Motor #3


Naik motor, begitu pula naik mobil, naik becak, naik pesawat, naik kapal, naik roket, bagi saya adalah persoalan hidup dan mati, terutama bila kita sempatkan diri duduk-duduk di polres dan membaca papan bertuliskan statistika kecelakaan di jalan raya. Oleh karena itu, tidak pernah saya lupakan membaca bismillahi tawakaltu allallahi wa la quwwaata apa? Ya wala quwwata ila billah, di setiap tarikan gas pertama setelah memasukkan gigi satu. Dalam perjalanan pun, prinsip yang selalu saya tegakkan adalah kita tidak hanya wajib menjaga keselamatan diri sendiri, tetapi juga keselamatan orang lain. 

Implementasi prinsip di jalan raya harus saling menjaga itu kan seharusnya mudah, ya? Coba sesekali orang-orang yang terjaring operasi ketupat dikumpulkan di lapangan dan ditanya: “Siapa yang turun ke jalan hari ini ingin mati?” Apa ada yang mengacungkan tangan? Kan insya allah tidak ada. Nah, masalahnya kenapa banyak orang berperilaku serampangan di jalan raya? Inilah yang membuat saya terpanggil....

....untuk menjadi pribadi yang emosian di jalan raya.

Saya pernah menuliskan contoh kasus tersebut di blog saya, misalnya:

“Jangan kaget kalau saat saya membonceng Teman-teman, saya sering mengeluarkan kata-kata ketus tak bersahabat. Kata-kata tersebut tidak saya tujukan kepada Teman-teman, tentunya, tapi kepada pengendara yang semakin brutal di atas aspal. Dari mulai khilaf pasang lampu sign, smsn dan telpon-telponan di tengah jalan, ngga bisa stabil ngendaliin motor dan mobil sehingga berjalan zig-zag, posisi kendaraan yang nggak jelas mau ke kiri, ke kanan, atau di tengah, tiba-tiba mengerem, tiba-tiba menikung, tiba-tiba putar balik, tiba-tiba mundur waktu mau melanjutkan jalan setelah terjebak kemacetan, sampai (mungkin) sambungan listrik aki ke lampunya tersumbat sehingga LAMPU ANDA MATI SEMENTARA MOTOR ANDA MELAJU DENGAN KECEPATAN 100KM/JAM, MENYALIP 80KM/JAM SAYA DARI KIRI DAN MEMOTONG JALUR KANAN SAYA DI JALAN SOEKARNO HATTA DEKAT PINUS REGENCY YANG SUPER GELAP!!! Selamat, Anda sudah berhasil membuat saya kaget dan refleks meneriakkan kemarahan.”

Sikap ala social justice warrior (SJW) yang saya lakukan tersebut lalu ditanggapi dingin oleh adik bungsu saya dengan:

“Nggak mau ah dibonceng-bonceng sama mbak mah. Nyari musuh melulu di jalanan.”

Iyah gapapah. Tinggalin aja akuh dan prinsip hidup aku.

Ada beberapa kejadian serupa yang saya ingat, seperti di Dayeuh Kolot atau Otista, yang mobilnya bisa saya kejar. Ketika itu kami pun menjadi perang klakson, jari saling memfakyu, saling menghalangi jalan untuk nyalip, dan ujungnya karena terbawa nafsu mengejar rute yang ia jalani, saya pun nyasar. Harusnya dari Dayeuh Kolot mau ke Soreang, malah salah belok ke Ciparay. Harusnya dari alun-alun ke Otista dan ke Bu Inggit, malah terus ke Sudirman dan loh loh loh loh ini kok udah mau Cimahi aja hei hei hei puter baliknya kemana ini hei. Intinya jadi jauh.

Emosi di jalan raya tidak hanya terjadi sebagai wujud aksi-reaksi antarpengguna jalan raya, tetapi juga pernah terjadi sebagai ekses yang terjadi sebelum naik motor. Pernah dulu waktu patah hati sama orang, cieeee, kan sedih banget ya tapi beres ngajar di Ganesha magrib, saya juga ada jadwal les privat jam 7 di Arcamanik. Karena waktunya sempit padahal saya pengen menangis, ya gimana lagi ya, yaudah saya nangisnya di motor 😞 

Ketika mata sudah agak buta karena air mata yang menggenang di pelupuk (taeeeeeeeeeee), di sekitar Panghegar yang gelap, saya minggir dulu untuk menangis terisak dengan agak puas supaya air matanya ngga tersumbat gitu. Kan malu masa ngajar dengan mata sembab wakakaka iya bego emang. Yaudah habis itu naik motor lagi lalu ke rumah murid aku si Dea, pulang-pulang jam 10 malam dengan hati yang lega. Mudah bukan mengatasi patah hatinya?  

Sejak saya pindah ke Jakarta tahun 2013, frekuensi saya naik motor jadi berkurang karena saya tinggal di area sekitar kantor yang bisa dicapai dengan jalan kaki. Selain itu, tunangan saya juga punya motor. Sayangnya motornya motor matic sehingga tidak bisa saya pinjam. Sudah saya tekankan dari awal bahwa saya tidak suka motor matic. Hanya motor bergigi panutanku. Yaudah enak malah jadi diboncengin terus.

Namun tentu kerinduan pada motor selalu ada. Alhamdulillah kerinduan itu lalu terobati tahun lalu saat saya main ke kosan Astrid, teman SMA saya yang kerja di Cirebon. Kebetulan Astrid berhasil memalak temannya untuk meminjamkan motor supra yang bisa kami gunakan jalan-jalan dari Cirebon ke Kuningan. Kami berdua pun mulai touring Cirebon ke Telaga Remis di Ciremai lalu ke Linggarjati lalu ke Grage Kuningan pada pukul 07.00 pagi dan kembali ke Cirebon pukul 20.00 karena diselingi istirahat solat magrib di jalan raya. Kalau pergi sama Astrid mah haram ngejamak shalat 😞 

Seru banget waktu itu. Tujuan utama saya sebenarnya hanya Telaga Remis, secara lagu itu kan pernah jadi hits di tangga lagu Sunda yah, “Di sisi Telaga Remis~~~~ 🎢🎢🎢🎢”. Perjalanan menuju Telaga Remis juga cukup mendebarkan karena pakai motor orang yang baru pertama saya pegang, jarak agak jauh, dan medannya cukup menantang karena si Astrid walau kurus tapi berat euy pas dibonceng mah, untung dia bisa baca waze, lalu naik turun bukit, masuk kampung, aspal jalan bolong-bolong, banyak anak alay naik motor reptil (rengkep tilu alias bonceng tiga), banyak elf, banyak truk, banyak bus, dan ditambah pula si Astrid tidak berhenti mewanti-wanti:

“Pe, daerah orang ya jangan cari musuh.”

Woyyy.

*Tamat*
Udah gini doang.

Motor #2


Mobilitas dari rumah - ganesha - kampus - kosan anak2 2007 - rumah murid privat - rumah akhirnya menjadi sebab musabab naik motor tidak lagi semenyeramkan minggu-minggu pertama percobaan. Mufli dan Gigih yang biasanya waswas melepas saya naik motor, sampai-sampai pernah membuat gerakan konvoi mengawal saya pulang ke rumah selama beberapa hari selepas rapat ospek, pada akhirnya ngelunjak, termasuk sedikit-sedikit mengajak rapat dengan alasan: “Kan elo ada motor tuh.” 

Itulah satu tanda kekuasaan Allah untuk menyadarkan saya bahwa memang laki-laki dimana-mana sama. 

Bahkan, ada yang masih ingat kerepotan agenda temu alumni dengan maba 2009 di Cimahi? Iya itu yang saya jadi ojek membonceng Wahyu 2008 yang jadi seksi konsumsi buat bolak-balik antar minuman dan makanan di pos-pos alumni. Posisinya adalah saya naik motor dan Wahyu duduk hadap belakang bawa baki minuman. Apa coba alasannya? Ya karena Wahyu ngga bisa naik motor dan cape jalan. Kebijakan Mufli yang jadi ketua ospek apa? 

“Kerjaan lo nggak banyak kan malam ini? Bisalahhh bantu anak konsumsi anterin makanan pake motor.”

“Mbakkk, naik motornya jangan kenceng-kenceng yoo, soalnya aku ini bawa baki dan minuman, mbak, nanti tumpah, mbak,” Wahyu dengan logat jawanya sudah mulai berani banyak request.

Maaf, ada yang namanya patriarki? Bisa selamatkan saya sebentar?

Sebenarnya dipikir-pikir keuntungan naik motor itu tidak terlalu banyak dibanding resikonya. Keuntungannya ya alhamdulillah hemat waktu, hemat ongkos, hemat pikiran, hemat tenaga, mendukung status jomblo, ya standarlah. Nah, tantangannya, selain jadi dimanfaatkan untuk kerja-kerja rodi, sebagaimana diungkapkan oleh ibu saya adalah: “Apa pun yang terjadi di jalanan, itu adalah tanggung jawabmu. Ban bocor, bensin habis, helm hilang. Tapi intinya, kalau mesin motor mati, jangan panik, tetap ingat letak tombol busi.”

“Kalau kena banjir, jangan lepas ngegasnya biar airnya ngga masuk knalpot, mbak!” Adik saya ikut menimpali.

Alhamdulillah, berkat 2 wejangan itu, saya selalu sukses menerjang banjir rutin di sekitar gede bage selama masa kepemimpinan walikota Dada Rosada tanpa motor mati. 

Naik motor pas banjir itu rasanya ya allah, melatih otot bisep trisep. Berat ngegasnya. Apalagi kalau sudah mulai masuk ke banjir yang agak dalam di atas batas knalpot. Kalau pakainya motor supra mah enak karena posisi ujung knalpotnya kan agak tinggi ya kayak cerobong asap. Nah, yang tegang mah kalau naik Honda Astrea 90. Itu motor pertama yang saya pakai, bahkan juga dipakai ibu saya waktu hamil saya. Knalpotnya kan rata pendek tu, terus dia juga bisa dibilang motor senior, ya secara umurnya juga lebih tua dari saya. Ibu Bapak saya baru resepsi, dia sudah dipamerkan di showroom siap dibeli. Tapi asli hebat dia, berapa kali kena banjir yang dalam, ngga mati! Jago banget rasanya tetap menjadi motor yang jalan di antara banjir sambil diiringi tatapan tidak percaya dari motor-motor baru yang tumbang begitu kena air. Makanya jangan beli matic!

Baru pas sudah lewat masa banjir, di daerah Cipadung, si Astrea mati hahaha. 

Tapi jangan panik. Biarkan dia istirahat dulu sebentar. Busi mana busi. Lalu kita jalan lagi.

Berkat motor, saya juga punya keuntungan lain yakni tidak perlu olahraga. Terima kasih kepada para mafia paku di jalanan, tidak terhitung berapa kali saya harus menuntun motor yang bannya bocor di tengah siang yang terik atau malam-malam yang sepi dan uang cuma ada goceng. 

Bersambung.
Bagian 3 insya allah jadi bagian terakhir mengenai kesan-kesan.

Motor #1



Sebenarnya saya dikaruniai sifat manis-manis manja yang tidak bisa bepergian tanpa wali. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu kok ya ngga ada yang mau menemani saya kemana-mana padahal kegiatan saya waktu kuliah bisa dibilang cukup padat. Pagi kuliah, sebelum duhur ngajar dulu di Ganesha, siang kuliah lagi, sore ngajar lagi, malam disiksa ikut rapat panitia kegiatan kampus lalu lanjut online di warnet atau wifi kampus untuk cari bahan tugas kuliah, dan masih banyak lagi sampai-sampai sejak semester 3 hingga sidang skripsi, saya tidak sempat pacaran. Ya memang karena kisah cintanya cukup pahit sih. Alaaaah, cowok mah dimana-mana sama ajalah.

Merespon sifat alamiah dan takdir yang demikian, menjelang semester 3 saya pun mengikuti arahan ibu saya untuk: BERANILAH, NAK NAIK MOTOR, JANGAN NGEREPOTIN MINTA ANTAR JEMPUT!!!!! Yaudah.

Saya sebenarnya sudah belajar naik motor sejak SMP tapi sempat trauma karena pernah jatuh di tempat sepi dekat kebun singkong yang jauh dari komplek. Ngga ada yang nolong gitu. Sedihlah. Pas menegakkan motor kembali, saya lupa ngga matiin mesin atau minimal menetralkan gigi dulu. Yaudah pas saya angkat motornya, ga sadar ngegas, terus ya menurut hukum fisika yang saya buktikan sendiri itu ya motornya loncat lagi ya bego. Pulang-pulang juga dimarahi gara-gara baru sadar waktu motornya jatuh, step ada yang hilang. Hadehhhhh.

Namun trauma, sebagaimana korupsi, memang harus dilawan. Tahun 2008, saya pun memaksakan diri untuk bangkit mencoba berani naik motor lagi. Prosesnya cukup membuat tegang hampir trauma lagi, di antaranya:

1. Jalan di pinggir banget. Akhirnya jarak normal 10 menit dari rumah ke kampus menjadi 30 menit.

2. Pertama kali pergi ngajar dengan motor, ditelpon terus sama front desk dan hampir dipanggil yang punya Ganesha karena saya ngga kunjung datang, telat hampir 30 menit ke kelas karena takut belok, takut putar balik, takut nyebrang. Masya allah. Wkwkwk.

3. Didorong Ewa untuk berani membonceng orang dengan cara Ewa maksa minta dibonceng dari kampus fisip ke ayam laos lalu sepanjang perjalanan, kami berdua teriak-teriak heboh karena takut anjir. Saya takut boncengin Ewa, Ewa juga akhirnya jadi nyesal minta dibonceng saya.

4. Beberapa hari agak berani naik motor, eh ada guru di Ganesha yang lagi hamil gede minta diantar kontrol ke dokter kandungan karena suaminya sedang dinas di luar kota. Ya allahhhhhhh, keringat dingin allahuakbar. Terakhir kali membonceng Ewa itu tangan udah gemetar, lha ini atas nama kemanusiaan saya mustahil menolak permintaan membonceng ibu hamil. Tapi alhamdulillah berkat ridho Allah, ibu guru bisa selamat saya bonceng ke dokternya. Semoga anak yang dikandungnya (sekarang mah sudah masuk SD) kelak bisa menemukan obat kanker atau minimal bisa merajut benang-benang kebangsaan lebih erat.

Bersambung.
Bagian 2 insya allah mengenai prestasi dalam naik motor.