:)





Orang-orang ini adalah orang-orang yang kelak pasti akan sangat saya rindukan :)
Plus bapak saya juga, tentunya.
Sayang, beliau tidak ikut dalam sesi foto ini. Hihi.

Takbir

Kalau iseng mengurutkan hal-hal apa saja yang membuat saya terpekur, salah satu dari daftar tersebut adalah mendengarkan suara takbir idul fitri. Gaya? Sok religi? Saya juga nggak bisa memastikan. Mungkin ini salah satu jenis kelatahan sosial. Hmmm, tapi kalaupun ini memang hanya bentuk kelatahan sosial, saya rela kok latah selamanya. Asik. Haha.


Takbir dan Sebuah Perjalanan

Perjalanan pulang dari mengajar di cabang Rancaekek pada akhir pekan terakhir KBM Ganesha yang biasanya jatuh pada minggu ketiga Ramadan adalah tertuduh utama keterpekuran saya atas takbir. Jalur Rancaekek-Cileunyi merupakan jalur arus mudik yang kalau kita cermat melihat kanan-kiri, maka wajah kita akan tampil di televisi selama lima detik sebagai potret pemudik meskipun kita hanya lewat sekedar untuk membeli ubi bakar. Jalur itulah yang setiap menjelang akhir Ramadan akan sesak oleh beragam jenis kendaraan, orang, dan permasalahan lalu lintas. Biasanya saya selalu jenuh dengan kemacetan, tapi tidak dengan kemacetan anual tersebut. Saya malah menikmati kemacetan itu.

Sambil mendengarkan pemutar musik di tengah kemacetan selepas pintu tol, saya berpikir. Tahun ini saya berada di tengah kemacetan ini hanya sebagai orang yang pulang mengajar. Rumah saya dan tempat saya bekerja jaraknya dekat, hanya sekitar 15 menit tanpa macet dan hanya 45 menit jika macet hebat. Hmmm, tapi sampai kapan? Pada akhirnya, yang entah akan dimulai kapan, saya juga akan melewati jalur ini bukan sebagai orang yang setiap sore pulang bekerja, melainkan sebagai orang yang pulang dalam rangka mudik. Waktu itu pun akan datang sebentar lagi. Semakin dekat, malah.

Kemudian mengenai takbir.

Momen takbir adalah momen yang paling mengharukan. Alasannya sama seperti saat saya melewati Rancaekek tadi. Entah sampai kapan saya bisa menikmati takbir yang begitu ramai dari masjid di belakang rumah saya dan masjid dari komplek sebelah dari kamar saya di sini. Waktu semakin berlari, menyeret kita pada perkembangan hidup. Saya dulu gadis kecil berseragam merah putih ketika pindah ke sini lalu sekarang saya sedang berjuang meraih gelar sarjana dari universitas yang hanya berjarak 10 menit dari rumah. Hmmm. Sebentar lagi tentu saya akan mendengarkan takbir dari kecamatan lain di belahan bumi yang lain. Mungkin Cinunuk. Mungkin Kiaracondong. Mungkin Kebon Kalapa. Mungkin di luar kota. Mungkin luar provinsi. Mungkin luar pulau. Mungkin luar negeri. Atau mungkin dari alam yang lain.

Pernah dan sering saya berpikir ingin segera menyelesaikan satu tahapan hidup yang sedang saya jalani kemudian loncat ke tahapan yang lain. Penasaran, apa yang saya miliki kelak. Namun, dalam blogwalking malam yang lalu, saya menemukan kalimat indah dari pemilik yang sebenarnya tidak saya kenal. Mbak itu bilang dalam postingnya, kenapa kita selalu ingin loncat ke tahap berikutnya padahal nanti ketika kita sudah berada dalam tahap itu kita justru akan merindukan tahap yang saat ini hendak kita lewati. Hmmmm. Iya, saya jadi sadar. Saat ini, mumpung saya masih bisa mendengarkan takbir masjid belakang dari kamar saya, saya harus menikmatinya dengan syhdu dan khusuk. Bukankah nanti saya tidak tahu akan dimana saya mendengarkan takbir idul fitri?

Kisah TeKa Part Three

Karena kerap dibully bahkan atas alasan yang saya juga nggak mengerti kenapa, saya pun melancarkan aksi balas dendam ketika saya duduk di kelas B. Kelas B itu adalah kelas bergengsi, dimana anak-anak TK digembleng untuk menghadapi kehidupan nyata di kelas satu SD. Kelas B ini biasanya dipegang oleh wali kelas yang memiliki dedikasi tinggi untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa melalui begitu banyak latihan menulis, menggambar, mewarnai, dan berkerajinan tangan. Hanya orang-orang terpilih yang mampu memegang amanah sebagai wali kelas B. Menurut kabar yang tersiar, wali kelas B juga dinominasikan untuk mendapat gelar kepahlawanan dari Presiden Sudan Selatan yang baru merdeka.

Keinginan saya untuk balas dendam di kelas B ini merupakan reaksi yang wajar dari seorang gadis yang dibully oleh kawan sekelas karena :
  1. Saat lomba menyanyi vokal grup lupa harus bergaya bagaimana. Bukan lupa sih, tapi gengsi saja. Gaya yang dititahkan oleh guru saya itu nggak masuk akal. Masa saya harus menggoyang-goyangkan pinggang saya? Kalau saya didakwa pasal pornoaksi dan disabotase Bang Haji Roma gimana? Saya ini gadis yang beretika loh. Terus masa saya juga harus menggoyang-goyangkan kepala saya ke kiri dan ke kanan? Ini nyanyi atau SKJ? Saya pun menyanyikan lagu "Kupandang langit penuh bintang bertaburan..." dengan memegang mikrofon saja sambil menatap penuh arti kepada ibu saya yang bertepuk tangan sambil berkaca-kaca dan kepada guru saya yang entah kenapa di bawah panggung menggoyangkan pinggangnya.
  2. Saya nggak bisa berkreasi dengan plastisin. Sementara temen-teman saya bisa membuat kreasi berbagai jenis binatang dari plastisin, saya hanya bisa membuat ular, itu pun karena bentuk ular yang panjang saja dari kepala hingga jari kaki.
  3. Saya nggak bisa memegang gunting dengan satu tangan. Karena saya suka memperhatikan bapak-bapak yang suka menggunting rumput di halaman rumah saya dan dengan caranya memegang gunting itu semua rumput bisa terpotong, maka itu adalah role model bagi saya. Cara saya dalam memegang gunting untuk kertas sangat berciri Bapak Rumput sekali yakni dengan dua tangan. Bagi saya itu ngga masalah karena itu adalah ilham yang saya dapatkan. Yang saya herankan adalah kenapa guru dan teman-teman saya sangat subversif sekali terhadap perbedaan? Apakah mereka lupa akan Bhinneka Tunggal Ika yang selalu diselipkan dalam setiap pidato kenegaraan? Mengapa urusan memegang gunting yang sedikit berbeda padahal hasilnya sama menjadi borok yang harus ditertibkan? Mengapa? Bukankah ini negara demokrasi dan multikultur? Saya nggak mengerti.
  4. Setiap kali piknik, saya nggak ditemani ibu saya karena entah kenapa setiap kali piknik, adik saya yang imut dan berjenis kelamin perempuan dan notabene lebih putih dan cantik dan tinggi dibanding saya itu selalu sedang diopname. Bagi saya, tidak masalah saya piknik sendirian karena bukankah bumi ini adalah milik Allah sehingga kita tidak perlu khawatir. Selain itu, bukankah saya ini adalah gadis mandiri yang dipuja-puja dalam lagu Chris Brown, Miss Independent. Guys, I've started that independency since I was in kindergarten!!! Saya heran mengapa mereka menganggap saya anak yang tidak berorang tua.
Bully lain masih ada, tapi sepertinya hanya akan membuat air mata di pipi kalian semakin deras. Karena itulah, saya putuskan untuk segera membuat daftar pembalasan dendam saya selama kelas B.

  1. Saya menjadi penguasa ayunan yang paling hegemon, kuat, dan tak tertandingi. Kalau saya naik ayunan, kepala saya bahkan bisa menyentuh ranting pohon jambu yang tingginya sekitar 18 kilometer dari tanah. Saya biarkan teman-teman saya menganga penuh kekaguman dan keirian karena hanya saya yang bisa melakukan hal seperti itu tanpa dimarahi guru. Saya juga sengaja nggak mau turun dari ayunan. Biarin aja mereka antri sampai bel masuk.
  2. Saya sengaja memanas-manasi teman saya dengan plastisin hancur yang saya buat. Sepertinya anak-anak TK adalah anak-anak yang mudah disulut emosinya padahal itu nggak penting. Waktu mereka pamer mereka bisa membuat berbagai bentuk dengan warna merah, kuning, hijau, biru, dan lainnya, saya pamerkan hasil plastisin saya yang berbentuk ular dan warnanya sudah bercampur dengan berkata, "Ah, kamu nggak punya kan warna malam yang gini? Malam aku warnanya beda, nggak merah, kuning, hijau, biru. Ini warna baru!" Terus teman-teman sayang yang pendengki itu pun terbelalak matanya, "Gileeee lu, Fes, lu beli dimana tuh malam? Mau dong kitahhhhh! Ini buat gue yakkkk. Maneh make nu urang weh!" Dan akhirnya saya pun mendapatkan hasil karya mereka dan nilai yang bagus plus pujian dari guru, sementara mereka mendapat gelengan kepala dari Bu Cucu karena mereka menunjukkan hasil karya saya yang amburadul itu.
  3. Ada satu anak yang mulutnya memang sungguh nista sekali bahkan ketika saya ingat-ingat dalam umur saya yang hampir 22 ini. Dia itu pemfitnah dan provokator kelas. Dia juga suka menjebak saya ke dalam dosa yang bahkan tidak saya mengerti. Masa dia mengajarkan saya cara membuat bunga dari jeruk tapi ketika saya praktekan dia bilang saya mencontek dia? Kan sungguh menimbulkan gejolak jiwa dan bursa efek. Kepercayaan publik terhadap saya pun menurun drastis. Yang pertama membully saya dan memarahi saya karena saya tidak bergaya di lomba menyanyi juga dia. Karena itulah, saya memutuskan untuk melancarkan PEMBALASAN.
  • Pada suatu hari yang cerah dalam pelajaran menggunting, dia bolak-balik menertawai saya yang memegang gunting dengan cara dua tangan. Gayanya begitu kenes dan centil memainkan gunting dengan benar di depan saya. Ketika dia keluar dari bangkunya, saya bersembunyi di belakang bangkunya sambil berjongkok dan memegang gunting. Ketika dia datang dan akan duduk, saya bergegas menggunting rok belakangnyaaaaaaaaa hahahhahahhahahha. Dia sadar kemudian dia berteriak dengan sangat menderitanya lalu menangis kencang. Guru pun datang dan ibunya juga datang. Dia bilang saya sudah menggunting roknya. Saya datang dengan muka tidak bersalah dan tangan yang memegang gunting dengan salah. Ibu guru bingung, "Masa Festyka menggunting rok kamu? Dia kan nggak bisa menggunting.." | "Iya, Bu...dia menggunting. Pokoknya dia menggunting!!!" | "Apa kalian ada yang melihat Festyka menggunting rok?| "Engga, Buuuu...Dia kan nggak bisa menggunting" | "Tapi dia menggunting rokku, Buuuu....!!!" | "Coba, Festyka, kamu peragakan bagaimana cara kamu menggunting, coba gunting kertas ini"| Terus saya dengan polosnya mencoba menggunting dengan satu tangan yang tentu saja nggak bisa saya lakukan. | "Tuh, kan Festyka itu nggak bisa menggunting. Mungkin tadi ada yang ngga sengaja menaruh gunting di kursi kamu" | Terus ibunya ikutan bicara : "Jangan-jangan Teteh yang nggunting baju Teteh sendiri! Teteh kan gitu!| Wakakakakkakakakkakakkakakkakakakk. SAYA BERHASIL MEMBALASKAN DENDAM SAYA.
  • Tapi aslinya sih saya juga nggak sengaja-sengaja amat menggunting rok dia. Saya itu hanya untung-untungan, bisa nggak saya menggunting dengan dua tangan. Saya pikir saya bakal gagal, tapi nyatanya saya bisa melakukannya. Saya juga kaget. Setelah saya menggunting rok si cewek itu saya juga nggak bisa melakukannya lagi, baik dengan satu tangan maupun dengan dua tangan.

Yak, begitulah kira-kira kisah TK saya yang begitu mengharu biru. Jahat, sih saya menggunting rok orang, Untung itu roknya, bukan kulit pahanya. Untung saya bisa ngeles, ngga ke-gap. Saya juga menyesal sih kenapa saya melakukan hal itu. Tapi, kadang memang emosi itu membuat kita melakukan hal-hal yang tidak kita bayangkan.

Selama TK, walaupun kerap dibully oleh geng pimpinan perempuan yang sudah saya gunting roknya itu, saya juga punya temanlah, nggak sendirian-sendirian amat. Ada Lina. Karlina Agustina ini juga jadi teman SD saya di SDN Padasuka III setidaknya sampai saya kelas II karena kelas III-nya saya pindah ke Cileunyi. Waktu saya SD dan menunggu jemputan Ayah saya, saya juga selalu main di rumah Lina. Teman lainnya adalah Meta. Nah, Meta ini ibaratnya malaikat bangetlah buat saya. Kalau sama Lina, saya masih ada bete-betenya, soalnya Lina suka temenan juga sama si cewek penyihir. Beda sama Meta. Meta mah orang yang selalu ngebela saya dan nemenin saya kalau ibu saya belum menjemput dan kalau saya sendirian pas piknik. Ah, saya punya tuh foto saya sama Meta waktu piknik di Taman Lalu Lintas. Saya sama Meta naik kuda-kudaan yang sama. Tapi dimana ya foto itu? Dulu itu teknologi digital belum nyampe ke Padasuka, jadi segala sesuatu dilakukan secara manual dnegan kamera yang berfilm. Selain Lina dan Meta, ada juga Rian dan Dicky. Mereka suka baik sama saya, tapi saya yang suka judes sama mereka. Biasalah, jual mahal dikit. Cih. Hahaha.

Yap, mash ada banyak sih kisah TK, tapi karena sekarang saya lagi puasa, saya sudahi dulu. Nanti kita bertemu lagi di kisah masa kecil yang penuh warna lainnya.

Kisah TeKa Part Two

Hal yang saya ingat dari TK Bhayangkari hanya sampai pada pelanggaran hak asasi anak dan kesuksesan saya menggambar lingkaran. Saya sekolah di TK Bhayangkari hanya sebentar karena saya pindah ke Bandung. Di Bandung saya bersekolah di TK Sejahtera. TK-nya ada di daerah Padasuka, Cicaheum.

Hmmmmm. Saya ingat-ingat dulu ada kejadian apa saja dalam masa ini.

Seingat saya, saya memang kerap dibully atau jadi bahan olok-olok dan dimusuhi pada masa ini. Saya nggak ngerti kenapa. Mungkin karena logat saya yang masih begitu medok karena baru pindah dari Surabaya. Hmm, mungkin karena saya kalau dibahasakan dalam istilah modis akademis zaman sekarang adalah liyan atau orang yang berbeda dari kebanyakan. Saya sering diejek gara-gara saya nggak punya uang untuk beli mainan balon-balonan, rokok-rokokan, atau mainan dan makanan remeh temeh lain. Saya pikir saya masyarakat miskin dan dhuafa yang terjebak di kerumunan masyarakat high-end yang suka berpesta setiap malam. Saya pun mengalami krisis identitas.

Namun kemudian saya pun bertanya kepada ibu saya, kenapa saya nggak dilahirkan dengan uang saku setidaknya seratus rupiah sehari? Ibu saya pun lagi-lagi naik pitam. Menurut ibu saya, seharusnya saya tidak menilai segala sesuatu dari uang, tetapi dari kotak bekal. Lihat apa yang saya punya di kotak bekal. Saya bingung. Apa itu kotak bekal? Apakah itu sejenis nintendo seri terbaru yang bisa dimainkan dengan bluetooth dan skornya bisa ditukarkan dengan sembako di Toserba Griya? Saya galau. Ibu saya bertambah gemas, ibu saya pun menceritakan bahwa kotak bekal saya itu berisi Susu Ultra Coklat dengan Indomie Goreng spesial dengan telur atau Dunkin Donuts atau Chiki Balls. Wah, ternyata saya orang kaya dan makan makanan yang berlisensi dari negeri Paman Sam!!! Saya mau sombong, tapi saya sadar bahwa saat ini saya sudah lulus TK dan saat ini saya juga tidak tega mengeluarkan uang untuk membeli Dunkin Donuts sebagai bekal kuliah.

Oke, alasan pembullyan pertama sudah tersibak, yakni karena saya berbekal makanan-makanan yang diiklankan secara masif di Majalah Bobo. Ah, harusnya saya sadar merk sejak dulu. Harusnya saya pamer dan jadi penguasa kelas waktu TK karena saya makan makanan berlisensi. Harusnya saya mewarisi sifat-sifat hegemon dari Paman Sam dan George Bush!!! Ah, saya menyesal sekali. Karena kebodohan itu, sementara Amerika Serikat makin memperkuat armada perangnya dalam Perang Teluk, saya malah kerap dibully :(. "Ah, kamu mah ngga punya uang buat beli balon-balonan. Ahhh, donat mah ngga enak. Mending main balon." Dan saya hanya diam kemudian menjadi gadis yang berkrisis identitas. Yang sekarang saya bingungkan adalah, itu yakin tuh bocah-bocah itu makan pas istirahat sama balon doang? Kembung kayaknya otak mereka.

Hmmm.

Bully kedua adalah ketika saya sebagai anak baru nggak punya tempat di kursi anak perempuan, tetapi di kursi anak laki-laki. Sebagai pejuang kesetaraan gender, saya merasa biasa saja duduk dengan anak-anak lelaki. Namun, sayangnya, kawan-kawan saya yang perempuan itu nampaknya menganggap saya adalah penyakit sosial yang harus dibasmi karena berkumpul dengan makhluk jenis lain. Seharusnya sih, kalau mereka bijak, mereka memberikan tempat untuk saya. Sayangnya, mereka tidak memberikan kesempatan itu. Setiap pulang sekolah pun saya diejek karena duduk dengan anak laki-laki. Ah, saya berusaha mengingat-ingat apakah dalam kejadian itu ada anak laki-laki dengan model rambut Jimmy Lin datang menolong saya dan menembaki anak-anak perempuan yang mengejek saya dengan AK-47 atau RPG milik Israel. Tapi sepertinya tidak ada. Saya pun galau. Kalau gitu siapa dong jodoh saya? Eeeeaaaa.

[cont]

Kisan TeKa Part One

So, okay. Seperti yang saya bilang pada diri saya sendiri pada malam yang panjang dan penuh trauma karena selalu saya lewati hanya dengan berbekal winamp kemudian ada suara-suara yang tidak saya kenal dari belakang kamar *engga juga sih*, awkward rasanya melihat laptop tanpa memainkan jari saya yang lentik dan berpotensi menjadi jari keyboardist andai saja ibu saya istiqamah dalam mencari tempat les keyboard. Dalam rangka mencari kegiatan distraktif atau kegiatan yang bermanfaat melepaskan penat saya akibat mabuk-mabukan tadi malam *mabuk duku* barusan saya habis main ke tumblrnya kawan saya yang unyu, sporadis, kritis, pemalu, dan selalu tampak manis, yaitu Dewa dan saya ngakak membaca post-nya mengenai kisah masa TK-nya. Saya sebagai gadis yang hidup di masa copy-paste dan tidak memiliki ide original, bahkan hanya untuk memberi nama biskuit oreo menjadi orio*EH IYA GUE KAN MASI PUNYA OREO STROBERI DI KRESEK!!!*, saya pun berkeinginan untuk menceritakan masa TK saya yang begitu berdarah dan juga penuh fitnah. Ah, saya dan Dewa sepertinya adalah dua gadis polos dan suci yang begitu rapuh dalam menghadapi kejamnya dunia.


Mmmm, sama kayak Dewa, saya juga sekolah di TK Bhayangkari, tapi kalau Dewa mah di Wonosobo, saya di Surabaya. Ibu saya sudah ingin menyekolahkan saya sejak saya umur 3 tahun, tapi sepertinya runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 belum berdampak pada penyebaran palygroup hingga ke kota ibu kota Jawa Timur yang berjarak sekitar 18 hari hari Jakarta apabila ditempuh dengan jalan kaki sambil kayang. Saya pun harus menunggu umur 4 tahun untuk bisa sekolah di zaman Orde Baru.

Kisah sedih traumatik dimulai pada saat itu. Dalam perspektif mata saya dan kepala saya yang imut relatif dari mata dan kepala saya pada umur ini, kelas di TK Bhayangkari itu gedddeeeee sekali. Anak-anak berloncatan dengan barbar ke sana ke mari dan saya merasa bahwa saya sedang satu sekolah dengan kera-kera di Gunung Hua Kao bersama Sun Go Kong. Cultural shock saya rasakan begitu berat hingga saya pun kerap menangis, ditambah lagi saya tidak bisa menggambar lingkaran. Jari saya terlalu lentik untuk menggambar hal remeh temeh yang bahkan pada masa globalisasi sudah bisa dibuat hanya dengan menjiplak uang koin atau dengan menggunakan jangka atau dengan membayar pembunuh bayaran. Alhasil apa? Hmmm, guru saya yang tampaknya lebih cocok jadi ibu tiri di serial Dulce Maria itu menggendong saya ke luar kelas lalu memindahkan saya ke aula kemudian mengunci saya di dalam aula sampai jam pulang.

Ya, akibat dari kejadian yang terulang tiap hari itu sih saya trauma sama ruangan tertutup. Saya baru berani tidur sendirian di kamar tertutup itu waktu saya kelas berapa SMP gitu. Hmmm, saya sudah mencoba bilang sama ibu saya bahwa di TK itu saya diperlakukan semena-mena dan melanggar hak-hak anak untuk hidup dengan tenang, sayangnya ibu saya pikir saya ini anak yang terlalu berpikir jauh ke depan padahal permasalahan utama saya adalah saya nggak bisa menggambar lingkaran. Saya bilang itu semua nggak benar. Tapi saya menyerah ketika ibu saya menguji kemampuan saya dalam membuat lingkaran. Saya memang ngga bisa membuat lingkaran yang dari ujung yang satu bertemu dengan ujung yang lain. Oh, tidak. Saya hanya bisa menggambar kurva abstrak. Reaksi saya sih, saya menangis dan menyerah. Saya bilang saya mau putus sekolah saja. Lebih baik saya mengasuh adik saya saja. Dua kalimat terakhir barusan bukan kalimat lebay, itu serius beneran saya bilang gitu dan sampai sekarang saya selalu diledek sama orang tua saya, "Cieeee yang ngga mau sekolah, maunya ngasuh adik." Hahaha. Menanggapi hal itu, ibu saya sedih tapi gengsi, jadi ibu saya pun naik pitam. Dari magrib sampai jam 10 malam ibu saya memegangi jari saya, mengarahkan kelimanya untuk membuat lingkaran. Yeayyy!!! Jam 10 malam saya pun bisa menggambar lingkaran!

[cont]

teruntuk pemilik http://paradoxical-reaction.blogspot.com

Apa lagi sih yang lebih membakar semangat yang sudah nggak berbentuk selain membaca posting dari seorang teman yang sudah pernah mengalami masa itu ?

I love you, Ayi my dear :)

Jatuh

Perenungan dimulai ketika suatu malam saya memutuskan untuk mencari Ayi dan menceritakan satu kejadian yang saya alami pada hari sebelumnya. Perenungan kemudian berlanjut pada menit berikutnya ketika Ayi membuatkan satu kado virtual buat saya. Gambarnya manis sekali. Tulisan yang menyertai membuat gambar itu lebih manis dan berarti lagi.

Perenungan kedua berlanjut dalam perjalanan panjang Cibiru ke Majalaya dan Ciparay selepas buka bersama Ganesha saat playlist di mobil bos saya yang sedang dikemudikan Bu Sukroh memutarkan lagu unyu dari Vierra. Saya nggak tahu judulnya apa. Saya tanya pada guru lain yang sedang ada di mobil itu, mereka juga nggak tahu. Mungkin harusnya saya bertanya pada bos saya yang masang playlist itu hehe. Sayang sekali karena bos saya nggak ikut dalam perjalanan panjang itu, akhirnya saya bertanya pada penguasa jagat maya, Kyai Ageng Google. Ternyata judul lagunya Terbang.

Dua hal tersebut kemudian mengantarkan saya pada perenungan yang lebih berkembang. Ya, sebelumnya saya hanya bisa mencoret-coret tumblr saya dengan berjuta kekesalan pada diri saya sendiri yang kemudian berujung pada kesimpulan bahwa saya adalah perusak dari segala mimpi saya sendiri. Kalau saya nggak bisa menggapai apa yang saya impikan, ya itu pasti berasal dari kebodohan saya sendiri. Perekaan saya atas makna yang tersembunyi dari segala kerusakan yang saya ciptakan itu adalah saya memang nggak boleh punya mimpi itu. Saya salah punya mimpi.

Saya kemudian berhenti memikirkan itu ketika Ayi bilang saya nggak boleh mengalkulasikan masa depan saya hanya karena satu batu sandungan. Ayi bilang ini saatnya saya untuk istirahat dulu. :). Judul posting Ayi membuat saya tersenyum. Ayi bilang Happiness Awaits. Sabar dulu karena Tuhan pasti punya rencana yang indah.

Mmmmm. Sabar, istirahat, batu sandungan. Menghubungkan perkataan Ayi dengan lirik di lagu Vierra yang saya tangkap di mobil, yakni kata Jatuh dan Berlari, saya jadi mikir. Ya, saya bukan bertindak bodoh dan salah punya mimpi. Saya jatuh bukan karena dua hal itu, melainkan karena saya sedang berlari. Karena saya berlari, maka saya rawan jatuh, bahkan hanya karena satu batu sandungan.

Ketika kita berlari, kita pasti akan mudah jatuh, bahkan oleh hal kecil. Iya, blundernya adalah hal kecil. Hal yang padahal kalau dipertemukan dengan kita saat kita sedang berjalan, hal itu bisa kita atasi dan bahkan bukan masalah. Salahnya bukan pada hal kecil itu, melainkan pada kecepatan kita saat mengejar mimpi. Dan memang kecenderungan kita dalam mengejar mimpi adalah dengan cara berlari. Itulah yang membuat banyak dari kita jatuh saat berusaha merealisasikan mimpi.

Hal umum yang kita anut adalah dengan berlari maka kita akan semakin cepat menggapai mimpi. Yah, tapi kita lupa bahwa saat kita berlari, keseimbangan kita tidak sebaik ketika kita sedang berjalan. Bukan nggak boleh berlari, tapi saat kita memutuskan mau berlari, kita juga harus tahu bahwa ada resiko lebih mudah jatuh yang tersembunyi. Masalahnya kita nggak pernah tahu oleh apa, kapan, dan bagaimana kita jatuh. Bisa saja karena ada batu yang sengaja dilempar orang. Bisa saja karena ada orang yang nggak sengaja melempar batu. Bisa saja karena kita sudah tahu ada batu yang menghalagi jalan tapi kita lupa letaknya ada dimana. Bisa saja karena ada batu yang tiba-tiba mencuat dari jalan yang pecah. Banyak sekali kemungkinannya.

Hmmm.
Ya dan sekarang saya jatuh. Berarti dalam masa yang lalu itu saya sedang berlari. Hmmm. Karena kemarin saya sudah berlari dan sekarang saya jatuh, maka setelah ini saya harus istirahat. Istirahat, menunggu luka yang diakibatkan oleh jatuh ini kering, kemudian belajar bangkit, lalu berjalan. Ya, berjalan saja. Jangan berlari lagi. Masih ada banyak batu di penggalan jalan berikutnya dan saya nggak tahu mereka dari mana dan kenapa harus datang. Saya harus memaknai mereka untuk dapat memaknai kesesuaian mimpi saya dengan rencana Tuhan dengan hati yang lapang, kepala yang dingin, dan tanpa luka.

:)