Dakwah Bukan Untuk Menghakimi

Ada yang perlu saya koreksi dari cara berdakwah anak DKM angkatan di bawah saya,tapi sebelumnya saya minta maaf karena untuk masalah ini saya belum menemukan solusi jembatannya. Sekarang saya hanya bisa menyampaikan beberapa kelemahan mereka saja.



Ada dua hal yang membuat kening saya berkerut sekaligus menggelitik hati saya. Tapi yang perlu saya tegaskan di sini, saya bukan tidak suka atau tidak setuju dengan materi yang mereka sampaikan, saya juga tidak mengkritik apa yang menjadi bahan dakwahan mereka, saya hanya tidak setuju dengan cara mereka menyampaikan materi dakwah mereka dan itulah yang saya kritik di sini, cara mereka.



Pertama, ketika itu kebetulan saya sedang PRA UAN I Matematika di ruang 12 atau kelas 2 IPA 4. Di sana saya menemukan banyak sekali kertas-kertas HVS ukuran A4 yang dipotong menjadi dua bagian. Kertas-kertas itu berisi puisi yang sangat panjang, judulnya Bila Rasulullah Berkunjung ke Rumah Kita. Isinya menurut saya terlalu ekstrim dan tidak logis dengan kehidupan objek dakwah (kalau mereka mengambil anak SMAN 3 sebagai objek dakwahnya).


Di bawah ini antara lain yang menurut saya terlalu ekstrim :


ð Bila Rasulullah berkunjung ke rumah kita, pasti kita akan bingung menyembunyikan video rate 18+ yang berserakan di ruang keluarga kita



ð Bila Rasulullah datang ke rumah kita dan minta izin untuk shalat, jangan-jangan kita akan menyulap kamar mandi kita menjadi mushola



ð Bila Rasulullah berkunjung ke rumah kita, kita pasti akan malu karena perempuan-perempuan di rumah kita tidak memiliki baju yang pantas untuk menghadap Rasulullah



Inti dari ketiga bait yang saya petik itu yakni, kita sangat akrab dengan video porno sehingga tak malu lagi menggeletakkan video-video itu secara tercecer di ruang keluarga (Yang berarti kita tidak akan lagi malu menontonnya dengan seluruh anggota keluarga, sebab interpretasi dari ruang keluarga adalah ruang tempat berkumpul seluruh anggota keluarga), kita tidak punya mushola sehingga akan tega memakai kamar mandi, dan perempuan hanya memiliki baju yang mengumbar aurat. Ketiga inti tersebut saya nilai sebagai suatu pelecehan. Pelecehan bagi kehidupan objek dakwah yang dalam hal ini adalah siswa siswi SMAN 3.


Kehidupan siswa selain DKM sama sekali tidak seperti itu. Video porno, oke katakanlah hampir semua laki-laki punya, tapi apakah mereka akan sebegitu maniaknya dengan video tersebut dan apakah keluarga mereka sangat bobrok sehingga membolehkan mencecerkan video tersebut di ruang keluarga ? Itu yang pertama.


Kedua, pantas atau tidak bila kita menyetarakan mushola dengan WC ? Kenapa harus memakai kamar mandi sebagai mushola? Mushola untuk shalat, sedangkan kamar mandi untuk pembuangan. Dengan anak DKM menggunakan substitusi kamar mandi, maka itu juga berarti mereka juga melecehkan mushola, melecehkan shalat, melecehkan Allah secara jauhnya. Tidak adakah ruang yang lebih ekstrim sekalian dari kamar mandi untuk pengganti mushola? Kenapa, sih, harus menggunakan kamar mandi? Kenapa bukan ruang komputer atau ruang televisi atau ruang makan atau apalah yang setidaknya bukan kamar mandi.



Ketiga tentang perempuan yang tidak memiliki baju untuk menutupi aurat. Apa mereka pikir semua anak perempuan selain DKM tidak pernah membeli baju muslim ? Apa mereka pikir semua anak perempuan selain DKM hanya memakai tank top dan hot pants selama di rumah? Kalaupun ya, saya rasa bukan hak anak DKM untuk menghakimi anak-anak perempuan yang nampak seperti sesat itu. Masalah pakaian itu, kan, masalah privasi, kenapa harus dijadikan persoalan yang diusung dalam puisi yang disebarkan kepada khalayak umum ? Pantas atau tidak ? Kenapa yang diangkat malah masalah pakaian dan pakaian tersebut adalah pakaian di rumah? Kalau mereka mengkritisi pakaian-pakaian yang menjamur di BSM atau Ciwalk, okelah karena itu dipakai di tempat umum dan jelas-jelas perempuan yang memakainya memang memperlihatkan aurat kepada para mata, tapi sekarang yang mereka angkat adalah pakaian di rumah. Ya apa urusannya, siapa yang mau diperlihatkan aurat oleh para perempuan yang nampak akan menjadi calon penghuni neraka kata anak DKM itu?


Dengan begitu maka yang saya tangkap dari puisi tersebut adalah anak DKM belum terjun secara mendalam mengetahui seperti apa kehidupan nyata para anak SMAN 3. Anak DKM 08 dan 09 ternyata hanya mampu melihat kaver dan mencap buruk kaver tersebut tanpa sedikit pun mencoba tahu apa isi dari kaver tersebut, apa latar belakang hingga kaver itu tercipta, dan apa prinsip-prinsip ketuhanan yang dipegang kaver tersebut. Dakwah tanpa tahu medan juga sebenarnya salah, kan?



Jika anak DKM berkilah puisi tersebut hanyalah suatu perumpamaan saja untuk menyadarkan betapa jauhnya kita dari kehidupan yang dicontohkan Rasul, maka yang ingin saya balikkan adalah, “Apakah tidak ada lagi perumpamaan yang lebih kasar sekalian ? Biar sekalian mereka memusuhi Islam dan surga hanya akan dimonopoli anak DKM dan bersih dari para nista yang mau tobat.”


Puisi tersebut, yang saya yakin bahwa ia diciptakan sebenarnya untuk maksud yang baik, menurut saya tidak akan sama sekali menggerakkan objek dakwah untuk mendekat kepada jalan Allah, justru puisi tersebut akan menciptakan jurang yang sangat dalam antara objek dakwah dengan Allah dan objek dakwah dengan pendakwahnya alias anak DKM.


Yang perlu mereka tahu, dakwah tidak bisa dijalankan dengn garis keras sperti itu. Kalau dakwah dijalankan dengan garis keras, siapa pun tidak akan mau mendekat. Kita lihat para sunan, kenapa sih mereka bisa mengubah paradigma para pemuka dan penganut Hindu, Budha, animisme, dinamisme, paganisme serta masyarakat pedalaman yang tidak mengenal agama atau keyakinan khusus sehingga mereka mau menelaah Islam hingga akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam? Ya karena mereka berdakwah dengan jalan yang bisa masuk ke dalam keseharian para objek dakwah. Lewat wayanglah, lewat kidunglah, lewat obrolan lintas keyakinanlah, dan lain-lain, yang saya yakin cara-cara tersebut adalah cara yang jauh dari cara mengecam dan melecehkan seperti yang dilakukan anak DKM angkatan bawah saya.


Cara dakwah anak DKM (sayangnya saya tidak tahu puisi itu disebarkan oleh Divisi Ikhwan Al-Furqon atau Divisi Akhwat Dafa) tersebut sama sekali tidak menimbulkan pertanyaan. “Lalu Islam yang baik itu Islam yang seperti apa ? Kami harus bagaimana untuk menjadi umat yang baik?” dari setiap pembacanya. Ya jelas, karena belum apa-apa si objek tersebut sudah ngeper tercap buruk, sangat buruk.





(arkiar)

Perempuan on Action !!!!! Aaaaaaaaawaawwwww…!!!!

Keton dan aldehid dapat dibedakan lewat bereaksi atau tidakkah ia saat direaksikan dengan Fehling A atau Tollen’s. Alkohol dan eter pun dapat dibedakan lewat bereaksi atau tidakkah ia saat direaksikan dengan natrium. Nah, bagaimana metode yang tepat untuk membedakan laki-laki dan perempuan?


Jawaban saya hanya satu, bawa mereka ke lapangan, beri mereka tugas main sepak bola dan dari sana akan kita lihat betapa berbedanya laki-laki dan perempuan.
Tiga tahun saya bersekolah di SMA 3 dengan berbagai pengalaman menonton liga bola antarkelas serta memainkannya (eits, siapa kiper terbaik kelas 3ipa5??? Saya, tentunya…!!!) akhirnya saya bisa menarik kesimpulan ini.


Laki-laki kalau main bola bawaannya teriak gini mulu,


“Anjiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing!!!! Goblog! Bawa kadieu, beul!!!! Ah, sia mah!”


(jangan tanya artinya, deh, walaupun saya juga kadang sering , sering kadang, sering-sering, dan kadang-kadang meneriakkannya tapi saya tetep nggak tega ngasih tau artinya. Intinya mah kasarlah!).


Dan bagaimana dengan perempuan? Perempuan jauh lebih halus dalam meneriakkan kekesalan, tapi mereka cenderung tidak tegas dalam mengungkapkannya, baur
banget! Kayak gini…


Suara 1 : Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaawwwwww!!!!


Suara 2 : Ih, itu itu itu itu bolanya tendang!!!!!!!!!!


Suara 3 : Beceeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeekkkkk!!!!


Suara 4 : Aduuuuuuuuuuuuuuuuuuhhhh, kotorrrrrr!!!!


Suara 5 : Ihhhhhhhhhhhhhhhhhhh, sakittttttttttt!!!!


Suara 6 : Bolanya awas awas awas awas awas bolanyaaaaaaaaa!!! Awaaaasss!!


Suara 7 : Vannyyyyy!!! Awas!!! Ayaaaaasss!! Deyyyyaaa!! Ambilllll!!!


Suara 8 : Aduuuuuuuuuuhhhhh!!!!


Suara 9 : Awas awas awas, ambil ambil ambil!!!!


Suara 10 : Lariiiiiii!!!


Suara 11 (kiper) : Bolanya bawa jauhhhhhh, anjiiiiiiiiiiiiiiiiiiisssss!!! Bantuin gua jaga di depan woooooooyyyy!!!! Hoiiiiiii!!! Awas, May…itu musuh….Arggghhhh!!!! Yeeeeee, nggak gol…– suara saya –


Suara 12 (suporter kelas yang nggak kalah heboh) : (Reaksi atas kegagalan gol kelas orang) Gopeeeeeeeeeeeeeeeee, I Love yuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu….!!!!



Selain dari teriakannya, laki-laki dan perempuan juga dapat dibedakan dalam cara membawa bola. Kalau laki-laki, pembagian 442 nya teratur, sedangkan perempuan ?


Wah, prinsip perempuan hanya satu, dimana ada bola, di sana ada kami.


Jadi kalau laki-laki main tuh berdasar pada porsinya, kiper ya kiper, pertahanan ya pertahanan, penyerang ya penyerang…Nah, kalau perempuan, satu-satunya yang konsisten dengan tugas cuman kiper doang! Itu pun kadang kipernya hokcay (molohok bari ngacay –bengong sambil ngiler –) di gawang soalnya nggak ada kerjaan (tapi saya enggak kok…).


Ya iyalah, secara bolanya aja dibawa-bawa sama 20 orang lain yang teriakannya sama-sama beda, kenceng, cempreng. Nah, 20 orang itu pun yang benar-benar keringetan paling cuman 19 orang (???) eh, 9 orang deh…10 sisanya ya ikut-ikutan lari aja…trus kalau bolanya ada di deket mereka kadang mereka suka lupa mana kawan mana musuh…trus malah ngumpan ke musuh…Waaaaah, parah!


Perbedaan lain adalah perempuan sangatlah barbar dalam berlari. Jadi kalau perempuan A udah bawa bola maka segala macam rintangan harus sirna. Dia akan terus berlari dan menyodok segala macam organ vital perempuan lain yang ia anggap menghalangi jalnnya. Untung aja nggak peraturan 3seconds dalam sepak bola.
Terus perempuan tuh kalau satu ada yang luka ya maka berhentilah seluruh permainan. Ngurusin yang luka, lah…biasa…


Wah, gila lah…pokoknya kalau perempuan main bola, suasana akan sangat memanas dengan segala macam teriakan cempreng dan kesakitan gara-gara jatuh disenggol.
Yah, mungkin itu adalah salah satu alasan mengapa pemerintah tidak mengizinkan program listrik masuk desa….eeeeeeh, PON cabang sepakbola putri….Takut berisik seIndonesia. Dan yang jelas inilah yang membedakan laki-laki dan perempuan secara mendasar. Halaaaah.



(arkiar)

If U Can Dream It....

“If u can dream it…so u can do it..”


Percaya dengan kalimat tersebut?


Pada awalnya, saya kurang percaya, terutama dengan klausa terakhirnya, namun beberapa jam setelah saya membaca tulisan yang terpampang di Papan Mimpi atau Papan Rencana –papan yang berisi tujuan murid setelah lulus SMA, biasanya ada di tiap ruang kelas 3– kelas 3-8 itu, akhirnya saya percaya.


Apa pasal ?


Sore hari sepulang dari sekolah saya mendapati amplop coklat dari Redaksi Majalah Bobo di kamar saya. Setelah saya buka, ternyata amplop itu berisi Majalah Bobo no.46 edisi 22 Februari 2007. Dengan muka bingung karena tidak tahu mengapa saya harus dikirimi majalah oleh redaksinya sendiri, saya membuka lembar demi lembar dari majalah kesayangan saya sejak TK itu, sekedar mencari tahu jawaban. Agak lama tidak mengerti, akhirnya ketika saya menapaki halaman 29, saya menemukan jawabannya. Dongeng saya, Ketamakan An Li dimuat di sana.
Itulah saat-saat yang paling membuat saya menganga. Menganga terkejut sekaligus bahagia.

“Ini mimpi gua banget!”


Mungkin bagi penulis lain, tulisan dimuat di majalah atau koran bukanlah suatu hal yang luar biasa, namun bagi saya, hal tersebut adalah hal yang paling menakjubkan. Sungguh. Bukan bermaksud untuk sombong apalagi kampungan, hehe, tapi alasan saya mengesahkan rasa bahagia tersebut yaitu karena dengan dimuatnya tulisan saya, maka satu cita-cita dan mimpi terbesar dalam hidup saya (mulai dapat) tercapai.


Mimpi dan cita-cita?


Agak lucu juga awalnya. Setiap Kamis, hari saat Majalah Bobo terbit dan dibawakan ayah saya dari kantornya, semua isi dalam majalah habis saya lahap semua. Lalu Jumat saya mengulang membaca, Sabtu masih mengulang, Minggu mulai kesal dan tetap mengulang membaca, Senin saya sudah hapal apa saja isi majalah, Selasa saya tulis semua hal yang saya ingat dari apa yang saya baca, Rabu saya masih menulis, dan Kamis saya memiliki majalah edisi terbaru. Selalu begitu setiap minggu, sejak umur empat tahun hingga enam tahun.


Memasuki usia tujuh tahun, saya berpikir begini (jika dibahasakan dengan gaya bahasa saya sekarang), “Wah, gila, masa gua tetep nyalin tulisan majalah? Bikin sendiri aja! Gampang, kok! Masa gua nggak bisa?” –ternyata memang sifat nggak mau kalah saya ini sudah tampak sejak orok, ya!-


Dan pada saat itu saya mulai menulis apa yang saya pikirkan. Belum seratus persen berpikir di atas kreativitas saya juga sebenarnya. Memang, ketika itu saya menulis apa yang saya pikirkan, namun saya masih mengacu pada tema yang diangkat oleh rubrik-rubrik Majalah Bobo. Saya masih ingat betul, hal yang pertama saya tulis adalah puisi berjudul Gunung. Puisi itu saya tulis berangkat dari puisi dengan judul dan tema serupa, Gunung. Saya lupa siapa nama pengarangnya, yang jelas ia murid SD Xaverius, Palembang. Haha, hapal! Jumlah baris dan baitnya juga sama. Tujuh baris dan empat bait (atau kebalik, ya? Empat baris dan tujuh bait?). Intinya ketika itu saya benar-benar tidak tahu apa-apa soal menulis dan akhirnya saya belajar secara otodidak dan otomaksa, hehe, pada apa yang disajikan oleh Majalah Bobo.


Sekitar sebelas tahun saya membaca Majalah Bobo, selama sebelas tahun itu pula saya iri, “Kok mereka bisa, ya nulis di majalah?” dan yang terpikir oleh otak saya adalah, “Berarti gua harus bisa nulis dengan cara kayak mereka nulis.”


Berangkat dari pemikiran seperti itu akhirnya saya mempelajari seluk-beluk menulis dari apa yang saya baca di Majalah Bobo. Bagaimana cara menulis puisi, cerpen, dan dongeng yang baik, apa yang harus ada dalam sebuah tulisan, bagaimana penokohan dalam sebuah cerita, bagaimana meletakkan tanda baca yang tepat, bagaimana agar bahasa bisa terbaca hidup, bagaimana caranya memberikan pemahaman kepada pembaca yang usianya masih muda, dan lain-lain. Lalu yang paling membanggakan adalah apa-apa yang telah saya pelajari itu ternyata mengantarkan saya mendapatkan nilai 9 setiap ada tugas mengarang selama di SD.


Kembali pada persoalan awal, If u can dream it, so u can do it, saya kini seratus persen percaya. Dulu saya bermimpi ada tulisan saya yang dimuat di Majalah Bobo dan kini mimpi saya telah menjadi kenyataan. Siapa yang tahu, kan? Dulu saya hanya anak kecil yang tolol masalah menulis, yang bisanya hanya meramu tema yang sama menjadi tulisan berbeda namun masih satu rumpun, dan sekarang bagaimana? Berkat terus membaca, terus mengoreksi, dan terus membandingkan, ternyata mimpi saya bisa terwujud. Ini pokok persoalan mengapa saya bisa bangga. Ya, karena ini adalah mimpi saya yang dapat saya wujudkan lewat belasan tahun belajar sendiri dengan membaca berulang.


Dimuatnya satu tulisan saya bukanlah akhir dari mimpi saya, tentunya. Ini adalah awal untuk mulai berjalan mendidik adik-adik saya, awal untuk memulai mimpi saya. Dan semoga Allah membantu saya. Amin.


Mmmm, apakah saya bisa ?


Tentu. Karena saya tahu dan percaya… If u can dream it, so u can do it.







(arkiar. Dok.pri. Mar 07)

Menjalani Maret....

Kemarin masih inget banget tuh baru juga nulis First February, eh sekarang udah nulis Menjalani Maret lagi. Wew, berarti udah satu bulan, ya? Yah, kalo gitu tinggal satu bulan lagi menuju UN. Ummm, sekolah mulai memadat, nih tugas-tugasnya. Terus makin padat aja tuh omelan guru-guru, terutama wali kelas saya. Iiiiiiih, ngomeeeeeel mulu! Ngomelnya juga tiba-tiba tanpa sebab musabab yang bisa disahkan sebagai hal yang fatal dan patut dimarahi. Ya Alllllllllllaaah…


Awal Maret ini ada event bazar dari sekolah tetangga, namanya 8soulvation. Saya, yang jelas-jelas miskin tak bermodal plus pelit hura-hura ternyata bisa dateng ke acara itu berkat kebaikan hati sepupu temen saya yang ngebeliin tiket, buat saya dan tentunya buat temen saya. Thanks, ya, Nit!


Tiga hari setelah itu, mulailah neraka otak. Ulangan fisika. Listrik 5 bab. Statis, dinamis, arus bolak-balik, magnet, samaaaaaaa ga tau satu lagi apa. Wah, mana pake sistem plus empat minus satu pula! Ah, alamat bakal ngosongin lembar jawaban ini mah.


Maret ini…sibuk..sibuk..sibuk…sibuk belajar buat UN, matem khususnya. Eh, iya! Bareng sama acara bazar itu, matem juga memberikan serangan 30 soal praUN, huwahuwa…susah euy! Yah, biasalah, apa sih yang nggak susah buat saya…hehehe.


Eh, dengan adanya kenyataan bahwa UN tinggal menghitung hari, detik demi detik, ….maka saya harus padamkan saja, kobar asmaramu…alias sedikit mengurangi pacaran sama laptop. Huah, perlu konsen yang tinggi dan niat yang mulia serta kesungguhan hati untuk memandang jauh ke depan bahwa, kudu lulus! Aduuuuuuuuh, amin.


Wah, kok kayaknya saya menderita sekali gitu, ya selama bulan Maret ini. Kayaknya sekolah tuh, sumpah, neraka banget gitu…Haha, enggaklah. Seimbang-seimbang aja, kok. Ada hal-hal yang bikin enak juga lah. Apa, ya? Wah, ya belum tahu. Maret-nya aja baru mulai, mana tau bakal ada apa aja. Ah, tapi yang jelas, sih bakal dibawa nyantei aja. Belajar ya belajar, main ya main, pacaran ma laptop masih jalan, pacaran ma manusia…wah, susah ini mah, manusia-nya nggak ada yang ‘lagi’ sama saya, nih! Gimana, dong? Whahaha.


Yah, Maret ini bulan yang berat soalnya bakal dipakai sama belajar buat UN, Maret ini juga bakal berat sama tugas yang numpuk, Maret pun bakal mahal buat ngeprint tugas yang harus diketik dan dijilid, intinya mah bikin pusing. Ummmm, wishing buat bulan ini…Semoga ada kebahagiaan di balik kesusahannya…amin…hehe. Bijak, nih gua sekarang.


Oia, turut berbelasungkawa juga, nih buat korban terbakarnya Garuda di Yogya. Wah, belum habis rasa nggak habis pikir gara-gara hilangnya Adam Air dan terbakar plus tenggelamnya Levina, eh dateng lagi musibah Garuda ini. Gara-gara tiga musibah yang menggoncangkan Indonesia ini, sekarang saya makin sering mimpiin Pak Hatta Rajasa, Pak Suripto, dan Pak D.Sudibyo, hehe, soalnya mereka akhir-akhir ini jadi laku gitu diwawancarai televisi-televisi, kan akhirnya wajahnya jadi familiar buat saya. Mmmm, wishingnya nambah lagi kalau gitu, semoga musibahnya cukup sampai sini aja, nggak berekor kesana kemari dan beranak pinak. Amin.


Ups, lupa… turut berbelasungkawa lagi buat saudara-saudara se-Tanah Air yang terkena bencana gempa bumi di Sumbar. Aduuuuuuuuuuuuh, musibah terus, nih. Kemarin banjir, trus ada lagi Lapindo yang makin parah lumpurnya, trus sekarang gempa. Kayaknya nggak ada habisnya. Satu yang harus diingat, jangan nyalahin alam, apalagi nyalahin Tuhan, soalnya dulu kita-kita juga yang tega sama alam dan Tuhan. Eksploitasi mulu, nggak pake bersyukur, lagih! Marah, deh tuh Tuhan lewat alam, ditambah lagi alamnya udah ngambek sama kita dari lama, jadi waktu disuruh Tuhan untuk ngasih pelajaran sama manusia, si alam semangat banget menjalankan. Hmmmmm, kalau gitu kita harus minta maaf sama alam dan Tuhan. Trus harus janji juga supaya ga jahat dan serakah banget ngeruk anugrah-anugrah dari Tuhan. Ya, nggak ?


Eh kemarin ada yang sempat lihat gerhana bulan ? Ada yang sempat motret fenomena itu nggak ? Wah, sayang banget kalau sampai nggak sempat. Soalnya kemarin itu langit lagi cerah-cerahnya, jadi nampol banget buat lihat umbra dan penumbra. Mmmm, tapi jangan khawatir, waktu saya baca di Tribun, katanya nanti sekitar bulan Agustus gitu bakal ada gerhana bulan lagi. Nah, nanti jangan sampai terlewat lagi. Oia, ngomongin soal gerhana bulan, saya jadi kangen gerhana matahari total. Kalau nggak salah inget, itu terjadi waktu saya masih SD. Wah, waktu masih SD, sih tolol banget nggak ngerti keindahan dari gerhana matahari total, makanya terlewat dengan datar aja. Huuuuuuummmmm, kapan lagi, ya bakal ada ? Nanti, sih nggak akan dilewatkan dengan datar-datar aja.


Trus trus trus trus… makin melebar aja jadinya. Ah, ngomong-ngomongnya udahan dulu, baca tulisan saya yang lainnya, ya!


Selamat Menjalani Maret!






(arkiar, Maret 2007)