Membicarakan Criminal Minds






Sepanjang tahun ini sepertinya saya menghabiskan banyak waktu untuk menonton serial. Tercatat judul-judul semacam The Big Bang Theory, Grey's Anatomy, Community, How I Met Your Mother, Modern Family, The Good Wife, Detective Conan, Sherlock Holmes, Accidentally on Purpose, dan yang baru saja saya tonton 3 season selama 2 minggu ini : Criminal Minds (CM). Thanks to Pak Rian atas jasanya meracuni saya dengan beragam serial tersebut. Nah, tapi dari banyaknya serial yang saya tonton, harus saya akui, CM menggelitik saya dengan cara yang berbeda. Jika serial lain hanya singgah sebentar di otak saya sebagai pelepas penat, CM yang mengambil fokus kegiatan para agen FBI, yakni Agen Aaron Hotcher, Agen David Rossi yang sebelumnya diisi oleh Agen Jason Gideon, Agen Spencer Reid, Agen Emily Prentiss, dan Agen Jennifer Jearou, serta Penelope Garcia, di Behaviorial Analysis Unit, sejak awal sudah membuat saya tidak bisa netral menonton dan hanya berfokus pada kehidupan semu yang ditampilkan sebagai alur cerita. Akhirnya, karena saya hanya manusia lemah yang kerap menulis posting panjang dan menyiksa pembaca, posting ini pun lahir, sekaligus menandai bangkitnya saya dari kebuntuan menulis tema serius selama beberapa bulan terakhir. Saya membagi tulisan mengenai CM ini menurut subjudul, yakni Criminal Minds dalam Dialog mengenai Supremasi Negara, Feminisme Radikal dari Korban Perempuan di Criminal Minds, dan Criminal Minds dan Ungkapan mengenai Kita dan Fantasi Kepahlawanan. Enjoy!

Criminal Minds dalam Dialog mengenai Supremasi Negara

Dengan posisi FBI sebagai substate atau bagian dari negara, sangat gamblang bagi saya untuk menyimpulkan bahwa keberadaan FBI sebagai fokus CM harus dilihat sebagai representasi negara. Dipilihnya FBI sebagai sentral penceritaan CM pun bagi saya tidak hanya bisa dilihat sebagai faktor sepele semacam alat penarik pasar. Terlalu kecil. Saya malah melihat bahwa bisa jadi CM merupakan salah satu alat yang diberdayakan negara, yang dalam hal ini adalah Amerika Serikat, untuk melakukan diplomasi pada publiknya sendiri mengenai pentingnya supremasi negara di atas individu. Hmm, semacam propaganda tapi bukan juga, mengingat propaganda membutuhkan retorika dan media yang lebih dari sekedar film serial yang tidak memiliki daya paksa agar terus ditonton. Sangat besar pula kemungkinan bahwa keberadaan FBI, sebagai salah satu agen negara yang menjamin keamanan individu, sebenarnya merupakan alat untuk mengalamiahkan ideologi realisme versi Hobbes yang meyakini bahwa pada dasarnya, berdirinya negara memang ditujukan demi menjamin keamanan individu dari adanya leviathan yang mengancam. Adanya FBI, yang tidak lain adalah "Negara", yang selalu dapat menyelesaikan kasus jelas menegakkan cita-cita Hobbes mengenai negara, sekaligus mengeliminasi norma liberalisme hingga kosmpolitanisme yang ingin membebaskan individu dari kekangan negara.
Membicarakan individu tidak dapat pula dilepaskan dari pembicaraan mengenai keluarga. Dengan mayoritas pelaku kekerasan sadistik pada CM yang selalu dibaca para agen BAU sebagai implikasi dari pola pengalaman masa lalu saat masih tinggal dengan keluarga, CM berusaha memperlihatkan bahwa keluarga merupakan faktor yang paling dominan dalam menciptakan trauma pada individu. Keluarga yang disfungsional dan tetap bersikeras merawat anaknya hanya akan memproduksi anak yang akan menyebabkan disfungsi pada masyarakat.
Agen Hotchner kepada tersangka pembunuhan pada episode Derailed season 1 menegaskan, "You were just responding to what you learned. When you grow up in an environemnt like that, an extremely abusive, violent household, it;s not surprising that some people grow up to become killers."
Keadaan yang berbeda akan terlihat apabila anak-anak dari keluarga disfungsional ini dirawat oleh negara seperti yang direpresentasikan oleh para agen BAU. Mereka juga lahir dari keluarga yang cacat, namun mereka dapat memilih menjadi penegak keamanan dan keadilan karena mereka memilih pergi dari keluarganya dan mengabdi pada negara.
Bagaimana dengan keluarga yang ideal, yang berjalan tanpa ayah yang sadis dan tanpa ibu yang melacur? Dengan fokus CM pada pengeliminasian keluarga, CM memang tidak menjadikan keluarga ideal sebagai oposan biner terhadap keluarga disfungsional dalam hal pameran gamblang bahwa dari kelurga yang ideal akan lahir individu yang ideal. Alih-alih, kekontrasan yang ditunjukkan CM malah meletakkan keluarga ideal sebagai keluarga yang menjadi korban dari keluarga disfungsional. Menjadi baik pun malah menjadikan mereka sebagai sasaran empuk. Rumah yang ditempati oleh keluarga ideal pun bukan lagi tempat yang dapat menjamin keamanan mereka, malahan menjadi lokus kriminal yang menghabisi nyawa.
Atas dasar tersebutlah, CM kemudian menegaskan pentingnya pengaksesan informasi yang terbuka yang dilakukan negara terhadap individu. Akses informasi tak terbatas mengenai individu ini direpresentasikan oleh kebergantungan para agen BAU kepada Penelope Garcia yang mampu dengan mudah menembus bank data sebagai faktor penting dalam menemukan unknown subject atau unsub dan mencegah bertambahnya korban. Dengan demikian, segala bentuk penutupan atau pembatasan akses terhadap individu, sebagaimana yang masih menuai kontroversi di Amerika Serikat, diperlihatkan sebagai ancaman terhadap tegaknya keamanan individu dan negara.            

Feminisme Radikal dari Korban Perempuan dalam Criminal Minds


Tindakan sadisme terhadap perempuan merupakan hal yang selalu hampir pasti ada dan menjadi fokus penceritaan episode-episode CM. Hal tersebut pula yang melatarbelakangi hengkangnya salah satu agen jagoan CM mengundurkan diri dari perannya meski CM baru berjalan dua season. Mandy Pattinkin, pemeran Jason Gideon, mengatakan bahwa kesalahan terbesarnya pada publik adalah membintangi CM. Terlalu banyak kekerasan pada perempuan yang berujung pada kematian mereka yang diekspos CM.
Pada lapis permukaan, tidak bisa dipungkiri bahwa CM, sebagaimana yang diungkapkan Pattinkin, memang banyak menekankan betapa lemahnya perempuan. Penculikan dari mobil yang mereka kendarai, penyiksaan dan pembunuhan sadis di rumah mereka sendiri, pemerkosaan dengan beragam kelainan seksual yang menyertai, merupakan gambaran gamblang yang seolah mengejek kelemahan perempuan dalam menjaga dirinya sendiri.
Akan tetapi, benarkah hanya demikian? Bagi saya, masih ada lapisan lain yang bisa kita lihat sebagai pesan yang ingin ditunjukkan CM. Gambaran bahwa perempuan itu lemah dan tidak menjaga dirinya sendiri sehingga rentan menjadi korban kekerasan hanya berfungsi sebagai makna denotasi yang terlalu deskriptif terhadap tayangan yang disajikan CM. CM sebenarnya menyajikan dua gambaran perempuan yang sangat kontras, atau singkatnya oposisi biner dari bagaimana seharusnya perempuan berperan di dalam masyarakat. Patut diingat bahwa CM pun menyajikan agen perempuan sebagai tokoh sentralnya. Agen Elle, yang kemudian digantikan Agen Emily Prentiss, lalu Agen JJ, dan bank data Penelope Garcia, yang kesemuanya tetap teguh sampai sekarang, dalam arti belum tewas karena tindak kekerasan pria.
Dua gambaran kontras tersebut merupakan representasi dari poor girl, good girl. Poor girl adalah perempuan yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri, atau lebih jelas dalam CM dipaparkan sebagai perempuan rumahan, pekerja sektor domestik, tidak memiliki bargaining position yang kuat di masyarakat, dan tentu saja, tidak bersenjata. Kontras dengan kategori pertama, good girl atau perempuan yang bisa melindungi dirinya sendiri merupakan perempuan yang bekerja di luar rumah, memiliki bargaining position yang kuat, bersenjata, yang dari ketiga identifikasi tersebut dapat disimpulkan bahwa good girl adalah perempuan yang memasukkan lebih banyak peran maskulin ke dalam wujud seksualnya yang perempuan.
Pesan dari makna konotasi itulah yang sebenarnya ingin ditunjukkan oleh CM. Berbagai pertunjukkan kekerasan terhadap perempuan dengan sifat-sifat feminin yang kental merupakan pelapisan ideologis yang kental demi menunjukkan bahwa perempuan harus mengeliminasi feminitasnya dan mengadopsi maskulinitas bila ingin memperoleh keamanan. Hmmm, sebuah pola yang sangat linear dengan prinsip-prinsip feminisme radikal. Setujukah? It is you decide!

Criminal Minds dan Fantasi Kepahlawanan Kita

Terdiri dari enam agen lapangan dengan berbagai karakternya dan satu agen bank data, memiliki markas yang tidak terjamah sipil biasa, bertugas membaca, mengejar, dan melumpuhkan penjahat, dan memiliki power yang tidak dimiliki secara massal, maka asosiasi yang muncul di benak saya mengenai CM tidak jauh dari Power Rangers atau serial kepahlawanan lain di masa kecil saya. Meski CM nampak lebih berbeda dari, katakan Power Rangers, perbedaan tersebut bagi saya hanya soal perbedaan pandangan kita untuk merealisasikan fantasi mengenai cerita kepahlawanan pada usia kini dan usia dulu. Bagi saya pribadi, akan sangat tidak catchy bila saya, pada umur 23 tahun dan sudah tahu bahwa kostum Ranger Pink itu berat, repot, dan panas, kemudian duduk tenang dan tetap terpukau mengamati aksi robotik, lengkap dengan pedang dan efek pencahayaannya, dari Power Rangers. Satu lagi, mustahil juga bagi saya sendiri yang sudah sangat tahu beda Gua Hira versi stalagtit dan stalagmit dengan gua yang dibuat dari kardus yang dipilox, tetap mau menghabiskan setengah hari untuk bertepuk tangan melihat kegagalan Rita menguasai dunia. Dengan adanya perkembangan pandangan yang dulu bisa disuapi dengan fantasi ala robot dari mobil -yang bagi saya terlalu jauh melampaui zaman- dan kini sudah akrab dengan kecanggihan teknologi informasi senada dengan slogan Yellow Pages, "Cari tahu dengan jarimu", maka penyesuaian sosok gank hero pun perlu dilakukan sebagaimana yang ditunjukkan oleh CM.
Monster berbagai bentuk dalam Power Rangers ditukar dengan manusia-manusia psikopat yang membunuh demi kesenangan dan kerap, kepuasan seksual. Seragam warna-warni Power Rangers cukup diganti kostum jas dan kaos kasual yang memperlihatkan karakter masing-masing agen secara jelas. Sabetan pedang dengan efek cahaya silau yang mematikan diganti dengan pistol berpeluru panas yang kita semua tahu bahwa pistol itu memang nyata adanya di dunia kontemporer. Pembacaan pikiran dan peta yang biasanya dilakukan dari kacamata supercanggih kini dinaturalisasi dari pengaksesan informasi tak berbatas, thanks to internet. Jam tangan telepon dan layar akuarium yang menampilkan muka secara mistik sudah dialamiahkan dengan telepon genggam, ipad, dan semacam skype. Ayayayayay Alpha yang menginformasikan kegiatan anak buah Rita di ujung kota tidak lagi diinformasikan secara misterius, tetapi melalui liaison officer BAU yang melayani laporan dan permintaan investigasi kepada FBI.
Beragam pengalamiahan setting, plot, tokoh, dan perentelan properti tersebut toh hanya bersifat kebendaan yang ditujukan demi menyasar segmen audiens berbeda. Dari banyaknya film kepahlawanan, baik pada masa kecil saya atau masa kini, pesan yang disampaikan tidak akan jauh berbeda dari dua subjudul di atas, dan yang paling penting lagi, film dengan tema ini masih menjadi alat pengaktualisasian fantasi kita mengenai sosok yang kita harapkan dari diri kita sendiri.
Hampir setiap orang ingin menjadi pahlawan, tidak peduli luas sempit lingkupnya. Menjadi pahlawan pun bukan soal ingin menegakkan keadilan dan menghancurkan kemungkaran, melainkan menyangkut keinginan untuk standing in the crowd. Menjadi berbeda, menjadi pusat perhatian, menjadi pihak yang paling dibutuhkan, dan tentu saja, menjadi pihak yang paling powerful di antara komunitas. Dalam pandangan saya, menonton film kepahlawanan bukan satu hal yang menunjukkan betapa rindunya kita akan sosok pahlawan yang bisa menyelamatkan kita, melainkan monolog kita bahwa kita ingin menjadi pahlawan itu. Contoh sederhananya, saya belum pernah, sih mendengar ada orang yang setelah menonton film kepahlawanan berkata, "Ah, coba di kampung saya ada FBI, pasti nggak akan lagi ada yang berani nyuri ayam ayah saya." Saya malahan mendengar, atau bahkan mengatakan pada diri saya sendiri, "Coba gue jadi FBI, pasti dari awal gue udah tau kalo mantan gue yang dulu itu brengsek." Oke ini bukan curcol.
Ya, CM pun terakhir membuat saya berpikir bahwa tak peduli berapa umur kita, kita selalu memfantasikan diri kita sebagai sesuatu yang lebih besar dari kita yang sekarang. Selama fantasi tersebut masih selalu kita pegang, maka film-film setema dengan CM pun akan tetap ada dan menjadi salah satu media yang potensial untuk menyebarkan pesan ideologis tertentu, seperti supremasi negara atau feminisme radikal. Mekanisme yang terjadi dalam penerimaan kita yang mudah akan pesan tersebut utamanya bertumpu pada kesesuaian ekspektasi kita dengan hal yang ditampilkan oleh film. Kesesuaian yang notabene merupakan bentuk pengalamiahan dan pelapisan makna tersebut kemudian mendorong kita untuk tertarik dan menyerap pesan-pesan ideologis dari film sebagai hal yang memang demikian adanya, yang given, yang berkausalitas logis, dan yang sudah seharusnya. Kesesuaian tersebut akhirnya menjadi benteng yang paling kuat untuk menolak kritisisime kita terhadap pesan dari film.
Pada kasus CM, betapapun saya tahu bahwa unsur ideologis mengenai supremasi negara dan feminisme radikal sangat kental diperlihatkan, dan secara pribadi saya bukan pendukung seratus persen ideologi tersebut, toh saya tidak berhenti menonton CM. Itu bagi saya yang aware terhadap pesan ideologis CM. Nah, bagi kawan saya yang juga menonton CM dan asing dengan istilah supremasi negara dan feminisme radikal malahan mungkin secara tidak sadar mereka akan bersikap antipati dan pesimis kepada keluarga disfungsional yang ada di sebelah rumahnya. Efek-efek seperti itu yang sebenarnya diharapkan si pembuat CM untuk mempengaruhi masyarakat agar bersikap sesuai dengan norma yang diidealkannya, yang mungkin tidak harus diwujudkan sekarang, bisa juga pada masa yang akan datang.
Lalu bagaimana?
Ya, bagaimana, dong? Saya tetap suka menonton CM. Ya, kelak kalau bertemu saya dalam versi wanita yang antipekerjaan domestik karena merasa terancam di rumah sendiri, ya jangan kaget saja. Hehe.

Ark.Des’12.