Catatan dari UN dan Penerimaan Peserta Didik Baru SMA Tahun 2013 di Kota Bandung


Hal cukup melegakan terjadi pada penerimaan peserta didik kota Bandung tahun 2013 ini. Passing grade SMP dan SMA favorit yang terkumpul dalam cluster 1 mengalami penurunan ke tingkat yang saya sebut normal. SMAN 3 Bandung, contohnya. Setelah tahun 2012 lalu berpassing grade 39,1 atau kasarnya si calon siswa harus punya 3 nilai 10 dan 1 nilai 9 koma, tahun 2013 ini 'hanya' mensyaratkan nilai UN minimal 36,7.

Turunnya passing grade secara signifikan tersebut bagi saya jelas merupakan prestasi. Bahkan kalau saya boleh berlebihan, hal tersebut juga saya lihat sebagai arah perkembangan pendidikan yang lebih fair. Terdapat dua hal yang membuat saya berkata demikian, sekaligus yang saya lihat sebagai faktor pendorong turunnya passing grade. Pertama mengenai pengamanan UN tahun ini dari kebocoran, kedua mengenai penghapusan RSBI.


20 Paket UN
Saya awalnya mengira bahwa UN 20 paket hanya isu untuk menakuti murid agar lebih rajin belajar. Biasalah, saya juga pernah mengalami 'ancaman' kengerian UN saat saya sekolah. Masa-masa awal kelas 3 SMP/SMA memang sudah diskenariokan untuk melecut murid-murid lebih serius menghadapi hidup. Karena saya berpikir demikian, saya acuh saja saat murid-murid saya di Ganesha dulu sering sekali mengeluhkan ketakutannya, "Atuh, Bu, gimana dong UN sekarang mah 20 soal. Sekelas pada beda semua. Kita juga ngga dikasih tahu bakal dapat paket berapa. Guru-guru juga ngga ada yang tahu. Pokoknya on the spot." Tanggapan saya sok-sok netral saja (padahal dalam hati tertawa), "Makanya kalian belajar yang serius dari sekarang."

Eh, ternyata UN 20 paket bukan sekadar isapan jempol. Sempat diwarnai kepanikan karena soal yang terlambat datang di beberapa daerah, akhirnya UN 20 paket benar-benar terlaksana. Saya masih agak skeptis dengan teknisnya tapi kemudian murid saya curhat, "Bu, susah banget soal UN-nya. Mana 20 paket, sekelas nggak ada yang sama jadi terpaksa mengerjakan sendiri. Pusing."

Saya nggak paham sih dengan keluhan si murid yang masih sempat-sempatnya bilang, "terpaksa mengerjakan sendiri," bukankah memang seharusnya mengerjakan sendiri? Haha. Saya tanya soal sms kunci, dia mengeluh lagi. Katanya boro-boro mau nyari sms, dia aja nggak tahu bakal dapat soal tipe apa. Balik lagi ke mengerjakan semampu-mampunya otak mengerjakan.

Dahsyatnya soal UN 20 paket terlihat dari perolehan nilai UN para murid. Saya tahu nilai UN tidak sebesar biasanya saat murid saya mengirim message di fesbuk saya memberikan daftar nilai UN kawan-kawan sekelasnya di Ganesha. Dengan standar saya pada passing grade tahun lalu yang bahkan nilai 36 saja harus siap-siap terlempar ke sekolah swasta, saya sempat stres juga membaca message tersebut. Dua murid teratas saya di Ganesha Cabang Cinunuk, 'hanya' mendapat nilai 35 padahal mereka ingin melanjutkan ke kotamadya. Beberapa belas murid saya yang lain nilainya malah lebih mengenaskan lagi, antara 28-32. Aduh UN rata-rata nilai 7 mah atuh mau dibawa kemana. Saya tanya kenapa nilai mereka kecil, mereka bilang mereka juga nggak tahu. Yang jelas, di sekolah mereka, memang kebanyakan mendapat nilai 28-36. Bahkan ada juga yang di bawah 28. Nyut nyut.

Masuk ke musim penerimaan peserta didik baru (PPDB), data SMA macet tidak ada perubahan siginifikan hingga hari Jumat. Nilai-nilai yang masuk ke sekolah cluster 1 'masih' di kisaran 36. Saya pikir ini orang-orang kok berani banget ya nilai 36 masuk ke SMA 3, SMA 5, SMA 8. Sedikit menyinggung di tingkat SMP, hal yang hampir serupa juga terjadi di sana. SMP favorit lebih banyak diisi oleh nilai 27, padahal tahun lalu 27 sudah nggak punya tempat di cluster 1. Pemandangan berbeda justru saya lihat di SMP cluster 2. SMPN 17 Bandung yang notabene 'di bawah' SMPN 8 Bandung passig grade-nya melambung melebihi passing grade di SMPN 8 saat itu. Di sekolah lain dalam cluster 2 dan 3 pun serupa, nilai-nilai 26 berjubel. Saya rasa ibu-ibu muda yang mendaftrakan anaknya ke SMP punya perhitungan takut terlempar dari cluster 1 makanya memadati cluster 2 dan 3.

Tunggu punya tunggu, Sabtu akhirnya datang. Data SMA memang bertambah, namun angka passing grade tidak ada yang melonjak hingga ke angka 38. SMAN 3 Bandung yang tahun lalu memiliki 28 pendaftar dengan nilai terkecil 39,1 tahun ini sama sekali tidak memiliki pendaftar dengan nilai 39. Nilai terbesar hanya 38,95 dan dipegang oleh satu orang. Pemilik nilai 38 pun hanya 43 orang. Pun di SMAN 5, SMAN 8, SMAN 2. Tahun lalu saya ingat sekali nilai 39 dan 38 memadati seratus ranking teratas pendaftar. Berbeda dengan tahun ini yang tidak satu pun di antara mereka yang memiliki pendaftar dengan nilai 39.

Melihat tren nilai yang normal tersebut, saya jadi bingung . Saya yakin SKL UN punya standar yang baku setiap tahun. Dengan kata lain, saya nggak yakin kalau soal tahun ini lebih sulit dibanding tahun-tahun sebelumnya. Lagipula, masih banyak juga yang mendapat nilai 9 meski tak sebanyak tahun sebelumnya. Saya rasa penormalan nilai tersebut lebih didorong oleh 20 paket soal UN yang terbilang baru dibanding tahun-tahun sebelumnya yang hanya 2 atau 5 paket.

Dasar kesimpulan saya juga sebenarnya buruk, sih. Saya tetap merasa bahwa UN tahun-tahun sebelumnya diwarnai kecurangan. Kalau hanya 2 atau 5 paket soal sih mudah saja bagi pihak-pihak yang terlibat dalam UN untuk mengakali UN, apalagi anak-anak pun sudah tahu mereka akan mendapat paket yang mana. Berbeda pada UN kali ini. Kecurangan dikunci sedemikian rupa sehingga anak-anak pun dipaksa untuk berkonsentrasi menundukkan kepala menghadap soal, bukan lagi menghadap kolong bangku membaca secarik kertas salinan kunci atau bahkan menghadap meja membaca kunci jawaban yang telah disalin dengan spidol berwarna cerah.

Ya, memang saya yakin tidak semua murid pada UN tahun lalu menggunakan kunci jawaban yang beredar secara bebas. Tapi ini sepatutnya menjadi catatan tersendiri, mengapa pada tahun-tahun sebelumnya ada lebih banyak anak cerdas di Bandung ketimbang tahun ini?


Penghapusan RSBI
Faktor lain yang menormalkan passing grade adalah penghapusan RSBI pada tahun ajaran ini. Bagi sekolah yang menerapkan RSBI seperti SMAN 3 Bandung dan SMAN 5 Bandung,  jalur memasuki sekolah top di Bandung ini tak ayal menjadi beragam,namun sayangnya tidak memihak UN. Tes dilakukan secara mandiri jauh sebelum UN dan hasilnya pun sudah dapat diketahui sebelum pengumuman nilai UN.

Menjadikan sekolah-sekolah di Indonesia berstandar internasional itu bagus. Pun karena megahnya gelar yang disandang, yakni ‘internasional’, maka tak semua sekolah bisa langsung menerapkannya. Bertahaplah. Nah, namun demikian, ada harga yang harus dibayar dari keberadaan RSBI. Saya nggak membicarakan kastanisasi dalam pendidikan dan pengkhianatan terhadap bahasa pengantar Bahasa Indonesia di sin, tapi kaitan RSBI dengan UN.

Dari sisi UN, dengan tes mandiri yang diadakan oleh RSBI, saya rasa hal tersebut cukup menggelikan. Bagaimana mungkin sebuah sekolah yang nantinya akan menerapkan UN sebagai ujian akhir tapi di awal proses pendidikannya menepiskan UN? Saya nggak tahu apakah soal mandiri di RSBI itu lebih sulit atau lebih mudah dari UN. Dua-duanya tetap melecehkan UN. Pertama, bila soal tes mandiri RSBI lebih sulit daripada UN, pertanyaannya, mengapa harus demikian? Tidak percayakah pada UN? Bukankah UN digadang-gadang sebagai satu-satunya ujian standar dari proses belajar mengajar? Kedua, bila tes mandiri RSBI lebih mudah daripada UN, maka apakah fair tes mandiri tersebut dilakukan?

Selain itu, dari sisi passing grade, jelas keberadaan RSBI mengacaukan. Meski seolah mengurangi jumlah pendaftar ke sekolah negeri karena paling tidak sudah ada 700 orang yang sudah pasti diterima di sekolah RSBI, keberadaan jalur RSBI sudah barang tentu mengurangi kuota bagi jalur UN. Akhirnya, sekolah ber-RSBI hanya menerima kurang dari 50 anak dari jalur UN. Tidak heran sekolah seperti SMAN 3 dan SMAN 5 mensyaratkan passing grade kelewat tinggi bagi pendaftarnya.

Dengan dihapuskannya RSBI, satu hal yang paling terasa bagi orang luar seperti saya adalah kesempatan untuk masuk ke sekolah favorit dengan cara yang ‘semestinya’ yakni dari UN jadi jauh lebih besar. Tahun ini SMAN 3 Bandung kembali menerima 292 orang dengan passing grade 36,7, sebuah level yang memang wajar bagi kecerdasan anak SMP pada umumnya. Bandingkan bila SMAN 3 Bandung masih terikat pada RSBI sehingga hanya menyediakan 28 bangku bagi jalur UN. Data yang saya dapatkan dari ppdbkotabandung.web.id memperlihatkan ranking 28 pendaftar SMAN 3 Bandung ditempati oleh nilai 38,25. Dengan passing grade 38,25 tersebut, skenario satu yaitu nilai-nilai di bawahnya jelas akan menyebar ke SMA-SMA pilihan 2 seperti SMAN 1 dan SMAN 20 sehingga passing grade SMAN 1 dan SMAN 20 akan melonjak dari angka 33 yang resmi ditutup tahun ini. Akan banyak juga calon pendaftar dari SMAN 1 dan SMAN 20 yang terlempar ke cluster 3, dan anak cluster 3 pun akan terlempar ke swasta. Skenario tak kalah buruk juga datang dari SMA cluster 1 lain seperti SMAN 2 dan SMAN 8 yang kebanjiran pendaftar yang nilainya tak mencukupi di SMAN 3. Alurnya di cluster 2 dan 3 pun kemudian mengikuti skenario 1.


Normal
Meski tak menutup kemungkinan ada faktor-faktor lain yang menyebabkan turunnya passing grade SMA di Kota Bandung pada tahun 2013 ini, saya rasa pemaketan UN menjadi 20 tipe dan penghapusan RSBI sudah menampakkan taringnya. Hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Cluster
Sekolah
Tahun
2012
2013
PG
Kuota
PG
Kuota
1
SMAN 2 Bandung
 37.9 
316
 34.75
265
SMAN 3 Bandung
 39.1
28
 36.7
292
SMAN 5 Bandung
 38.9
23
 35.5
286
SMAN 8 Bandung
 38.2
298
 35.35
296
SMAN 24 Bandung
 37.65
237
 32.65
247
2
SMAN 1 Bandung
 37.35
283
 33.7
250
SMAN 20 Bandung
 37.5
215
 33.9
210
SMAN 22 Bandung
37
258
33.26
232
SMAN 7 Bandung
 36.6
253
 28.15
239

Penurunan passing grade di kedua cluster tersebut juga tidak main-main, minimal menyentuh selisih 2,4 (SMAN 3 Bandung). Bahkan, SMAN 7 mengalami penurunan hingga rentang 8. Selebihnya, SMAN 2 turun 3,15 poin; SMAN 5 3,4 poin; SMAN 8 2,85 poin; SMAN 24 turun 5 poin; SMAN 1 turun 3,65 poin; SMAN 22 turun 2,74 poin; dan SMA 20 turun 3,6 poin.  Jumlah siswa yang diterima di sekolah-sekolah favorit di atas jugasecara keseluruhan  meningkat meski di beberapa sekolah ada juga pengurangan siswa yang diterima. Tahun 2012 tercatat 1911 murid masuk sekolah favorit dari jalur UN, sedangkan tahun ini terdapat 2317 murid.

Ke depannya, saya tentu berharap passing grade tetap berada dalam jalur yang normal. Kalaupun ada peningkatan, pengennya sih bukan karena UN yang lagi-lagi kebobolan karena sudah ketahuan dimana celahnya, melainkan karena meningkatnya kemampuan siswa dalam mengerjakan UN. Saya sih sebenarnya nggak ada masalah dengan UN, RSBI, atau passing grade. Saya hanya berharap apa pun proses pendidikannya, proses tersebut tetap dijalankan secara fair.



Ark. Jul’13. 

Dari Status Fesbuk Teh Anggalia soal HI yang Glamor

Teh Anggalia atau Teh Anggi adalah senior saya di HI Unpad *dan ternyata di SMAN 3 Bandung juga* yang kalau kata Barney di How I Met Your Mother, "LEGENDDD------DARY!" Satu hal yang cukup inspiratif buat saya dari Teh Anggi adalah keberaniannya untuk melakukan hal yang ingin dia lakukan ngga peduli titel yang disematkan oleh orang lain untuknya. Apakah itu? Teh Anggi luar biasa karena ngga nanggung-nanggung bikin skripsi. Skripsinya yang tebal tidak berisi bualan yang dia copy-pastekan dari omongan begawan belaka, tetapi memang benar-benar untuk memuaskan esensi dari penelitian itu sendiri. Konon untuk menyelesaikan skripsi tersebut Teh Anggi butuh waktu hampir 2 tahun *atau pas atau lebih ya? Saya agak-agak miss soal ini*. Untuk ukuran Teh Anggi yang intelektualitas dan IPK-nya terkenal gede banget se-HI, skripsi tebal yang dibuat dalam waktu yang cukup panjang saya yakin bukan bentuk eskapis dari kemalasan. Teladan dari Teh Anggi itu yang sedikit banyak menyemangati saya untuk nggak menye-menye soal skripsi dan hanya menujukannya sebagai syarat-lulus-6-sks belaka.

Satu hal lagi yang saya sukai dari Teh Anggi, sebagaimana juga yang saya kagumi dari Kang Wirya *Kang Wirya sudah saya ceritakan sedikit di page tumblr saya*, adalah kesederhanaan, kebijaksanaan, dan kerendahhatiannya dalam menyikapi jurusan kami tercinta, HI, yang bagi orang kebanyakan, termasuk mahasiswa-yang-sebenarnya-biasa-aja-ngga-hebat-hebat-banget-studi-HI-nya-tapi-sikapnya-agak-lebih-yo'i-dari-yang-pinter-beneran, menawarkan mimpi glamor. Saya berharap sekali status fesbuk Teh Anggi dibaca banyak orang, termasuk mahasiwa yang tadi saya sebutkan, agar mereka mau sedikit membongkar kejumawaan, menipiskan mimpi shallow, dan membuka wawasan bahwa HI dan segala mimpi yang disematkan kepadanya hanya mitos yang tidak berarti bila mereka hanya terus mempertahankan mindset sok jago sok elitis.

Berikut dua tutur status Teh Anggi.

  • Segala sesuatu yang berbau "diplomatik," seperti kedutaan besar, departemen luar negeri, PBB, perusahaan multinasional dan hal-hal 'keluarnegerian' lain biasanya jadi pujaan anak-anak HI. Akhirnya saya menemukan kata yang lebih baik dibanding "pretensius", yang kesannya terlalu memojokkan: glamor. Dunia HI yang pernah saya alami dulu penuh keglamoran: hal-hal yang fascinating, alluring, attracting. Saya yakin teman-teman yang sudah menempati posisi-posisi glamor tadi pada akhirnya menganggap hal itu biasa saja, tapi saya merasa keglamoran itu dipertahankan dari generasi ke generasi, bahkan dimitoskan. Waktu saya jadi salah satu alumni yang diminta berbicara di depan para mahasiswa/i baru, yang dipertontonkan adalah keglamoran ini. Saya juga bingung, kenapa yang didiskusikan bukan apa yang dikerjakan dan maknanya bagi dunia? Apakah definisi "sukses" sudah menjadi sememanjarakan ini? Kalau tidak menyebutkan sejarah ke luar negeri atau ikut Konferensi Internasional ini-itu, pasti kita dipandang sebelah mata. Einstein saja pernah bilang, try not to be a person of success, but a person of value. Sampai sekarang pun saya masih terus memikirkan dan menafsirkan ulang kalimat itu dan saya yakin diskusi dan debat tentang "sukses" dan "bernilai" ini harus terus disulut dan direka ulang dalam dunia glamor a la disiplin yang saya cintai ini (supaya tidak jadi penjara baru).


  • Untuk adik-adikku anak HI, hal terbaik yang bisa kalian dapatkan dari kuliah di disiplin (ilmu?) ini adalah kaca mata dalam memandang dunia. Jangan sia-siakan diskursus kaya tentang hampir semua ilmu sosial yang ada: sejarah, sosiologi, antropologi, hukum, filsafat, komunikasi, ilmu budaya, dan tentunya politik itu sendiri. Dengan wawasan seluas itu, seharusnya anak HI punya pandangan holistik terhadap kenyataan global dan peduli akan hal-hal yang ada di luar diri dan lingkungan terdekatnya, meskipun kelak bekerja di bidang yang berbeda-beda. Sayang ilmunya kalau anak HI akhirnya hanya jadi sebulir sekrup dalam mesin tanpa membuat mesin itu setidaknya berjalan ke arah yang lebih baik....


Happy Thinking, Happy Absorbing. Be a true international relation-ist! 

My First Day not Being a Teacher

Hari ini hari pertama saya bekerja nggak sebagai pengajar, tetapi sebagai pegawai. Saya punya meja di depan ruangan VP dan untuk pertama kali dalam hidup, saya baru tahu bahwa sidik jari adalah hal yang berharga dalam hidup. Tanpa sidik jari, saya nggak akan bisa ngebuka pintu ke lantai divisi saya. Lebih bahaya lagi, saya bisa terancam nggak digaji dan nggak dapat uang lembur. Sidik jari itu penting. Catat.

Hari ini belum banyak pekerjaan yang saya lakukan. Saya tadi cuma ngisi formulir permintaan ATK, IT, dan balik ke kosan ngambil laptop yang saya pakai buat ngetwit, donwload The Good Wife 2 epsiode, Modern Family 1 episode, dan The Big Bang Theory 1 episode. Nah, lumayan kan kerjaan saya hari ini? Haha. Tertawa miris. Hari ini saya bekerja dengan nilai gaji yang beberapa kali lebih tinggi dari gaji saya sebelumnya namun penggunaan otak saya hari ini sungguh sungguh minim hampir tak terpakai. Anak baru, coy, belom banyak kerjaan, cuma ngurus diri sendiri. Satu-satunya yang terpakai hingga habis hari ini adalah laptop. Habis ini laptop saya baterainya habis sehingga saya sangat berharap pacar saya nanti malam habis kerja mampir ke kosan buat colokin casan laptop. Yes, saya masih takut nyolokin listrik. Sampai kapan pun saya takut.

Sekarang jam setengah empat sore. Minggu lalu dan minggu-minggu lalu lainnya, kira-kira hitung hingga empat setengah tahun yang lalu, jam segini dan hari ini saya lagi berdiri ngajar. Kalau hari ini saya belum jadi seorang staf Corporate Communication, saya lagi ngebahas soal UTS Bahasa Indonesia kelas 8 dan nanti setengah lima sore saya ngebahas soal Ujian Nasional Bahasa Inggris tahun 2009 ke anak-anak kelas 9 SMP.

Ah iya, membicarakan murid saya, jadi ingat deh Sabtu lalu *kalau nggak salah*, saya terharu. Ada murid saya yang mengirim sms, "Bu, kenapa nggak ngajar kita kemarin?" Aih, saya baru sadar. Dari 14 kelas yang saya ajar semester ini, saya baru sempat pamit sama 3 kelas. Sedihnya lagi, dari 11 kelas yang tidak sempat saya pamiti itu, ada kelas-kelas yang menjadi favorit saya karena ketenangan, kemauan, dan kecerdasan anak-anaknya. Hmmmm, sedih. Saya akhirnya smsan sama murid saya itu. Sepertinya, si Silvia yang smsan sama saya itu ngesms temannya, Mia, jadi saya smsan juga sama Mia. Isi sms Silvia lumayan mellow, malah bilang dia sampai nangis segala terus jadi nggak semangat les. Entah itu lebay atau beneran, hehe, saya jadi terharu. Nah, beda sama Mia. Meski di awal Mia bilang, "Ibu kenapa nggak ngajar kita lagi padahal kita senang banget Ibu yang ngajar?", waktu saya cerita ke Mia kalau saya nggak ngajar karena ada cita-cita lain yang saya kejar, Mia menanggapi saya dengan sangat dewasa. Mia menyemangati saya sambil berpesan jangan lupa sama kelas mereka karena mereka bakal selalu kangen saya. Kalau bisa sih saya juga menyempatkan diri untuk mengunjungi kelas mereka kalau saya lagi ke Bandung.

Bersms ria dengan Mia dan Silvia membuat saya jadi termangu. Hmmmm, jadi ada rasa yang hilang dalam hati saya. Ya, bagaimana tidak, saya sudah mengajar sejak 4,5 tahun lalu dan menyaksikan murid keluar masuk. Nggak ada yang lebih membahagiakan selain mendengar laporan mereka yang berhasil UN dan SNMPTN lalu berterima kasih karena materi yang sudah saya terangkan dijadikan salah satu soal dan mereka berhasil menjawabnya. Saya juga sudah pernah bilang, kan, bahwa setiap kali saya pergi mengajar dengan hati dongkol, saya selalu pulang dengan hati riang karena interaksi dengan mereka yang selalu menyenangkan. Ya, mengajar selalu menyenangkan.

Sejauh ini saya belum bisa membuat perbandingan lebih menyenangkan mana, menjadi pengajar atau menjadi  staf. Periode waktunya belum mencukupi. Ah, saya hanya bisa melaksanakan apa yang ada di depan mata saya secara serius dan ikhlas. Dulu ketika saya pertama kali mengajar juga saya merasa asing, tapi akhirnya saya beradaptasi dan senang juga.  Saya rasa saya bukan orang idealis. Saya sih pragmatis saja. Di satu sisi saya merasa bahwa mengajar, apakah itu di Ganesha atau di kampus, adalah pekerjaan yang menyenangkan dan yang paling bisa mendefinisikan diri saya. Namun di sisi lain, saya tahu bahwa impian itu mahal harganya. Saya nggak bisa bilang bahwa apa yang saya kerjakan sekarang adalah upaya menyerah. Masih terlalu dini. Saya pikir saat ini belum waktunya saya bersikap keras untuk mempertahankan keinginan saya padahal saya tahu saya nggak mampu-mampu banget dan di belakang saya, ada keluarga saya yang mesti saya pikirkan. Ya tapi saya juga nggak bisa bilang juga bahwa suatu hari saya akan kembali meraih cita-cita saya sebagai pengajar. Ya, saya pikir, apa yang ada saat ini itulah yang saya kerjakan. Mengenai ke depan, saya akan merangkainya pelan-pelan sambil saya mengamati hal yang saya kerjakan pada saat ini.

Ah, baiklah, sudah hampir setengah lima, mari siap-siap pulang hehehehehe. Saya mau belanja buat kamar kosan mumpung besok libur jadi besok saya bisa beres-beres.

Ah iya, sebelum saya pulang, saya mau berpesan sedikit sama murid saya yang kemarin belum sempat saya pamiti dan accidentally mampir ke sini,

"Dear, students. Semua hal yang perlu aku kasih ke kalian untuk ujian udah aku kasih. Nanti bakal ada guru baru. Siapa pun gurunya, kalian harus tetap semangat belajar ya, jangan dikerjain gurunya. Dengarkan yang baik. Kalian juga belajar yang rajin. Jangan cuma di sekolah dan di tempat les saja. Kalian juga harus rajin belajar di rumah. Ingat, persaingan nilai UN makin ketat. Kalau kalian mau sekolah di negeri yang bagus, usaha kalian harus berlipat kali dari yang sekarang. Okeee? Nah, semoga nanti kita bertemu lagi ketika kalian sudah menjadi orang yang jauh lebih berhasil dari sekarang yaaa...Aku minta maaf aku banyak salah dan semoga ilmu yang udah aku kasih terus kalian ingat dan bermanfaat buat kalian."