmu yang memiliki seprei bergambar strawberry dan halamannya bergazebo. Aku lupa kita mengerjakan apa, sepertinya tidak jauh-jauh dari membicarakan orang. Ahahaha. Pertemuan berikutnya adalah saat kita menjadi MC di Makrab bersama Dewa dan Nizar. Tapi, karena dulu aku tidak berpasangan denganmu, interaksi kita tidak terlalu intens.

Ah, iya! Sebelum Makrab juga kita sering bertemu. Saat itu kamu sering ke lapangan basket di POMA bersama abang-abang yang pada semester akhir kita sering diawasi manajer di Che.co, "Teh, teh, teh si Aa itu ke sini sama cewek lain loh, ih ga asik!" Ahahaha. Dulu jujur sih, aku sempat memandang sebal kepadamu, "Ngapain sih, itu outsider dibawa ke HI!" -ngga gini juga sih bahasanya- hahaha. Ya pokoknya dulu sempat heran kenapa gadis lucu sepertimu harus bersama pria yang penampilannya sangar dan suka menarik rambut ke belakang *ditawur se-Faperta.*

Kamu dulu adalah orang yang tidak mendapat banyak pandangan dariku. Alasannya ya karena kita jarang bercengkrama bersama. Aku baru menggantungkan hidupku pertama kali kepadamu saat ada tragedi angkatan hahaha. Itu tuh yang kesalahpahaman soal siapa menggunjingkan siapa. Meskipun aku jarang berinteraksi denganmu pada masa sebelum itu, aku yakin kamu mampu menjadi penengah yang netral antara dua kubu. 

Dan ternyata benar. Sejak saat itu, aku tahu bahwa Annisa Utami Seminar atau Ayi adalah orang yang akan menjadi saksi dalam momen penting pada hidup perkuliahanku. Ahahahahaha.

Ayi, si gadis lucu itu akhirnya memang menjadi sahabatku. Dia selalu jadi orang pertama untuk berlari setiap ada senang atau sedih. Chatting hingga subuh, smsan kayak orang bego, twitteran kayak orang gila, komen-komenan di fesbuk kayak orang bener, sampai stalking orang tak dikenal di kafe berwifi. 

Hmmm, tapi Ayi tak hanya menjadi sahabatku. Ayi adalah sahabat semua orang. Entah kenapa, padahal Ayi kalau naik mobil hanya mau duduk di sebelah kursi kemudi. Hmmm, mungkin semua itu terjadi karena Ayi selalu mendengar sambil berjoget. Mungkin Ayi selalu menasehati sambil bersikap lilin. Mungkin Ayi selalu memeluk sambil memesankan nasi goreng. Mungkin Ayi selalu bisa menghapus air mata *hoeeek* tanpa tisu. Mungkin Ayi selalu menanggapi gunjingan orang dengan komentar yang lucu menyentil hingga ke imajinasi yang tak terbayangkan. Mungkin karena idealisme Ayi tidak pernah bertentangan dengan moral kolektif. Mungkin karena Ayi punya segala sesuatu untuk dikatakan sebagai seorang sahabat publik.

Ayi adalah orang yang memodifikasi karya fotografinya untuk aku hanya untuk mengatakan jangan menyerah pada skripsi pada saat tertekan. Ayi juga yang membaca baris demi baris email dari si bedebah congcorang yang sudah menikamkan sembilu di hatiku *alaaah* dan tak jemu-jemu meneriaki aku untuk tidak lagi bersikap bodoh. Ayi adalah mama yang membuatkan scrapbook digital untuk Dewa sehingga seluruh dunia tahu bahwa Dewa pernah menari hula-hula pada masa kecilnya.

Hmmmm. Ayi sekarang sudah menikah dengan Kang Agus, orang yang aku yakin sudah menjadi orang paling bahagia di dunia ini sejak tanggal 12 Januari 2014 lalu, terlihat dari senyumnya yang sumringah dan ikhlas di dalam setiap jepretan foto. Aku curiga jangan-jangan Kang Agus ini memang punya bakat sebagai fotomodel kawakan yang wajahnya tipikal camera-face. Ah, tapi memang Kang Agus sangat sangat pantas bahagia. Bagaimana tidak, sekarang ada Ayi yang siaga menepuk punggungnya saat Kang Agus dihadapkan pada situasi sulit semacam ketika Fahmi menggendong Alex di pelaminan usai foto pernikahan. Tidak ada cobaan di dalam mahligai rumah tangga yang lebih berat setelah menyaksikan kerusuhan HI 2007 di panggung. Yakinlah itu, Kang Agus.

Hmmmm. Sebenarnya saya mau menulis hal romantis untuk pernikahan Ayi ini. Sebenarnya saat melihat pameran foto pernikahan yang diunggah Dewa di facebooknya, saya sudah terharu. Sudah mau menetes-neteskan air mata ke pelimbahan. Saya mau bilang, saya bahagia Ayi menikah. Saya senang Ayi sekarang sudah tidak jomblo seperti piiiiiiiiiiiiiiiiiiiiippppppppp sinyal ilang. Saya senang Ayi sudah punya sandaran bila sedang pegal punggungnya. Saya senang akan ada yang Ayi rajutkan sweater saat Ayi sedang ingin menjadi wanita seutuhnya. Saya senang Ayi telah menjadi perempuan yang sangat sangat sangat dicintai oleh suaminya. Ayi, kamu pasti pasti pasti akan bahagia seperti yang selalu kamu bilang di tembok-tembok rumah kosong!

Rasa senang saya sepertinya lebih besar daripada rasa kehilangan. Ya, apa sih artinya kehilangan kawan chatting hingga subuh, toh saya juga nggak punya akses internet di kamar kosan hehehe. Hmmm, ya tapi sedikit kehilangan beneran juga, sih. Masihkah engkau bisa kupeluk saat badai menerjang, Ayi? Aaaaaahhhh, atuhlah saya mau menulis serius tapi kenapa sulit sekali!! 
Oke, mari perbaiki. Iya Ayi, jadi ceritanya aku senang tapi aku sedih. Aku senang karena aku yakin kamu pasti akan bahagia, tapi aku sedih karena aku nggak tahu apa kita bisa seperti dulu saat tak punya siapa-siapa untuk digenggam. Ah, Ayi, tapi jangan peduli soal kesedihan. Fokus di sini adalah kebahagiaan.

Ayi, selamat ya sudah menjadi istri. Kamu sekarang punya orang pertama untuk kamu ceritakan banyak hal dari hari-harimu. Sekarang kamu hanya perlu untuk peduli mengejar cita-cita setinggi mungkin. Di bawah sudah ada yang akan menangkap dan membantumu untuk lompat lagi. Jangan lupa kalau masak diinfokan ke twitter pakai emoticon cun pipi ya. Biar Bayu tahu bahwa itulah keutamaan memiliki istri.

Ayi, aku nggak tahu harus bilang apa lagi. Posting ini juga sudah ngalor ngidul entah bicara apa, antarparagraf sudah tidak ada kohesi dan koherensi. Aku nggak tahu bagaimana caranya mengungkapkan semua semua semua semua perasaanku kepadamu. Ayi, aku senang punya sahabat seperti kamu. Aku senang kamu akhirnya masuk ke gerbang yang katanya sih ada happily ever afternya. Aku senang kamu senang di hari itu. Mmmmmmuuuuaaahhhh!!!

Ayi, aku sayang kamuuuuu Mamaaaaa~~~~~~~~



Pengantar 2014: Dari Migas, Jay Chou, dan Lolos Tes CPNS

Perasaan sih, terakhir saya tidur itu saya masih pakai seragam putih biru. Eh, kok pas bangun, saya tiba-tiba ada di dimensi waktu 2014 ini. Wah, apa yang terjadi?

Lebay, ahahaha.

Sudah masuk tahun 2014, nih sekarang. Akhirnya tahun 2013 terlewati sudah dengan beragam perisitiwa yang tidak terbayangkan pada waktu sebelumnya. Sebenarnya sih, saya ngga suka sama angka 13. Saya sempat pesimis juga sama tahun 2013, apalagi saya melewatkan tahun baru 2013 dengan penuh pertanyaan. Habis lulus, wisuda, dan diterima S2 HI Unpad, lalu apa? Apalagi, akhir tahun 2012 ada keputusan ngga mengenakkan juga soal kebijakan beasiswa dari kampus dan kesempatan untuk menjadi dosen. Intinya, saya menghadapi jalan buntu.

Namun demikian, ya ternyata kebuntuan itu membawa saya pada hal baru yang sekarang saya jalani. Senang juga ternyata menjalaninya.

Awal tahun 2013, saya diterima bekerja di perusahaan trading minyak nasional sebagai staf perizinan. Pekerjaan saya mengurusi perizinan usaha. Bacaan yang saya baca sudah bukan lagi Great Debate, tapi Peraturan Menteri hahaha. Mau tanya Peraturan Menteri yang mana? ESDM? Hukum dan HAM? Lingkungan Hidup? Silakan, silakan haha. Kebijakan perminyakan yang biasanya di koran saya baca biasa saja, berubah jadi malapetaka lembur di Ditjen Migas untuk melobi dari staf, Kasie, Kasubdit, Direktur, hingga Dirjen agar selembar kertas sakti terbit. Belum lagi urusan administratif kantor soal perizinan. Kronologis berupa surat menyurat juga saya wajib hapal untuk keperluan defensif kalau kantor komplain, "Kenapa izin ini keluarnya lamaaaaa? KENAPA?"

Sebenarnya jobdesk saya hanya untuk Government Relations, tapi di tengah perjalanan ada senior saya yang dipromosikan jadi manager sehingga pekerjaannya dilimpahkan ke saya, yaitu menangani sponsorship. Nah, ini yang susah. Telepon di meja saya ngga berhenti berdering. Bukan cuma dari direktorat lain yang menagih perizinan, tapi juga dari pihak-pihak yang meminta sponsorship. Ditanya ikut partisipasi atau engga, ditagih materi iklan, ditanya perkembangan pembayaran sponsor, tralala trilili banyakkkk. Masalahnya, saya juga jarang di kantor karena sering nongkrong di Migas. Ya udah, kalau yang nanyanya niat mah menghubungi sampai ke hp, kalau yang ngga niat-niat amat tapi butuh mah nelponnya tetap ke kantor tapi akibatnya saya jadi dijutekin resepsionis gara-gara jarang di tempat.

Saya kadang sebel, sih. Gila, ini ada aja pekerjaan. Baru duduk, udah ditelpon. Baru tutup telepon, udah dipanggil. Baru dipanggil, udah disuruh ke Migas lagi. Baru sampai di Migas, di kantor udah ada yang kirim titipan permintaan izin baru atau kirim bukti iklan. Ya Allah. Ahahahaha.

Tapi, tapi, tapi, tapi.....

Saya senang!

Pertama dan normatifnya, saya jadi punya pengetahuan baru. Yang paling penting, saya tahu bahwa kehidupan di lapangan itu jauh berbeda dari di buku teks. Saya juga jadi tahu bagaimana cara menghadapi orang-orang yang aneh dan bagaimana rumus melobi dengan melihat contoh dari manager saya. Saya beruntung nggak cuma hidup di dunia kampus. Ya, intinya tingkat kepolosan saya agak berkuranglah selama hidup di Jakarta sebagai staf external affairs.

Kedua, ini jauh lebih penting lagi sih dan riil. SAYA BISA NONTON KONSER JAY CHOU SETELAH 10 TAHUN LAMANYA SAYA SUKA JAY CHOU.

Sekian tulisan ini.

Ahahahahaha.

Itu anugrah, deh. Ngga kebayangnya pertama, Jay Chou masa sih konser di Indonesia? Eh, ternyata konser juga doi. Kedua, soal finansial. Ya, sebagai orang yang sangat sangat perhitungan dengan biaya hidup, kalau uang saya ngepas ya saya lebih memilih untuk merelakan Jay Chou konser tanpa saya di hadapannya. Nah, alhamdulillah uangnya ada berkat jasa uang THR dan uang SPPD hahahahahaha. Ketiga, soal waktu. Kalau saya di Bandung, saya nggak yakin bapak saya mengizinkan saya ke Jakarta HANYA untuk nonton konser. Sudahlah, intinya saya senang berada di kehidupan saya yang sekarang hahahaha. Alhamduuuuuuu~~~~~lillah.

Pas datang ke konser itu, kerasa banget jadi minoritas. Hampir semua yang datang di konser itu cici-cici dan koko-koko. Bahasa yang terdengar bukan Bahasa Indonesia tapi Bahasa Mandarin. Oh iya, saya juga datang ke konser itu sendirian. Makinlah terpojok. Eh, untungnya sesama fans ada rasa saling menyayangi. Saya diajak kenalan sama orang yang antri di belakang saya dan yang duduk di sebelah saya. Lumayan, ada interaksi.

 Oh iya, saya juga sempat hopeless soal konser Jay Chou. Saya sudah lama nggak menghapalkan lagu Jay Chou terbaru. Aduh beban mental banget. Saya cuma hapal dengan sangat-sangat-sanagt baik lagu Jay Chou di era saya SMP-SMA, sedangkan lagu sejak tahun 2007 sudah banyak yang luput. Aduh gimana banget. Saya nggak mau melewatkan konser hanya dengan mengeja lirik. Mau saya hapalkan juga sudah nggak terkejar. Yasudah pasrah. Ya sehapalnya saja.

Eh tapi apa dongggggg?

Manajemen Jay Chou nih kayaknya tahu banget bahwa era keemasan Jay Chou di Indonesia itu ya tahun 2004-2006. Di konser Jay Chou ini, berbeda dari konser di negara lain, Jay Chou menyanyikan lagu ngetopnya tahun 2004-2006! Saya ingat banget, saat yang paling standing-applaue-ible buat saya di konser Jay Chou itu pas musik Jian Dan Ai didendangkan.

"Anjiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiirrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr, JIAN DAN AI DONG ITU!!!!!!!!!!!"

*langsung berdiri, teriak, nyanyi, acak-acak rambut, bikin sikap lilin, salto*

Di konser itu, saya sudah nggak peduli lagi orang mau memandang apa. Pokoknya saya berdiri, joget-joget, lonjak-lonjak, teriak-teriak, nyanyi-nyanyi, semuanya dilakukan dengan asal dan diiringi oleh cinta. Bayangkan, Jay Chou menyanyikan lagu-lagu zaman cinta monyet saya yang bahkan ketika zaman itu masih saya jalani, saya nggak punya bayangan bahwa saya bisa mendengarkan lagu itu tanpa perantara kaset. Seluruh dunia harus tahu bahwa 12 OKTOBER 2013 ADALAH HARI TERBAHAGIA DALAM HIDUP SAYA YANG SAKING BAHAGIANYA SAYA PENGEN KETAWA-KETAWA GIRANG. JAY CHOU KARENAMU AKU PERCAYA LAGI AKAN MIMPI DAN CINTA.

Ah, saya jadi lupa tadi saya ngomong apa. Ini nuansanya jadi Jay Chou banget ini. Oke oke oke tarik nafas kembali ke jalan yang benar.

Ah, iya, soal 2013 yang saya lewati dengan bahagia.

Dikasih Jay Chou, saya sudah bahagia. Penungguan cinta 10 tahun akhirnya ada bayarannya, Nah, makin lengkap lagi soal penungguan karena adanya kebahagiaan paripurna yang muncul di akhir tahun. Kebahagiaan yang sudah ditargetkan sejak saya SMA. Apakah ituuuuuu.....

Hmmmm, saya lulus seleksi Kementerian Luar Negeri RI 2013!!

Saya nggak tahu harus senang dengan level apa untuk bilang bahwa saya beneran senangggggg. Ahahaha. Butuh waktu beberapa hari bagi saya untuk menyadari bahwa akhir tahun 2013 ini saya sudah bisa meraih cita-cita saya : Jadi Diplomat.

Pernah merasa ngga, sih, "Eh gila ya hidup gue sekarang udah masuk ke situ, ya?"; "Hidup yang gue kejar sejak kelas 2 SMA, yang membuat gue ngerasa nggak perlu lagi belajar hukum termodinamika karena nantinya gue bakal belajar konsep kedaulatan, sekarang udah ada jalannya, ya?"; "Gue udah bisa bilang ya kalau si anak SMA 3 Bandung yang dulu dibilang aneh sama seantero sekolah karena maunya masuk HI, bukan TI, sekarang bakal menjalani hidup yang akan disukainya?"

Ah, udahlah. Ini saking senengnya udah ngga tahu lagi harus merasa senang dengan cara bagaimana. Masih tepok-tepok pipi aja ahahahahha.

Proses seleksi Kemlu sampai akhirnya saya diterima juga lumayan bikin ngos-ngosan. Berawal dari izin ke manager untuk ke Bandung untuk mengurus SKCK dan Kartu Kuning yang saya tutupi dengan alasan mau mengurus ijazah, saya lolos seleksi administrasi. Masuk ke seleksi Tes Kemampuan Dasar yang tesnya bersamaan dengan tugas dari atasan untuk sosialisasi Surat Keterangan Penyalur Permen ESDM no 16 tahun 2011 di Makasar yang saya tolak dengan dalih mau membereskan sponsorship yang pending, stres juga pas dikasih soal semacam Matematika Dasar SMA. Untung masih ada yang tersisa di otak saya soal grafik fungsi. Sempat putus asa dengan hasilnya karena soal-soal yang seriusan sulit banget, akhirnya saya dapat skor 376 yang ternyata tertinggi di gelombang saya hehehehe. Lega.

Tes berikutnya Tes Kemampuan Bidang. Ada soal yang gampang cenderung gampang banget, ada yang saya ngga tahu jawabannya apa hahaha. Alhamdulillah masih lolos.

Tes berikutnya Tes Bahasa Inggris. Itu sempat stres. Beban mental seorang pengajar Bahasa Inggris selama 5 tahun yang setiap semester 2 membuat kunci jawaban soal SNMPTN untuk latihan kelas alumni dan 3 SMA, saya pasang target tinggi untuk saya raih. Namun, berhubung saya sudah hampir 6 bulan lepas dari Ganesha, di latihan soal yang saya kerjakan, saya nggak kunjung mencapai target skor TOEFL. H-1 tes, waktu lagi main ke Jakarta Biennale, saya cengo aja di tangga TIM sambil makan nasi goreng gratisan amanah Jokowi yang malam itu hadir dan nongol di depan mata saya. Takut banget kalau hasil TOEFL-nya ngga kayak yang ditargetkan supaya bisa lulus. Yaudah maksud hati ke Jakarta Biennale untuk refreshin, malah berkubang dalam kekhawatiran yang bahkan tesnya aja belum hahaha.

Pas tes TOEFL, yaudahlah konsen konsen konsen konsen dan bismillah. Eh, alhamdulillah di tes TOEFL saya masih lolos. Sebenarnya sih kuncinya adalah saya tetap memegang petuah dari Candra Wijaya waktu saya masih SD *hasil baca di Bobo*, anggap latihan itu pertandingan; anggap pertandingan itu latihan.

Tes final, itu juga lumayan uhwow. Pertama, psikotes. Hal yang menyebalkan itu waktu dikumpulkan tes dengan peserta lain, terlalu banyak peserta yang banyak omong dan banyak menanyakan hal yang ngga penting ditanyakan karena harusnya itu sudah masuk jadi logika dan akal sehat waktu instruktur memberi tahu cara pengerjaan soal. Berisik dan bikin lama. Apalagi, saya juga gelisah karena tes tanpa izin kantor. Itu juga bertepatan dengan sosialisasi SKP di Surabaya dan saya dikasih amanah di Jakarta untuk menyelesaikan urusan kantor dengan Migas. Supaya tetap konsentrasi, saya mematikan  hape saja seharian. Beres tes jam setengah lima sore, baru saya langsung meluncur ke Migas berharap Kasie dan Kasubdit Niaga masih ada buat ditanyai urusan kantor. Alhamdulillah, jam setengah 6 saya sampai di Kuningan, mereka masih ada. Hidup saya aman waktu atasan saya menelpon minta report jam setengah 9 malam hahahahaha.

"Hape kamu kenapa, Ki kok mati seharian?"
"Itu, Pak. Hape aku jatuh terus ngga bisa hidup aja dari tadi. Ini baru beres diservis. Tapi tadi aku udah ke Migas, Pak....bla bla bla bla."
"Oh, gitu, Ki. Bagus, bagus. Oke, oke"

Berikutnya tes wawancara substansi. Bagian paling bego sih waktu saya beberapa kali lupa Bahasa Inggris : KEKUASAAN. Sampah, POWER!!!!! Kenapa hal yang paling sering disebut dalam hidup sebagai mahasiswa HI itu jadi hal yang terlupa di saat yang sudah ditunggu sejak SPMB! Hahahaha. Saya ditanya soal skripsi saya. Saya bilang soal soft power. Lalu ditanya, siapa pemikir HI soal soft power. Aduh aduh aduh dijaga otaknya jangan sampai tiba-tiba lupa pas lagi mau jawab. Alhamdullilah dikasih ingat, yakni Joseph Nye!!! Eh, itu baru pembukaan. Selanjutnya saya ditanya apa soft power Indonesia yang saya bilang citra sebagai negara demokrasi, yang akhirnya sepaaaaaaanjang jalan kenangan, wawancara saya berkutat di urusan keteguhan hati saya untuk mempertahankan argumentasi bahwa demokrasi adalah citra yang baik untuk dijadikan sumber soft power Indonesia.

Oh iya, soal demokrasi, ada dua pertanyaan yang paling saya ingat. Pertama soal bagaimana citra demokrasi Indonesia kalau nanti Indonesia pascapemilu akan dipimpin oleh kekuasaan Islam radikal. Saya langsung ingat dengan hal-hal yang semacam khilafah. Ahahahahahahahaha. Kenapaaaa harus tema itu? Kenapaaaa harus selalu tema itu yang dikaitkan dengan hidup saya, bahkan untuk urusan wawancara pekerjaan. Kenapaaaaa wahai Felix Siauw? Kenapa hubungan kita bisa berserakan dimana-mana tidak hanya di twiter, Fel? Saya jawab apa gitu, ya. Agak terbata-bata. Intinya saya bilang, saya nggak yakin kalau hal itu akan terjadi, ini kaitannya dengan bentuk negara Indonesia yang kata pilar kebangsaan *lagi-lagi* hanya akan jadi NKRI, bukan khilafah. Kalaupun mereka berhasil mengubah, ya bukan citra Indonesianya yang hilang, malah Indonesianya yang hilang. Hal lain yang membuat nggak mungkin dikaitkan dengan preferensi rakyat Indonesia yang kayak saya, nggak simpati dengan perkumpulan bernuansa khikhilafahan. Nah, kalaupun memang dipaksa-paksa itu si khilafah berhasil menduduki kekuasaan, saya yakin mereka akan menyesuaikan prinsip-prinsip normatif idealis mereka pada saat ini -ketika belum menduduki kekuasaan- dengan apa yang nanti mereka temukan dalam sistem internasional. Dari titik penyesuaian idiosinkratik dengan dinamika sistem internasional itu, saya makin yakin bahwa saya akan selalu berpisah jalan dengan Felix Siauw.

Kedua, saya juga ditanya tentang Akil Mochtar yang menurut Bu Dubesnya telah mencoreng citra pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Bu Dubes bilang jabatan Akil Mochtar itu rawan korup karena dia berada di level yang mengawasi demokratisasi namun tidak ada yang mengawasi dia. Solusi yang  diajukan Bu Dubes, buat saja lembaga baru yang mengawasi lembaga yang (dulu) dipimpin Akil. Sesungguhnya saya kurang bersepakat karena berpotensi membuat tingkatan-tingkatan baru lagi di antara lembaganya.  Selain itu, yang lebih penting lagi, untuk membuat lembaga negara baru, butuh undang-undang yang prosesnya lama, panjang, dan tidak efisien padahal ada peristiwa atau perhelatan yang sedang atau akan segera diadakan. Bagaimana mengatasi kekosongan tersebut? Solusi yang diajukan Bu Dubes itu sebenarnya bukan tidak mungkin dilakukan, hanya saja harus dibarengi pula oleh solusi pada saat itu juga. Saya lebih memilih dibentuk Komite Pengawas yang dibentuk untuk perhelatan tertentu. Udah, terus salah satu panelis permisi mau ke toilet soalnya AC di ruangan dingin banget. Iya sih.

Oh iya, di luar tema itu, saya sempat ditanya sedikit juga soal kepentingan Indonesia di Laut Cina Selatan, soal kenapa Indonesia tidak mengakui Taiwan dan kenapa Indonesia mendukung Palestina. Oh iya, saya juga senang karena akhirnya ada pertanyaan yang menyangkut kisah cinta lama saya dengan Barry Buzan dalam komunitas keamanan yang diejawantahkan dalam ASEAN. Pokoknya, Kang Barry, amanah Regions and Power-mu telah kubisikkan pada tembok di sana.Wawancara substansi kemudian ditutup dengan wejangan bahwa nanti saya jangan hanya berharap akan ditempatkan di negara besar. "Kamu harus siap ditempatkan dimana saja, seperti misalnya di Lagos.” Sebenarnya saya waku itu ngga hapal Lagos dimana soalnya kayaknya waktu SD saya ngga beresin LKS peta buta keluaran Erlangga huhuhu tapi saya bilang hehe iya pak.

Tes hampir terakhir adalah tes kesehatan. Dokter gizi pribadi saya *yakni bapak saya* wanti-wanti jangan sampai saya digugurkan karena alasan kesehatan. Seminggu sebelum med-check, saya cuma boleh makan nasi merah, sayur, tahu tempe, dan nggak boleh makan buah dengan kandungan apaan gitu yang terlalu tinggi. Makan pepaya mah boleh. Udah aja kayak burung kakaktua. Bapak saya lewat (mantan) stafnya malah mengirimi saya beras merah ke kantor untuk persediaan seminggu. Dedikasi seorang bapak, coyyyy!

Tes paling terakhir adalah tes kesabaran. Tanggal 24 Desember 2013 yang menurut Teh Nisa akan menjadi tanggal pengumuman Kemlu dan memang dikukuhkan dengan notifikasi SistemMasihBerproses, nyatanya hanya harapan palsu. Aih galau. Pusing juga, soalnya tanggal 24 Desember itu saya dapat pengumuman kalau saya juga lolos di Kemenperin. Pemberkasannya berakhir tanggal 31 Desember 2013. Mana saya juga nggak yakin pula saya bisa lolos atau engga di Kemlu. Yasudah, sempat berusaha mencintai Kemenperin juga.

Tanggal 31 Desember 2013, dompet saya beserta kartu identitas hilang dicuri orang pas saya lagi solat di Pasar Festival. Pas galau bikin laporan kehilangan, saya iseng buka situs Kemlu. Udah ada dong ternyata pengumumannya. Pas log in, hah gila dong saya LULUS seleksi. Udah nggak tahu harus apa. Ini dompet gimana, ini Kemenperin gimana, saya nggak tahu harus apa. Gemetar aja gitu. Syok. Yaudah saya berusaha switch perasaan saya untuk jadi senang. Tapi susah. Saya baru bisa merasa sadar bahwa saya itu senang ya keesokan harinya. Itu juga rasa senang yang dihayati dalam sanubari saja. Ini adalah senang yang begitu mendalam dan rasanya pantas didapatkan sebagai anugrah dari Allah. Ya, apa ya. Hidup yang saya rangkai sejak SMA saat saya pindah ke bangku belakang setiap Pak Tata guru Fisika masuk ke ruangan, hidup yang saya cintai karena ada HI di dalamnya, dan hidup  sebagai mahasiswa yang jadi kodok budek karena banyak yang mencibir nggak semua anak HI bisa jadi diplomat tapi saya tentang dalam hati, sekarang sudah bisa saya titi. Ya, senang. Udah. Ngga tahu harus apa. Mungkin meminjam mesin waktu buat menoyor orang-orang yang suka meneriaki kodok budek.

Yah, begitulah. Sekarang saya masih menunggu kapan mulai prajab. Sambil menunggu, saya masih mengurus beberapa perizinan yang outstanding semacam Sertifikasi Kelayakan Penggunaan Instalasi/Peralatan di Kabil Batam dan di mobil-mobil tangki LPG sesuai amanah Kepdirjen 39.K, Izin Angkut B3 seperti yang diminta depo LSWR atau Low Sulphur Wax Residue, perpanjangan merek di HAKI, penambahan sarfas mobil BBM, rekomendasi impor yang FAME-nya masih susah mencapai 10%. Iyaaaaa, masih bakal sering nongkrong ke Migas. Masih mengurus sponsor yang belum tutup buku. Masih mengurus pertanggungjawaban keuangan manager saya. Masih menyimpan kromologis perizinan. Masih hidup biasa saja.

Saya juga akhirnya bilang ke manager saya dan kawan sedivisi (yang memang kawannya cuma satu dan dia pun baru diterima masuk kantor sekitar September), kalau saya ikut tes CPNS dan saya lolos. Manager saya senang sekali. Dulu dia waktu masih di BP juga sering bertemu Kemlu dan beliau sangat mengapresiasi saya masuk situ. Yang sedih Mbak Nisya, kawan sedivisi itu. Saya juga sedih soalnya Mbak Nisya adalah kawan yang baikkkkk banget dan kami langsung dekat meski baru sebentar kerja bareng. Manager saya lalu mengajak saya lapor ke VP Corsec yang jadi atasan kami. Beliau juga senang dan mendukung. Ya lalu standarlah, saya juga notify HRD soal rencana resign saya sekitar bulan Februari, mungkin.

Hmmm, saya juga nggak tahu apa hidup di 2014 akan semenyenangkan di 2013. Ya, tapi coba yakin saja. Toh, 2013 yang dibuka dengan hal yang membuat pusing kepala saja bisa dijalani dengan baik-baik saja, apalagi 2014 yang dibuka dengan sukacita. Hehe. Amin. Aduh, cape nulisnya.

Selamat bertahun 2014 :D

Catatan dari UN dan Penerimaan Peserta Didik Baru SMA Tahun 2013 di Kota Bandung


Hal cukup melegakan terjadi pada penerimaan peserta didik kota Bandung tahun 2013 ini. Passing grade SMP dan SMA favorit yang terkumpul dalam cluster 1 mengalami penurunan ke tingkat yang saya sebut normal. SMAN 3 Bandung, contohnya. Setelah tahun 2012 lalu berpassing grade 39,1 atau kasarnya si calon siswa harus punya 3 nilai 10 dan 1 nilai 9 koma, tahun 2013 ini 'hanya' mensyaratkan nilai UN minimal 36,7.

Turunnya passing grade secara signifikan tersebut bagi saya jelas merupakan prestasi. Bahkan kalau saya boleh berlebihan, hal tersebut juga saya lihat sebagai arah perkembangan pendidikan yang lebih fair. Terdapat dua hal yang membuat saya berkata demikian, sekaligus yang saya lihat sebagai faktor pendorong turunnya passing grade. Pertama mengenai pengamanan UN tahun ini dari kebocoran, kedua mengenai penghapusan RSBI.


20 Paket UN
Saya awalnya mengira bahwa UN 20 paket hanya isu untuk menakuti murid agar lebih rajin belajar. Biasalah, saya juga pernah mengalami 'ancaman' kengerian UN saat saya sekolah. Masa-masa awal kelas 3 SMP/SMA memang sudah diskenariokan untuk melecut murid-murid lebih serius menghadapi hidup. Karena saya berpikir demikian, saya acuh saja saat murid-murid saya di Ganesha dulu sering sekali mengeluhkan ketakutannya, "Atuh, Bu, gimana dong UN sekarang mah 20 soal. Sekelas pada beda semua. Kita juga ngga dikasih tahu bakal dapat paket berapa. Guru-guru juga ngga ada yang tahu. Pokoknya on the spot." Tanggapan saya sok-sok netral saja (padahal dalam hati tertawa), "Makanya kalian belajar yang serius dari sekarang."

Eh, ternyata UN 20 paket bukan sekadar isapan jempol. Sempat diwarnai kepanikan karena soal yang terlambat datang di beberapa daerah, akhirnya UN 20 paket benar-benar terlaksana. Saya masih agak skeptis dengan teknisnya tapi kemudian murid saya curhat, "Bu, susah banget soal UN-nya. Mana 20 paket, sekelas nggak ada yang sama jadi terpaksa mengerjakan sendiri. Pusing."

Saya nggak paham sih dengan keluhan si murid yang masih sempat-sempatnya bilang, "terpaksa mengerjakan sendiri," bukankah memang seharusnya mengerjakan sendiri? Haha. Saya tanya soal sms kunci, dia mengeluh lagi. Katanya boro-boro mau nyari sms, dia aja nggak tahu bakal dapat soal tipe apa. Balik lagi ke mengerjakan semampu-mampunya otak mengerjakan.

Dahsyatnya soal UN 20 paket terlihat dari perolehan nilai UN para murid. Saya tahu nilai UN tidak sebesar biasanya saat murid saya mengirim message di fesbuk saya memberikan daftar nilai UN kawan-kawan sekelasnya di Ganesha. Dengan standar saya pada passing grade tahun lalu yang bahkan nilai 36 saja harus siap-siap terlempar ke sekolah swasta, saya sempat stres juga membaca message tersebut. Dua murid teratas saya di Ganesha Cabang Cinunuk, 'hanya' mendapat nilai 35 padahal mereka ingin melanjutkan ke kotamadya. Beberapa belas murid saya yang lain nilainya malah lebih mengenaskan lagi, antara 28-32. Aduh UN rata-rata nilai 7 mah atuh mau dibawa kemana. Saya tanya kenapa nilai mereka kecil, mereka bilang mereka juga nggak tahu. Yang jelas, di sekolah mereka, memang kebanyakan mendapat nilai 28-36. Bahkan ada juga yang di bawah 28. Nyut nyut.

Masuk ke musim penerimaan peserta didik baru (PPDB), data SMA macet tidak ada perubahan siginifikan hingga hari Jumat. Nilai-nilai yang masuk ke sekolah cluster 1 'masih' di kisaran 36. Saya pikir ini orang-orang kok berani banget ya nilai 36 masuk ke SMA 3, SMA 5, SMA 8. Sedikit menyinggung di tingkat SMP, hal yang hampir serupa juga terjadi di sana. SMP favorit lebih banyak diisi oleh nilai 27, padahal tahun lalu 27 sudah nggak punya tempat di cluster 1. Pemandangan berbeda justru saya lihat di SMP cluster 2. SMPN 17 Bandung yang notabene 'di bawah' SMPN 8 Bandung passig grade-nya melambung melebihi passing grade di SMPN 8 saat itu. Di sekolah lain dalam cluster 2 dan 3 pun serupa, nilai-nilai 26 berjubel. Saya rasa ibu-ibu muda yang mendaftrakan anaknya ke SMP punya perhitungan takut terlempar dari cluster 1 makanya memadati cluster 2 dan 3.

Tunggu punya tunggu, Sabtu akhirnya datang. Data SMA memang bertambah, namun angka passing grade tidak ada yang melonjak hingga ke angka 38. SMAN 3 Bandung yang tahun lalu memiliki 28 pendaftar dengan nilai terkecil 39,1 tahun ini sama sekali tidak memiliki pendaftar dengan nilai 39. Nilai terbesar hanya 38,95 dan dipegang oleh satu orang. Pemilik nilai 38 pun hanya 43 orang. Pun di SMAN 5, SMAN 8, SMAN 2. Tahun lalu saya ingat sekali nilai 39 dan 38 memadati seratus ranking teratas pendaftar. Berbeda dengan tahun ini yang tidak satu pun di antara mereka yang memiliki pendaftar dengan nilai 39.

Melihat tren nilai yang normal tersebut, saya jadi bingung . Saya yakin SKL UN punya standar yang baku setiap tahun. Dengan kata lain, saya nggak yakin kalau soal tahun ini lebih sulit dibanding tahun-tahun sebelumnya. Lagipula, masih banyak juga yang mendapat nilai 9 meski tak sebanyak tahun sebelumnya. Saya rasa penormalan nilai tersebut lebih didorong oleh 20 paket soal UN yang terbilang baru dibanding tahun-tahun sebelumnya yang hanya 2 atau 5 paket.

Dasar kesimpulan saya juga sebenarnya buruk, sih. Saya tetap merasa bahwa UN tahun-tahun sebelumnya diwarnai kecurangan. Kalau hanya 2 atau 5 paket soal sih mudah saja bagi pihak-pihak yang terlibat dalam UN untuk mengakali UN, apalagi anak-anak pun sudah tahu mereka akan mendapat paket yang mana. Berbeda pada UN kali ini. Kecurangan dikunci sedemikian rupa sehingga anak-anak pun dipaksa untuk berkonsentrasi menundukkan kepala menghadap soal, bukan lagi menghadap kolong bangku membaca secarik kertas salinan kunci atau bahkan menghadap meja membaca kunci jawaban yang telah disalin dengan spidol berwarna cerah.

Ya, memang saya yakin tidak semua murid pada UN tahun lalu menggunakan kunci jawaban yang beredar secara bebas. Tapi ini sepatutnya menjadi catatan tersendiri, mengapa pada tahun-tahun sebelumnya ada lebih banyak anak cerdas di Bandung ketimbang tahun ini?


Penghapusan RSBI
Faktor lain yang menormalkan passing grade adalah penghapusan RSBI pada tahun ajaran ini. Bagi sekolah yang menerapkan RSBI seperti SMAN 3 Bandung dan SMAN 5 Bandung,  jalur memasuki sekolah top di Bandung ini tak ayal menjadi beragam,namun sayangnya tidak memihak UN. Tes dilakukan secara mandiri jauh sebelum UN dan hasilnya pun sudah dapat diketahui sebelum pengumuman nilai UN.

Menjadikan sekolah-sekolah di Indonesia berstandar internasional itu bagus. Pun karena megahnya gelar yang disandang, yakni ‘internasional’, maka tak semua sekolah bisa langsung menerapkannya. Bertahaplah. Nah, namun demikian, ada harga yang harus dibayar dari keberadaan RSBI. Saya nggak membicarakan kastanisasi dalam pendidikan dan pengkhianatan terhadap bahasa pengantar Bahasa Indonesia di sin, tapi kaitan RSBI dengan UN.

Dari sisi UN, dengan tes mandiri yang diadakan oleh RSBI, saya rasa hal tersebut cukup menggelikan. Bagaimana mungkin sebuah sekolah yang nantinya akan menerapkan UN sebagai ujian akhir tapi di awal proses pendidikannya menepiskan UN? Saya nggak tahu apakah soal mandiri di RSBI itu lebih sulit atau lebih mudah dari UN. Dua-duanya tetap melecehkan UN. Pertama, bila soal tes mandiri RSBI lebih sulit daripada UN, pertanyaannya, mengapa harus demikian? Tidak percayakah pada UN? Bukankah UN digadang-gadang sebagai satu-satunya ujian standar dari proses belajar mengajar? Kedua, bila tes mandiri RSBI lebih mudah daripada UN, maka apakah fair tes mandiri tersebut dilakukan?

Selain itu, dari sisi passing grade, jelas keberadaan RSBI mengacaukan. Meski seolah mengurangi jumlah pendaftar ke sekolah negeri karena paling tidak sudah ada 700 orang yang sudah pasti diterima di sekolah RSBI, keberadaan jalur RSBI sudah barang tentu mengurangi kuota bagi jalur UN. Akhirnya, sekolah ber-RSBI hanya menerima kurang dari 50 anak dari jalur UN. Tidak heran sekolah seperti SMAN 3 dan SMAN 5 mensyaratkan passing grade kelewat tinggi bagi pendaftarnya.

Dengan dihapuskannya RSBI, satu hal yang paling terasa bagi orang luar seperti saya adalah kesempatan untuk masuk ke sekolah favorit dengan cara yang ‘semestinya’ yakni dari UN jadi jauh lebih besar. Tahun ini SMAN 3 Bandung kembali menerima 292 orang dengan passing grade 36,7, sebuah level yang memang wajar bagi kecerdasan anak SMP pada umumnya. Bandingkan bila SMAN 3 Bandung masih terikat pada RSBI sehingga hanya menyediakan 28 bangku bagi jalur UN. Data yang saya dapatkan dari ppdbkotabandung.web.id memperlihatkan ranking 28 pendaftar SMAN 3 Bandung ditempati oleh nilai 38,25. Dengan passing grade 38,25 tersebut, skenario satu yaitu nilai-nilai di bawahnya jelas akan menyebar ke SMA-SMA pilihan 2 seperti SMAN 1 dan SMAN 20 sehingga passing grade SMAN 1 dan SMAN 20 akan melonjak dari angka 33 yang resmi ditutup tahun ini. Akan banyak juga calon pendaftar dari SMAN 1 dan SMAN 20 yang terlempar ke cluster 3, dan anak cluster 3 pun akan terlempar ke swasta. Skenario tak kalah buruk juga datang dari SMA cluster 1 lain seperti SMAN 2 dan SMAN 8 yang kebanjiran pendaftar yang nilainya tak mencukupi di SMAN 3. Alurnya di cluster 2 dan 3 pun kemudian mengikuti skenario 1.


Normal
Meski tak menutup kemungkinan ada faktor-faktor lain yang menyebabkan turunnya passing grade SMA di Kota Bandung pada tahun 2013 ini, saya rasa pemaketan UN menjadi 20 tipe dan penghapusan RSBI sudah menampakkan taringnya. Hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Cluster
Sekolah
Tahun
2012
2013
PG
Kuota
PG
Kuota
1
SMAN 2 Bandung
 37.9 
316
 34.75
265
SMAN 3 Bandung
 39.1
28
 36.7
292
SMAN 5 Bandung
 38.9
23
 35.5
286
SMAN 8 Bandung
 38.2
298
 35.35
296
SMAN 24 Bandung
 37.65
237
 32.65
247
2
SMAN 1 Bandung
 37.35
283
 33.7
250
SMAN 20 Bandung
 37.5
215
 33.9
210
SMAN 22 Bandung
37
258
33.26
232
SMAN 7 Bandung
 36.6
253
 28.15
239

Penurunan passing grade di kedua cluster tersebut juga tidak main-main, minimal menyentuh selisih 2,4 (SMAN 3 Bandung). Bahkan, SMAN 7 mengalami penurunan hingga rentang 8. Selebihnya, SMAN 2 turun 3,15 poin; SMAN 5 3,4 poin; SMAN 8 2,85 poin; SMAN 24 turun 5 poin; SMAN 1 turun 3,65 poin; SMAN 22 turun 2,74 poin; dan SMA 20 turun 3,6 poin.  Jumlah siswa yang diterima di sekolah-sekolah favorit di atas jugasecara keseluruhan  meningkat meski di beberapa sekolah ada juga pengurangan siswa yang diterima. Tahun 2012 tercatat 1911 murid masuk sekolah favorit dari jalur UN, sedangkan tahun ini terdapat 2317 murid.

Ke depannya, saya tentu berharap passing grade tetap berada dalam jalur yang normal. Kalaupun ada peningkatan, pengennya sih bukan karena UN yang lagi-lagi kebobolan karena sudah ketahuan dimana celahnya, melainkan karena meningkatnya kemampuan siswa dalam mengerjakan UN. Saya sih sebenarnya nggak ada masalah dengan UN, RSBI, atau passing grade. Saya hanya berharap apa pun proses pendidikannya, proses tersebut tetap dijalankan secara fair.



Ark. Jul’13. 

Dari Status Fesbuk Teh Anggalia soal HI yang Glamor

Teh Anggalia atau Teh Anggi adalah senior saya di HI Unpad *dan ternyata di SMAN 3 Bandung juga* yang kalau kata Barney di How I Met Your Mother, "LEGENDDD------DARY!" Satu hal yang cukup inspiratif buat saya dari Teh Anggi adalah keberaniannya untuk melakukan hal yang ingin dia lakukan ngga peduli titel yang disematkan oleh orang lain untuknya. Apakah itu? Teh Anggi luar biasa karena ngga nanggung-nanggung bikin skripsi. Skripsinya yang tebal tidak berisi bualan yang dia copy-pastekan dari omongan begawan belaka, tetapi memang benar-benar untuk memuaskan esensi dari penelitian itu sendiri. Konon untuk menyelesaikan skripsi tersebut Teh Anggi butuh waktu hampir 2 tahun *atau pas atau lebih ya? Saya agak-agak miss soal ini*. Untuk ukuran Teh Anggi yang intelektualitas dan IPK-nya terkenal gede banget se-HI, skripsi tebal yang dibuat dalam waktu yang cukup panjang saya yakin bukan bentuk eskapis dari kemalasan. Teladan dari Teh Anggi itu yang sedikit banyak menyemangati saya untuk nggak menye-menye soal skripsi dan hanya menujukannya sebagai syarat-lulus-6-sks belaka.

Satu hal lagi yang saya sukai dari Teh Anggi, sebagaimana juga yang saya kagumi dari Kang Wirya *Kang Wirya sudah saya ceritakan sedikit di page tumblr saya*, adalah kesederhanaan, kebijaksanaan, dan kerendahhatiannya dalam menyikapi jurusan kami tercinta, HI, yang bagi orang kebanyakan, termasuk mahasiswa-yang-sebenarnya-biasa-aja-ngga-hebat-hebat-banget-studi-HI-nya-tapi-sikapnya-agak-lebih-yo'i-dari-yang-pinter-beneran, menawarkan mimpi glamor. Saya berharap sekali status fesbuk Teh Anggi dibaca banyak orang, termasuk mahasiwa yang tadi saya sebutkan, agar mereka mau sedikit membongkar kejumawaan, menipiskan mimpi shallow, dan membuka wawasan bahwa HI dan segala mimpi yang disematkan kepadanya hanya mitos yang tidak berarti bila mereka hanya terus mempertahankan mindset sok jago sok elitis.

Berikut dua tutur status Teh Anggi.

  • Segala sesuatu yang berbau "diplomatik," seperti kedutaan besar, departemen luar negeri, PBB, perusahaan multinasional dan hal-hal 'keluarnegerian' lain biasanya jadi pujaan anak-anak HI. Akhirnya saya menemukan kata yang lebih baik dibanding "pretensius", yang kesannya terlalu memojokkan: glamor. Dunia HI yang pernah saya alami dulu penuh keglamoran: hal-hal yang fascinating, alluring, attracting. Saya yakin teman-teman yang sudah menempati posisi-posisi glamor tadi pada akhirnya menganggap hal itu biasa saja, tapi saya merasa keglamoran itu dipertahankan dari generasi ke generasi, bahkan dimitoskan. Waktu saya jadi salah satu alumni yang diminta berbicara di depan para mahasiswa/i baru, yang dipertontonkan adalah keglamoran ini. Saya juga bingung, kenapa yang didiskusikan bukan apa yang dikerjakan dan maknanya bagi dunia? Apakah definisi "sukses" sudah menjadi sememanjarakan ini? Kalau tidak menyebutkan sejarah ke luar negeri atau ikut Konferensi Internasional ini-itu, pasti kita dipandang sebelah mata. Einstein saja pernah bilang, try not to be a person of success, but a person of value. Sampai sekarang pun saya masih terus memikirkan dan menafsirkan ulang kalimat itu dan saya yakin diskusi dan debat tentang "sukses" dan "bernilai" ini harus terus disulut dan direka ulang dalam dunia glamor a la disiplin yang saya cintai ini (supaya tidak jadi penjara baru).


  • Untuk adik-adikku anak HI, hal terbaik yang bisa kalian dapatkan dari kuliah di disiplin (ilmu?) ini adalah kaca mata dalam memandang dunia. Jangan sia-siakan diskursus kaya tentang hampir semua ilmu sosial yang ada: sejarah, sosiologi, antropologi, hukum, filsafat, komunikasi, ilmu budaya, dan tentunya politik itu sendiri. Dengan wawasan seluas itu, seharusnya anak HI punya pandangan holistik terhadap kenyataan global dan peduli akan hal-hal yang ada di luar diri dan lingkungan terdekatnya, meskipun kelak bekerja di bidang yang berbeda-beda. Sayang ilmunya kalau anak HI akhirnya hanya jadi sebulir sekrup dalam mesin tanpa membuat mesin itu setidaknya berjalan ke arah yang lebih baik....


Happy Thinking, Happy Absorbing. Be a true international relation-ist!