Kisah Inspiratif di Angkot Bandung #1: Menyapa atau Tidak Menyapa, Sebuah Kajian Fisika

Selama enam tahun, saya menghabiskan waktu minimal tiga jam sehari di angkot untuk sekolah. Banyak hal yang bisa dilakukan di dalam angkot berjam-jam, termasuk mengerjakan PR, belajar untuk ulangan, bahkan sarapan. Itu kalau pagi. Perjalanan pulang sekolah biasanya hanya saya nikmati dengan mendengarkan musik Taiwan dari walkman sambil membaca beragam bacaan, dari mulai catatan blog Raditya Dika yang dulu pernah terasa relatif lucu (sekarang malesin), chicklit dan komik sewaan dari taman bacaan, atau latihan soal yang saya fotokopi dari teman yang ikut les. Perkara membaca fotokopian soal itu bukan karena saya rajin atau berminat pada pelajaran, melainkan karena kertas soalnya juga baru diberikan teman sebelum turun angkot. 

Saya sempat mengeluh pada teman saya kenapa baru di saat genting fotokopian itu dia berikan. Sudah bagus masih ingat, kilahnya setelah berteriak, "Kiri payun, Mang!" Saya mau balas bilang, "Ih atuhlah," tapi beberapa detik kemudian, fotokopian soal laknat fisika itu menyelamatkan saya.

Di sekitar daerah Talaga Bodas, teman saya turun. Di titik itu, seorang pemuda kucel siaga menunggu dia turun untuk menggantikan kuota duduknya. Kayaknya kenal deh, dimana ya, ingat-ingat saya saat Aa dengan poni agak mencolok mata itu sudah duduk manis di pinggir pintu. Dari pojok belakang angkot, saya perhatikan penampilannya, harusnya kenal deh, tapi dimana ya, saya masih lupa. Astaga ini si Aa kucel bener. Untung masih tertolong bawa tas jadi terlihat seperti anak kuliahan. Kalau ngga ada tas dan hanya pakai sandal jepit, bisa jadi dia akan dinilai sebagai  pemuda lokal yang sedang mencari las knalpot. 

Angkot semakin kosong di daerah Mataraman. Aa itu duduk semakin mendekat ke arah saya yang setia di pojokan. Ingatan saya makin terbentuk. Sepertinya dia kakak kelas yang sempat saya sukai saat baru masuk sekolah. Sementara saya sibuk menolak ingatan saya mengenai sosok kakak itu karena dulu dia nggak sekucel saat itu, kakak itu mungkin mulai risih ada sepasang mata yang terlewat terbuka memperhatikannya. Dia menatap ke pojok. Karena terlambat bagi saya untuk memalingkan wajah, saya tetap pada posisi mata yang sama namun saya buat agar tatapan saya seperti sedang melamun memikirkan langkah penyelesaian soal fisika. Fotokopian soal agak saya angkat untuk menunjukkan betapa berdedikasinya saya memikirikan persoalan generasi muda bangsa ini di hadapan kurikulum KBK. 

Saya sempat melihat dia tersenyum kecil lalu melanjutkan pandangan ke arah lain. Saya menatap dia lagi untuk memastikan, ini Kang itu kan ya? Masa kucel sih? Dia kuliah dimana ya? Dia kuliah kan ya? Bukan terpuruk atau apa kan ya? Ini kenapa jadi kucel ya? Ini Kang itu kan ya?

Dia menatap saya lagi. Kali itu saya menggerakkan bibir saja untuk menunjukkan bahwa fotokopian itu benar-benar membuat saya ingin segera lulus dari SMA. Dia melihat saya agak lama hingga saya pun akhirnya menundukkan wajah di hadapan soal yang saya letakkan di atas tas. 

Saya harusnya bisa menyapa dia untuk bertanya apakah dia benar Kang I. Tapi kan kalau salah mah malu atuh. Dia juga seharusnya bisa menyapa saya, sih. Kami kan saling kenal sebenarnya. Kami juga beberapa kali berinteraksi langsung. Saya pernah memberanikan diri meminjam buku Biologi, berbohong kalau guru saya meminta kami sekelas membaca materi Biologi Kurikulum 2004 ketimbang KBK. Dia sendiri yang mendatangi kelas saya untuk meminjamkan buku. Bukunya sampai tahun 2016 ini juga masih ada! Waktu kelas 2, saya juga pernah mengirim sms mengucapkan selamat ulang tahun untuk dia pada bulan Juli dan dia balas menanyakan kapan saya ulang tahun. Lalu bulan Septembernya dia benar-benar mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya. Saya juga satu les Bahasa Inggris dengan teman sekelasnya lalu saya sms untuk sok-sok memastikan, Akang sekelas yaaa sama Teh Yuli yaa? Aku se-EF sama Teh Yuli. Dia harusnya bisa bilang, "Ya terooooosss kenapa ya?" di dalam hati lalu mengabaikan pertanyaan saya tapi dia dengan sopan membalas dengan kata-kata afirmasi yang ramah. 

Kami kenal, kami kenal. Tapi lima belas menit di angkot itu kami hanya saling menatap untuk memastikan apa benar kami adalah kami yang itu yang saling kenal. 

Angkot hampir memasuki daerah Buahbatu. Saya membuat keputusan akhir. Kalau dia turun di daerah yang nama jalannya nama alat musik tradisional, berarti dia Kang I yang itu. 
Iya, benar. Dia turun di situ. Iya, dia Kang I! 

Kang I lalu turun dan menyelesaikan transaksi keuangan dengan Mang Angkot. Saat angkot kembali melaju dan melewati sosoknya, saya sempatkan melemparkan pandangan ke arahnya. Dia melihat saya dan sepertinya dia tersenyum simpul. Saya mematung dan lagi-lagi membuat tatapan mata kosong seperti sedang memikirkan fotokopian fisika. Dalam hati menyesal, harusnya tadi saya sapa Kang I dan menanyakan dia kuliah dimana dan apakah nomor hapenya masih sama. 

Origami Bangau

Suatu waktu saat masih remaja, saya iseng membeli kertas lipat warna warni. Tidak ada alasan khusus. Harganya hanya empat ribu rupiah dan ada dua belas warna yang dibagi hampir rata di keseratus lembarnya. Saya bawa kertas itu ke sekolah dan membebaskan teman-teman yang tertarik untuk mengambilnya.

Lalu kawan itu datang. Duduk di sebelah saya dan mengambil dua lembar kertas lipat, biru muda, ungu. Saya yang sedang bermain hape membiarkan dia melakukan hal-hal yang dia sukai dengan kertas lipat itu. Saya hanya bertanya cuek untuk basa basi, "Bikin paan?" 

Dia menjawab dengan manis (well, saya sedang main hape jadi agak lupa kenapa saya bisa mengklasifikasikannya dengan kata manis), "Bikin bangau karena sedang punya harapan."

Karena saya orangnya cuek dan masih main hape, saya jawab, "Punya harapan mah berdoa atuhlah." Dia diam saja sambil meneruskan proyek bangaunya. Saya main hape lagi.

Tak berapa lama, bahkan saya juga belum kena game over, kawan saya beranjak dari duduknya. Saya menoleh sebentar untuk kesopanan. "Udah jadi bangaunya," katanya begitu. Wah benar, sudah ada dua bangau di meja saya. "Buat aku?" saya bertanya nggak tahu malu. Dia mengangguk.

Sebelum dia berjalan menjauh dari kursi, saya tanya dia, "Kan bangaunya kamu yang bikin, kenapa ga kamu yang nyimpan?"

"Aku mah bisa bikin kapan aja aku mau. Kamu mah ngga bisa main origami. Jadi itu buat kamu aja."
Saya hanya bilang okeee pada saat itu dan sampai berbelas tahun kemudian, yakni sekarang, bangau itu masih saya simpan di kamar saya, ditempel di sterefoam berisi hal-hal yang ingin saya ingat dari masa remaja.