Review Cerpen : Ramadhan Kesepuluh

Ramadhan Kesepuluh. Mulanya judul ini tidak saya rencanakan. Bahkan ceritanya pun tidak saya rencanakan. Suatu siang, saya membuka akun email saya. Ada satu pesan dari redaktur Tribun Jabar yang memberitahukan cerpen saya tentang 17 Agustus dengan sangat terpaksa tidak dapat dimuat karena momennya sudah lewat (telat kirim). Bapak itu mengajukan piihan bagaimana kalau saya mengirim cerpen tentang Ramadhan. Waw. Sungguh suntikan semangat yang sangat luar biasa. Beberapa menit kemudian, tangan saya sudah lancar mengetikkan cerita baru yang saya juga sama sekali nggak tahu bagaimana Allah bisa menyisipkan ide itu ke otak dan jari saya. Cerpen itu selesai dalam waktu tiga jam.

Setelah saya edit dua kali dan saya tunggu dua minggu, alhamdulillah cerpen tersebut dimuat. Ini karya kelima saya yang dimuat secara umum lewat seleksi redaksi. Awal yang cukup baik, tentunya, tapi saya sadar di luar sana ada begitu banyak penulis hebat yang menelurkan karya hebat sehingga saya masih harus banyak belajar dan menambah jam terbang.

Komentar positif alhamdulillah juga banyak saya terima. Terima kasih semuanya. Kalau nggak ada Allah nggak rame. Hehe. Itu beneran jalan Allah kok buat ngasih semangat saya. Selama tahun ini nggak ada satu kejuaraan pun yang saya juarai. Hmmm. Rezeki saya bukan di situ lagi, nampaknya. Sekarang saatnya media massa, mengingat tahun ini tiga karya saya dimuat tanpa menunggu waktu berbulan-bulan dalam skup nasional maupun provinsional.

Saya masih mengangkat tema sosial dalam cerpen ini. Amanah utama yang ingin saya sampaikan adalah betapa Allah adalah dzat yang kreatif karena selalu mampu menghadirkan cobaan yang unik kepada setiap makhluk-Nya lewat racikan permasalahan social yang kompleks.

Ia adalah Lodi yang terkejut saat menerima surat dari Pak Pos. Surat itu memberi jawaban atas segala rindunya kepada sang Ayah yang tak pernah tersampaikan. Ternyata sang Ayah yang menghilang dalam sepuluh Ramadhan itu sama sekali tidak mati. Ia masih hidup! Ia dulu dipenjara karena polisi di negeri jiran salah menangkap orang. Lodi hanya ingin senang atas surat yang memberi kabar bahwa ayahnya akan segera kembali, namun sayang ia tidak bisa. Ibunya sudah menikah lagi dan mereka kini telah hidup berkecukupan. Lodi mereka-reka siapa yang salah atas pernikahan ibu. Ibunya dan ia yang terlalu ekonomiskah? Karena mempertimbangkan untung rugi saat memilih menerima lamaran sang dokter atau menunggu kedatangan ayahnya. Atau justru ayahnyalah yang salah karena tidak pernah memberi kabar? Tapi ayahnya jelas dipenjara! Mana mungkin dapat memberi kabar? Belum tuntas gundah Lodi, ayahnya malah duluan datang. Lodi akhirnya hanya bisa terkejut di dalam dekapan ayahnya yang baru saja membakar rumah yang sedang menaungi tidur siang istri dan suami maduannya.

Kisah yang klasik. Diorama keluarga miskin. Tapi justru dari kisah yang klasik inilah ada tiga hal yang ingin saya perlihatkan.

Pertama, sikap para penegak hukum. Salah tangkap takkan bisa terganti dengan kata maaf dan pemulihan nama baik. Begitu banyak kehidupan yang terenggut saat penegak hukum melakukan human error. Luka, sedih, rindu, hampa, sepi, hancur, bagaimana cara memulihkannya?

Kedua, dengan menyetting TKI pun saya ingin memperlihatkan betapa lemahnya instrumen hukum internasional kita dalam melindungi warga negara sendiri. Faktor yang menyebabkan adanya TKI adalah ketidakmampuan negara kita memberi penghidupan bagi kaum yang tersisihkan. Tidak semua warga negara bisa menjadi insinyur dan dokter, bukan? Ada bagian yang terpaksa menerima menjadi orang buta huruf dan anak SMA IMPIAN. Tapi sayangnya baik dokter, insinyur, pejabat maupun orang buta huruf, kuli, dan korban PHK sama-sama butuh makan dan menghidupi keluarga. Urusan itu yang mereka kejar sehingga timbul pemikiran jika negara sendiri tak sanggup mengayomi, maka siapa tahu negara lain bisa. Apalagi jika dihitung-hitung kurs negara luar lebih tinggi sehingga dengan menghemat uang makan di sana, mereka akan mampu mengangkat keluarganya beranjak dari garis kemiskinan di Indonesia. Nah, negara sendiri harus menyadari keadaan ini. Jika negara tak mampu membiayai hidup rakyatnya, seharusnya mereka mampu memberi perlindungan kepada mereka di tanah lain. Saat ini kita tidak sedang membicarakan keseharusan adanya swadaya kepedulian swasta, karena bagaimanapun posisi bargaining yang paling kuat ada di tangan negara, bukan di tangan LSM atau IGO, apalagi di tangan individu. Peran negara sangat dibutuhkan dalam kasus TKI. TKI memang mengurusi hal domestik, hal yang sangat kecil bila dibandingkan dengan hal politis, tapi bukankah negara kita menganut kesederajatan, dimana setiap orang, tak peduli berprofesi apa, memiliki derajat yang sama untuk memperoleh perlindungan? Toh mereka pun sudah menjadi korban di negaranya sendiri, jangan sampai juga mereka menjadi korban di negara lain.

Yang patut disalahkan dalam permasalahan ini bukan para diplomat kita, sebenarnya, tapi payung hukum yang mengatur bilateral kita. Sebagai dua negara yang saling membutuhkan, katakanlah Indonesia membutuhkan negara X untuk menampung TKI-nya dan negara X membutuhkan TKI untuk menyokong ekonominya, seharusnya ada usaha dari kedua belah pihak untuk serius menjalankan kesepatakan perTKIan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Demokratisasi harus ada. Posisi kedua negara harus sederajat. Jangan karena kita adalah pemasok maka kita direndahkan oleh negara ‘majikan’. Kesepakatan tersebut pun seharusnya memuat kebijakan atas deviasi yang mungkin saja terjadi. TKI illegal, misalnya. Legal atau illegal, mereka adalah warga negara yang patut dilindungi. Jangan hanya karena illegal malah si TKI tersebut diacuhkan bahkan dapat diperlakukan semena-mena oleh majikan.

Bagi bilateral antarnegara yang berada dalam organisasi serupa pun seharunya TKI dapat lebih terlindungi. Jika international law bersifat mengikat, kaku dan tidak mengantisipasi perubahan serta pendekatan diplomatik cenderung terlalu akomodatif pada dinamisasi sehingga dapat digoyahkan, maka pada momen inilah pendekatan organisasional seharusnya masuk. Kesepakatan yang difasilitasi oleh pendekatan organisasional bersifat akomodatif akan dinamisasi internal dan kekuatan hukumnya pun bersifat mengikat, selain ia pun memberi posisi bargaining yang sama kuatnya bagi dua negara. ASEAN, untuk menyebut satu nama organisasi, tentu akan lebih dipercaya kiprahnya oleh masyarakat Asia Tenggara jika ia menunjukkan giginya dalam urusan soft politic seperti ini.

Hal ketiga dari Ramadhan Kesepuluh adalah gender. Ada banyak yang ingin saya sampaikan sebenarnya, tapi saya rasa pembahasan poin ini akan sangat sensitif, debatable, dan makin melebar, karena itu hanya ini yang bisa saya hadirkan. Saat Bapak Lodi menemukan istrinya menikah lagi, serta merta ia membakar rumah beserta istrinya. Saya sengaja tidak menghadirkan sudut pandang si Ibu dalam memaknai perkawinannya dengan Pak Dokter yang kaya. Saya ingin memperlihatkan rasa sakit hati yang dirasakan laki-laki saat mengetahui istrinya sudah melupakan dirinya. Saya ingin meperlihatkan bahwa sakit hati karena dimadu bukan hanya milik wanita, tapi juga milik laki-laki, bahkan laki-laki bisa bertindak lebih tak waras. Selama ini kita terlalu sering dibombardir oleh kegilaan wanita yang tersakiti, padahal laki-laki pun dapat bertindak serupa jika sudah dikendalikan amarah.

Persoalan sosial merupakan persoalan yang akan banyak menyangkut tetek bengek yang bahkan tidak pernah terlintas di dalam benak kita. Kritik akannya pun merupakan kritik yang dapat disampaikan lewat banyak media. Saya memilih sastra sebagai medianya. Sastra mampu mengangkat beragam persoalan sosiologis dalam harmoni sisi paling manusiawi kita. Sastra pun dapat dinikmati semua orang, tak terbatas pada kalangan intelek. Lewat cakupannya yang luas, saya ingin berkiprah memperlihatkan gejala sosial yang terjadi di sekeliling kita dan menjadikannya sebagai cambukan bagi kita untuk menciptakan hidup yang lebih baik. Sastra bukan hanya milik Fakultas Sastra dan budayawan, tapi juga milik penstudi HI, politikus, dan masyarakat.

NB : search Rikianarsyi di google untuk membaca cerpen ini.

Buku Pelajaran yang (Masih) Saja Bermasalah

Saya termasuk orang yang paling anti beli di Koperasi Sekolah. Bukan antibunghatta, tapi antiyangmahalmahal. Coba saya tanya, koperasi sekolah mana yang harganya lebih murah daripada pasar biasa? Nggak ada, kan? Nih koperasi yang gini nih yang nggak mendidik. Hehehehe.

Dalam tulisan saya tentang mengunduh buku pelajaran (search rikianarsyi di google lagi, heuheu), inti terselubung dari sejuta argumen saya adalah saya sangat mendukung kebijakan pemerintah untuk membeli hak cipta ratusan buku untuk kemudian dapat didownload dengan bebas oleh para pelajar, karena swasta (baca : kongkalikong insentif dari penerbit untuk sekolah) udah terlalu parah memonopoli dunia belajar-mengajar kita. Dalam satu semester, nggak kurang dari tiga ratus ribu kita keluarkan untuk membeli buku yang tahun depannya sudah out to date alias adik kita nggak bisa pakai lagi, itu sungguh jumlah yang sangat relatif bagi orang-orang, Ada yang bilang murah, kalau mereka mampu, tapi pasti lebih banyak yang mengatakan mahal karena kita hidup di negara yang lebih mementingkan perut daripada otak.

Karena kebijakan menggratiskan sekolah, dimulai dari DSP sampai SPP sangat sulit dihapuskan, terutama bagi sekolah swasta yang harus luntang-lantung cari biaya sendiri, kebijakan ‘menggratiskan’ buku pelajaran merupakan kebijakan yang tidak kalah cerdas karena tujuannya mencerdaskan anak bangsa yang tidak sanggup membeli buku tapi harus punya buku. Buku pelajaran gratis merupakan dorongan yang kuat bagi masyarakat untuk tidak putus sekolah karena nyatanya, bila dibanding-bandingkan, uang buku merupakan beban kedua yang berat setelah DSP (ketiga : seragam dan alat sekolah; keempat : ongkos dan jajan; kelima : SPP –soalnya bisa nunggak tanpa denda). Jika buku sudah bebas, modal untuk sekolah bisa lebih ringan. Bisa cicil kelengkapan hidup lain dan bisa nyekolahin adik yang lain.

Kebijakan download buku, dalam pandangan saya, merupakan kebijakan yang sangat komunal. Sangat menyangkut hajat hidup orang banyak. Seharusnya sih didukung, tapi sayangnya si pihak swasta itu merasa lapangan pekerjaannya terebut oleh pemerintah. Jika kita berkaca pada teori bahwa intervensi pemerintah akan sangat mematikan bisnis (baca lengkapnya dalam tulisan saya itu), argumen itu seolah dapat diterima. Tapi yang paling ingin dikritisi oleh pemerintah dalam penerbitan kebijakan itu sebenarnya adalah kongkalikong penerbit dan sekolah yang sangat merugikan siswa karena harga buku jadi sangat melambung. Kalau bedanya cuman seribu dua ribu bisa saja tidak masalah, hitung-hitung ongkos, tapi bagaimana jika perbedaannya melebihi angka lima puluh ribu rupiah? Kenapa sekolah jadi ajang mencari untung para oknum dan penerbit? Pasti swasta yang merasa terancam keberadaannya oleh download buku lebih memperhitungkan unsur yang satu ini sebagai motif utama keberatan.

Pemerintah sebenarnya tanggap dengan gejala ini jauh sebelum mereka membeli hak cipta buku, tapi sayangnya meski peringatan sudah dilayangkan berkali-kali, pemerintah tetap kecolongan. Sekarang malah muncul trend baru, penerbit buku menyewa tempat di dekat sekolah sebagai kios. Kios ini memonopoli lewat ‘ancaman’ kepada anak-anak labil, “Buku ini cuma ada kios ini! Tidak ada di tempat lain.”

Ancaman tersebut bukan hanya membuat praktek kongkalikong tetap menjamur di awal semester baru melainkan juga membuat buku download tidak populer di kalangan siswa, apalagi mengingat jaringan internet belum seluas jaringan GSM di Indonesia.

Mengantisipasi kekurangpopuleran buku download, alangkah baiknya jika pemerintah mengawalinya dengan dua langkah. Pertama, menyadari bahwa jaringan internet kita masih harus dibangun. Kedua, memberi kebijakan bagi sekolah-sekolah untuk tidak memaksakan buku wajib yang sama bagi setiap siswanya. Kurikulum yang sama tentu memungkinkan pemuatan bab yang sama dalam buku yang berbeda penerbit. Jika swasta menyalahkan tindakan pemerintah yang menggratiskan buku sebagai langkah monopolistis, tak bisakah langkah mereka untuk menyeragamkan buku wajib kita anggap sebagai tindakan yang lebih monopolistis juga? Pelajar sebagai konsumen tentu memiliki hak untuk memilih buku apa yang ingin dan mampu mereka beli, mengapa tidak kita berikan saja hak itu kepada mereka? Toh, ini persoalan ekonomis, bukan?

Tapi tentu saja jika kita sudah berbicara tentang uang, kita harus siap berdebat tiada akhir. Setiap pihak memiliki kepentingan dan hal utama yang harus disiapkan adalah memahami kepentingan-kepentingan tersebut sehingga solusi yang tercapai pun bukan solusi yang berat sebelah, tapi mengusung kepentingan semuanya.