Film Seri Korea dan ASEAN

Cerita lagi, ah. Mumpung laptop belum kambuh ngadatnya. Hehehhe. Ada dua hal yang saya lakukan dengan penuh pengorbanan nggak tidur semalaman dua bulan terakhir ini. Ini hal terhebat yang pernah saya lakukan selama masa kuliah saya. Bener-bener hal di luar kewajaranlah pokoknya. Bahkan untuk bikin bahan ngajar, bikin tugas kuliah, dan menjelang UAS pun saya nggak bakal ngorbanin waktu tidur saya. Hahha. Hayo apa coba yang saya kerjain sampai saya rela nggak tidur?
1. Nonton film seri Korea
2. Baca buku tentang ASEAN
Ahahahha.
Kenapa nonton film seri Korea dari abis solat isya sampai adzan subuh itu hebat bagi saya?
Pertama, karena itu adalah hal yang paling tolol yang pernah saya lakukan sejak UAN SMP dimana ketika masa itu saya juga nggak belajar sungguh-sungguh karena nonton film seri Taiwan ORIGINAL (menyisihkan uang jajan hingga terkumpul ratusan ribu cuma untuk memiliki film seri Taiwan itu), yang alhamdulillah saya masih bisa masuk SMA Negeri. Hahaha.
Kenapa tolol? Ya, untuk nonton tiga judul film Korea itu saya emang nggak beli atau nyewa, sih. Ada temen saya yang berbaik hati minjemin. Yang bikin tolol itu ya berapa beban listrik yang harus dibayar sebelum tanggal 20 setiap bulannya dengan saya melewatkan malam sama pria baik hati dan tampan di film Korea itu. Ahahahha. Menyesal selalu datang kemudian. Yah, tapai gimana lagi. Kalau saya nonton siang-sang, bisa-bisa saya males solat, lagian juga kalau siang ada banyak yang harus dikerjain. Kalau nggak malam, kapan lagi? Habis isya kan nggak ada solat wajib lagi (heheheh), malam-malam juga kamar saya jauh dari mana-mana, malam-malam juga nggak ada kerepotan yang berarti, lagian juga biar ada semangat buat solat Subuh. Bheuh, kalau hari biasa mah solat subuh males banget, diiingiiiiiiin. Nah, dengan menonton film sampai adzan, saya kan nggak punya alasan untuk nggak solat subuh. Secara nggak merem gituh. Adzan juga jelas-jelas kedengeran. heheheheh. Tapi ya tetep aja sih tolol banget gituh nonton film. Ngapain juga coba saya mengulang masa-masa abege yang mendambakan pria baik hati, serta rela mengorbankan segalanya demi gadis miskin, bodoh, konyol, namun periang dan baik hati???? hahahaha. Hal yang begituh mah cuma ada di film, mustahil di kehidupan nyata. Hmmmm. Saya sebenernya sadar kalau nonton film Korea itu adalah cara lain untuk menyakiti diri sendiri. Hahhaa.
Yah, memang sih tolol, tapi saya cukup senang dan terhibur dengan film Korea itu. Tenang aja, saya nggak akan jadi freak sama pria-pria itu kok. Hahaha. Seenggaknya, dari film Korea yang saya tonton semalaman suntuk itu saya bisa mendapat banyak pelajaran selain mendapat kesempatan bersenam mulut alias tertawa dan akhirnya terhibur. Dari mulai harus kuat, jangan gampang menyerah, harus yakin sama diri sendiri, nilai-nilai kekeluargaan, nilai-nilai pertemanan, kejujuran, ketepatan janji, cita-cita, sampai betapa berbahayanya orang-orang yang sok baik dan menusuk dari belakang. Hahaha.
Dari ketiga judul film seri Korea yang saya tonton, My Girl, Spring Waltz, dan tentu saja BOYS BEFORE FLOWERS yang sedang sangat digila-gilai itu, selain mengenai si tampan yang sayang sekali kurang berani dalam memperjuangkan cintanya secara radikal, arghhhhhh, saya nemuin kesamaan.
Satu, lagi-lagi pria kaya yang punya segalanya kecuali cinta yang jatuh cinta kepada seorang gadis yang miskin, rajin bekerja, periang, polos, dan baik hati. Always. Di balik kedua tokoh sentral tersebut ada beberapa tokoh seperti sahabat, dimana sang sahabat adalah pria yang juga kaya dan tampan dan baik hati, namun karena di tahu betapa besar cinta si kedua tokoh utama maka ia terpaksa harus memendam perasaannya sendiri. Lalu ada juga wanita pilihan orang tua, dimana wanita itu adalah wanita yang subhanallah sempurna banget, dari mulai fisik, otak, dan rezeki yang bling bling namun karena cintanya kepada si pria tokoh utama tak terbalas, si wanita itu pun diceritakan memiliki jiwa yang kejam dan muka yang judes. Hahhaha. Tokoh lain tentu saja adalah orang tua si kaya yang sangat protektif dan orang tua si gadis miskin yang sangat menyebalkan, dari mulai maniak judi dan terlilit utang sampai matre. Hihihihi. Jalan ceritanya juga sebenernya mah begitu-gitu aja. Awalnya tengkar trus taunya jatuh cinta, tapi ini masih tahap jatuh cinta yang masih saling gengsi dan cuman bisa ketawa-ketawa sendirian di belakang. Nah, tapi justru bagian ini yang paling saya sukain. Romatisnya dapet. Cihuyyyyy. Ahahahaha. Lucu aja gituh. Udah jelas, saling suka, tapi tetep aja itu gengsi dan sok jual mahal. Udah gitu yang bikin deg deg syerrrrr itu kalau si tokoh utama laki-laki itu melakukan hal-hal di luar kebiasaannya. Kan biasanya si tokoh utama laki-laki itu kan diceritainnya kaku, kesepian, sombong, arogan, yah begitu-begitulah, nah sejak dia jatuh cinta ya dia jadi perhatian dan sering senyum, tapi perhatian dan sering senyumnya itu nggak diliatin secara ekstrim ke cewek itu. Yah, gara-gara gengsinya ituh tuh. Maksud hati sih perhatian, tapi pas keluar di mulut dan di tangan ya kayak marah-marah. Nah, habis beres di bagian ini, mulailah masuk ke tahap jatuh cinta yang agak susah. Nah, mereka udah mulai saling ngaku nih kalau mereka nggak bisa hidup jauh-jauh satu sama lain, tapi masalah mulai muncul dengan kehadiran si perusak kebahagiaan, baik dari si wanita antagonis yang mukanya, cih judes dan licik bener, dan dari orang tua tokoh utama pria yang suombonggggggnyaaaa masya allah. Pasti mereka adalah orang-orang pertama yang masuk neraka dah kalau mereka dihisab di hari Kiamat. Nah, masuk tahapan itu yang selalu bikin saya malas. Kalau saya sih setiap masuk ke bagian ini DVD-nya langsung saya forward. Nggak suka ah liat yang kejam-kejam. Tapi kalau bagian ini termasuk penting dan sayang untuk dilewatkan dengan beberapa kali diforward, nah bagian itu langsung saya stop dan saya ganti sama episode terakhir. Ahahahhahah. Kalau hasil akhirnya hepi ending, baru saya terusin lagi nontonnya. Yah, seengganya saya udah ada peganganlah mau begimana jahatnya itu si wanita penyihir dan orang tua kaya, yang jelas, usaha mereka akan sia-sia karena filmnya bakal hepi ending. Hahahha. Selepas dari berbagai kesulitan, masuklah ke tahap ending. Di tahap ending, sebenernya persoalan lebih klimaks, tapi karena si tokoh utama pria dan wanita sudah memiliki ketetapan hati yang lebih baik daripada episode-episode sebelumnya, klimaks pun dengan segera berubah menjadi antiklimaks. Hmmmm, antiklimas ini yang saya suka. Romantis lagi gituh. Cihuyyyyy. Romantisnya nggak harus karena menikah juga, tapi simbol yang mengatakan bahwa mereka emang nggak bakal terpisahkan lagi itu yang bikin romantisssssssssssssss. Bheuhhhhhhhh. Dapet bener dah itu cerita. Ahayyyyy. Ya ya ya, saya tahu itu nggak akan terjadi dalam kehidupan nyata, tapi biarlah sekali ini saya merasa bahagia untuk kebahagiaan orang lain. Hahahha.
Selain karena jalan cerita yang romantis, film-film Korea juga menarik karena jalan cerita yang logis dan sangat rapi. Logis karena pada setiap hal yang diketengahkan selalu ada lanjutan dari adegan sebelumnya. Jadi nggak tiba-tiba jatuh cinta, nggak tiba-tiba benci, nggak tiba-tiba amnesia, dan nggak tiba-tiba sadar. Kerapian juga sangat kentara terlihat dalam film seri Korea karena adanya jalinan simbol yang berkelanjutan dari awal episode sampai akhir. Misalnya waktu episode awal diceritain kalau si tokoh utama wanita dapet kado, nah pas di episode terakhir, kado itu masih ada dan ternyata jadi simbol apaaaaa lah gitu. Oia, hal lain yang saya sukai adalah meski tokoh jahat diceritakan sanagt jahat, tapi jahatnya nggak lebai kayak di film-film kita. Nggak sesaiko penjahat di sinetronlah. Ketika seorang tokoh melakukan hal yang kita bilang jahat, ternyata dia punya alasan kenapa melakukan kejahatan tersebut dan ketika kejahatan tersebut terbongkar, dia mau mengakui kejahatan tersebut. Ending bagi si jahat pun nggak kejam-kejam amat kayak di film kita. Kan kalau di film kita mah ending buat si jahat, kalau bukan masuk rumah sakit jiwa ya pasti mati, kalau dia berubah jadi baik pun kayaknya maksa banget gituh prosesnya, ga logislah. Nah, beda sama film seri Korea, si jahat juga diceritain menerima sebuah proses panjang yang logis sehingga akhirnya dia sadar, jadi orang baik, dan akhirnya nemuin kebahagiaannya sendiri. Sungguh film Korea adalah film yang sangat menjunjung tinggi HAM. Hahaha. Nggak cuma orang baik aja yang berhak bahagia, tapi orang jahat juga berhak bahagia. Hahhaha.
Tapi euy, film Korea teh agak aneh juga. Itu, tentang tokoh utama pria. Satu, kenapa dandanannya harus kayak cewek? Bheuh, gantengnya lebih ke arah cantik dan sangat metroseksual sekali eung. Ya, emang sih saya juga jadi kemimpi-mimpi, mungkin nggak ya punya pacar setampan itu, tapi ya gituh weh, aneh deh kayaknya kalau di Jatinangor saya digandeng sama pria seperti di film itu. Berasa digandeng boneka kaca yang nggak boleh jatuh. Huhuhu. Dua, kenapa sih jati diri mereka munculnya lama banget? Kan katanya suka, ya perjuangin dong, aduhhhhhhh, masa yang selalu ada dalam masa-masa sulit si tokoh utama wanita harus selalu si sahabat tokoh utama cowok yang jelas-jelas cintanya bakal ditolak? Ini sungguh membuat penonton seperti saya geram dan iba karena kita jadi menaruh simpati ke si sahabat. Aduh, ngapain sih kamu baik-baik begituh, nanti kamu tuh bakal ditolak, sini dekatin aku ajah. Ahahhahahhahaa.
Yah, beneran eung ini mah, nonton film Korea nggak cuma berhasil bikin saya nggak tidur tapi juga bisa bikin saya gila sama jalan cerita. Hahahha. Suspensnya keren dah itu. Pasti penulisnya gila juga nih. Gila, keren banget.Hahha. Ya, kagum aja gituh saya sama orang-orang yang bisa nulis tema cinta. Dari awal saya nulis sampai sekarang, tema yang nggak pernah bisa saya tulis itu tema tentang cinta. Cinta laki-laki dan perempuan. Pernah sih nulis tema cinta, tapi ujungnya nggak hepi ending. Nggak tau eung. Nggak bisa saya nulis tema cinta.
Okey, beranjak ke kegiatan kedua yang saya lakukan sampai saya rela nggak tidur. Membaca buku tentang ASEAN. Kenapa membaca buku tentang ASEAN sangat menakjubkan bagi saya? Hmmmm. Saya bukan orang yang suka membaca kecuali besok UAS atau seminggu lagi ada deadline tulisan, apalagi kalau buku itu berbahasa asing. Kalau saya ada waktu luang ya lebih baik saya tidur atau paling rajin dan ada pulsa, baca koran online di hp. Beberapa waktu yang lalu, ketika saya sedang mengalami turbulensi kayak yang udah saya ceritain di postingan lain dan ketika itu saya mencoba kabur dengan nggak pengen ketemu atau ngobrol sama orang, saya sempat main ke perpus. Nah, pas di perpus, saya nemu beberapa buku, hmmmm, kayaknya ada sepuluh buku, deh, tentang ASEAN. Baca sedikit bagian pendahuluan, isi, dan bab akhir, eh ternyata menarik, akhirnya saya memutuskan untuk meminjam buku itu. Nggak langsung sepuluh buku, tapi tiga dulu. Bukunya menarik. Hmmm, sangat menarik malah. Saya terkesan sama penulisnya. Subhanallah, analisisnya mendalam sekali. Benar-benar mengajak saya mejelajahi alam yang nggak pernah saya pikirkan. Argh, keren, cuyyyyy!!!
Hmmmm. Lalu, mengapa harus buku tentang ASEAN? Mengenai ASEAN, sebenarnya ada alasan khusus kenapa dari zaman dulu masih sekolah sampai sekarang saya sangat tertarik dengan tema ini. Ya, kalau mau cerita yang bagian idealisnya ya karena ASEAN adalah hal yang paling dekat sama kita. Secara saya orang Indonesia gituh, kayaknya agak malu kalau saya lebih menguasai Uni Eropa ketimbang ASEAN. Ibarat pepatah tentang kuman dan gajah. Tapi di samping alasan itu, masih ada alasan khusus kenapa konsentrasi saya pada kawasan ini. Alasan ini berkaitan dengan kenapa saya memilih HI sebagai jurusan saya kuliah sampai saya rela nggak full ngisi LJK SPMB IPA supaya saya nggak diterima di pilihan pertama yang IPA dan diterimanya di HI aja. Gimana nyeritainnya ya? Yah, yang jelas, konsentrasi ke ASEAN ada sejarah pribadinya. Itu yang menyebabkan saya sangat menyukai tema ini. Kalau UAS semua mata kuliah ada pertanyaan tentang ASEAN-nya, bheuhhhhh, bisa lulus tanpa ada sejarah ngulang kayaknya. Hahahaha. Alasan kenapa bisa menjawab semua pertanyaan tentang ASEAN bukan karena saya sok ngerasa nguasain (ilmu saya mah jelas masih kurang, apalagi kalau dibandingkan dengan penulis buku ituh, arghhhhhh, bagaikan matahari dengan pluto, nggak cuma jauh jaraknya, tapi ukurannya juga beda) melainkan karena saya suka. Ada perasaan lain yang ikut kalau saya membaca dan menjawab pertanyaan tentang ASEAN. Perasaannya beda kalau saya mbaca atau ditanya tentang masalah Palestina-Israel, Korea Utara, atau masalah lainnya. Perasaan kalau menemukan tentang ASEAN tuh ibaratnya kayak perasaan nemuin Gu Jun Pyo si pria tampan dalam Boys Before Flowers berdiri di depan motor saya trus ngajakkin saya pulang naik mobilnya sampai maksa-maksa. Ahahahhahahahahha. Gila lagi. Ya enggak begitu juga, ah. Berasa abege aja itu statement. Hihi. Ya pokoknya ada perasaan yang beda lah kalau nemuin tentang ASEAN-lah. Mungkin nanti saya bakal jadi Sekjen ASEAN. Aaaaaaahahhahhaahaha. Bilang amin jangan ya? Hehe.
Dari kedua hal tidak biasa yang saya lakukan itu, saya jadi nemuin hal baru, perasaan baru, dan manfaat baru. Satu, saya jadi tahu bahwa menonton film, khususnya film romantis, terutama film tersebut kita dapatkan dengan cuma-cuma, heheh, bisa membuat perasaan kita lebih enak. Saya bukan orang yang suka nonton film, apalagi kalau itu adalah film di bioskop. Argh, sumpah dah nih dah, paling males kalau punya pacar atau lagi deket sama orang diajakinnya ke bioskop. Nggak suka!!!! Sayang banget gituh sepuluh ribu dibuang buat nonton film dua jam di bioskop dan film itu nggak bisa kita simpen. Selama hidup, bisa dihitung jari tuh saya berapa kali pergi ke bioskop. Itu juga bukan pake uang saya. Pasti dipaksa dan dibayarin. Pernah sih sekali ngerasa santai nonton di bioskop, walaupun tetep ngerasa ngantuk juga, hehehe, layarnya gede bener dah, hmmmm, itu waktu pas lagi ke Surabaya, diajak nonton Bourne sama kakak saya tercintaaaaaaaaaaaaaaaaaaa, hahhaa. Nah, Bourne adalah salah satu film terbaik sepanjang masa dan nggak rugi banget tuh nontonnya (rugi apaan, ngeluarin duit juga kaga..hehehe). Ya, baiklah, terima kasih sekali, Mas, sudah mengajak (memaksa) saya nonton film bagus. Dua, saya juga jadi tahu bahwa membaca itu membawamanfaat yang banyak. Membaca itu bisa mengasah daya analisis kita sampai kepada hal sederhana yang ternyata bermakna besar! Membaca juga membuat kita berani berpikir out of the box dan menemukan hal-hal baru. Ahahahha. Dasar saya si pemalas nomor satu. Hal yang baru saya temukan itu kan adalah hal yang sangat umum dan udah jadi pepatah sehari-hari. Hahahha. Ya, tapi liat-liat dulu isi bukunya, sih. Nggak semua buku ditulis dengan bahasa yang bagus dan membuat kita tertantang untuk membaca lebih banyak lagi. Ngggak semua penulis bisa menuliskan hal yang ia minati dengan bahasa yang mampu mengajak orang lain untuk ikut berminat pada bidang tersebut.
Yah, akhirnya dari fenomena yang jaaaaaaaaaaarrrrang sekali terjadi tersebut, baik menonton film yang mampu menghanyutkan logika, perasaan, dan emosi maupun membaca buku mengenai ASEAN yang sangat dalam analisisnya, saya jadi punya harapan baru untuk meningkatkan kemampuan menulis saya sehingga akan lahir orang-orang baru yang karena terinspirasi skenario film dan tulisan saya menjadi sadar pentingnya membaca. Ahahahha. Harapan lain adalah saya harus bisa mengatur waktu lebih baik supaya saya bisa meluangkan waktu untuk main ke perpustakaan dan menemukan buku-buku bagus lain dan tentu saja meluangkan waktu yang banyak untuk membaca. Yah, kalau untuk film sih, nggak bakal banyak-banyak, ah. Udah cukup nonton 3 judul, nih tinggal 1 judul lagi udah gitu udahan ah. Sayang duitnya buat bayar listrik, apalagi ini lagi menjelang krisis energi, pasti di luar sana di waktu yang akan datang akan ada orang yang kekurangan listrik padahal lagi buth-butuhnya pakai listrik tapi karena jatah listrik sudah saya habiskan pada abad ini hanya demi 25 episode film Korea yang pada akhirnya hanya akan membuat saya sakit hati karena percintaan di sana nggak bakal ada dalam kenyataan, si orang yang butuh tersebut akan mengalami kecelakaan fatal, hufffff...saya nggak mau nambah dosa di masa depan dan dihisab oleh Allah dengan tuduhan mencelakakan orang lain akibat keborosan. Oh tidak. Saya tidak mau hal tersebut terjadi. Hahahhaa. Yah, kalau untuk membaca buku pasti akan saya tingkatkan, tapi yang untuk film, seriusnya, nggak bakal saya tingkatkan. Hahaha. Suerrrrrrr. Tapi 1 film lagi yaaaaa!!! Hehehehhe.

Ark. Juli '09.

Cinta Oma Season 2

Tenang!!!! Ini bukan judul sinetron baru kok. Cinta Oma Season 2 adalah salah satu program kerja Departemen Sosial BPH HIMA HI 2009 yang telah dilaksanakan pada Sabtu lalu (21 Maret 2009), bertempat di Panti Sosial Tresna Wredha, sekitar Jalan Lodaya Bandung. Acara ini menghadirkan para Oma nan cantik dan berjiwa patriotik tinggi serta seorang gadis berambut panjang, berkulit sawo matang, dan memakai kaos Blogger Freedom sebagai MC, which is me. Haha. Kenapa dinamai Season 2? Apa karena mengikuti tren sinetron di salah satu stasuin televisi swasta? Oh, tentu saja tidak. Acara ini berembel-embel Season 2 karena memang Cinta Oma tahun ini adalah Cinta Oma yang kedua setelah tahun lalu diselenggarakan dengan sukses di tempat yang sama.
Seperti apakah Cinta Oma tahun ini? Oke, mari kita telusuri pengalaman gadis cantik yang telah sukses MENAHAN AIR MATA saat membawakan acara Cinta Oma Season 2 ini (foto menyusul ya..!!).
Acara dimulai pukul 10 pagi. Sebelumnya para panitia yang telah berada di TKP sejak pukul 09.30 mulai membagi tugas. Ada yang bertugas menjemput Oma dari kamarnya masing-masing, ada yang bertugas menyetel perangkat multimedia di aula Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW), ada yang mengatur konsumsi, dan ada juga yang sibuk mengobrol dengan para Oma yang dengan sangat fantastisnya, masih ingat dengan sekumpulan mahasiswa HI Unpad ini. Saya sendiri baru datang pada pukul 10.00 karena ketinggalan bis, hehehe. Setibanya saya di TKP –dijemput di LOdaya sama si ‘ganteng’ Irzanny, ailovyu beibeh!! Tq-, saya disambut oleh panitia yang lega karena akhirnya saya datang juga. Hehe. Maap. Saat sedang menunggu peralatan multimedia rampung, seorang Oma mendatangi saya. Di situlah drama haru pertama muncul. Sambil tersenyum, Oma tersebut menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Saya bukan terharu karena dinmyanyikan lagu ulang tahun, sumpah saya nggak ulang tahun hari itu, hehe, tapi melihat sang Oma yang ringkih dan bungkuk itu tersenyum sambil menyanyi padahal ia sebatang kara di dunia ini, huffffffffffff… itu mengharukan.
Setelah multimedia rampung disetel, acara pun dimulai. Saya sempat speechless bagaimana membawakan acara ini. Pertama, ini acara pertama saya di depan Oma. Saya nggak tahu selera Oma itu apa. Kedua, saya merasa air mata sudah nggak sabar pengen cepet tumpah, terutama karena melihat kondisi Oma di depan saya. Bayangkan, 41 orang Oma yang kemampuan fisiknya telah terbatas di hadapan saya ini melewatkan masa tuanya tanpa kehadiran anak dan cucu. Mereka tanpa keluarga. Ada yang kehilangan keluarganya saat perang, ada yang sejak kecil tidak pernah tahu siapa orang tuanya, ada yang ditinggal anak-anakanya bekerja di luar negeri, dan ada yang dengan sengaja menetapkan hati untuk tinggal di PSTW karena tidak mau membebani anaknya. Gila!! I didn’t know how to start!!!
Tapi akhirnya saya teringat oleh Oma yang tadi mengajak saya bernyanyi lagu selamat ulang tahun. Saya yakin, meski Oma di PSTW ini sudah tidak memiliki tenaga seperti anak muda, mereka masih memiliki semangat muda. Setelah mengucapkan selamat pagi dan memperkenalkan diri, saya berekspansi ke kursi Oma untuk mencari siapa Oma yang jago bernyanyi. Benar saja, dua Oma mengacungkan tangan. Pertama, Oma yang tadi mengajak saya bernyanyi di depan pintu dan Oma yang duduk di seberangnya. Oma yang pertama menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun lagi dan Oma kedua menyanyikan lagu Kasih Ibu. Kami semua ikut bernyanyi (dan saya? Huhu nyanyi tapi pengen nangis!!!).
Setelah Oma dan kami selesai bernyanyi, salah satu pengurus PSTW memberikan sambutan. Sambutan yang sangat panjang dan membuat kami terbengong-bengong. Ibu bertubuh kecil yang dikenal dengan nama Ibu Yetty ini menjelaskan panjang lebar mengenai PSTW, dari kendala hingga kesenangan. Kendala yang dihadapi oleh PSTW, jelas, yang utama mengenai masalah keuangan. Namun menurutnya, di tengah kendala tersebut, PSTW bukanlah panti sosial yang menyedihkan. Semua fasilitas dalam bangunan PSTW bersih dan masih kokoh. Oma-oma yang bernaung di bawah bangunan bercat krem itu pun bukanlah Oma yang hanya bisa duduk dan merenung. Mereka memiliki karya. Setiap Selasa dan Jumat mereka memiliki kegiatan bermain angklung hingga mereka sering diundang oleh pemerintah Kota Bandung dalam acara-acara penting untuk memainkan angklung. Mereka juga bukan Oma yang ringkih dan pikun. Mereka masih mengingat berbagai kejadian perang kemerdekaan yang mereka rasakan saat mereka seusia saya, 20 tahunan. Mereka juga masih ingat lagu-lagu Belanda serta sering berbalas-balasan pantun satu sama lain.
Acara lalu berlanjut. Keriangan mulai terasa terutama saat kami menonton film warkop bersama. Ada Oma yang rajin berkomentar, ada Oma yang tersipu-sipu –gatau gara-gara apa-, ada Oma yang tertawa geli –riang gembira banget kayaknya tuh-, ada juga Oma yang menebak jalan cerita. Acara makin seru saat memasuki sesi games. Keyakinan saya bahwa Oma masih memiliki semangat muda terbukti pada sesi ini. Nggak ada Oma yang malu-malu unjuk gigi ke depan public. Semua maju dengan semangat dan penuh dengan keyakinan!!! Haha.
Games pertama adalah Pesan Berantai. Satu tim terdiri dari 8 orang (4 mahasiswa dan 4 Oma). Orang pertama dibisiki satu kalimat panjang dan orang terakhir harus mampu mengulanginya dengan benar. Tahu apa yang terjadi? OMA TERAKHIR BISA MENGULANGINYA DENGAN BENAR. Haha Games kedua adalah Joget Koran. Wets, walaupun sudah tua, Oma punya kemapuan jogged dangdut yang sangat aduhai. Haha. Heboh dah gayanya! Games terakhir adalah Lomba Merias Wajah. Wajah yang dirias adalah wajah mahasiswa. Siapakah mahasiswa yang beruntung sekali dirias oleh Oma????
Pertama adalah Kahim HI tercinta, Kang Okky. Ahahaha. Seolah nggak mau kalah semangat sama Oma, Kang Oki ngga pake malu-malu waktu ditunjuk buat jadi model yang dirias wajahnya. Hasilnya? Wawwww, Kahim jadi cantik sekali. Ahaha.
Kedua adalah Fransis. Nah, kalo Fransis mah emang udah cantik, jadi waktu didandanin Oma ya jadinya tambah cantik. Ketiga adalah Ketua Pelaksana Cinta Oma Season 2 sekaligus Ketua Ospek HI 2009, jengjengjengjeng, bos saya tercinta, ailovyu MUFLI!!!!! Nggak cuma dirias wajahnya, Mufli juga dipakaikan kerudung. Ahahaha. Berkat gayanya yang heboh dan jogged catwalk yang diiringi oleh lagu Terajana, Mufli muncul sebagai pemenang.
Setelah puas bergames ria, Oma masih punya karya. Ada Oma yang spontan mengajukan diri untuk maju ke depan menyanyikan lagu Teluk Bayur secara solo dan satu Oma lagi mengajukan diri untuk mengeluarkan jurus mautnya bermain pantun. Keren nih Oma-oma. Masih aja inget sama pantun padahal murid-murid saya di bimbel susah banget kalo disuruh ngapalin pantun, apalagi bikin pantun.
Pukul dua siang, dengan diiringi hujan deras dan ditandai penyerahan hadiah secara simbolis dari Mufli kepada tetua Oma, acara Cinta Oma pun usai. Ada banyak hal yang bisa diambil dari acara ini selain 2 box nasi-ayam-capcay-pisang, sepiring camilan, berpiring-piring cake, dan bergelas air mineral. Nilai bahwa seharusnya kita malu dengan Oma yang hingga kini masih mengingat detail pelajaran yang ia dapat ketika muda. Nilai bahwa di usia tuanya yang sepi, Oma masih bisa bersemangat. Nilai bahwa kebersamaan kita dengan keluarga kita yang bahagia adalah bagian dari perjuangan Oma yang dulu ikut berperang dan merelakan anggota keluarganya menjadi pahlawan tak dikenal. Dan yang terpenting adalah nilai bahwa Oma adalah bagian dari bangsa Indonesia yang paling tua dan sangat mencintai bangsa Indonesia. Bisakah di usia tua nanti kita memiliki semangat seperti semangat yang dimiliki Oma-oma cantik di PSTW ini?


Ark.Mar’09

Perdebatan Dewa dan Bima

Dewa dan Bima adalah dua teman saya di kampus. Tahun Baru 2009 lalu, mereka membuat posting note yang sangat berseberangan. Huhuhu. Perdebatan besar setelah perdebatan antara Realis dan Idealis, nih (Realis dan Idealis adalah dua paradigm utama di HI yang memiliki cara pandang yang berbeda mengenai segala fenomena HI. Prinsip Realis yang paling terkenal adalah manusia pada dasarnya buruk sehingga tidak mungkin bagi manusia untuk diikat aturan, apalagi jika aturan tsb tidak menguntungkan dirinya, sebaliknya Idealis yang disebut sebagai Utopis berpendapat manusia pada dasarnya baik dan dapat diikat oleh peraturan karena manusia menginginkan perdamaian abadi). Nah, mengapa note Bima dan Dewa sangat berseberangan?
Bima dalam note-nya mengatakan bahwa ia tidak melihat signifikansi dari perayaan Tahun Baru yang wahhhhh. Bagi Bima, tahun baru tidak ubahnya seperti pergantian bulan dan pergantian hari biasa, jadi untuk apa dirayakan besar-besaran? Untuk informasi, selama malam tahun baru lalu, Bima menghabiskan waktunya dengan menamatkan game dan nonton film tahun baru di televisi –sama kayak saya-. Nah, tak beberapa lama setelah itu, Dewa, dengan tanpa disengaja membuat pula note tentang tahun baru. Menariknya, note Dewa ini sangat mencirikan suatu semangat baru yang khas. Semangat tahun baru. Yeahhh. Dewa momen tahun baru adalah momen yang special.
‘Perdebatan” Bima dan Dewa sebenarnya adalah perdebatan yang acapkali kita temukan di dalam kehidupan kita sehati-hari. Ada orang-orang yang menyukai perayaan tahun baru yang meriah dan ada pula orang-orang yang biasa saja dengan perayaan tahun baru. Menanggapi perdebatan di atas, Geza dan Pindonta memberikan tanggapan yang serupa, menurut mereka, perayaan tahun baru kalau dilihat dari tanggal memang tidak ubahnya seperti pergantian hari biasa, namun kespesialan tahun baru terletak pada hal yang kita lakukan pada saat tahun baru. Uwie mendukung pernyataan Geza dan Pindonta, ia mengakui bahwa meski ia biasa saja dengan tahun baru, ia merasa ada yang special pada tahun baru karena hanya pada saat itulah warga kompleks perumahannya meluangkan waktu untuk bercengkrama bersama di lapangan kompleks.
Saya?
Saya sebenarnya plin plan. Hehe.
Ada kalanya saya merasa tahun baru itu special, terutama apabila dikaitkan dengan pernyataan Geza, Pindonta, dan Uwie. Tahun bau special ketika ada sesuatu yang berbeda yang kita lakukan pada hari itu. Ketika tahun baru 2005, misalnya. Saat itu saya menghabiskan tahun baru di Lembang. Tapi ada kalanya juga saya merasa tahun baru biasa saja. Tahun ini saya setuju dengan Bima bahwa Tahun Baru itu biasa saja. Pertama, saya tidak melakukan apa pun pada tahun baru kali ini. Tahun baru kali ini sama seperti tahun baru sebelumnya, dihantui oleh bayang-bayang uas dan tugas akhir yang belum diselesaikan. Kedua, saya tidak membuat resolusi apa-apa untuk tahun 2009 karena saya sudah membuat resolusi, impian, harapan, renungan, evaluasi, dan sebagainya pada saat ulang tahun. Kalau boleh membandingkan, tahun baru yang sebenar-benarnya bagi saya adalah ketika ulang tahun. Satu, karena pada hari itu kita menerima ucapan dan doa. Kedua, karena ulang tahun bukan uatan manusia. Ulang tahun atau hari kelahiran merupakan pemberian tuhan yang tidak dapat kita ganti dan hanya pada tanggal itulah kite merasakan pergantian tahun yang sesungguhnya.
Saya juga nggak tahu sebenernya, apakah pendapat saya dilatarbelakangi karena saya tidak pernah diizinkan untuk keluar malam oleh ayah saya sehingga saya tidak pernah merasakan hingar binger perayaan tahun baru atau memang karena saya tidak terlalu suka dengan perayaan yang heboh ketika tahun baru. Hummm. Nggak tahu juga. Yang saya tahu, untuk tahun sekarang, tahun baru bagi saya masih merupakan hal biasa.

Review Cerpen : Ramadhan Kesepuluh

Ramadhan Kesepuluh. Mulanya judul ini tidak saya rencanakan. Bahkan ceritanya pun tidak saya rencanakan. Suatu siang, saya membuka akun email saya. Ada satu pesan dari redaktur Tribun Jabar yang memberitahukan cerpen saya tentang 17 Agustus dengan sangat terpaksa tidak dapat dimuat karena momennya sudah lewat (telat kirim). Bapak itu mengajukan piihan bagaimana kalau saya mengirim cerpen tentang Ramadhan. Waw. Sungguh suntikan semangat yang sangat luar biasa. Beberapa menit kemudian, tangan saya sudah lancar mengetikkan cerita baru yang saya juga sama sekali nggak tahu bagaimana Allah bisa menyisipkan ide itu ke otak dan jari saya. Cerpen itu selesai dalam waktu tiga jam.

Setelah saya edit dua kali dan saya tunggu dua minggu, alhamdulillah cerpen tersebut dimuat. Ini karya kelima saya yang dimuat secara umum lewat seleksi redaksi. Awal yang cukup baik, tentunya, tapi saya sadar di luar sana ada begitu banyak penulis hebat yang menelurkan karya hebat sehingga saya masih harus banyak belajar dan menambah jam terbang.

Komentar positif alhamdulillah juga banyak saya terima. Terima kasih semuanya. Kalau nggak ada Allah nggak rame. Hehe. Itu beneran jalan Allah kok buat ngasih semangat saya. Selama tahun ini nggak ada satu kejuaraan pun yang saya juarai. Hmmm. Rezeki saya bukan di situ lagi, nampaknya. Sekarang saatnya media massa, mengingat tahun ini tiga karya saya dimuat tanpa menunggu waktu berbulan-bulan dalam skup nasional maupun provinsional.

Saya masih mengangkat tema sosial dalam cerpen ini. Amanah utama yang ingin saya sampaikan adalah betapa Allah adalah dzat yang kreatif karena selalu mampu menghadirkan cobaan yang unik kepada setiap makhluk-Nya lewat racikan permasalahan social yang kompleks.

Ia adalah Lodi yang terkejut saat menerima surat dari Pak Pos. Surat itu memberi jawaban atas segala rindunya kepada sang Ayah yang tak pernah tersampaikan. Ternyata sang Ayah yang menghilang dalam sepuluh Ramadhan itu sama sekali tidak mati. Ia masih hidup! Ia dulu dipenjara karena polisi di negeri jiran salah menangkap orang. Lodi hanya ingin senang atas surat yang memberi kabar bahwa ayahnya akan segera kembali, namun sayang ia tidak bisa. Ibunya sudah menikah lagi dan mereka kini telah hidup berkecukupan. Lodi mereka-reka siapa yang salah atas pernikahan ibu. Ibunya dan ia yang terlalu ekonomiskah? Karena mempertimbangkan untung rugi saat memilih menerima lamaran sang dokter atau menunggu kedatangan ayahnya. Atau justru ayahnyalah yang salah karena tidak pernah memberi kabar? Tapi ayahnya jelas dipenjara! Mana mungkin dapat memberi kabar? Belum tuntas gundah Lodi, ayahnya malah duluan datang. Lodi akhirnya hanya bisa terkejut di dalam dekapan ayahnya yang baru saja membakar rumah yang sedang menaungi tidur siang istri dan suami maduannya.

Kisah yang klasik. Diorama keluarga miskin. Tapi justru dari kisah yang klasik inilah ada tiga hal yang ingin saya perlihatkan.

Pertama, sikap para penegak hukum. Salah tangkap takkan bisa terganti dengan kata maaf dan pemulihan nama baik. Begitu banyak kehidupan yang terenggut saat penegak hukum melakukan human error. Luka, sedih, rindu, hampa, sepi, hancur, bagaimana cara memulihkannya?

Kedua, dengan menyetting TKI pun saya ingin memperlihatkan betapa lemahnya instrumen hukum internasional kita dalam melindungi warga negara sendiri. Faktor yang menyebabkan adanya TKI adalah ketidakmampuan negara kita memberi penghidupan bagi kaum yang tersisihkan. Tidak semua warga negara bisa menjadi insinyur dan dokter, bukan? Ada bagian yang terpaksa menerima menjadi orang buta huruf dan anak SMA IMPIAN. Tapi sayangnya baik dokter, insinyur, pejabat maupun orang buta huruf, kuli, dan korban PHK sama-sama butuh makan dan menghidupi keluarga. Urusan itu yang mereka kejar sehingga timbul pemikiran jika negara sendiri tak sanggup mengayomi, maka siapa tahu negara lain bisa. Apalagi jika dihitung-hitung kurs negara luar lebih tinggi sehingga dengan menghemat uang makan di sana, mereka akan mampu mengangkat keluarganya beranjak dari garis kemiskinan di Indonesia. Nah, negara sendiri harus menyadari keadaan ini. Jika negara tak mampu membiayai hidup rakyatnya, seharusnya mereka mampu memberi perlindungan kepada mereka di tanah lain. Saat ini kita tidak sedang membicarakan keseharusan adanya swadaya kepedulian swasta, karena bagaimanapun posisi bargaining yang paling kuat ada di tangan negara, bukan di tangan LSM atau IGO, apalagi di tangan individu. Peran negara sangat dibutuhkan dalam kasus TKI. TKI memang mengurusi hal domestik, hal yang sangat kecil bila dibandingkan dengan hal politis, tapi bukankah negara kita menganut kesederajatan, dimana setiap orang, tak peduli berprofesi apa, memiliki derajat yang sama untuk memperoleh perlindungan? Toh mereka pun sudah menjadi korban di negaranya sendiri, jangan sampai juga mereka menjadi korban di negara lain.

Yang patut disalahkan dalam permasalahan ini bukan para diplomat kita, sebenarnya, tapi payung hukum yang mengatur bilateral kita. Sebagai dua negara yang saling membutuhkan, katakanlah Indonesia membutuhkan negara X untuk menampung TKI-nya dan negara X membutuhkan TKI untuk menyokong ekonominya, seharusnya ada usaha dari kedua belah pihak untuk serius menjalankan kesepatakan perTKIan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Demokratisasi harus ada. Posisi kedua negara harus sederajat. Jangan karena kita adalah pemasok maka kita direndahkan oleh negara ‘majikan’. Kesepakatan tersebut pun seharusnya memuat kebijakan atas deviasi yang mungkin saja terjadi. TKI illegal, misalnya. Legal atau illegal, mereka adalah warga negara yang patut dilindungi. Jangan hanya karena illegal malah si TKI tersebut diacuhkan bahkan dapat diperlakukan semena-mena oleh majikan.

Bagi bilateral antarnegara yang berada dalam organisasi serupa pun seharunya TKI dapat lebih terlindungi. Jika international law bersifat mengikat, kaku dan tidak mengantisipasi perubahan serta pendekatan diplomatik cenderung terlalu akomodatif pada dinamisasi sehingga dapat digoyahkan, maka pada momen inilah pendekatan organisasional seharusnya masuk. Kesepakatan yang difasilitasi oleh pendekatan organisasional bersifat akomodatif akan dinamisasi internal dan kekuatan hukumnya pun bersifat mengikat, selain ia pun memberi posisi bargaining yang sama kuatnya bagi dua negara. ASEAN, untuk menyebut satu nama organisasi, tentu akan lebih dipercaya kiprahnya oleh masyarakat Asia Tenggara jika ia menunjukkan giginya dalam urusan soft politic seperti ini.

Hal ketiga dari Ramadhan Kesepuluh adalah gender. Ada banyak yang ingin saya sampaikan sebenarnya, tapi saya rasa pembahasan poin ini akan sangat sensitif, debatable, dan makin melebar, karena itu hanya ini yang bisa saya hadirkan. Saat Bapak Lodi menemukan istrinya menikah lagi, serta merta ia membakar rumah beserta istrinya. Saya sengaja tidak menghadirkan sudut pandang si Ibu dalam memaknai perkawinannya dengan Pak Dokter yang kaya. Saya ingin memperlihatkan rasa sakit hati yang dirasakan laki-laki saat mengetahui istrinya sudah melupakan dirinya. Saya ingin meperlihatkan bahwa sakit hati karena dimadu bukan hanya milik wanita, tapi juga milik laki-laki, bahkan laki-laki bisa bertindak lebih tak waras. Selama ini kita terlalu sering dibombardir oleh kegilaan wanita yang tersakiti, padahal laki-laki pun dapat bertindak serupa jika sudah dikendalikan amarah.

Persoalan sosial merupakan persoalan yang akan banyak menyangkut tetek bengek yang bahkan tidak pernah terlintas di dalam benak kita. Kritik akannya pun merupakan kritik yang dapat disampaikan lewat banyak media. Saya memilih sastra sebagai medianya. Sastra mampu mengangkat beragam persoalan sosiologis dalam harmoni sisi paling manusiawi kita. Sastra pun dapat dinikmati semua orang, tak terbatas pada kalangan intelek. Lewat cakupannya yang luas, saya ingin berkiprah memperlihatkan gejala sosial yang terjadi di sekeliling kita dan menjadikannya sebagai cambukan bagi kita untuk menciptakan hidup yang lebih baik. Sastra bukan hanya milik Fakultas Sastra dan budayawan, tapi juga milik penstudi HI, politikus, dan masyarakat.

NB : search Rikianarsyi di google untuk membaca cerpen ini.

Buku Pelajaran yang (Masih) Saja Bermasalah

Saya termasuk orang yang paling anti beli di Koperasi Sekolah. Bukan antibunghatta, tapi antiyangmahalmahal. Coba saya tanya, koperasi sekolah mana yang harganya lebih murah daripada pasar biasa? Nggak ada, kan? Nih koperasi yang gini nih yang nggak mendidik. Hehehehe.

Dalam tulisan saya tentang mengunduh buku pelajaran (search rikianarsyi di google lagi, heuheu), inti terselubung dari sejuta argumen saya adalah saya sangat mendukung kebijakan pemerintah untuk membeli hak cipta ratusan buku untuk kemudian dapat didownload dengan bebas oleh para pelajar, karena swasta (baca : kongkalikong insentif dari penerbit untuk sekolah) udah terlalu parah memonopoli dunia belajar-mengajar kita. Dalam satu semester, nggak kurang dari tiga ratus ribu kita keluarkan untuk membeli buku yang tahun depannya sudah out to date alias adik kita nggak bisa pakai lagi, itu sungguh jumlah yang sangat relatif bagi orang-orang, Ada yang bilang murah, kalau mereka mampu, tapi pasti lebih banyak yang mengatakan mahal karena kita hidup di negara yang lebih mementingkan perut daripada otak.

Karena kebijakan menggratiskan sekolah, dimulai dari DSP sampai SPP sangat sulit dihapuskan, terutama bagi sekolah swasta yang harus luntang-lantung cari biaya sendiri, kebijakan ‘menggratiskan’ buku pelajaran merupakan kebijakan yang tidak kalah cerdas karena tujuannya mencerdaskan anak bangsa yang tidak sanggup membeli buku tapi harus punya buku. Buku pelajaran gratis merupakan dorongan yang kuat bagi masyarakat untuk tidak putus sekolah karena nyatanya, bila dibanding-bandingkan, uang buku merupakan beban kedua yang berat setelah DSP (ketiga : seragam dan alat sekolah; keempat : ongkos dan jajan; kelima : SPP –soalnya bisa nunggak tanpa denda). Jika buku sudah bebas, modal untuk sekolah bisa lebih ringan. Bisa cicil kelengkapan hidup lain dan bisa nyekolahin adik yang lain.

Kebijakan download buku, dalam pandangan saya, merupakan kebijakan yang sangat komunal. Sangat menyangkut hajat hidup orang banyak. Seharusnya sih didukung, tapi sayangnya si pihak swasta itu merasa lapangan pekerjaannya terebut oleh pemerintah. Jika kita berkaca pada teori bahwa intervensi pemerintah akan sangat mematikan bisnis (baca lengkapnya dalam tulisan saya itu), argumen itu seolah dapat diterima. Tapi yang paling ingin dikritisi oleh pemerintah dalam penerbitan kebijakan itu sebenarnya adalah kongkalikong penerbit dan sekolah yang sangat merugikan siswa karena harga buku jadi sangat melambung. Kalau bedanya cuman seribu dua ribu bisa saja tidak masalah, hitung-hitung ongkos, tapi bagaimana jika perbedaannya melebihi angka lima puluh ribu rupiah? Kenapa sekolah jadi ajang mencari untung para oknum dan penerbit? Pasti swasta yang merasa terancam keberadaannya oleh download buku lebih memperhitungkan unsur yang satu ini sebagai motif utama keberatan.

Pemerintah sebenarnya tanggap dengan gejala ini jauh sebelum mereka membeli hak cipta buku, tapi sayangnya meski peringatan sudah dilayangkan berkali-kali, pemerintah tetap kecolongan. Sekarang malah muncul trend baru, penerbit buku menyewa tempat di dekat sekolah sebagai kios. Kios ini memonopoli lewat ‘ancaman’ kepada anak-anak labil, “Buku ini cuma ada kios ini! Tidak ada di tempat lain.”

Ancaman tersebut bukan hanya membuat praktek kongkalikong tetap menjamur di awal semester baru melainkan juga membuat buku download tidak populer di kalangan siswa, apalagi mengingat jaringan internet belum seluas jaringan GSM di Indonesia.

Mengantisipasi kekurangpopuleran buku download, alangkah baiknya jika pemerintah mengawalinya dengan dua langkah. Pertama, menyadari bahwa jaringan internet kita masih harus dibangun. Kedua, memberi kebijakan bagi sekolah-sekolah untuk tidak memaksakan buku wajib yang sama bagi setiap siswanya. Kurikulum yang sama tentu memungkinkan pemuatan bab yang sama dalam buku yang berbeda penerbit. Jika swasta menyalahkan tindakan pemerintah yang menggratiskan buku sebagai langkah monopolistis, tak bisakah langkah mereka untuk menyeragamkan buku wajib kita anggap sebagai tindakan yang lebih monopolistis juga? Pelajar sebagai konsumen tentu memiliki hak untuk memilih buku apa yang ingin dan mampu mereka beli, mengapa tidak kita berikan saja hak itu kepada mereka? Toh, ini persoalan ekonomis, bukan?

Tapi tentu saja jika kita sudah berbicara tentang uang, kita harus siap berdebat tiada akhir. Setiap pihak memiliki kepentingan dan hal utama yang harus disiapkan adalah memahami kepentingan-kepentingan tersebut sehingga solusi yang tercapai pun bukan solusi yang berat sebelah, tapi mengusung kepentingan semuanya.

Jendela Juli

Wow, udah pertengahan tahun lagi, nih. Tahun kemarin, sih hari gini saya lagi sibuk berzikir supaya bisa ngerjain soal SPMB dengan baik. Wehehe. Terus lagi sibuk begadang, bahkan di kasur masih sempet merangkai apa aja yang udah saya pelajari sebelum tidur, sampai sempet juga mimpi dikejar x kuadrat, sin kuadrat tambah cos kuadrat, bla bla bla, haha, sindrom SPMB. Gitulah. Mana otak juga sempet kesumbat sama satu nama, lagih . Mana belom beli baju buat prom. Wahhhhh, untung ga ngarep punya pasangan pas prom, haha.

Kalo sekarang sih beda, ya... Udah lagi nyantai, malah bingung harus ngapain. Mau rada intelek gitu tapi masih males. Akhirnya terdamparlah saya di sini, ruangan komputer rumah saya dengan meja super gede yang berantakan banget sama buku dan kertas bekas, ditemani 107.5 FM yang penyiar gilanya lagi memutar obrolan tentang BOHONG SAMA PASANGAN, perut yang sakit gara-gara lagi datang bulan dan maag, dan belom mandi. Haha.

Pacar saya : Udah mandi belom, yang?

Saya : Kapan?

Pacar saya : Hari ini

Saya : Kan kemarin udah, yang...Hari ini kan aku nggak kemana-mana...

Pacar saya : Bagusssssss...!!!

Bagus, kan, saya lagi nggak bohong sama pasangan, kayak yang lagi diobrolin sama penyiar Mustika FM ituh. Mmmm, arghhhh sebel, sih. Biasanya dia nanya gitu kalo d isms aja, jadi kan saya bisa ngeles nggak ngejawab (daripada boong –karena dia tau saya pasti boong, nggak mungkin saya bisa mandi tiap hari kalo lagi libur dan nggak kemana-mana). Lah, ini mah dia nanyanya di telpon. Mana bisa ngeles?????? Hehehehehe.

Oia, ngomomg-ngomong soal mandi, saya lagi ilfil sebenernya sama yang namanya mandi. Wah, ceritanya sangat menjijikkan gitu lah. Mana bikin malu, lagih.

Jadi minggu lalu saya udah beberapa lama (yah, nggak lama sih, kalo menurut saya, nggak tau kalo menurut Teman-teman...heuheu) ga mandi, sampe akhirnya saya nggak tahu perkembangan terakhir kamar mandi saya yang bathub nya jadi bersih gara-gara ada benda ajaib. Nah, pada sore sejak hari terakhir saya mandi, saya pun mandi kembali. Pas lagi mandi, di deket tempat sabun saya ngeliat ada spons yang agak kasar permukaannya, pas saya bauin juga baunya bau sabun. Dengan pertimbangan bahwa spon itu berwarna putih bersih, terletak di tempat sabun, berbau sabun, dan kain kasar oenggosok punggung yang lama udah pantas untuk diganti, saya pun mengambil spon itu lalu saya gosokkan ke seluruh tubuh saya bersama sabun. Hasilnya? Wow, kulit saya jadi terasa ringan! Kotorannya rontok semua. Setelah beres mandi, si orang yang udah beberapa lama nggak mandi dan merasakan kenyamanan setelah mandi pun melapor pada ibunya.

Saya : Mi, Festy mandi pake spon yang baru itu jadi bersih tau, Mi, kulit Festy

Umi : Spon yang mana?

Saya : Itu, yang di bathub, deket tempat sabun

Umi : (Mukanya curiga) Warnanya putih? Ada gagangnya?

Saya : Iya, yang itu! Uwwaw, daki semua hilang! Kulit Festy jadi lebih putih, kan?

(Sambil mamerin kulit tangan, kayak model iklan sabun keselek kemiri)

Ata : -Ata ini adik saya yang paling kecil, umurnya 8 tahun, tapi kayak masih bayi,

Maklum, anak bungsu-

Ih, itu kan spon yang Ata pake buat bersihin bathub kemarin!

Umi : Iya, itu kan buat bathub, Ty...

Saya : -Ga mau malu-

Tapi kulit Festy jadi bersih...

Umi : Ya jelas bersih, orang kerak di bathub aja ilang...

Saya : -Panik, baru sadar kalo itu bodoh-

Trus?

Umi : -menenangkan-

Gapapa, baru dipake sekali...

Mampus gueeeeeeee. Trus pas saya cerita sama pacar saya,

Saya : Aku mau cerita, tapi jangan ngetawain..

Pacar saya : Apa?

Saya : Aku kan mandi tuh, ada spon yang permukaannya kasar, trus ada

gagangnya, kamu tau ga?

Pacar Saya : Yang buat bersihin bathub itu, kan? Kamu mandi pake itu?

Arghhhhhh, ternyata cuman saya yang bodoh di dunia ini!!!!!

Hmmmm, tapi di samping kebodohan saya yang menuai gelengan kepala, mulut menganga, tak lupa ketawa ngakak dari keluarga saya dan pacar saya, saya juga baru melakukan sesuatu yang membuat saya kangennnnnnnnnnn banget sama sesuatu. Halah, ribet.

Pas musim bagi raport kemarin , saya ngambil raport punya dua adik saya, yang SMA dan yang SD. Ugh, serasa kayak orang tua, heuheu. Tapi waktu lagi bengong nungguin wali kelas adik saya yang SMA, saya sempet mencuri liat ke arah anak-anak yang berseragam putih abu, terutama yang cowok. Ups, saya bukan beralih ngeceng brondong berkumis dengan gaya sms yang serba pake CH, IE, “, NK, UW, GAG, Q, ND, GD (CHayaNK, kamUW agIE pa? aQ tUW klUW GAG ktemUW kamUW jadi GAG nafsu apa”. aQ kangeND banged ma kmUW…). Argh, tentut saja tidak!

Saya cuman tiba-tiba kangen sama masa SMA saya yang dipenuhi dengan kepungan anak-anak bereseragam putih abu yang masih main kejar-kejaran gara-gara ngerebutin apa, gara-gara ngejekin apa, gara-gara sebel apaaaa, yah gitu-gitulah. Sekarang mah ga pernah ngeliat dan ngelakuin yang gituan. Tiba-tiba kangen sama Tama yang dari kelas satu SMA nggak pernah bosen ngejek, ngeledek, ngehina, nempelin apa, ngelemparin apa, dan lain sebagainya yang intinya menyulut emosi saya untuk ngejar dia sesekolahan. Tiba-tiba kangen sama Martua yang celetukannya bisa memprovokasi guru. Tiba-tiba kangen pengen pake baju SMA yang nama dan badge lokasinya selalu pake double tape dan bajunya nggak pernah masuk kecuali kalo lewat pintu piket pagi-pagi, kangen pake sepatu item yang saya ikutkan kompetisi sepatu rusak tanding ngelawan sepatu Astrid, kangen pake tas ransel yang isinya buku pelajaran yang nggak pernah saya keluarkan dari tas, kangen telat dan nunggu jam keda atau bahkan jam ketiga, kangen nunggu angkot sama anak-anak gila. Kangennnnnn banget pokoknya!!!! Masa-masa yang udah lewat, ya! Haha.

Nggak kerasa aja ternyata waktu udah berjalan jauh banget nganterin saya ninggalin masa-masa muda belia bodoh dan polos tersebut. Trus waktu saya noleh ke sekeliling dan ngelihat ibu-ibu, ya ampun , nanti nggak kerasa lagi saya bakal jadi kayak mereka. Ngambilin raport anak saya. Anak saya! Bukan adik saya lagi. Anak yang lahir dari kandungan saya. Anak yang lahir karena persentuhan saya dengan suami saya. Ya, ampun , SUAMI! Laki-laki yang ngelamar saya dan asking me, will u marry me? Orang yang melingkarkan cincin di jari saya, orang yang bilang saya terima nikahnya Rikianarsyi, orang yang…huaaaa, ternyata nanti bakal ada yang minta saya jadi istrinya!

Makin ngerasa waktu bakal misahin saya dari banyak hal lainnya pas saya ngambil raport adik saya yang SD. Duh, dulu kan saya masih main buaya-buayaan di lapangan SD ini, saya masih main donal bebek, main do Mikado Mikado Mikado es ka, main ucing sumput di kebon singkongnya, masih main di sawah, masih nyari gara-gara sama anak kampung dan anak SD sebelah, wah gila lah…si gadis merah putih ini telah menjadi gadis yang akan segera mengakhiri masa jalangnya, eh…lajangnya…(mmmm, masi lama juga si…Kenapa harus mikirnya itu???hehehe)

Gila banget, ya yang namanya waktu. Waktu yang ngebikin saya ada di dunia ini, bertemu dengan orang-orang yang sayang sama saya, yang benci saya, yang biasa aja sama saya, hmmm, dan seklaigus bakal misahin saya sama mereka.

Beberapa waktu ini saya mikir,gimana kalo saya kehilangan ibu saya? Bapak saya? Adek-adek saya? Pacar saya? Sahabat saya? Huaaaa...Pengennya nggak mau. Nggak mau pisah sama mereka yang sekarang mewarnai hidup saya, yang bikin saya ngerasa punya arti hidup di dunia ini, yang ngebikin saya tau saya masih dicintai, yang bikin saya nangis, ketawa, marah, kecewa, sebel, seneng, pokoknya yang ngebikin saya tau kalo saya masih hidup!

Gara-gara lagi mikirin itu, saya lagi ngerasa romantis aja. Tiba-tiba nangis kalo ngebayangin hal itu terjadi, tiba-tiba meluk mereka erat dengan mata yang berbinar –sok nggak mau waktu berjalan-, tiba-tiba jadi sopan, jadi kalem, jadi lembut, jadi manja, jadi ngerasa sayanggggggg bangettttttt gara-gara takut nggak bisa ngerasain mereka masih ada untuk saya suatu saat nanti. Hikssss. Hehehe.

Ahhhhh, jadi pengen nangis lagi kalau gini mah. Ya sudahlah, udah malem juga...

Semester Dua pun Beres…

UAS udah beres. Cukup memuaskan. Ngerjainnya cukup memuaskan, maksudnya. Bukan nilainya. Hehe. Yah, kalo dapet bagus ya syukur, kalo engga dapet bagus ya ngulang. Hehe. Dosennya banyak yang agil sih semester ini teh, untung UASnya nggak jauh-jauh dari catetan yang mereka kasih. Kecuali DDIA tuh, apaan tuh nomer 9 sama 10 nya nggak ada dimana-mana. Bagaimana perkembangan ilmu administrasi pada masa sejarah? Bagian ilmu administrasi apa yang berkembang pada tahun 1990? Meneketehe. Yaudah, saya sebutin aja yang saya inget saya catet. Ya logikanya sih yang saya catet itu pasti catatan ilmu adimistrasi pada zaman sejarah dan lewat dari tahun 1990, kan sekarang tahun 2008. Hehehehe.

Oia, review UAS aja deh.

UAS Pengantar Hubungan Internasional 1. Wahahaha. UASnya lisan, 2 pertanyaan. Pertanyaan pertama, Apa buku yang ditulis oleh Kenneth Waltz?? Mampus, gue lupa, aduh apa ya ada War nya pokoknya. Ohhhhhh, The Causes of War, Pak. Sesaat dosen-dosen yang ada di depan terdiam. Upsssss, saya langsung baru inget kalau yang saya sebutin itu salah. Causes of War itu isinya. Waltz kan bikin analisis 3 images penyebab perang dalam buku ituh. 1st images itu Human Nature. 2nd Images itu dari level domestic si negara itu. 3rd Images itu dari struktur internasional. Wahhhhh, salahhhhhhh nggak bisa ralatttt. Akhirnya dosen pun nyadar kalo jawaban saya salah trus nyuruh saya balik, nyari jawaban. Huaaa, judulnya Man, the State, and War. Hihihihihi. Tuh kan tapi bener kan, ada War nya. Hehe. Melangkah ke pertanyaan kedua. Setelah Arbay, kini Kang Oce yang nanya. Apa maksud tulisan Wendt, Anarchy is what states make of it.

Huaaaaaaaaaaaaaaaaaa, kalo nggak inget sombong itu dosa dan bisa bikin orang sakit ati, pengennya tuh teriak begitu dapet pertanyaan itu. Aku tauuuuuuuuuuuuuu jawabannya. Itu sudut pandang yang saya ambil buat tugas akhir semester dua saya, Perbedaan Nilai Demokrasi Myanmar, ASEAN, dan PBB!!!! Trus jawab, deh. Trus Arbay bilang, Bagus. Hohoho, semoga bukan basa basi untuk menghibur muka saya yang bersemu senang. Terima kasih Kang Oceeeeeeeeeeeeeee yang telah memberikan nafas bagi saya di UAS pertanyaan kedua. Sayang, kita bukan muhrim ya, Kang…padahal saya mau cium tangan Kang Oce biar kayak orang yang berterimakasih pada dukun yang telah membuatnya menang togel…. walopun saya tau Kang Oce bukan dukun dan UAS PHI bukan togel. Hehehehehe.

UAS DDIA tadi udah dibahas, terus UAS Statistik. Ah begitulah, intinya loading saya lammmma banget. Lupa cara ngerjain chi kuadrat, jadi aja stak, trus baru inget sepuluh menit sebelum beres. Bodoh banget memang, secara UAS Statistik itu open book dan chi kuadrat begitu besarnya saya lihat di halaman depan saya. Wah emang lagi loadingnya lama. Mana ada yang miskal miskol nggak jelas, lagih. Udah dibilangin saya masih UAS sampe jam 11, nah dari jam setengah sepuluh sampai setengah sebelas tu orang miskollllll mulu. Bukan, bukan pacar saya ato pengagum saya. Pacar saya nggak senorak itu dan lagi nggak ada yang ngagumin saya. Hehehe. Temen saya itu mah. Ah resssseeee banget lah. Ngaganggu. Tapi lagi-lagi saya yang bodoh, sih. Kenapa mode getarnya nggak saya matiin supaya saya nggak ngerasa ada yang miskol???? Hehehehe.

UAS SEI alias Sist. Ekonomi Ind dan Sispolin alias Sist. Politik Ind juga menyenangkan. Saya nggak sengaja ngerefresh beberapa materi trus taunya itu yang ditanyain di soal. Hehehe. Nggak tau tapinya itu bener ato ngaco jawaban saya. Kalo SHI alias Sist.Hukum Ind itu udah ada kisi-kisinya, tinggal belajar dari sana. Tapi ada satu pertanyaan yang nggak ada di kisi-kisi, Apa yang disebut dengan Nulum Delectum. Wahahaha. Mampus guee. Apa ya, kayaknya tadi malem baca deh kata-kata itu. Jenis delik atau asas ya...??? Mmmm, kayaknya asas legalitas deh. Suatu hal harus diatur dulu dalam perundangan baru dapat diperkarakan. Pas saya kroscek di catetan saya setelah beres, wahhhhhhhh ternyata memang itu jawabannya. Hehehehe. Yang lain sih nggak tau bener ato salah.

Yang sebel itu UAS EFIR alias basa ingris. Ahhhhhhh, sebel. Gara-gara UASnya digabung sama anak jurusan Non-HI, ihhhhhhh nggak jadi deh nonton bahan UAS. Iya, jadi UASnya itu diambil dari DVD Discovery Channel, tentang The Cuban Missile Crisis gitu. Rencananya kita bakal nonton dulu DVDnya baru ngisi soal. Lahhhh ternyata nggak jadi. Langsung ngisi soal. Ahhhhhh udah lupa gueeee sama materi film itu!!!!!

UAS apa lagi ya…ohhhh Kewarganegaraan. Itu mah bikin esai. Trus computer. Ya ampyuuuuuunnn, absensi saya nggak seratus persen, nggak tau tuh boleh ikut ato engga. Katanya sih disuruh nelpon dosennya, tapiiiiiii ko ga diangkat siiiiiiiiiiiii???? Pasrah aja deh, lagian saya yang salah, absensi ga seratus persen…Ngulang pun rela. Hehehehe. Tapi boongggggggg!!!!!!! Malessssss…

Hehehehehhe

Beyond Kindergarten and HILITE…

Tanggal 21 Juni kemarin saya ngeMC di acara pelepasan TK punya temen ibu saya. Saya juga punya TK sebenernya tapi acara pelepasannya bukan acara panggung gitu. Rencananya mau piknik. Tahun ini udah kedua kalinya saya ngMC di acara pelepasan TK si ibu ituh. Tahun kemarin saya juga ngMC di situ, tapi bukan jadi MC pusat, cuman jadi MC di bagian Lomba Mewarnai, jadi paling cape nya cape panas, cape nyemangatin anak-anak yang ogok, cape ngejaga mood anak-anak, cape berdiri 2 jam.NgMC nya bertiga, ada Bu Isye sama Om Denny.

Nah, tahun ini Lomba Mewarnainya nggak ada, udah gitu Oom Denny baru nikah jadi ajah saya ngMC di acara pusat sama Bu Isye. Acara panggung. Catat, panggung dengan 11 penampilan tari, 4 penampilan menyanyi, 2 penampilan solo keyboard, 1 penampilan solo drum, 1 penampilan fashion show, 1 puisi, 1 operet, 3 sambutan, 1 pembukaan, 1 pembacaan Qur’an. Oia, ada gladi resiknya juga!!! Hoho. Cape banget. Dari jam setengah satu siang sampe jam setengah lima sore. Berdiri mulu. Hehe.

Seneng, sih. Lagian lucu aja liat anak-anak imut, mungil, kecil gitu lenggak lenggok nari, nyanyi, baca puisi, fashion show, main operet, baca Quran. Gemessssssss. Pinter amat ya mereka. Centil banget, nggak laki-laki, nggak perempuan. Udah gitu mereka itu sama sekali nggak nyontek. Jadi ya gerakan di depan itu gerakan murni dari mereka. Kalo nggak apal mereka ngarang sendiri. Pokoknya goyaaangggggg. Hahaha. Walopun semua temennya nengok ke kiri, tapi kalo kata dia mah ke kanan ya dia ke kanan aja, nggak peduli sama yang lainnya. Berprinsip ya…heuheu.

Tanggal 26 April saya ngMC di Makrab jurusan saya, HILITE. Itu juga cape. Bangettttttt. Dari jam tujuh malem mpe sekitar jam setengah satu malem. Berdiri mulu juga ituh. Udah gitu David yang bikin rundown nya juga gila, masa slot saya buat tampil banyak banget dibanding sama slot tiga MC lainnya. Suara tenggorokan abis banget buat teriak-teriak. Waktu itu masih bisa bertahan mpe akhir dengan suara keras gara-gara pake suara diafragma. Tapi lebih capeeee.

Tapi tetep seneng soalnya penontonnya bisa diajak rame. Disuruh tepuk tangan nurut, disuruh sorak-sorak nurut, disuruh diem nurut, disuruh ke depan nurut, disuruh makan lebih nurut lagi. Hehe. Trus pengisi acaranya juga bisa ngebawa acaranya dengan sukses. Wah intinya mah HILTE keren banget lah, terutama saya dan David. Hahaha (ini muji David soalnya David pasti baca blog inih).

Ada beberapa perbedaan antara ngMC orang gede dan anak kecil. Kalo di HILITE itu rundown tepat banget, menit-menit yang kita rencanain itu tepat waktu soalnya orang gede bisa diatur dengan nurut. Lima belas menit sebelum tampil harus udah di belakang panggung dengan siap. Nah, kalo ngMC anak kecil itu harus ekstraaaaaaaaaaaa sabbbbbbbbbbbbbbbbbbarrrrr. Beberapa kali acara penampilan molor dan dituker soalnya anak-anak belum pada siap. Ada yang udah semangat, ada yang udah bete, udah lemes, udah tergoda lari-larian di ruangan sama temennya, ada yang masih didandanin mamanya, ada yang bajunya ilang penitinya, ilang talinya, mahkotanya ilang, cari bendera dulu, minum dulu, wah ngaturnya lama. Enggak mungkin marah kan, ya...jadi ya akhirnya ngulur waktu dulu di depan, ngobrol sama Bu Isye, cari objekan buat ditanya-tanyain, minta Nurul (anaknya Ibu yang punya acara, penyanyi) nyanyi dulu dua lagu atau satu lagu, intinya pinter-pinter cari siapa yang bisa dijadikan korban.
Trus susahnya lagi kalo ngMC di acara TKK itu susah ngumpulin fokus mereka ke panggung. Nggak cuman anak-anak aja yang susah diatur, tapi ibu bapaknya juga. Wadddduhhhhhhh. Garila. Ada yang ngobrol, lari-lari ngejar temennya dan dikejar ibunya. Haha. Ribut aja pokoknya. Kalo ngMC orang gede kan, suruh aja tepuk tangan ato tanya suaranya, hehehe. Pasti fokusnya dateng.

Oia, yang paling bikin cape kalo ngMC anak kecil itu adalah durasi mereka tampil itu sebentar banget. Baru juga naro mikrofon lahhhh udah beres lagunya buat nari. Belum sempet cari minum ehhhhhh udah beres puisinya. Heuheuheu. Nggak bisa istirahat. Kalo waktu di HILITE kan masih bisa nikmatin penampilan di depan, walopun dari belakang panggung dan dengan perasaan siaga menuju acara selanjutnya.

Emmmmh tapi intinya nggak ada yang nyebelin dari dua acara yang segmen dan pengisinya beda jauh itu. Semua punya keunikan masing-masing yang bikin seneng di tengah cape. Legaaaaaaaaaaaaaa banget pas beresnya. Tinggal menghapus make up aja yang bikin sebel. Heuheuheu.

Iron Man

Hmmmm, film ini bikin saya tercengang. Satu, karena saking katanya rame, tiba-tiba pada suatu siang pacar saya ngajakin saya nonton film ini. Hore. Setelah berabad-abad nggak pernah nonton bareng, meski itu di Jatos. Kedua, karena film ini bukan sekedar film fiksi biasa yang terlalu khayal membuat super hero. Iron Man beneran membuat saya berpikir bahwa pada suatu hari nanti bukan nggak mungkin kalau dunia kita ini dihiasi oleh mesin-mesin ala Tony Stark dan perang dunia III tidak lagi membutuhkan warga militer untuk menjadi front line peperangan (tapi warga sipil bakal banyak yang jadi korban).

Film ini dibuka dengan beberapa pernyataan khas kaum realisme, salah satunya tentang prinsip balance of power. Dikisahkan bahwa Tony Stark, sang otak pabrik senjata percaya bahwa dengan semakin canggih senjata yang ia buat untuk negaranya, maka perdamaian akan lebih cepat terjadi dan pasukan militer negaranya akan semakin terlindungi dari serangan musuh. Menurutnya lagi (lebih tepatnya, menurut narrator soalnya yang cerita bagian yang selanjutnya ini adalah si narrator), perdamaian seperti yang dirumuskan dalam charter-charter itu nggak lebih dari omong kosong. Perdamaian adalah persenjataan yang kuat.

Prinsip tersebut sama sekali bukan prinsip dari pedagang senjata yang ingin senjatanya laku. Secara awam memang tampak demikian, namun sesungguhnya itu adalah pemikiran para kaum realis yang memang menitikberatkan pada power, dimana menurut mereka, kemenangan adalah 1-0, sama sekali bukan 1-1 atau 0-0 dengan berbagai syarat dan sharing kepentingan seperti yang dirumuskan oleh para kaum idealis. Dengan adanya cita-cita kemenangan 1-0 itulah maka timbul kesepakatan bahwa hal tersebut hanya bisa diraih dengan adanya persenjataan yang kuat. Semakin kuat persenjataan satu pihak maka akan bertambah takutlah lawannya. Adanya ketakutan inilah yang akan menghindarkan pecahnya perang sehingga pada akhirnya apabila dua belah pihak saling memperkuat persenjataannya maka perang tidak akan terjadi karena keduanya sama-sama takut menjadi pihak yang menanggung hasil 0. Itulah intisari Balance of Power yang dianut kaum realis yang ditampilkan di cerita fiksi ini sebagai pembuka.

Namun pada akhirnya prinsip yang dianut Stark ini mulai goyah pada saat ia ditawan teroris. Senjata yang selama ini ia bangga-banggakan dapat melindungi AS dari musuh dan memang ia tujukan untuk AS ternyata dimiliki juga oleh teroris yang menjadi lawan AS. Senjata yang ia agungkan untuk mempercepat perdamaian pun ternyata selama ini telah melukai banyak warga sipil dan memisahkan mereka dari anggota keluarga yang mereka cintai. Perdamaian yang dicita-citakan pemerintah dan warga sipil ternyata sangat bertentangan. Semua terlihat seperti bumerang bagi Stark hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk menghentikan bisnis senjatanya.

Mulai di bagian ini sang Iron Man pun tercipta. Dengan berbekal kecerdasannya mengolah segala sesuatu seperti Mac Gyver, di dalam tawanan teroris, Stark yang diminta untuk membuat senjata canggih bagi para teroris mulai menyusun material yang disediakan teroris menjadi pelindung tubuhnya dari serangan peluru. Dengan bumbu ketegangan yang disajikan kepada para penonton, akhirnya di saat-saat genting pelindung tubuh dari ujung rambut sampai lutut tersebut pun rampung diselesaikan Stark dan Yinsen, seorang ilmuwan yang juga ditawan oleh teroris. Di bagian ini kita mulai diperlihatkan bahwa suatu hari nanti, berbagai jenis power rangers, pasukan turbo, winspector, dan lain-lain bukan hanya sekedar cerita bagi anak-anak SD. Dengan prinsip-prinsip fisika yang logis, pelindung tubuh dari serangan peluru yang nampak di mata kita sebagai robot berisi manusia tersebut adalah hal yang mungkin.

Tapi ada hal yang khas Amerika yang ditampilkan di film tersebut, ehm...agak sedikit mengganggu. Pertama, tentang penggambaran image teroris. Lagi-lagi image Arab plus sorban dijadikan simbol bagi para teroris. Ada beberapa hal yang patut dicatat dari image tersebut, pada saat para teroris dalam dialognya mengungkapkan apa tujuan mereka ingin menyerang AS. Menurut dialog tersebut tujuan mereka melakukan serangan teror adalah untuk menguasai dunia. Hmmmm... tujuan tersebut di telinga saya terdengar sangat dangkal dan fiktif sekali. Menguasai dunia untuk apa? Kenapa? Apa latar belakangnya?

Selama ini kita sering mendengar bahwa tujuan teroris memang untuk mengusai dunia, namun masih ada kalimat ekornya, yakni menguasai dunia dan menyatukannya dalam panji Islam. Bukankah itu alasan yang menjustifikasi para teroris untuk mengatakan bahwa mereka syahid fisabillah ? Jika sang sutradara berdalih karena enggan menyelipkan unsur agama dalam film tersebut, namun, dalam pandangan saya, justru keengganan sutradara tersebut menimbulkan kejanggalan yang lain. Seolah-olah sang sutradara menggambarkan bahwa tujuan teroris menyerang AS sangat dangkal sekali dan sangat perlu diperangi karena sangat tidak terpuji.

Secara teoritis dan ini pun diungkapkan oleh para ilmuwan AS sendiri, sebenarnya tujuan umum teroris melakukan serangan teror adalah karena adanya penindasan terhadap ras mereka oleh suatu pemerintahan –khususnya pemerintahan di luar negara mereka- sehingga tujuan dari usaha yang mereka lakukan adalah untuk mengusir para ’penjajah’ dari tanah air mereka. Satu kesimpulan yang saya ambil adalah para teroris tersebut bertindak bukan tanpa alasan. Mereka memiliki latar belakang yang kuat untuk bangkit melakukan serangan. Mereka tidak akan menyerang apabila mereka tak disakiti terlebih dahulu. Alasan yang dikemukakan dalam film Iron Man, meski ia hanyalah sebuah film, sama sekali tidak menyentuh ranah ini. Seperti film kebanyakan lain, pesan yang ditampilkan oleh image teroris selalu mengarahkan masyarakat dunia untuk memusuhi kaum Arab (baca : teroris) secara absolut tanpa memberi celah untuk bercermin, siapa penyulut perang antara pemerintah dan teroris.

Hal lain yang agak mengganjal adalah kehiperbolaan penggunaan prinsip balance of power. Prinsip balance of power ini jauh lebih tepat apabila dikondisikan seperti pada saat masih ada bipolar Blok Barat dan Blok Timur atau yang kita kenal antara Amerika dan Rusia. Bandingkan dengan balance of power yang diperlihatkan oleh film ini. Amerika memang dikatakan berperang dengan negara di gurun pasir sana, namun mengapa musuh yang tampak hanyalah satu kelompok kecil teroris? Jangankan dengan satu kelompok teroris tersebut, bahkan dengan satu negara tersebut saja kekuatan AS sudah di atas segalanya. Dikisahkan juga para teroris tersebut memiliki senjata buatan Stark karena ada pengkhianatan dari orang dalam perusahaan Stark sendiri, namun masih saya melihatnya kurang logis karena dari mana para teroris tersebut mampu membeli senjata secanggih dan sebanyak itu? Sedangkan mereka hanyalah sekelompok, kecil, dan juga dimusuhi oleh warga sipil negaranya sendiri.

Masih ada hal yang lain yang tidak kalah mengganggu meski ia hanya detail ringan. Kembali lagi tentang image teroris. Teroris, yang digambarkan sebagai orang yang sukunya tidak jauh dari suku Arab (intinya sih karena muka dia kayak muka Arab tapi agak sangar –soalnya botak&matanya garang- dan pake sorban di lehernya), lagi-lagi digambarkan sebagai orang yang kalah cerdas dibanding AS. Tony Stark memang disebut sebagai orang tercerdas sejak kecil dengan beragam prestasi akademis sehingga wajar apabila ia tak terkalahkan dalam segala situasi, namun penggambaran image teroris tersebut sangat berlebihan. Mereka bisa ditipu Stark dengan mudah, mereka juga bisa diperdaya oleh pengkhianat Stark yang bekerja sama dengan mereka, dan mereka pun seolah tak mengerti apa-apa tentang persenjataan. Intinya, lagi-lagi AS lah pusat peradaban.

Saya tidak tahu apa saja kritik kefiksian Iron Man yang berasal dari dunia sains. Hmmm, bukan bidang saya yang jelas. Namun di atas semua kefiksian Iron Man, Iron Man masih dapat dibilang sebagai film yang masuk kategori Must See. Penggambaran yang sangat baik tampak dari berbagai angle yang diambil, dialog yang diucapkan, dan ide cerita yang tidak terlalu khayal seperti beberapa film superhero lainnya, meski para pembuat filmya bukan seorang ahli politik, ahli perang, dan ahli sains. Hmmm...mumpung film musim panas ini belum banyak diakhiri di bioskop, tonton aja film ini.

Ark.Mei’08

Beyond Life and Death : Ivan Scumbag

Masih lagi tentang buku, kali ini adalah buku biografi dengan judul, Beyond Life and Death : Ivan Scumbag. Ada yang tau siapa Ivan Scumbag? Yup, Ivan Scumbag adalah seorang vokalis band, spesifiknya band underground bernama Burgerkill. Ia berasal dari Ujungberung, Bandung. Dan ia adalah seorang vokalis underground yang paling fenomenal karena range suaranya luas, namun sayangnya ia sudah dipanggil duluan ke hadirat-Nya.
Jujur, saya bukan penggemar musik-musik underground, bahkan untuk membedakan mana musik dan mana vokal dalam lagu itu pun saya nggak bisa. Nah, kenapa saya bisa ngebaca dan mereview biografi vokalis Burgerkill yang udah alamrhum itu adalah karena Feby. Feby ini adalah Sekretaris II HILITE, Makrab HI 2008 yang karena saya adalah Sekretaris I akhirnya saya selalu kerja bareng cewek komunitas underground ini. Suatu ketika dalam perjalanan survey buat HILITE saya nemu ada buku bersampul hitam dan cukup tebal nganggur di tangannya. Saya pinjem dan dia dengan senang hati meminjamkannya.
Gaya penceritaan Kimung dalam buku ini sangat sederhana namun menggugah, seolah ingin merangkul banyak komunitas underground yang sangat kehilangan Ivan dan menyuarakan keseharian Ivan yang mewakili keseharian underground ke masyarakat lain yang menyepelekan mereka. Dan itu berhasil. Saya sendiri merasakan betapa banyak citra yang saya peroleh ketika membaca buku ini. Citra untuk tertawa, terharu, merinding ngeri, trenyuh, miris, tegang, kagum, bahkan menangis. Great Kimung, great Ivan, and great underground, pokoknya!
Seperti umumnya buku biografi lain, cerita berawal dari kelahiran Ivan dan latar belakang keluarga Ivan. Ivan terlahir di keluarga yang sederhana dan mencintai musik. Bapaknya seorang guru yang kelak menjadi kepala sekolah dan beberapa anggota keluarganya telah mewariskan Ivan darah untuk mencintai underground. Cerita berlanjut dengan perjalanan Ivan semasa kecil. Ivan seorang anak yang rajin beribadah dan pintar, terbukti dari prestasinya menjadi sepuluh besar di kelas serta memiliki penguasaan bahasa Inggris yang sangat maju dibandingkan teman-temannya. Kemampuan berbahasa Inggris itu yang membuat Ivan sangat piawai menyusun lirik untuk lagu-lagu undergroundnya saat ia menjadi anggota band.
Cerita lalu mulai menggigit saat Kimung menyuguhkan kehidupan Ivan yang mulai mengenal minum, ganja, drugs, dan tato. Hmmmm suasana yang digambarkan Kimung terlihat sangat nyata hingga seolah-olah saya sedang berada di tempat yang sama sambil menyaksikan aktivitas tersebut. Ya, Kimung mengisahkan bahwa Ivan dan teman-teman komunitasnya sangat tersiksa terus menerus terjebak dalam pusaran kelam tersebut. Mereka tahu nikmat yang diberikan alkohol, ganja, dan drugs hanya bertahan beberapa lama untuk kemudian menyisakan sakit yang teramat lama. Yang mereka inginkan hanya satu, selesai dari ketergantungan mereka.
Di tengah sisi yang membuat saya merinding tersebut, saya juga merasakan kekaguman. Mulai dari semua lirik lagu yang dibuat Ivan, kegigihan Ivan dalam bermain band hingg akhirnya Burgerkill diterima sebuah label mayor, prinsip Ivan yang sangat keras memperjuangkan cita-citanya hingga akhirnya ia sadar bahwa idealisme yang ia inginkan sulit terwujud. Lalu tentang kehidupan Ivan yang sederhana bahkan sering kekurangan uang di kantong pada saat kritis, pada solidaritas teman-teman Ivan, bahkan hingga pada dedikasi Ivan yang sangat mulia pada komitmen bermusiknya. Saya tidak tahu apakah Kimung melebih-lebihkan Ivan atau tidak pada buku ini, namun di luar semua itu, Ivan memang patut dikagumi.
Dalam semua sisi Ivan, saya melihat Ivan sebagai orang yang sangat gigih dan bertanggung jawab. Salah satunya, betapa Ivan malu menjadi beban keluarga sepeninggal ayahnya padahal ia adalah anak pertama. Keputusannya untuk mengembara ke luar rumahnya dalam pandangan saya adalah bentuk tanggung jawabnya kepada ibunya. Ia tidak ingin merepotkan ibunya dan tidak ingin menjadi contoh yang salah bagi adik-adiknya. Ia tidak punya pilihan lain. Bagi Ivan, cukup dirinya saja yang ’gagal’.
Panggung demi panggung ia lewati hingga akhirnya komunitas underground mendapat tempat yang lebih baik dibanding pada perkembangan sebelumnya. Dari panggung ke panggung ini kisah cinta Ivan mengalami banyak aktris di dalamnya. Ada banyak cerita cinta yang membuat bergetar di sini. Pada semua kisahnya, Ivan nampak begitu total menyayangi para pendampingnya. Entah apa itu namanya, apakah itu bentuk tanggung jawab seorang laki-laki pada kekasihnya atau apa pun hingha satu hal yang paling terlihat dalam kisah-kisah Ivan adalah Ivan seorang yang sangat romantis.
Pada klimaks biografi ini saya berkali-kali tercenung. Di akhir hidupnya dengan penyakit yang ia derita, yang ia sendiri tak tahu ia sedang sakit apa, Ivan tetap menjalankan komitmennya untuk berolah vokal. Sesak nafasnya, sakit kepalanya, dan ketidaksadarannya yang datang tiba-tiba sama sekali tidak membuat Ivan meminta izin untuk beristirahat. Ia tetap menyuarakan suaranya yang fenomenal, berusaha menjangkau range yang ia bayangkan, dan membuat beragam lirik yang menyuarakan kegalauannya akan hidup dan kerinduannya pada satu tempat bernama spiritual.
Lirik yang ia ungkapkan begitu jujur dan sederhana. Ia mempertanyakan dirinya, masyarakat, tuhannya, kehidupannya, dan segala yang bertalian di dirinya. Lebih menyentuh lagi karena lirik tersebut ia ungkapkan dalam bahasa Inggris yang indah. Hmmmm, saya bahkan sempat lupa bahwa lirik lagu tersebut disuarakan dengan alunan musik yang sangat menghentak.
Di tengah semua prestasi yang sedang ia raih dan berhasil ia raih, ternyata langkah Ivan harus dihentikan. Tuhan lalu memanggil Ivan dalam usia yang cukup muda tanpa memberi tahu Ivan, keluarganya, sahabatnya, dan para pecintanya apa yang menjadi penjemput Ivan. Ya, tidak ada yang tahu sakit apa Ivan sebenarnya. Diagnosa pertama Ivan sakit TBC. Diagnosa yang cukup mengguncang Ivan karena pada saat itu ia mulai merasa komunitasnya menjauhinya lewat elakan mereka meminum dalam satu gelas yang sama dengan Ivan dan memaksa Ivan menjadi pengisap satu ganja urutan terakhir. Diagnosa itu bertahan cukup lama hingga terapi pengobatan TBC Ivan berakhir. Diagnosa itu baru diketahui salah setelah Ivan sekarat. Katanya, sakit Ivan bukanlah di paru-parunya melainkan di otaknya. Ada yang menyumbat peredaran darah otak Ivan sehingga Ivan sering merasakan sakit luar biasa di kepalanya dan sering buang air kecil tanpa terkontrol serta pingsan. Diagnosa yang cukup terlambat karena Ivan akhirnya meninggal bulan Juli di tengah ibunya, sahabatnya, dan calon istrinya yang rencananya akan ia nikahi bulan Desember di tahun yang sama, tak beberapa lama setelah diagnosa itu terbit.
Sebuah kisah yang menarik dari seorang pentolan underground. Begitu banyak pembelajaran yang diberikan oleh kehidupan Ivan lewat penceritaan Kimung. Melalui buku ini juga saya sadar begitu banyak kehidupan di luar kita yang tidak sepatutnya kita remehkan. Lagi-lagi, menghormati adalah hal terpenting yang harus kita miliki dalam diri kita.
Ark.Mei’08

Sedikit Review tentang Beauty Case

Kemaren-kemaren baca buku Raditya Dika-nya David. Tapi belom yang terbaru. Yang ini aja belom dibalikin. Belom kelar semua dibacanya. Banyak kemalesan yang harus ditumpas nih makanya baca novel aga harus ditunda. Heuheu. Sebelumnya juga baru beres baca Beuty Case yang dipinjem dari Septaris. Kebetulan lagi nggak ada kesibukan makanya cepet beres baca Beauty Case.

Garing banget ya bacaan saya, secara juga gituh itu buku udah ada dari jaman saya masi pake seragam (seragam TK kali ya...hehe), tapi saya seneng tuh baru bisa baca sekarang, ya pikiran saya udah aga nyambung kan buat membaca suatu karya secara objektif.

Ya, saya pikir, mungkin kalau saya baca Beauty Case waktu jaman saya masi sekolah, saya bakal setuju bahwa kecantikan adalah branded dan punya pasangan yang bereputasi. Dan kalau saya baca Raditya waku saya masih sekolah, saya cuman bisa dapet ketawa-tawa tanpa ada intisari yang diambil.

Membahas Beauty Case dulu ya kita. Di chapter-chapter awal saya sempat tergoncang juga. Buset gaya hidupnya jet set amat. Beauty is always associated with the ‘branded’. U’re gonna look beauty if u wear Mango, if u go for shopping to high class mall, if u pay for Baskin Robbins, if u’re a freelancer who works for the high class, if u can be the person who stands beside ‘the right-branded guy’, and so on.

Jetlag banget dah intinya pas baca bagian awalnya. Nggak bermaksud sirik sih, tapi emangnya ada ya kehidupan yang kayak gitu? I mean, kehidupan seorang sarjana yang harusnya bisa dong lebih dewasa dalam menghadapi hidup, yang harusnya bisa mendeskripsikan kebahagiaan bukan hanya bisa didapat lewat menjadi pemenang kompetisi mendapatkan pria yang jadi idaman nasional karena dia anggota keluarga tokoh masyarakat, yang harusnya nggak selabil itu tengkar sama sahabatnya gara-gara dia merasa bisa memenangkan kontes tersebut meski dia bukan seorang top mpdel super maha cantik. Nggak logis aja gituh. Intinya dia kayak anak SMA aja.

Saya nggak tahu apakah emang bener cinta segitu bisanya membutakan seseorang sehingga seorang sarjana berumur seperempat abad pun jadi begitu labil dan cengeng menghadapi hidup. Dia selalu nanya apakah dia cantik hanya untuk membuktikan bahwa dia nggak jelek-jelek amat buat ngedampingin si pria yang bersangkutan dan nggak parah-parah amat kalau dibandingin sama super model maha cantik, maha indah yang juga ngeceng pria itu yang ternyata si top model itu udah jadian sama si pria. Dia juga menutupi ‘kekurangan’-nya dengan membeli berbagai barang bermerk untuk membuat ia berpikir bahwa ia cantik. Novel itu juga seolah mengiyakan bahwa hobi cewek adalah belanja, spesifiknya belanja barang bermerk, terutama kalau si cewek tersebut lagi stress atau emang lagi kambuh aja shopaholiknya. Saya juga heran, kenapa seorang yang jelas-jelas dia adalah freelancer, yang artinya duitnya nggak menentu bisa segitu kayanya belanja barang bermerk, dan dia sama sekali nggak saying sama duitnya. O wow , konyol juga sebenernya saya mikirin hal ini . heuheu. Tapi miris aja sih, siapa wanita yang sedang diceritakan Icha Rahmanti ini? Apa dia beneran ada? Golongan mana yang sedang Icha wakili?

Saya yakin pasti ada. Pertama, nggak mungkin juga Icha bikin novel tanpa ada latar belakang. Kedua, counter barang bermerk yang harganya bisa buat subsidi BBM itu juga masih menjamur dan selalu punya stok baru untuk dijual, yang artinya memang dia punya pasar. Ketiga, pasti kita juga udah nggak asing sama majalah-majalah cewek atau wanita yang memang mengajarkan bahwa dunia perempuan nggak akan jauh dari namanya fashion, make up, and being ellegant and smart by wearing the right stuffs, upsssssssssss also how to get the ’most everything’ guy. Pikiran kita udah dikonstruk untuk menghargai diri kita (kita :wanita) sebagai makhluk yang cantik lewat barang mahal dan cantik yang harus kita dapatkan melalui keringat kita sendiri. Itulah kebahagiaan kita, katanya.

Nggak muna juga, saya akuin emang yang kayak gitu indah, tapi kan itu nggak realistis aja. Menurut Feminisme post kolonial (kalau nggak salah nyatet), bentuk ’penghargaan’ seperti itu tanpa kita sadari sebenarnya sedang ’melecehkan’ kita, terutama wanita di belahan dunia selatan. Kata penganut Feminisme aliran itu, selama ini yang punya suara untuk dihargai hanyalah wanita dari belahan bumi utara alias negara maju. Buktinya segala definisi kecantikan selalu berkait dengan ciri klas utara atau klas borjuis global. Kulit putih, barang bermerk utara, gaya hidup utara, dan lainnya. Sementara yang selatan? Well, pikiran mereka sudah terkonstruk bahwa mereka nggak cantik karena mereka nggak kayak cewek di iklan, mereka nggak pakai baju dengan merk yang dipamerkan di peragaan busana Prancis, dan mereka nggak bekerja di luar, tanpa suami, tanpa anak, atau minimal tanpa gangguan anak dan suami. Selain itu, dalam pandangan saya, citra keutaraan nggak realistis karena budaya selatan beda dengan budaya utara. Dari mana-mana itu beda banget. Nggak realistis aja kalau kita menuntut kehidupan utara untuk kita penuhi di sini alias di selatan. Salah satunya kayak deskripsi cantik itu.

Pose-pose Icha di novel itu walaupun saya akui memang dari artistiknya bisa dibilang indah, saya masih merasa bahwa pose itu seolah menunjukkan bahwa kecantikan juga identik dengan kesensualan. Kesensualan dari angle belahan buah dada kita diperlihatkan, dari cara kita melirik, dari cara kita memanyunkan bibir, dari warna make up kita, dari cara kita berbaring miring, dari cara kita duduk, and so on. Saya melihatnya cukup annoying, jujur. Penasaran aja gituh...”Kenapa harus demikian?” Secara agama, terutama agama Islam, kita diminta untuk menjauhi hal seperti itu, ya elah jangankan dari kesensualan dari gerak gerik, orang dari bau parfum aja kita udah diwanti-wanti ya kan ? Selain itu, budaya tertutup kita juga sama sekali nggak mengizinkan kita untuk berpose demikian.

Tapi kenapa budaya utara mengesahkan hal tersebut?

Dalam pandangan saya, ada perbedaan bagaimana cara utara dan cara selatan menghargai wanita.

Pertama, dari cara utara. Mereka menghargai wanita dengan jalan memberikan kebebasan sebebasnya-bebasnya bagi wanita untuk mengeksplorasi kecantikannya. Dari karir, dari branded, dari sensualitas. Kedua, tentang cara selatan. Cara selatan menghargai wanita adalah dengan cara menjaga agar si wanita tidak menjadi objek fantasi laki-laki melalui lekuk sensualitasnya, melalui karirnya yang mengajarinya tiga prinsip realisme ala Tim Dunne (heuheu), Survival, Self Help, Statism (mari kita ganti istilah Statism yang artinya mengutamakan negara sebagai aktor internasional menjadi Selfism alias mengutamakan diri sendiri sebagai aktor yang utama. Waahahahaha, Maafkan dosen PHI...saya ngaco), dan melalui branded-branded yang lisensinya diperoleh dari utara namun dibuat oleh para buruh murahan di selatan.

Perbedaan cara itulah yang belum banyak disadari.

Kebanyakan warga selatan menganggap bahwa warga utara adalah warga penuh dengan peradaban sehingga menurut mereka, untuk dapat mengikuti peradaban, mereka harus pula mengikuti gaya hidup si utara. Memang ada beberapa prinsip yang patut kita contoh dari utara seperti bagaimana mereka meletakkan wanita sebagai makhluk yang juga memiliki hak seperti pria, namun kembali lagi pada pernyataan Feminisme Post Kolonial yang diwakili Gayatri Spivak bahwa penindasan terhadap perempuan sangat berkaitan dengan perbedaan ras dan klas secara global dimana salah satu penjelasannya menujukkan bahwa belum semua perempuan dapat menyuarakan suaranya. Hanya perempuan dengan ras tertentu lah yang dapat menunjukkan eksistensinya dan menuduh budaya yang berbeda dengan budaya mereka adalah budaya yang sesat, yang menyudutkan wanita. Padahal di budaya yangberbeda itu, alis budaya selatan, hal seperti itu adalah fair, benar, dan wajar.

Tidak ada yang patut dipersalahkan dalam perbedaan kedua pandangan atas penghargaan wanita dari ras utara dengan ras selatan. Dengan budaya yang berbeda maka akan tercipta pula pandangan yang berbeda. Namun yang jadi permasalahan adalah ketika satu budaya mencoba mendominasi budaya lain dengan menuding bahwa budaya yang terekspansi tersebut adalah budaya yang salah yang artinya harus ditinggalkan oleh penganutnya lewat doktrin-doktrin yang meresahkan para pengawas peraturan/norma. Globalisasi salah satu pencetus terhebatnya. Kalau globalisasi nggak ada, mungkin nggak sih keresahan akan definisi cantik yang diungkapkan Icha dalam novelnya bisa terbit? Mungkin nggak sih merk internasional yang mahalnya selangit itu bakal terdistribusikan ke negara berkembang yang butuh duit untuk keperluan yang lebih urgent daripada memberikan asetnya ke negara maju? Mungkin nggak sih kalau globalisasi nggak ada, perbudakan atas wanita di negara berkembang itu ada? Kalau globalisasi nggak ada, mungkin nggak sih monokulturalisme global ini terjadi?

Ya intinya kita kembali mempersalahkan globalisasi, baik lewat teknologi kayak sekarang maupun lewat kolonialisme kayak beberapa dekade atau abad lalu. Globalisasi juga sebenernya nggak jelek. Hidup kita nggak akan lebih berwarna kalau nggak ada globalisasi. Yang paling dibutuhkan sekarang adalah pengharagaan terhadap budaya. Kenapa hanya dengan globalisasi lima menit kita meninjau ulang semua kebudayaan kita yang terbangun sejak zaman nenek moyang kita nyembah matahari? Meninjaunya bukan untuk introspeksi, mengenal, memperkaya khazanah, dan memajukan budaya kita tapi malah menghancurkan budaya kita, itu masalahnya. Akhirnya yang timbul dalam diri kita adalah keresahan. Anomie, istilah sosiologinya (kalau nggak salah juga, ini pelajaran kelas 1 SMA). Resah aja, kita belum punya pegangan baru alias masih linglung karena belum mampu tapi kita udah ngelepasin identitas lama kita.

Alhasil, salah satu contohnya adalah terbitnya Beauty Case.

Ada beberapa komen yang perlu direvisi yang ada di Beauty Case. Kata salah satu komentatornya, Beauty Case cocok banget buat tahu isi pikiran cewek. O wow. Saya kurang setuju. Nggak semua cewek punya keresahan nggak meaning kaya gitu. Bagi saya, Beauty Case harus dibaca, pertama karena ada penjelasan tentang politiknya di sana, jadi yang buat yang mau ujian PIP atau Pengantar Ilmu Politik, yang pengen tahu definisi politik kata Aristoteles(politics is master of science) dan Harold Laswell (who gets what, when, and how) dengan rada nyantei (we never know lah ya apakah tahun depan di saat kita ngulang si Arbayyy nya mau nanya Bab 1A. Kan garing aja gituh kalau harus ngulang lagi tahun depannya alias ketemu Arbay dalam 5 semester –belum termasuk ngulang PHI 1 dan 2- gara-gara nggak bisa jawab pengertian politik kata Laswel dan Aris.heuheu), Beauty Case adalah buku wajib kedua setelah Reading Kit tebal itu yang patut dibaca. Kedua, bagi saya Beauty Case patut dibaca karena dia memperlihatkan bahwa dalam era globalisasi ini pikiran kita ternyata masih terlalu kaku untuk menerima perbedaan. Selain itu, Beauty Case juga memperlihatkan penindasan terhadap perempuan itu nggak cuman dari upah buruhnya yang rendah tapi juga dari monokulturalisme yang dipaksakan pihak yang kuat untuk mematikan pihak yang lemah lewat doktrin indah yang membius.

Yah, gitulah. Beauty Case. Agak gerah ngebacanya tapi akhirnya membuat saya sadar bahwa inilah keresahan social yang paling dekat di sekeliling kita, Kecantikan.

(Ark.Mei’08)