Mal dan Persaingan Reputasi Jakarta, Malaysia, dan Singapura

 




Rabu petang sambil menunggu hujan reda, saya duduk di meja front office Ganesha Cibiru sambil membongkar koran-koran lama. Tidak ada intensi khusus untuk mencari iklan Singapore-mall-shopping di Kompas sebagai bahan skripsi saya, sebenarnya, sampai akhirnya saya menemukan iklan belanja di Mal The Shoppes, Marina Bay, Singapura. Saya jadi tersadar bahwa saat ini adalah bulan Desember, dekat Natal dan Tahun Baru, dan iklan-iklan belanja di mal pasti banyak. Dengan didasari keyakinan bahwa hujan masih akan lama reda, saya pun lebih berkonsentrasi mencari iklan-iklan belanja di koran.


Insecurity
Alih-alih menemukan iklan belanja di mal di Singapura, saya malah menemukan iklan belanja di mal di Malaysia yang dibuat oleh pemerintah Malaysia dan iklan-iklan belanja di mal di Jakarta yang dibuat oleh pengembang mal. Saya jadi berpikir, sudah tenggelamkah mal-mal di Singapura sehingga tidak lagi membuat iklan di media cetak mancanegara? 

Ah, tidak! Saya kemudian meralat pemikiran saya sendiri. Sama sekali tidak. Mal di Singapura tidak tenggelam. Saya teringat perkataan dosen pembimbing saya beberapa bulan ke belakang setelah beliau membaca sebuah buku (yang saya tidak tanyakan judulnya apa, tapi sepertinya buku Simon Anholt) yang mengatakan bahwa negara-negara yang sudah mantap akan reputasinya cenderung abai terhadap promosi besar-besaran. Dari situ saya menyimpulkan bahwa justru minimnya iklan yang dibuat oleh Singapura di media cetak mancanegara menunjukkan bahwa Singapura sudah mantap. Hal tersebut berbeda dari Malaysia dan Jakarta (Indonesia) yang memang baru membangun reputasi kemenarikan melalui mal pada awal milenium baru ini. Tanpa perlu mengiklankan diri pada saat ini, Singapura sudah memiliki reputasi yang kuat sebagai Negara Surga Belanja, sebuah reputasi yang menurut Brenda S. Yeoh sudah sengaja dibangun sejak dekade 1980-an ketika modernisasi sedang marak di Singapura sehingga mau tidak mau Singapura kehilangan aroma orientalnya. Sejak pengusahaan reputasi Surga Belanja tahun 1986 tersebut, Singapura sudah menjadi rujukan pertama di benak hampir seluruh masyarakat Asia, khususnya Asia Tenggara dan Timur, yang ingin berbelanja atau sekedar menikmati atmosfer urban. Dalam Country Brand Index yang datanya dapat diakses melalui www.futurebrand.com, dari kelima aspek yakni Value System, Quality of Life, Good for Business, Heritage and Culture and Tourism, Singapura menempati posisi 16 dari 113 dan menjadi nomor satu di kawasan Asia Tenggara, mengingat posisi Thailand di urutan 26, Malaysia 43, Vietnam 59, Indonesia 76, Filipina 78, Laos 80, dan Kamboja 83. Selain itu, menurut City Branding Index terbaru yang dikeluarkan oleh Simon Anholt, Singapura menempati ranking pertama di benak orang Cina dan India, ranking sepuluh di benak orang Jepang, dan ranking empat di benak orang Korea Selatan dalam hal kemenarikan tempat. Sayang, Anholt tidak melakukan survey juga bagi Kuala Lumpur dan Jakarta sebagai perbandingan dengan Singapura. Namun, dari data yang disajikan Anholt tersebut dapat kita simpulkan bahwa Singapura sudah memiliki reputasi yang kuat dalam hal kemenarikan. Selain itu, meski Singapura tidak gencar mengiklankan mal-nya di media cetak mancanegara, Laporan Turisme Tahunan Singapura masih menunjukkan bahwa pada tahun 2010 lalu Singapura masih dikunjungi oleh hampir sebelas juta turis internasional dan belanja merupakan aktivitas terbanyak yang dilakukan oleh mereka yang datang ke Singapura. Belanja jugalah yang menjadi sumber pemasukan utama bagi turisme Singapura.

Namun kemudian, apakah dengan kemantapan Singapura dalam hal reputasi maka Singapura benar-benar diam saja? Tidak sama sekali. Tahap yang saat ini dijalani Singapura bukan lagi tahap promosi, melainkan tahap penguatan. Penguatan yang dilakukan Singapura juga sudah beranjak dari penguatan dalam hal citra pada iklan menuju penguatan pada hal kasat mata. Keith Dinnie dalam City Branding menyebutnya sebagai usaha pembuktian. Setidaknya terdapat dua usaha yang saya lihat sebagai usaha pembuktian, yakni Orchard Redevelopment dan penyertaan mal di hampir semua kawasan turisme Singapura. 

Orchard Redevelopment merupakan program yang dijalankan bersama antara Singapore Tourism Board (STB), Urban Redevelopment Authority (URA), Land Transport Authority (LTA), dan National Parks Board (NPB) sejak tahun 2007 hingga tahun 2009. Orchard Redevelopment mencakup pemercantikan trotoar Orchard Road dari segi taman, fasilitas pejalan kaki, dan tata lampu sehingga trotoar Orchard Road menjadi lebih lebar, hijau, menyala, dan menghibur, serta menghadirkan mal-mal dan hotel-hotel baru yang menakjubkan, baik dalam hal desain maupun tenant.  Melalui Orchard Redevelopment, Singapura seolah meyakinkan dengan manis kepada para pendatang setianya bahwa Singapuralah kiblat bagi dunia shopping. Malaysia, Jakarta, atau bahkan Bangkok bisa saja memiliki mal atau one-stop-shopping dalam jumlah yang banyak, namun hanya Singapuralah yang menyediakan one-stop-region bagi dunia shopping. Apalagi, brand ternama dunia fashion juga banyak yang hanya membuka gerai di Singapura. Atau, brand tersebut juga membuka gerai di negara tetangga Singapura, namun dengan fasilitas, pemandangan, dan koleksi yang lebih menggiurkan di Singapura.

Kedua,  meskipun 2,2 km Orchard Road telah diisi oleh lebih dari 50 mal, kita juga masih dapat menemukan mal di kawasan wisata Singapura lainnya. Sebut saja Chinatown, Bugis, Little India, Singapore River, Marina Bay, Pulau Sentosa, Jurong, dan sebagainya. Dari banyaknya mal yang tersebar secara merata di seluruh kawasan Singapura, hal apa lagi yang ingin ditekankan Singapura selain sebagai Negara Surga Belanja?  


Mengejar Reputasi
Melihat mal yang semakin mantap di Singapura dan melihat keberhasilan Singapura dalam menciptakan pendapatan turismenya 'hanya' dari kegiatan belanja, Malaysia dan Indonesia sepertinya mencoba mengejar. Apalagi, mal juga tidak hanya bisa dilihat sebagai ruang berkegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai ruang pembuktian akan keberadaan modernitas. Dengan adanya mal ketimbang hanya pasar tradisional, suatu kawasan akan dipandang sebagai kawasan yang modern dan mengikuti tren. Selain itu, karena barang-barang di mal dibatasi pada barang-barang yang memiliki brand dan tentu dipasang harga mahal, keberadaan mal pun menjadi indeks bagi keberadaan masyarakat berada yang makmur. Dengan adanya makna demikian, negara-negara pun lebih suka menunjukan mal daripada menunjukan tradisionalitas, terlebih apabila negara tersebut sempat dicap sebagai negara yang 'eksotis' yang bermakna belum terlalu modern. Pembangunan mal beserta promosi mal dalam destination branding-nya pun menjadi kebutuhan untuk dapat diakui sebagai negara yang pantas didatangi oleh masyarakat berperadaban modern.