Surat Acak-acakan untuk Ayie Annisa



Untuk sahabatku tersayang, Annisa Utami Seminar yang baru saja menjadi seorang istri

Pertemuan pertama kita, sebagaimana yang dialami oleh HI Unpad 2007 adalah ketika menyiapkan Makrab. Beberapa kali kami menyambangi kostmu yang memiliki seprei bergambar strawberry dan halamannya bergazebo. Aku lupa kita mengerjakan apa, sepertinya tidak jauh-jauh dari membicarakan orang. Ahahaha. Pertemuan berikutnya adalah saat kita menjadi MC di Makrab bersama Dewa dan Nizar. Tapi, karena dulu aku tidak berpasangan denganmu, interaksi kita tidak terlalu intens.

Ah, iya! Sebelum Makrab juga kita sering bertemu. Saat itu kamu sering ke lapangan basket di POMA bersama abang-abang yang pada semester akhir kita sering diawasi manajer di Che.co, "Teh, teh, teh si Aa itu ke sini sama cewek lain loh, ih ga asik!" Ahahaha. Dulu jujur sih, aku sempat memandang sebal kepadamu, "Ngapain sih, itu outsider dibawa ke HI!" -ngga gini juga sih bahasanya- hahaha. Ya pokoknya dulu sempat heran kenapa gadis lucu sepertimu harus bersama pria yang penampilannya sangar dan suka menarik rambut ke belakang *ditawur se-Faperta.*

Kamu dulu adalah orang yang tidak mendapat banyak pandangan dariku. Alasannya ya karena kita jarang bercengkrama bersama. Aku baru menggantungkan hidupku pertama kali kepadamu saat ada tragedi angkatan hahaha. Itu tuh yang kesalahpahaman soal siapa menggunjingkan siapa. Meskipun aku jarang berinteraksi denganmu pada masa sebelum itu, aku yakin kamu mampu menjadi penengah yang netral antara dua kubu. 

Dan ternyata benar. Sejak saat itu, aku tahu bahwa Annisa Utami Seminar atau Ayi adalah orang yang akan menjadi saksi dalam momen penting pada hidup perkuliahanku. Ahahahahaha.

Ayi, si gadis lucu itu akhirnya memang menjadi sahabatku. Dia selalu jadi orang pertama untuk berlari setiap ada senang atau sedih. Chatting hingga subuh, smsan kayak orang bego, twitteran kayak orang gila, komen-komenan di fesbuk kayak orang bener, sampai stalking orang tak dikenal di kafe berwifi. 

Hmmm, tapi Ayi tak hanya menjadi sahabatku. Ayi adalah sahabat semua orang. Entah kenapa, padahal Ayi kalau naik mobil hanya mau duduk di sebelah kursi kemudi. Hmmm, mungkin semua itu terjadi karena Ayi selalu mendengar sambil berjoget. Mungkin Ayi selalu menasehati sambil bersikap lilin. Mungkin Ayi selalu memeluk sambil memesankan nasi goreng. Mungkin Ayi selalu bisa menghapus air mata *hoeeek* tanpa tisu. Mungkin Ayi selalu menanggapi gunjingan orang dengan komentar yang lucu menyentil hingga ke imajinasi yang tak terbayangkan. Mungkin karena idealisme Ayi tidak pernah bertentangan dengan moral kolektif. Mungkin karena Ayi punya segala sesuatu untuk dikatakan sebagai seorang sahabat publik.

Ayi adalah orang yang memodifikasi karya fotografinya untuk aku hanya untuk mengatakan jangan menyerah pada skripsi pada saat tertekan. Ayi juga yang membaca baris demi baris email dari si bedebah congcorang yang sudah menikamkan sembilu di hatiku *alaaah* dan tak jemu-jemu meneriaki aku untuk tidak lagi bersikap bodoh. Ayi adalah mama yang membuatkan scrapbook digital untuk Dewa sehingga seluruh dunia tahu bahwa Dewa pernah menari hula-hula pada masa kecilnya.

Hmmmm. Ayi sekarang sudah menikah dengan Kang Agus, orang yang aku yakin sudah menjadi orang paling bahagia di dunia ini sejak tanggal 12 Januari 2014 lalu, terlihat dari senyumnya yang sumringah dan ikhlas di dalam setiap jepretan foto. Aku curiga jangan-jangan Kang Agus ini memang punya bakat sebagai fotomodel kawakan yang wajahnya tipikal camera-face. Ah, tapi memang Kang Agus sangat sangat pantas bahagia. Bagaimana tidak, sekarang ada Ayi yang siaga menepuk punggungnya saat Kang Agus dihadapkan pada situasi sulit semacam ketika Fahmi menggendong Alex di pelaminan usai foto pernikahan. Tidak ada cobaan di dalam mahligai rumah tangga yang lebih berat setelah menyaksikan kerusuhan HI 2007 di panggung. Yakinlah itu, Kang Agus.

Hmmmm. Sebenarnya saya mau menulis hal romantis untuk pernikahan Ayi ini. Sebenarnya saat melihat pameran foto pernikahan yang diunggah Dewa di facebooknya, saya sudah terharu. Sudah mau menetes-neteskan air mata ke pelimbahan. Saya mau bilang, saya bahagia Ayi menikah. Saya senang Ayi sekarang sudah tidak jomblo seperti piiiiiiiiiiiiiiiiiiiiippppppppp sinyal ilang. Saya senang Ayi sudah punya sandaran bila sedang pegal punggungnya. Saya senang akan ada yang Ayi rajutkan sweater saat Ayi sedang ingin menjadi wanita seutuhnya. Saya senang Ayi telah menjadi perempuan yang sangat sangat sangat dicintai oleh suaminya. Ayi, kamu pasti pasti pasti akan bahagia seperti yang selalu kamu bilang di tembok-tembok rumah kosong!

Rasa senang saya sepertinya lebih besar daripada rasa kehilangan. Ya, apa sih artinya kehilangan kawan chatting hingga subuh, toh saya juga nggak punya akses internet di kamar kosan hehehe. Hmmm, ya tapi sedikit kehilangan beneran juga, sih. Masihkah engkau bisa kupeluk saat badai menerjang, Ayi? Aaaaaahhhh, atuhlah saya mau menulis serius tapi kenapa sulit sekali!! 
Oke, mari perbaiki. Iya Ayi, jadi ceritanya aku senang tapi aku sedih. Aku senang karena aku yakin kamu pasti akan bahagia, tapi aku sedih karena aku nggak tahu apa kita bisa seperti dulu saat tak punya siapa-siapa untuk digenggam. Ah, Ayi, tapi jangan peduli soal kesedihan. Fokus di sini adalah kebahagiaan.

Ayi, selamat ya sudah menjadi istri. Kamu sekarang punya orang pertama untuk kamu ceritakan banyak hal dari hari-harimu. Sekarang kamu hanya perlu untuk peduli mengejar cita-cita setinggi mungkin. Di bawah sudah ada yang akan menangkap dan membantumu untuk lompat lagi. Jangan lupa kalau masak diinfokan ke twitter pakai emoticon cun pipi ya. Biar Bayu tahu bahwa itulah keutamaan memiliki istri.

Ayi, aku nggak tahu harus bilang apa lagi. Posting ini juga sudah ngalor ngidul entah bicara apa, antarparagraf sudah tidak ada kohesi dan koherensi. Aku nggak tahu bagaimana caranya mengungkapkan semua semua semua semua perasaanku kepadamu. Ayi, aku senang punya sahabat seperti kamu. Aku senang kamu akhirnya masuk ke gerbang yang katanya sih ada happily ever afternya. Aku senang kamu senang di hari itu. Mmmmmmuuuuaaahhhh!!!

Ayi, aku sayang kamuuuuu Mamaaaaa~~~~~~~~



Pengantar 2014: Dari Migas, Jay Chou, dan Lolos Tes CPNS

Perasaan sih, terakhir saya tidur itu saya masih pakai seragam putih biru. Eh, kok pas bangun, saya tiba-tiba ada di dimensi waktu 2014 ini. Wah, apa yang terjadi?

Lebay, ahahaha.

Sudah masuk tahun 2014, nih sekarang. Akhirnya tahun 2013 terlewati sudah dengan beragam perisitiwa yang tidak terbayangkan pada waktu sebelumnya. Sebenarnya sih, saya ngga suka sama angka 13. Saya sempat pesimis juga sama tahun 2013, apalagi saya melewatkan tahun baru 2013 dengan penuh pertanyaan. Habis lulus, wisuda, dan diterima S2 HI Unpad, lalu apa? Apalagi, akhir tahun 2012 ada keputusan ngga mengenakkan juga soal kebijakan beasiswa dari kampus dan kesempatan untuk menjadi dosen. Intinya, saya menghadapi jalan buntu.

Namun demikian, ya ternyata kebuntuan itu membawa saya pada hal baru yang sekarang saya jalani. Senang juga ternyata menjalaninya.

Awal tahun 2013, saya diterima bekerja di perusahaan trading minyak nasional sebagai staf perizinan. Pekerjaan saya mengurusi perizinan usaha. Bacaan yang saya baca sudah bukan lagi Great Debate, tapi Peraturan Menteri hahaha. Mau tanya Peraturan Menteri yang mana? ESDM? Hukum dan HAM? Lingkungan Hidup? Silakan, silakan haha. Kebijakan perminyakan yang biasanya di koran saya baca biasa saja, berubah jadi malapetaka lembur di Ditjen Migas untuk melobi dari staf, Kasie, Kasubdit, Direktur, hingga Dirjen agar selembar kertas sakti terbit. Belum lagi urusan administratif kantor soal perizinan. Kronologis berupa surat menyurat juga saya wajib hapal untuk keperluan defensif kalau kantor komplain, "Kenapa izin ini keluarnya lamaaaaa? KENAPA?"

Sebenarnya jobdesk saya hanya untuk Government Relations, tapi di tengah perjalanan ada senior saya yang dipromosikan jadi manager sehingga pekerjaannya dilimpahkan ke saya, yaitu menangani sponsorship. Nah, ini yang susah. Telepon di meja saya ngga berhenti berdering. Bukan cuma dari direktorat lain yang menagih perizinan, tapi juga dari pihak-pihak yang meminta sponsorship. Ditanya ikut partisipasi atau engga, ditagih materi iklan, ditanya perkembangan pembayaran sponsor, tralala trilili banyakkkk. Masalahnya, saya juga jarang di kantor karena sering nongkrong di Migas. Ya udah, kalau yang nanyanya niat mah menghubungi sampai ke hp, kalau yang ngga niat-niat amat tapi butuh mah nelponnya tetap ke kantor tapi akibatnya saya jadi dijutekin resepsionis gara-gara jarang di tempat.

Saya kadang sebel, sih. Gila, ini ada aja pekerjaan. Baru duduk, udah ditelpon. Baru tutup telepon, udah dipanggil. Baru dipanggil, udah disuruh ke Migas lagi. Baru sampai di Migas, di kantor udah ada yang kirim titipan permintaan izin baru atau kirim bukti iklan. Ya Allah. Ahahahaha.

Tapi, tapi, tapi, tapi.....

Saya senang!

Pertama dan normatifnya, saya jadi punya pengetahuan baru. Yang paling penting, saya tahu bahwa kehidupan di lapangan itu jauh berbeda dari di buku teks. Saya juga jadi tahu bagaimana cara menghadapi orang-orang yang aneh dan bagaimana rumus melobi dengan melihat contoh dari manager saya. Saya beruntung nggak cuma hidup di dunia kampus. Ya, intinya tingkat kepolosan saya agak berkuranglah selama hidup di Jakarta sebagai staf external affairs.

Kedua, ini jauh lebih penting lagi sih dan riil. SAYA BISA NONTON KONSER JAY CHOU SETELAH 10 TAHUN LAMANYA SAYA SUKA JAY CHOU.

Sekian tulisan ini.

Ahahahahaha.

Itu anugrah, deh. Ngga kebayangnya pertama, Jay Chou masa sih konser di Indonesia? Eh, ternyata konser juga doi. Kedua, soal finansial. Ya, sebagai orang yang sangat sangat perhitungan dengan biaya hidup, kalau uang saya ngepas ya saya lebih memilih untuk merelakan Jay Chou konser tanpa saya di hadapannya. Nah, alhamdulillah uangnya ada berkat jasa uang THR dan uang SPPD hahahahahaha. Ketiga, soal waktu. Kalau saya di Bandung, saya nggak yakin bapak saya mengizinkan saya ke Jakarta HANYA untuk nonton konser. Sudahlah, intinya saya senang berada di kehidupan saya yang sekarang hahahaha. Alhamduuuuuuu~~~~~lillah.

Pas datang ke konser itu, kerasa banget jadi minoritas. Hampir semua yang datang di konser itu cici-cici dan koko-koko. Bahasa yang terdengar bukan Bahasa Indonesia tapi Bahasa Mandarin. Oh iya, saya juga datang ke konser itu sendirian. Makinlah terpojok. Eh, untungnya sesama fans ada rasa saling menyayangi. Saya diajak kenalan sama orang yang antri di belakang saya dan yang duduk di sebelah saya. Lumayan, ada interaksi.

 Oh iya, saya juga sempat hopeless soal konser Jay Chou. Saya sudah lama nggak menghapalkan lagu Jay Chou terbaru. Aduh beban mental banget. Saya cuma hapal dengan sangat-sangat-sanagt baik lagu Jay Chou di era saya SMP-SMA, sedangkan lagu sejak tahun 2007 sudah banyak yang luput. Aduh gimana banget. Saya nggak mau melewatkan konser hanya dengan mengeja lirik. Mau saya hapalkan juga sudah nggak terkejar. Yasudah pasrah. Ya sehapalnya saja.

Eh tapi apa dongggggg?

Manajemen Jay Chou nih kayaknya tahu banget bahwa era keemasan Jay Chou di Indonesia itu ya tahun 2004-2006. Di konser Jay Chou ini, berbeda dari konser di negara lain, Jay Chou menyanyikan lagu ngetopnya tahun 2004-2006! Saya ingat banget, saat yang paling standing-applaue-ible buat saya di konser Jay Chou itu pas musik Jian Dan Ai didendangkan.

"Anjiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiirrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr, JIAN DAN AI DONG ITU!!!!!!!!!!!"

*langsung berdiri, teriak, nyanyi, acak-acak rambut, bikin sikap lilin, salto*

Di konser itu, saya sudah nggak peduli lagi orang mau memandang apa. Pokoknya saya berdiri, joget-joget, lonjak-lonjak, teriak-teriak, nyanyi-nyanyi, semuanya dilakukan dengan asal dan diiringi oleh cinta. Bayangkan, Jay Chou menyanyikan lagu-lagu zaman cinta monyet saya yang bahkan ketika zaman itu masih saya jalani, saya nggak punya bayangan bahwa saya bisa mendengarkan lagu itu tanpa perantara kaset. Seluruh dunia harus tahu bahwa 12 OKTOBER 2013 ADALAH HARI TERBAHAGIA DALAM HIDUP SAYA YANG SAKING BAHAGIANYA SAYA PENGEN KETAWA-KETAWA GIRANG. JAY CHOU KARENAMU AKU PERCAYA LAGI AKAN MIMPI DAN CINTA.

Ah, saya jadi lupa tadi saya ngomong apa. Ini nuansanya jadi Jay Chou banget ini. Oke oke oke tarik nafas kembali ke jalan yang benar.

Ah, iya, soal 2013 yang saya lewati dengan bahagia.

Dikasih Jay Chou, saya sudah bahagia. Penungguan cinta 10 tahun akhirnya ada bayarannya, Nah, makin lengkap lagi soal penungguan karena adanya kebahagiaan paripurna yang muncul di akhir tahun. Kebahagiaan yang sudah ditargetkan sejak saya SMA. Apakah ituuuuuu.....

Hmmmm, saya lulus seleksi Kementerian Luar Negeri RI 2013!!

Saya nggak tahu harus senang dengan level apa untuk bilang bahwa saya beneran senangggggg. Ahahaha. Butuh waktu beberapa hari bagi saya untuk menyadari bahwa akhir tahun 2013 ini saya sudah bisa meraih cita-cita saya : Jadi Diplomat.

Pernah merasa ngga, sih, "Eh gila ya hidup gue sekarang udah masuk ke situ, ya?"; "Hidup yang gue kejar sejak kelas 2 SMA, yang membuat gue ngerasa nggak perlu lagi belajar hukum termodinamika karena nantinya gue bakal belajar konsep kedaulatan, sekarang udah ada jalannya, ya?"; "Gue udah bisa bilang ya kalau si anak SMA 3 Bandung yang dulu dibilang aneh sama seantero sekolah karena maunya masuk HI, bukan TI, sekarang bakal menjalani hidup yang akan disukainya?"

Ah, udahlah. Ini saking senengnya udah ngga tahu lagi harus merasa senang dengan cara bagaimana. Masih tepok-tepok pipi aja ahahahahha.

Proses seleksi Kemlu sampai akhirnya saya diterima juga lumayan bikin ngos-ngosan. Berawal dari izin ke manager untuk ke Bandung untuk mengurus SKCK dan Kartu Kuning yang saya tutupi dengan alasan mau mengurus ijazah, saya lolos seleksi administrasi. Masuk ke seleksi Tes Kemampuan Dasar yang tesnya bersamaan dengan tugas dari atasan untuk sosialisasi Surat Keterangan Penyalur Permen ESDM no 16 tahun 2011 di Makasar yang saya tolak dengan dalih mau membereskan sponsorship yang pending, stres juga pas dikasih soal semacam Matematika Dasar SMA. Untung masih ada yang tersisa di otak saya soal grafik fungsi. Sempat putus asa dengan hasilnya karena soal-soal yang seriusan sulit banget, akhirnya saya dapat skor 376 yang ternyata tertinggi di gelombang saya hehehehe. Lega.

Tes berikutnya Tes Kemampuan Bidang. Ada soal yang gampang cenderung gampang banget, ada yang saya ngga tahu jawabannya apa hahaha. Alhamdulillah masih lolos.

Tes berikutnya Tes Bahasa Inggris. Itu sempat stres. Beban mental seorang pengajar Bahasa Inggris selama 5 tahun yang setiap semester 2 membuat kunci jawaban soal SNMPTN untuk latihan kelas alumni dan 3 SMA, saya pasang target tinggi untuk saya raih. Namun, berhubung saya sudah hampir 6 bulan lepas dari Ganesha, di latihan soal yang saya kerjakan, saya nggak kunjung mencapai target skor TOEFL. H-1 tes, waktu lagi main ke Jakarta Biennale, saya cengo aja di tangga TIM sambil makan nasi goreng gratisan amanah Jokowi yang malam itu hadir dan nongol di depan mata saya. Takut banget kalau hasil TOEFL-nya ngga kayak yang ditargetkan supaya bisa lulus. Yaudah maksud hati ke Jakarta Biennale untuk refreshin, malah berkubang dalam kekhawatiran yang bahkan tesnya aja belum hahaha.

Pas tes TOEFL, yaudahlah konsen konsen konsen konsen dan bismillah. Eh, alhamdulillah di tes TOEFL saya masih lolos. Sebenarnya sih kuncinya adalah saya tetap memegang petuah dari Candra Wijaya waktu saya masih SD *hasil baca di Bobo*, anggap latihan itu pertandingan; anggap pertandingan itu latihan.

Tes final, itu juga lumayan uhwow. Pertama, psikotes. Hal yang menyebalkan itu waktu dikumpulkan tes dengan peserta lain, terlalu banyak peserta yang banyak omong dan banyak menanyakan hal yang ngga penting ditanyakan karena harusnya itu sudah masuk jadi logika dan akal sehat waktu instruktur memberi tahu cara pengerjaan soal. Berisik dan bikin lama. Apalagi, saya juga gelisah karena tes tanpa izin kantor. Itu juga bertepatan dengan sosialisasi SKP di Surabaya dan saya dikasih amanah di Jakarta untuk menyelesaikan urusan kantor dengan Migas. Supaya tetap konsentrasi, saya mematikan  hape saja seharian. Beres tes jam setengah lima sore, baru saya langsung meluncur ke Migas berharap Kasie dan Kasubdit Niaga masih ada buat ditanyai urusan kantor. Alhamdulillah, jam setengah 6 saya sampai di Kuningan, mereka masih ada. Hidup saya aman waktu atasan saya menelpon minta report jam setengah 9 malam hahahahaha.

"Hape kamu kenapa, Ki kok mati seharian?"
"Itu, Pak. Hape aku jatuh terus ngga bisa hidup aja dari tadi. Ini baru beres diservis. Tapi tadi aku udah ke Migas, Pak....bla bla bla bla."
"Oh, gitu, Ki. Bagus, bagus. Oke, oke"

Berikutnya tes wawancara substansi. Bagian paling bego sih waktu saya beberapa kali lupa Bahasa Inggris : KEKUASAAN. Sampah, POWER!!!!! Kenapa hal yang paling sering disebut dalam hidup sebagai mahasiswa HI itu jadi hal yang terlupa di saat yang sudah ditunggu sejak SPMB! Hahahaha. Saya ditanya soal skripsi saya. Saya bilang soal soft power. Lalu ditanya, siapa pemikir HI soal soft power. Aduh aduh aduh dijaga otaknya jangan sampai tiba-tiba lupa pas lagi mau jawab. Alhamdullilah dikasih ingat, yakni Joseph Nye!!! Eh, itu baru pembukaan. Selanjutnya saya ditanya apa soft power Indonesia yang saya bilang citra sebagai negara demokrasi, yang akhirnya sepaaaaaaanjang jalan kenangan, wawancara saya berkutat di urusan keteguhan hati saya untuk mempertahankan argumentasi bahwa demokrasi adalah citra yang baik untuk dijadikan sumber soft power Indonesia.

Oh iya, soal demokrasi, ada dua pertanyaan yang paling saya ingat. Pertama soal bagaimana citra demokrasi Indonesia kalau nanti Indonesia pascapemilu akan dipimpin oleh kekuasaan Islam radikal. Saya langsung ingat dengan hal-hal yang semacam khilafah. Ahahahahahahahaha. Kenapaaaa harus tema itu? Kenapaaaa harus selalu tema itu yang dikaitkan dengan hidup saya, bahkan untuk urusan wawancara pekerjaan. Kenapaaaaa wahai Felix Siauw? Kenapa hubungan kita bisa berserakan dimana-mana tidak hanya di twiter, Fel? Saya jawab apa gitu, ya. Agak terbata-bata. Intinya saya bilang, saya nggak yakin kalau hal itu akan terjadi, ini kaitannya dengan bentuk negara Indonesia yang kata pilar kebangsaan *lagi-lagi* hanya akan jadi NKRI, bukan khilafah. Kalaupun mereka berhasil mengubah, ya bukan citra Indonesianya yang hilang, malah Indonesianya yang hilang. Hal lain yang membuat nggak mungkin dikaitkan dengan preferensi rakyat Indonesia yang kayak saya, nggak simpati dengan perkumpulan bernuansa khikhilafahan. Nah, kalaupun memang dipaksa-paksa itu si khilafah berhasil menduduki kekuasaan, saya yakin mereka akan menyesuaikan prinsip-prinsip normatif idealis mereka pada saat ini -ketika belum menduduki kekuasaan- dengan apa yang nanti mereka temukan dalam sistem internasional. Dari titik penyesuaian idiosinkratik dengan dinamika sistem internasional itu, saya makin yakin bahwa saya akan selalu berpisah jalan dengan Felix Siauw.

Kedua, saya juga ditanya tentang Akil Mochtar yang menurut Bu Dubesnya telah mencoreng citra pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Bu Dubes bilang jabatan Akil Mochtar itu rawan korup karena dia berada di level yang mengawasi demokratisasi namun tidak ada yang mengawasi dia. Solusi yang  diajukan Bu Dubes, buat saja lembaga baru yang mengawasi lembaga yang (dulu) dipimpin Akil. Sesungguhnya saya kurang bersepakat karena berpotensi membuat tingkatan-tingkatan baru lagi di antara lembaganya.  Selain itu, yang lebih penting lagi, untuk membuat lembaga negara baru, butuh undang-undang yang prosesnya lama, panjang, dan tidak efisien padahal ada peristiwa atau perhelatan yang sedang atau akan segera diadakan. Bagaimana mengatasi kekosongan tersebut? Solusi yang diajukan Bu Dubes itu sebenarnya bukan tidak mungkin dilakukan, hanya saja harus dibarengi pula oleh solusi pada saat itu juga. Saya lebih memilih dibentuk Komite Pengawas yang dibentuk untuk perhelatan tertentu. Udah, terus salah satu panelis permisi mau ke toilet soalnya AC di ruangan dingin banget. Iya sih.

Oh iya, di luar tema itu, saya sempat ditanya sedikit juga soal kepentingan Indonesia di Laut Cina Selatan, soal kenapa Indonesia tidak mengakui Taiwan dan kenapa Indonesia mendukung Palestina. Oh iya, saya juga senang karena akhirnya ada pertanyaan yang menyangkut kisah cinta lama saya dengan Barry Buzan dalam komunitas keamanan yang diejawantahkan dalam ASEAN. Pokoknya, Kang Barry, amanah Regions and Power-mu telah kubisikkan pada tembok di sana.Wawancara substansi kemudian ditutup dengan wejangan bahwa nanti saya jangan hanya berharap akan ditempatkan di negara besar. "Kamu harus siap ditempatkan dimana saja, seperti misalnya di Lagos.” Sebenarnya saya waku itu ngga hapal Lagos dimana soalnya kayaknya waktu SD saya ngga beresin LKS peta buta keluaran Erlangga huhuhu tapi saya bilang hehe iya pak.

Tes hampir terakhir adalah tes kesehatan. Dokter gizi pribadi saya *yakni bapak saya* wanti-wanti jangan sampai saya digugurkan karena alasan kesehatan. Seminggu sebelum med-check, saya cuma boleh makan nasi merah, sayur, tahu tempe, dan nggak boleh makan buah dengan kandungan apaan gitu yang terlalu tinggi. Makan pepaya mah boleh. Udah aja kayak burung kakaktua. Bapak saya lewat (mantan) stafnya malah mengirimi saya beras merah ke kantor untuk persediaan seminggu. Dedikasi seorang bapak, coyyyy!

Tes paling terakhir adalah tes kesabaran. Tanggal 24 Desember 2013 yang menurut Teh Nisa akan menjadi tanggal pengumuman Kemlu dan memang dikukuhkan dengan notifikasi SistemMasihBerproses, nyatanya hanya harapan palsu. Aih galau. Pusing juga, soalnya tanggal 24 Desember itu saya dapat pengumuman kalau saya juga lolos di Kemenperin. Pemberkasannya berakhir tanggal 31 Desember 2013. Mana saya juga nggak yakin pula saya bisa lolos atau engga di Kemlu. Yasudah, sempat berusaha mencintai Kemenperin juga.

Tanggal 31 Desember 2013, dompet saya beserta kartu identitas hilang dicuri orang pas saya lagi solat di Pasar Festival. Pas galau bikin laporan kehilangan, saya iseng buka situs Kemlu. Udah ada dong ternyata pengumumannya. Pas log in, hah gila dong saya LULUS seleksi. Udah nggak tahu harus apa. Ini dompet gimana, ini Kemenperin gimana, saya nggak tahu harus apa. Gemetar aja gitu. Syok. Yaudah saya berusaha switch perasaan saya untuk jadi senang. Tapi susah. Saya baru bisa merasa sadar bahwa saya itu senang ya keesokan harinya. Itu juga rasa senang yang dihayati dalam sanubari saja. Ini adalah senang yang begitu mendalam dan rasanya pantas didapatkan sebagai anugrah dari Allah. Ya, apa ya. Hidup yang saya rangkai sejak SMA saat saya pindah ke bangku belakang setiap Pak Tata guru Fisika masuk ke ruangan, hidup yang saya cintai karena ada HI di dalamnya, dan hidup  sebagai mahasiswa yang jadi kodok budek karena banyak yang mencibir nggak semua anak HI bisa jadi diplomat tapi saya tentang dalam hati, sekarang sudah bisa saya titi. Ya, senang. Udah. Ngga tahu harus apa. Mungkin meminjam mesin waktu buat menoyor orang-orang yang suka meneriaki kodok budek.

Yah, begitulah. Sekarang saya masih menunggu kapan mulai prajab. Sambil menunggu, saya masih mengurus beberapa perizinan yang outstanding semacam Sertifikasi Kelayakan Penggunaan Instalasi/Peralatan di Kabil Batam dan di mobil-mobil tangki LPG sesuai amanah Kepdirjen 39.K, Izin Angkut B3 seperti yang diminta depo LSWR atau Low Sulphur Wax Residue, perpanjangan merek di HAKI, penambahan sarfas mobil BBM, rekomendasi impor yang FAME-nya masih susah mencapai 10%. Iyaaaaa, masih bakal sering nongkrong ke Migas. Masih mengurus sponsor yang belum tutup buku. Masih mengurus pertanggungjawaban keuangan manager saya. Masih menyimpan kromologis perizinan. Masih hidup biasa saja.

Saya juga akhirnya bilang ke manager saya dan kawan sedivisi (yang memang kawannya cuma satu dan dia pun baru diterima masuk kantor sekitar September), kalau saya ikut tes CPNS dan saya lolos. Manager saya senang sekali. Dulu dia waktu masih di BP juga sering bertemu Kemlu dan beliau sangat mengapresiasi saya masuk situ. Yang sedih Mbak Nisya, kawan sedivisi itu. Saya juga sedih soalnya Mbak Nisya adalah kawan yang baikkkkk banget dan kami langsung dekat meski baru sebentar kerja bareng. Manager saya lalu mengajak saya lapor ke VP Corsec yang jadi atasan kami. Beliau juga senang dan mendukung. Ya lalu standarlah, saya juga notify HRD soal rencana resign saya sekitar bulan Februari, mungkin.

Hmmm, saya juga nggak tahu apa hidup di 2014 akan semenyenangkan di 2013. Ya, tapi coba yakin saja. Toh, 2013 yang dibuka dengan hal yang membuat pusing kepala saja bisa dijalani dengan baik-baik saja, apalagi 2014 yang dibuka dengan sukacita. Hehe. Amin. Aduh, cape nulisnya.

Selamat bertahun 2014 :D

Catatan dari UN dan Penerimaan Peserta Didik Baru SMA Tahun 2013 di Kota Bandung


Hal cukup melegakan terjadi pada penerimaan peserta didik kota Bandung tahun 2013 ini. Passing grade SMP dan SMA favorit yang terkumpul dalam cluster 1 mengalami penurunan ke tingkat yang saya sebut normal. SMAN 3 Bandung, contohnya. Setelah tahun 2012 lalu berpassing grade 39,1 atau kasarnya si calon siswa harus punya 3 nilai 10 dan 1 nilai 9 koma, tahun 2013 ini 'hanya' mensyaratkan nilai UN minimal 36,7.

Turunnya passing grade secara signifikan tersebut bagi saya jelas merupakan prestasi. Bahkan kalau saya boleh berlebihan, hal tersebut juga saya lihat sebagai arah perkembangan pendidikan yang lebih fair. Terdapat dua hal yang membuat saya berkata demikian, sekaligus yang saya lihat sebagai faktor pendorong turunnya passing grade. Pertama mengenai pengamanan UN tahun ini dari kebocoran, kedua mengenai penghapusan RSBI.


20 Paket UN
Saya awalnya mengira bahwa UN 20 paket hanya isu untuk menakuti murid agar lebih rajin belajar. Biasalah, saya juga pernah mengalami 'ancaman' kengerian UN saat saya sekolah. Masa-masa awal kelas 3 SMP/SMA memang sudah diskenariokan untuk melecut murid-murid lebih serius menghadapi hidup. Karena saya berpikir demikian, saya acuh saja saat murid-murid saya di Ganesha dulu sering sekali mengeluhkan ketakutannya, "Atuh, Bu, gimana dong UN sekarang mah 20 soal. Sekelas pada beda semua. Kita juga ngga dikasih tahu bakal dapat paket berapa. Guru-guru juga ngga ada yang tahu. Pokoknya on the spot." Tanggapan saya sok-sok netral saja (padahal dalam hati tertawa), "Makanya kalian belajar yang serius dari sekarang."

Eh, ternyata UN 20 paket bukan sekadar isapan jempol. Sempat diwarnai kepanikan karena soal yang terlambat datang di beberapa daerah, akhirnya UN 20 paket benar-benar terlaksana. Saya masih agak skeptis dengan teknisnya tapi kemudian murid saya curhat, "Bu, susah banget soal UN-nya. Mana 20 paket, sekelas nggak ada yang sama jadi terpaksa mengerjakan sendiri. Pusing."

Saya nggak paham sih dengan keluhan si murid yang masih sempat-sempatnya bilang, "terpaksa mengerjakan sendiri," bukankah memang seharusnya mengerjakan sendiri? Haha. Saya tanya soal sms kunci, dia mengeluh lagi. Katanya boro-boro mau nyari sms, dia aja nggak tahu bakal dapat soal tipe apa. Balik lagi ke mengerjakan semampu-mampunya otak mengerjakan.

Dahsyatnya soal UN 20 paket terlihat dari perolehan nilai UN para murid. Saya tahu nilai UN tidak sebesar biasanya saat murid saya mengirim message di fesbuk saya memberikan daftar nilai UN kawan-kawan sekelasnya di Ganesha. Dengan standar saya pada passing grade tahun lalu yang bahkan nilai 36 saja harus siap-siap terlempar ke sekolah swasta, saya sempat stres juga membaca message tersebut. Dua murid teratas saya di Ganesha Cabang Cinunuk, 'hanya' mendapat nilai 35 padahal mereka ingin melanjutkan ke kotamadya. Beberapa belas murid saya yang lain nilainya malah lebih mengenaskan lagi, antara 28-32. Aduh UN rata-rata nilai 7 mah atuh mau dibawa kemana. Saya tanya kenapa nilai mereka kecil, mereka bilang mereka juga nggak tahu. Yang jelas, di sekolah mereka, memang kebanyakan mendapat nilai 28-36. Bahkan ada juga yang di bawah 28. Nyut nyut.

Masuk ke musim penerimaan peserta didik baru (PPDB), data SMA macet tidak ada perubahan siginifikan hingga hari Jumat. Nilai-nilai yang masuk ke sekolah cluster 1 'masih' di kisaran 36. Saya pikir ini orang-orang kok berani banget ya nilai 36 masuk ke SMA 3, SMA 5, SMA 8. Sedikit menyinggung di tingkat SMP, hal yang hampir serupa juga terjadi di sana. SMP favorit lebih banyak diisi oleh nilai 27, padahal tahun lalu 27 sudah nggak punya tempat di cluster 1. Pemandangan berbeda justru saya lihat di SMP cluster 2. SMPN 17 Bandung yang notabene 'di bawah' SMPN 8 Bandung passig grade-nya melambung melebihi passing grade di SMPN 8 saat itu. Di sekolah lain dalam cluster 2 dan 3 pun serupa, nilai-nilai 26 berjubel. Saya rasa ibu-ibu muda yang mendaftrakan anaknya ke SMP punya perhitungan takut terlempar dari cluster 1 makanya memadati cluster 2 dan 3.

Tunggu punya tunggu, Sabtu akhirnya datang. Data SMA memang bertambah, namun angka passing grade tidak ada yang melonjak hingga ke angka 38. SMAN 3 Bandung yang tahun lalu memiliki 28 pendaftar dengan nilai terkecil 39,1 tahun ini sama sekali tidak memiliki pendaftar dengan nilai 39. Nilai terbesar hanya 38,95 dan dipegang oleh satu orang. Pemilik nilai 38 pun hanya 43 orang. Pun di SMAN 5, SMAN 8, SMAN 2. Tahun lalu saya ingat sekali nilai 39 dan 38 memadati seratus ranking teratas pendaftar. Berbeda dengan tahun ini yang tidak satu pun di antara mereka yang memiliki pendaftar dengan nilai 39.

Melihat tren nilai yang normal tersebut, saya jadi bingung . Saya yakin SKL UN punya standar yang baku setiap tahun. Dengan kata lain, saya nggak yakin kalau soal tahun ini lebih sulit dibanding tahun-tahun sebelumnya. Lagipula, masih banyak juga yang mendapat nilai 9 meski tak sebanyak tahun sebelumnya. Saya rasa penormalan nilai tersebut lebih didorong oleh 20 paket soal UN yang terbilang baru dibanding tahun-tahun sebelumnya yang hanya 2 atau 5 paket.

Dasar kesimpulan saya juga sebenarnya buruk, sih. Saya tetap merasa bahwa UN tahun-tahun sebelumnya diwarnai kecurangan. Kalau hanya 2 atau 5 paket soal sih mudah saja bagi pihak-pihak yang terlibat dalam UN untuk mengakali UN, apalagi anak-anak pun sudah tahu mereka akan mendapat paket yang mana. Berbeda pada UN kali ini. Kecurangan dikunci sedemikian rupa sehingga anak-anak pun dipaksa untuk berkonsentrasi menundukkan kepala menghadap soal, bukan lagi menghadap kolong bangku membaca secarik kertas salinan kunci atau bahkan menghadap meja membaca kunci jawaban yang telah disalin dengan spidol berwarna cerah.

Ya, memang saya yakin tidak semua murid pada UN tahun lalu menggunakan kunci jawaban yang beredar secara bebas. Tapi ini sepatutnya menjadi catatan tersendiri, mengapa pada tahun-tahun sebelumnya ada lebih banyak anak cerdas di Bandung ketimbang tahun ini?


Penghapusan RSBI
Faktor lain yang menormalkan passing grade adalah penghapusan RSBI pada tahun ajaran ini. Bagi sekolah yang menerapkan RSBI seperti SMAN 3 Bandung dan SMAN 5 Bandung,  jalur memasuki sekolah top di Bandung ini tak ayal menjadi beragam,namun sayangnya tidak memihak UN. Tes dilakukan secara mandiri jauh sebelum UN dan hasilnya pun sudah dapat diketahui sebelum pengumuman nilai UN.

Menjadikan sekolah-sekolah di Indonesia berstandar internasional itu bagus. Pun karena megahnya gelar yang disandang, yakni ‘internasional’, maka tak semua sekolah bisa langsung menerapkannya. Bertahaplah. Nah, namun demikian, ada harga yang harus dibayar dari keberadaan RSBI. Saya nggak membicarakan kastanisasi dalam pendidikan dan pengkhianatan terhadap bahasa pengantar Bahasa Indonesia di sin, tapi kaitan RSBI dengan UN.

Dari sisi UN, dengan tes mandiri yang diadakan oleh RSBI, saya rasa hal tersebut cukup menggelikan. Bagaimana mungkin sebuah sekolah yang nantinya akan menerapkan UN sebagai ujian akhir tapi di awal proses pendidikannya menepiskan UN? Saya nggak tahu apakah soal mandiri di RSBI itu lebih sulit atau lebih mudah dari UN. Dua-duanya tetap melecehkan UN. Pertama, bila soal tes mandiri RSBI lebih sulit daripada UN, pertanyaannya, mengapa harus demikian? Tidak percayakah pada UN? Bukankah UN digadang-gadang sebagai satu-satunya ujian standar dari proses belajar mengajar? Kedua, bila tes mandiri RSBI lebih mudah daripada UN, maka apakah fair tes mandiri tersebut dilakukan?

Selain itu, dari sisi passing grade, jelas keberadaan RSBI mengacaukan. Meski seolah mengurangi jumlah pendaftar ke sekolah negeri karena paling tidak sudah ada 700 orang yang sudah pasti diterima di sekolah RSBI, keberadaan jalur RSBI sudah barang tentu mengurangi kuota bagi jalur UN. Akhirnya, sekolah ber-RSBI hanya menerima kurang dari 50 anak dari jalur UN. Tidak heran sekolah seperti SMAN 3 dan SMAN 5 mensyaratkan passing grade kelewat tinggi bagi pendaftarnya.

Dengan dihapuskannya RSBI, satu hal yang paling terasa bagi orang luar seperti saya adalah kesempatan untuk masuk ke sekolah favorit dengan cara yang ‘semestinya’ yakni dari UN jadi jauh lebih besar. Tahun ini SMAN 3 Bandung kembali menerima 292 orang dengan passing grade 36,7, sebuah level yang memang wajar bagi kecerdasan anak SMP pada umumnya. Bandingkan bila SMAN 3 Bandung masih terikat pada RSBI sehingga hanya menyediakan 28 bangku bagi jalur UN. Data yang saya dapatkan dari ppdbkotabandung.web.id memperlihatkan ranking 28 pendaftar SMAN 3 Bandung ditempati oleh nilai 38,25. Dengan passing grade 38,25 tersebut, skenario satu yaitu nilai-nilai di bawahnya jelas akan menyebar ke SMA-SMA pilihan 2 seperti SMAN 1 dan SMAN 20 sehingga passing grade SMAN 1 dan SMAN 20 akan melonjak dari angka 33 yang resmi ditutup tahun ini. Akan banyak juga calon pendaftar dari SMAN 1 dan SMAN 20 yang terlempar ke cluster 3, dan anak cluster 3 pun akan terlempar ke swasta. Skenario tak kalah buruk juga datang dari SMA cluster 1 lain seperti SMAN 2 dan SMAN 8 yang kebanjiran pendaftar yang nilainya tak mencukupi di SMAN 3. Alurnya di cluster 2 dan 3 pun kemudian mengikuti skenario 1.


Normal
Meski tak menutup kemungkinan ada faktor-faktor lain yang menyebabkan turunnya passing grade SMA di Kota Bandung pada tahun 2013 ini, saya rasa pemaketan UN menjadi 20 tipe dan penghapusan RSBI sudah menampakkan taringnya. Hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Cluster
Sekolah
Tahun
2012
2013
PG
Kuota
PG
Kuota
1
SMAN 2 Bandung
 37.9 
316
 34.75
265
SMAN 3 Bandung
 39.1
28
 36.7
292
SMAN 5 Bandung
 38.9
23
 35.5
286
SMAN 8 Bandung
 38.2
298
 35.35
296
SMAN 24 Bandung
 37.65
237
 32.65
247
2
SMAN 1 Bandung
 37.35
283
 33.7
250
SMAN 20 Bandung
 37.5
215
 33.9
210
SMAN 22 Bandung
37
258
33.26
232
SMAN 7 Bandung
 36.6
253
 28.15
239

Penurunan passing grade di kedua cluster tersebut juga tidak main-main, minimal menyentuh selisih 2,4 (SMAN 3 Bandung). Bahkan, SMAN 7 mengalami penurunan hingga rentang 8. Selebihnya, SMAN 2 turun 3,15 poin; SMAN 5 3,4 poin; SMAN 8 2,85 poin; SMAN 24 turun 5 poin; SMAN 1 turun 3,65 poin; SMAN 22 turun 2,74 poin; dan SMA 20 turun 3,6 poin.  Jumlah siswa yang diterima di sekolah-sekolah favorit di atas jugasecara keseluruhan  meningkat meski di beberapa sekolah ada juga pengurangan siswa yang diterima. Tahun 2012 tercatat 1911 murid masuk sekolah favorit dari jalur UN, sedangkan tahun ini terdapat 2317 murid.

Ke depannya, saya tentu berharap passing grade tetap berada dalam jalur yang normal. Kalaupun ada peningkatan, pengennya sih bukan karena UN yang lagi-lagi kebobolan karena sudah ketahuan dimana celahnya, melainkan karena meningkatnya kemampuan siswa dalam mengerjakan UN. Saya sih sebenarnya nggak ada masalah dengan UN, RSBI, atau passing grade. Saya hanya berharap apa pun proses pendidikannya, proses tersebut tetap dijalankan secara fair.



Ark. Jul’13. 

Dari Status Fesbuk Teh Anggalia soal HI yang Glamor

Teh Anggalia atau Teh Anggi adalah senior saya di HI Unpad *dan ternyata di SMAN 3 Bandung juga* yang kalau kata Barney di How I Met Your Mother, "LEGENDDD------DARY!" Satu hal yang cukup inspiratif buat saya dari Teh Anggi adalah keberaniannya untuk melakukan hal yang ingin dia lakukan ngga peduli titel yang disematkan oleh orang lain untuknya. Apakah itu? Teh Anggi luar biasa karena ngga nanggung-nanggung bikin skripsi. Skripsinya yang tebal tidak berisi bualan yang dia copy-pastekan dari omongan begawan belaka, tetapi memang benar-benar untuk memuaskan esensi dari penelitian itu sendiri. Konon untuk menyelesaikan skripsi tersebut Teh Anggi butuh waktu hampir 2 tahun *atau pas atau lebih ya? Saya agak-agak miss soal ini*. Untuk ukuran Teh Anggi yang intelektualitas dan IPK-nya terkenal gede banget se-HI, skripsi tebal yang dibuat dalam waktu yang cukup panjang saya yakin bukan bentuk eskapis dari kemalasan. Teladan dari Teh Anggi itu yang sedikit banyak menyemangati saya untuk nggak menye-menye soal skripsi dan hanya menujukannya sebagai syarat-lulus-6-sks belaka.

Satu hal lagi yang saya sukai dari Teh Anggi, sebagaimana juga yang saya kagumi dari Kang Wirya *Kang Wirya sudah saya ceritakan sedikit di page tumblr saya*, adalah kesederhanaan, kebijaksanaan, dan kerendahhatiannya dalam menyikapi jurusan kami tercinta, HI, yang bagi orang kebanyakan, termasuk mahasiswa-yang-sebenarnya-biasa-aja-ngga-hebat-hebat-banget-studi-HI-nya-tapi-sikapnya-agak-lebih-yo'i-dari-yang-pinter-beneran, menawarkan mimpi glamor. Saya berharap sekali status fesbuk Teh Anggi dibaca banyak orang, termasuk mahasiwa yang tadi saya sebutkan, agar mereka mau sedikit membongkar kejumawaan, menipiskan mimpi shallow, dan membuka wawasan bahwa HI dan segala mimpi yang disematkan kepadanya hanya mitos yang tidak berarti bila mereka hanya terus mempertahankan mindset sok jago sok elitis.

Berikut dua tutur status Teh Anggi.

  • Segala sesuatu yang berbau "diplomatik," seperti kedutaan besar, departemen luar negeri, PBB, perusahaan multinasional dan hal-hal 'keluarnegerian' lain biasanya jadi pujaan anak-anak HI. Akhirnya saya menemukan kata yang lebih baik dibanding "pretensius", yang kesannya terlalu memojokkan: glamor. Dunia HI yang pernah saya alami dulu penuh keglamoran: hal-hal yang fascinating, alluring, attracting. Saya yakin teman-teman yang sudah menempati posisi-posisi glamor tadi pada akhirnya menganggap hal itu biasa saja, tapi saya merasa keglamoran itu dipertahankan dari generasi ke generasi, bahkan dimitoskan. Waktu saya jadi salah satu alumni yang diminta berbicara di depan para mahasiswa/i baru, yang dipertontonkan adalah keglamoran ini. Saya juga bingung, kenapa yang didiskusikan bukan apa yang dikerjakan dan maknanya bagi dunia? Apakah definisi "sukses" sudah menjadi sememanjarakan ini? Kalau tidak menyebutkan sejarah ke luar negeri atau ikut Konferensi Internasional ini-itu, pasti kita dipandang sebelah mata. Einstein saja pernah bilang, try not to be a person of success, but a person of value. Sampai sekarang pun saya masih terus memikirkan dan menafsirkan ulang kalimat itu dan saya yakin diskusi dan debat tentang "sukses" dan "bernilai" ini harus terus disulut dan direka ulang dalam dunia glamor a la disiplin yang saya cintai ini (supaya tidak jadi penjara baru).


  • Untuk adik-adikku anak HI, hal terbaik yang bisa kalian dapatkan dari kuliah di disiplin (ilmu?) ini adalah kaca mata dalam memandang dunia. Jangan sia-siakan diskursus kaya tentang hampir semua ilmu sosial yang ada: sejarah, sosiologi, antropologi, hukum, filsafat, komunikasi, ilmu budaya, dan tentunya politik itu sendiri. Dengan wawasan seluas itu, seharusnya anak HI punya pandangan holistik terhadap kenyataan global dan peduli akan hal-hal yang ada di luar diri dan lingkungan terdekatnya, meskipun kelak bekerja di bidang yang berbeda-beda. Sayang ilmunya kalau anak HI akhirnya hanya jadi sebulir sekrup dalam mesin tanpa membuat mesin itu setidaknya berjalan ke arah yang lebih baik....


Happy Thinking, Happy Absorbing. Be a true international relation-ist! 

My First Day not Being a Teacher

Hari ini hari pertama saya bekerja nggak sebagai pengajar, tetapi sebagai pegawai. Saya punya meja di depan ruangan VP dan untuk pertama kali dalam hidup, saya baru tahu bahwa sidik jari adalah hal yang berharga dalam hidup. Tanpa sidik jari, saya nggak akan bisa ngebuka pintu ke lantai divisi saya. Lebih bahaya lagi, saya bisa terancam nggak digaji dan nggak dapat uang lembur. Sidik jari itu penting. Catat.

Hari ini belum banyak pekerjaan yang saya lakukan. Saya tadi cuma ngisi formulir permintaan ATK, IT, dan balik ke kosan ngambil laptop yang saya pakai buat ngetwit, donwload The Good Wife 2 epsiode, Modern Family 1 episode, dan The Big Bang Theory 1 episode. Nah, lumayan kan kerjaan saya hari ini? Haha. Tertawa miris. Hari ini saya bekerja dengan nilai gaji yang beberapa kali lebih tinggi dari gaji saya sebelumnya namun penggunaan otak saya hari ini sungguh sungguh minim hampir tak terpakai. Anak baru, coy, belom banyak kerjaan, cuma ngurus diri sendiri. Satu-satunya yang terpakai hingga habis hari ini adalah laptop. Habis ini laptop saya baterainya habis sehingga saya sangat berharap pacar saya nanti malam habis kerja mampir ke kosan buat colokin casan laptop. Yes, saya masih takut nyolokin listrik. Sampai kapan pun saya takut.

Sekarang jam setengah empat sore. Minggu lalu dan minggu-minggu lalu lainnya, kira-kira hitung hingga empat setengah tahun yang lalu, jam segini dan hari ini saya lagi berdiri ngajar. Kalau hari ini saya belum jadi seorang staf Corporate Communication, saya lagi ngebahas soal UTS Bahasa Indonesia kelas 8 dan nanti setengah lima sore saya ngebahas soal Ujian Nasional Bahasa Inggris tahun 2009 ke anak-anak kelas 9 SMP.

Ah iya, membicarakan murid saya, jadi ingat deh Sabtu lalu *kalau nggak salah*, saya terharu. Ada murid saya yang mengirim sms, "Bu, kenapa nggak ngajar kita kemarin?" Aih, saya baru sadar. Dari 14 kelas yang saya ajar semester ini, saya baru sempat pamit sama 3 kelas. Sedihnya lagi, dari 11 kelas yang tidak sempat saya pamiti itu, ada kelas-kelas yang menjadi favorit saya karena ketenangan, kemauan, dan kecerdasan anak-anaknya. Hmmmm, sedih. Saya akhirnya smsan sama murid saya itu. Sepertinya, si Silvia yang smsan sama saya itu ngesms temannya, Mia, jadi saya smsan juga sama Mia. Isi sms Silvia lumayan mellow, malah bilang dia sampai nangis segala terus jadi nggak semangat les. Entah itu lebay atau beneran, hehe, saya jadi terharu. Nah, beda sama Mia. Meski di awal Mia bilang, "Ibu kenapa nggak ngajar kita lagi padahal kita senang banget Ibu yang ngajar?", waktu saya cerita ke Mia kalau saya nggak ngajar karena ada cita-cita lain yang saya kejar, Mia menanggapi saya dengan sangat dewasa. Mia menyemangati saya sambil berpesan jangan lupa sama kelas mereka karena mereka bakal selalu kangen saya. Kalau bisa sih saya juga menyempatkan diri untuk mengunjungi kelas mereka kalau saya lagi ke Bandung.

Bersms ria dengan Mia dan Silvia membuat saya jadi termangu. Hmmmm, jadi ada rasa yang hilang dalam hati saya. Ya, bagaimana tidak, saya sudah mengajar sejak 4,5 tahun lalu dan menyaksikan murid keluar masuk. Nggak ada yang lebih membahagiakan selain mendengar laporan mereka yang berhasil UN dan SNMPTN lalu berterima kasih karena materi yang sudah saya terangkan dijadikan salah satu soal dan mereka berhasil menjawabnya. Saya juga sudah pernah bilang, kan, bahwa setiap kali saya pergi mengajar dengan hati dongkol, saya selalu pulang dengan hati riang karena interaksi dengan mereka yang selalu menyenangkan. Ya, mengajar selalu menyenangkan.

Sejauh ini saya belum bisa membuat perbandingan lebih menyenangkan mana, menjadi pengajar atau menjadi  staf. Periode waktunya belum mencukupi. Ah, saya hanya bisa melaksanakan apa yang ada di depan mata saya secara serius dan ikhlas. Dulu ketika saya pertama kali mengajar juga saya merasa asing, tapi akhirnya saya beradaptasi dan senang juga.  Saya rasa saya bukan orang idealis. Saya sih pragmatis saja. Di satu sisi saya merasa bahwa mengajar, apakah itu di Ganesha atau di kampus, adalah pekerjaan yang menyenangkan dan yang paling bisa mendefinisikan diri saya. Namun di sisi lain, saya tahu bahwa impian itu mahal harganya. Saya nggak bisa bilang bahwa apa yang saya kerjakan sekarang adalah upaya menyerah. Masih terlalu dini. Saya pikir saat ini belum waktunya saya bersikap keras untuk mempertahankan keinginan saya padahal saya tahu saya nggak mampu-mampu banget dan di belakang saya, ada keluarga saya yang mesti saya pikirkan. Ya tapi saya juga nggak bisa bilang juga bahwa suatu hari saya akan kembali meraih cita-cita saya sebagai pengajar. Ya, saya pikir, apa yang ada saat ini itulah yang saya kerjakan. Mengenai ke depan, saya akan merangkainya pelan-pelan sambil saya mengamati hal yang saya kerjakan pada saat ini.

Ah, baiklah, sudah hampir setengah lima, mari siap-siap pulang hehehehehe. Saya mau belanja buat kamar kosan mumpung besok libur jadi besok saya bisa beres-beres.

Ah iya, sebelum saya pulang, saya mau berpesan sedikit sama murid saya yang kemarin belum sempat saya pamiti dan accidentally mampir ke sini,

"Dear, students. Semua hal yang perlu aku kasih ke kalian untuk ujian udah aku kasih. Nanti bakal ada guru baru. Siapa pun gurunya, kalian harus tetap semangat belajar ya, jangan dikerjain gurunya. Dengarkan yang baik. Kalian juga belajar yang rajin. Jangan cuma di sekolah dan di tempat les saja. Kalian juga harus rajin belajar di rumah. Ingat, persaingan nilai UN makin ketat. Kalau kalian mau sekolah di negeri yang bagus, usaha kalian harus berlipat kali dari yang sekarang. Okeee? Nah, semoga nanti kita bertemu lagi ketika kalian sudah menjadi orang yang jauh lebih berhasil dari sekarang yaaa...Aku minta maaf aku banyak salah dan semoga ilmu yang udah aku kasih terus kalian ingat dan bermanfaat buat kalian."

Membicarakan Criminal Minds






Sepanjang tahun ini sepertinya saya menghabiskan banyak waktu untuk menonton serial. Tercatat judul-judul semacam The Big Bang Theory, Grey's Anatomy, Community, How I Met Your Mother, Modern Family, The Good Wife, Detective Conan, Sherlock Holmes, Accidentally on Purpose, dan yang baru saja saya tonton 3 season selama 2 minggu ini : Criminal Minds (CM). Thanks to Pak Rian atas jasanya meracuni saya dengan beragam serial tersebut. Nah, tapi dari banyaknya serial yang saya tonton, harus saya akui, CM menggelitik saya dengan cara yang berbeda. Jika serial lain hanya singgah sebentar di otak saya sebagai pelepas penat, CM yang mengambil fokus kegiatan para agen FBI, yakni Agen Aaron Hotcher, Agen David Rossi yang sebelumnya diisi oleh Agen Jason Gideon, Agen Spencer Reid, Agen Emily Prentiss, dan Agen Jennifer Jearou, serta Penelope Garcia, di Behaviorial Analysis Unit, sejak awal sudah membuat saya tidak bisa netral menonton dan hanya berfokus pada kehidupan semu yang ditampilkan sebagai alur cerita. Akhirnya, karena saya hanya manusia lemah yang kerap menulis posting panjang dan menyiksa pembaca, posting ini pun lahir, sekaligus menandai bangkitnya saya dari kebuntuan menulis tema serius selama beberapa bulan terakhir. Saya membagi tulisan mengenai CM ini menurut subjudul, yakni Criminal Minds dalam Dialog mengenai Supremasi Negara, Feminisme Radikal dari Korban Perempuan di Criminal Minds, dan Criminal Minds dan Ungkapan mengenai Kita dan Fantasi Kepahlawanan. Enjoy!