Menunggu di Depan Pintu


Sepertinya tidak ada yang tahu mengenai hal yang ingin saya tuturkan di sini, termasuk ayah saya. Saya tidak pernah menganggap bahwa laki-laki adalah makhluk yang baik, terutama dalam hal ingin menyenangkan hati orang lain, ya salah satunya karena apa yang saya lihat sejak saya kecil.

Ayah saya seorang pekerja keras. Ketika masih bekerja di Bandung, setiap pagi saya selalu melihat ayah saya ganteng sekali mengancingkan lengan panjang bajunya yang rapi. Saya yang masih kecil akan dengan bersemangat mengambilkan sepatunya yang telah saya semir setiap jam 6 pagi sekadar agar saya terlibat dalam ritual pagi ganteng ala ayah saya. Ayah saya lalu akan berjalan untuk mengeluarkan mobil, saya mengantarnya dengan lambaian tangan di depan pagar.

Saya selalu bangga karena ayah saya ganteng dan pintar hehe. Pokoknya ayah saya yang paling hebat di dunia. Setiap hari saya selalu ingin menceritakan hal baru tentang ayah saya kepada kawan-kawan namun sayangnya tidak sampai di akhir pekan, saya kehabisan bahan. Oleh karena itu pula saya selalu merindukan momen libur di akhir pekan agar saya bisa bercengkrama dengan ayah saya.

Namun apa dikata, pekerjaan yang padat bagi seorang pekerja keras hanya akan meninggalkan lelah sejak Jumat malam. Itu yang saya baru pahami hari ini ketika saya sudah bekerja. Perjalanan pengertian yang sungguh lama sejak saya mulai mengenal konsep ayah dalam perkembangan pengetahuan anak.

Ayah saya tidak tahu betapa saya merindukan akhir pekan hanya untuk mendengar cerita-ceritanya atau mendengarkan cerita saya. Ayah saya juga tidak tahu bahwa di setiap tidurnya yang panjang pada akhir pekan, saya berkali-kali melongokkan kepala di pintu kamar untuk menunggunya terbangun lalu merangkul saya bersamanya sambil bercerita, jika memang ayah saya tidak cukup kuat untuk mengajak saya berjalan-jalan keliling kota dengan mobil Katana yang pada saat itu menjadi tren. Setiap Sabtu dan Minggu pada masa itu adalah penungguan akan kejutan menyenangkan namun sayangnya selalu ditutup dengan upaya penabahan diri anak-anak atas ungkapan, "Aba capek." 

Lama-kelamaan, sambil tetap menunggu Sabtu dan Minggu untuk bermain banyak dengan ayah saya, saya pun menjadi dewasa sendiri. Dewasa dalam arti menganggap bahwa keinginan terdalam saya itu tidak akan selalu disambut degan semangat ayah saya yang semenggebu saya. Ayah saya hanya tahu bahwa Sabtu dan Minggu adalah hari pelepasan penat, tanpa tahu bahwa saya sejak Senin hingga Jumat menunggu Sabtu dan Minggu untuk pelepasan rindu. Ya, walaupun saya setiap malam juga masih betemu ayah saya dan ditanyai soal sekolah. Entahlah, saya juga akhirnya menjadi lebih dewasa dengan berkata pada diri sendiri bahwa saya seharusnya sudah cukup bersyukur dengan pembicaraan singkat setiap malam dengan ayah saya.

Bukan berarti ayah saya sama sekali tidak pernah mengajak saya berjalan-jalan panjang pada Sabtu dan Minggu. Ada momen ketika ayah saya mengajak kami berjalan-jalan yang selalu saya anggap istimewa. Ayah saya tidak tahu bahwa selepas saya tahu rencana pergi esok hari, hati saya membuncah dan melonjak yang kekuatannya cukup untuk menggerakkan saya memilih-milih baju yang akan saya kenakan esok sambil otak saya berencana akan membicarakan apa saja besok dengan ayah saya dan tentu saja menerka-nerka besok ayah saya akan bercerita apa. Ya tapi momen itu terlalu istimewa  -penghalusan dari istilah : sedikit.

Beranjak umur, dengan tetap menyayangi ayah saya tidak peduli beliau suka mengajak saya berjalan-jalan atau tidak di Sabtu-Minggu masa kecil saya, kedewasaan yang ditempa dari pemaksaan diri untuk menerima apa yang saya terima ternyata menjadi ketidakpercayaan saya bahwa laki-laki memiliki kepedulian untuk menyenangkan orang di sekitarnya. Saya selalu menganggap bahwa ketika laki-laki membuat orang di sekelilingnya senang, ya dia melakukannya karena dia memang mau, bukan karena mau menyenangkan orang itu. Saya selalu skeptis dengan cerita teman-teman lelaki saya yang mengatakan betapa mereka ingin menyenangkan istrinya. Setahu apa mereka dengan keinginan yang sebenarnya ingin disuarakan istrinya tapi akhirnya tidak dibicarakan karena takut membebani mereka? Ya seperti ayah saya yang merasa sudah membuat saya senang sepanjang hidup tapi tidak tahu bahwa saya menunggunya bangun di setiap jam pada Sabtu dan Minggu.

Ah, iya. Sekarang ayah saya sudah pensiun, sudah banyak waktu untuk mengurus keluarga. Ada titik dimana saya iri dengan adik saya tapi juga saya sudah terlampau malas untuk mendekat. Adik saya bahkan tidak usah menunggu dengan sabar pada Sabtu dan Minggu untuk dibawa berkeliling kota atau dirangkul dalam tidur karena ayah saya setiap hari dengan semangat yang tinggi mengantar jemput adik saya ke sekolah dan ke tempat latihan renang dan kempo, bahkan les juga. Saat saya masih tinggal di rumah pun ayah saya beberapa kali berniat mengantarkan saya ke kampus atau rumah murid privat saya, tapi ah sudahlah saya malas. Saya sudah cukup terbiasa dengan penungguan yang tidak tentu akhirnya akan seperti apa sehingga saya menganggap bahwa tidak ada yang peduli juga dengan penungguan saya. Ya sudah.

Meskipun demikian, saya juga mungkin harus berterima kasih pada 'cara mendidik' ayah saya yang membuat saya menjadi seperti sekarang. Laki-laki pekerja keras dan tidak sadar kehadirannya ditunggu tentu bukan ayah saya saja. Selain itu, berkaca pada ketidakpercayaan saya akan laki-laki yang mau menyenangkan orang lain tanpa dorongan dari dirinya sendiri, ya berarti episode penungguan yang tidak disadari itu juga tidak akan sekali saya alami. Bahkan mungkin kelak juga akan dialami anak saya. Ya sudahlah. Semoga nanti anak saya juga akan baik-baik saja seperti yang akhirnya saya putuskan.