Negara Maju dan Himbauan Antipekerja Anak



Kemarin sempat baca Kompas, tapi lupa edisi kapan. Masih baru, sih, sekitar tanggal belasan September 2009 ini. Seperti biasa, buka koran pasti liat yang bagian internasionalnya dulu. Bukan sok HI, tapi selain karena berita artisnya lagi ga asik (dan artisnya ga tenar yang begimana gituh), biasanya berita nasional apalagi daerah ga jauh-jauh dari tindakan perampokan, pembunuhan, dan sebagainya. Hehehe. Ya walaupun Kompas mah ngga sebegitunya jugaaaaa. Ini mah gara-gara trauma baca koran daerah ajeh. Tapi eniwei, di kolom internasional Kompas itu ada satu hal yang menarik meskipun bagian beritanya cuma seukuran 2x1 (seolah-olah dia kuburan ajah gituh, heuheu). Ya intinya beritanya ga terlalu banyak mengandung huruf sehubungan dengan kavling yang sempit. Berita tersebut adalah berita tentang himbauan AS terhadap negara-negara pengekspor barang jadi agar tidak mempekerjakan anak-anak dalam proses produksinya. What do you think about that? Is that any kind of human rights thing or another soft nontariffs barriers?

Bersyukurlah Teman-teman yang menganggap hal tersebut adalah persoalan kepedulian AS terhadap hak anak-anak nan polos dan ga seharusnya cape. Kalian lulus sebagai insan Allah yang banyak bertafakur di bulan Ramadhan yang akan habis tujuh hari sebelum hari ulang tahun saya! Hehe. Hmmmm. Bukannya saya ga melihat sisi manis itu sih. Ya lihat sih lihat, cuma ngga percaya-percaya amat. Hehehe. I don't have any hatred about that country, I even dream going there, but in this global circumstance, the thing that I saw from that news was it contains their interest for protecting their industries and shows their arrogancy in this world's complexity.

Begini, memang, anak-anak adalah bagian dari masyarakat yang sudah seharusnya dilindungi dan terjamin hak-haknya. Manis banget kan kalau kita melihat sekumpulan anak-anak yang polos, meskipun mereka sibuk mengusap hidungnya yang sedikit-sedikit berair, menendang bola hingga kaca ruang tamu kita pecah, menyangkutkan layangan di tiang listrik, melempar petasan sembarangan kepada pengendara sepeda motor yang melintas di dekat mereka (!#$@$%#%^$^&^%^~#$$), bebas menggapai cita-cita mereka sebebas mereka memimpikan cita-cita tersebut hingga akhirnya mereka bisa menjadi pemuda sang agents of change dan tetua yang bijaksana tanpa harus terbebani pikiran besok bisa makan 2x sehari kayak hari ini atau engga, besok papa pulang bawa uang atau engga, besok sakit batuk ibu sudah membaik apa belum, hingga akhirnya mereka harus bekerja banting tulang di pabrik sebagai buruh murah dan ngga punya jaminan kesehatan, apalagi jenjang karir yang menjanjikan seperti lulusan SMK.

Nah, masalahnya, apa alasan paling logis di balik himbauan AS kepada negara berkembang untuk berkomitmen tidak mempekerjakan anak-anak tersebut?

Secara murni, persoalan anak-anak saya rasa bukanlah persoalan yang mengancam keamanan AS. Jelas, ia masih berada pada ranah nonpolitic dan nonsecurity. Pekerja anak-anak kayaknya agak imposible bakal jadi tentara jihad yang akan mempergunakan tangan-tangan kecil mereka untuk menyelipkan nuklir di serat pakaian yang diekspor ke AS. Kemungkinan yang paling berbahaya dari keberadaan pekerja anak-anak adalah upah mereka yang kecil akan membuka peluang turunnya biaya produksi yang sudah jelas akan membuat harga barang yang mereka produksi sangat bersaing dengan harga yang diproduksi industri AS. Harga produksi dan harga jual produk industri AS jelas lebih mahal mengingat pemerintah AS menerapkan standar perlindungan pekerja yang cukup ketat. Nah, di sinilah letak bahayanya pekerja anak-anak. Secara tidak langsung, mereka akan mengancam keberadaan industri AS. Atas dasar tersebutlah maka himbauan untuk tidak menggunakan pekerja anak dalam proses produksi merupakan salah satu instrumen hambatan nontarif.

Berita tersebut juga menyebutkan bahwa pemerintah AS memantau dengan sangat cermat proses produksi barang yang diekspor ke AS dan pemerintah akan memberikan himbauan kepada warga untuk tidak membeli produk yang dihasilkan dari tangan anak-anak. Lewat iklan layanan masyarakat yang berisi dokumentasi penderitaan buruh berusia belasan tahun yang wajah dan ekspresinya sangat Dunia Ketiga sekali atau dengan kata lain, memprihatinkan, ibu dan bapak mana yang ngga akan miris? Himbauan pemerintah AS kepada warga AS untuk tidak membeli barang hasta karya anak-anak karena hal tersebut sama saja dengan mendukung perbudakan anak jelas akan dipatuhi.

Jadi inget artikel Teddy J. Fishman (kalo ga salah inget) di mata kuliah Multinational Corporation dalam Politik Dunia semester kemarin deh. Artikel yang saya lupa judulnya apa itu dibuka dengan protes Fishman atas program televisi yang menyiarkan penderitaan pekerja anak-anak. Menurut Fishman (bentar, ini seolah-olah saya yakin aja gituh nama penulisnya Fishman, padahal lupa-lupa inget. Okai, kita anggap saja namanya Fishman), film dokumenter tersebut terlalu dibuat-buat. Bukan Fishman ngga suka anak kecil, tapi Fishman melihat hal tersebut sebagai akibat dari tindakan AS sendiri tapi kok AS malah seolah-olah baik hati dan peduli terhadap anak. Nah, hal itu juga yang sepertinya mempengaruhi pandangan saya atas berita yang minggu lalu ditulis Kompas.

Sependapat dengan Fishman, begini deh, menurut Teman-teman, kenapa anak-anak yang harusnya sekolah dan bermain itu sampai mau mengorbankan diri membanting tulang, padahal ibu dan bapak mereka belum meninggal? Menurut saya, alasan mereka jelas bukan untuk mengisi waktu dengan kegiatan yang berguna atau kekuarangan uang jajan, melainkan karena mereka terdesak ekonomi. Keluarga mereka bener-bener ngga mampu dan ngga punya cukup pemasukan untuk mengatasi pengeluaran jika mereka ngga ikutan kerja. Nah, menurut Teman-teman lagi, apa salah satu alasan hidup mereka sebegitu susahnya? Okai, barang-barang mahal dan penghasilan orang tua mereka ngga cukup. Skip bagian barang mahal karena adanya inflasi, ketidakseimbangan penawaran-permintaan, kelangkaan, dan nilai tukar yang nggak stabil. Ntar jadi panjang ngomongnya. Masih nyambung sih tapi mari lebih dahulu kita lihat bagian mikroekonominya. Kita fokuskan pada penghasilan. Okai, penghasilan orang tua mereka ngga cukup karena orang tua mereka ngga punya keahlian hebat yang bisa membuat orang tua mereka menang persaingan atau NGGAK DI-PHK. Nah, lihat alasan terakhir, PHK. Kenapa mereka bisa di PHK?

Pertama, jika orang tua mereka adalah buruh pabrik perusahaan multinasional, bisa jadi mereka adalah korban kebijakan kantor pusat untuk memindahkan perusahaannya ke negara lain yang dinilai lebih produktif, efisien, dan ramah. Sebagaimana motif ekonomi perusahaan pada umumnya yang berpijak pada bagaimana meminimalisasi biaya produksi dan memaksimalisasi keuntungan, motif MNC masuk ke sebuah negara adalah untuk mendekati SDA dan mencari tenaga kerja murah nan produktif demi meminimalisasi biaya produksi serta mendekatkan diri dengan pasar serta terikat pada pajak, peraturan, dan standarisasi seringan mungkin demi mendapat keuntungan maksimal. Jika negara tersebut sudah mulai habis SDA-nya, tenaga kerjanya mulai terorganisasi dalam Serikat Pekerja yang menuntut berbagai jaminan kesejahteraan atau produktivitas mereka kalah dibanding produktivitas pekerja di negara lain, pasar mulai jenuh, dan pajak, peraturan, serta standardisasinya mulai tinggi, untuk apa mereka tetap bertahan di negara tersebut? Penutupan pabrik yang tentu berujung pada pemecatan bagi mereka mungkin hanya sebuah keputusan di atas kertas yang akan menuai demo selama beberapa waktu, tapi membawa implikasi dahsyat bagi para nama yang tidak sekedar nama, tapi nama tersebut adalah manusia yang di belakangnya berdiri beberapa manusia lain yang harus mereka nafkahi. Lapangan kerja yang sempit di negara berkembang yang menjadikan manusia-manusia korban PHK tersebut terpaksa menganggur sementara hidup setiap hari harus dibiayai tentu membuat anak-anak terpaksa turun tangan. Salah siapa? Bukankah orang tua yang sampai mengizinkan anaknya bekerja tersebut adalah korban dari perhitungan untung rugi perusahaan multinasional yang notabene hampir semuanya berasal dari negara maju, termasuk AS?

Kedua, jika orang tua mereka adalah buruh atau pekerja atau mungkin pemilik dari perusahaan domestik, alasan logis mengapa mereka bisa di-PHK selain karena ketidakseimbangan harga produksi dan harga jual yang mengakibatkan kerugian adalah karena barang yang mereka produksi dan mereka ekspor terkena hambatan ekspor, baik tariff maupun nontariff. Ada sebuah dualisme dari negara-negara maju, termasuk AS mengenai ekspor. Dalam mengekspor barangnya, negara maju tersebut segigih mungkin melobi negara berkembang untuk membuka pasarnya, sementara mereka (negara maju) terkenal sangat protektif dalam membuka pasarnya kepada negara berkembang. Ya emang ngga enak juga sih, kan negara maju jelas punya teknologi yang lebih canggih daripada negara berkembang, yang tentu teknologi tersebut berpengaruh terhadap hasil jadi. Dengan teknologi yang bagus, mereka memproduksi barang yang lebih bagus sehingga barang yang mereka ekspor ke negara berkembang jelas barang yang berkualitas. Beda dengan negara berkembang yang dengan teknologi terbatas tentu memproduksi barang dengan kualitas yang terbatas dan sangat mungkin berada di bawah kualitas barang produksi negara maju. Seolah-olah air susu dibalas air tuba aja gituh. Masa gue ngekspor barang bagus ke negara situ tapi situ ngekspor barang yang diproduksi pake teknologi yang di sini udah out of date? Tepercaya ngga nih keamanannya? Gue cek dulu deh. Kalo udah pas ama standar gue, gue kasih sertifikat, nah ntar kalau mau kirim barang lagi, tunjukkin sertifikatnya, baru kita terima. Tapi jangan mahal-mahal juga ya. Begitulah kira-kira omongan negara maju saat ia udah jadi anak gaul yang ekonomis dan pandai menawar. Di satu sisi, hal ini memacu negara berkembang untuk ikut maju seperti negara maju, nah tapi satu hal yang dilicikkin. Enak amat negara maju nyuruh-nyuruh maju tapi fasilitas untuk maju sendiri pun tidak ada.

Dalam dialog Utara-Selatan, hal yang paling sering dijanjikan Utara adalah transfer teknologi kepada Selatan. Tapi sayang sekali, realisasi hal ini sangat jauh dari kenyataan yang mengenakkan. Satu, teknologi yang ditransfer kepada Selatan biasanya teknologi yang sudah out of date di Utara (tapi gatau kenapa kitanya mah bukannya komplen tapi malah bangga..heuheu), dua, transfer teknologi sering berbenturan dengan masalah hak cipta, hak paten, pembajakan, dll. Pusing kan? Parahnya lagi, dalam kondisi seperti ini, normalnya kita harusnya inget ama omongan Bung Karno. Ayo berdikari! Nah, tapi sayangnya, semangat Bung Karno ini kayaknya sulit terealisasi. Kita udah terlalu banyak dimanjakan oleh hubungan Utara-Selatan yang bisa dibilang udah ngga sehat. Hubungan kita udah ngga bisa dinamai sebagai hubungan interdependensi alias saling tergantung, tapi justru hubungan Dependensi alias tergantung bener. Teori Modernisasi dan Teori Lima Tahap Pembangunan Ekonomi yang dicita-citakan Orde Baru dulu itu nyatanya ngga terwujud. Semakin kita berinteraksi sama negara maju, kita semakin sulit lepas dari kebaikan mereka. Ini sih jelas salahnya guru-guru kita. Inget kan kalo sekolah hal yang selalu dilarang adalah menyontek? Nah, inilah akibat dari ketakutan kita akan sontekan. Harusnya dalam urusan ini, kita giat menyontek keberhasilan mereka untuk kemudian kita kembangkan. Kita mah salah sih, nyontek engga, tapi maunya disuapin jadi. Kan mending nyontek, ada usahanya dulu, liat kiri kanan, deg degan, tulisannya dibedain (walopun dikit. Yah kalo sama banget mah entar namanya membajak, dong. Membajak kan pekerjaannya kerbau dan traktor), nah kalau udah disuapin begini mah udah susah. Susah. Susah. Susah.

Okai, balik lagi. Karena barang-barang produksi domestik kita terkena hambatan dan kalaupun lolos hambatan masih menghadapi dua ancaman, satu, ancaman barangnya kurang bersaing dengan barang di sana, dua, kalau ternyata barang kita laku, barang kita malah kena kuota, industri domestik kita jelas dong sulit bertahan. Nggak jadi masalah kalau industri domestik bisa mengalihkan penjualan produknya ke negara lain atau dijual di negara sendiri, tapi bagaimana jika barang tersebut tidak laku? Bagaimana perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan atau minimal balik modal? Jika mereka tidak dapat bertahan, apa mau dikata, kalau bukan pengetatan jumlah karyawan (PHK kecil-kecilan) ya perusahaannya mereka tutup (PHK semua). Pilihan tersebut menjadi pilihan yang paling logis ketimbang meningkatkan kualitas produk dalam usaha mendapatkan sertifikat. Belum tentu juga gituh perbaikan mutu tersebut akan serta merta membuat negara maju menerbitkan sertifikat atau membuat produk tersebut lancar bersaing di pasar. Permasalahan ini bukan saja menyangkut persoalan teknologi, tapi juga mental. Berbagai tekanan negara maju tentu mau tidak mau menekan mental perusahaan domestik.

Nah, makanya saya bilang kayaknya ngga bijak aja gituh kalau AS gencar melaksanakan kampanye antipekerja anak demi masa depan mereka yang lebih baik. Bukankah secara tidak langsung AS dan negara-negara maju lainlah yang mendorong adanya pekerja anak? Masalahnya juga kan nggak cuma karena anak-anak negara berkembang itu sangat peduli pada keluarga, tapi juga karena perusahaan-perusahaan negara berkembang membutuhkan tenaga murah agar produknya bisa bersaing di pasar negara maju.

Saya akui, pekerja anak adalah masalah yang sangat memprihatinkan. Tak dapat dipungkiri, jumlah pekerja anak bisa menjadi indikator rendahnya kemakmuran di suatu negara. Rendahnya kemakmuran tersebut pun dipastikan tidak hanya menjadi persoalan hari ini, tetapi juga persoalan masa depan. Bukankah anak-anak adalah pewaris estafet kepemimpinan bangsa? Kapan negara berkembang bisa maju kalau anak-anaknya sekarang nggak sekolah dan ngga punya waktu untuk mengembangkan diri di luar kegiatan akademis? Sekarang Dunia Ketiga tetap berstatus berkembang dan sampai anak cucu anak-anak itu lahir kalau pekerja anak masih ada ya Dunia Ketiga nggak bakal menyandang status Developed Countries. Dalam hal ini, himbauan AS tentang Say No to Children Slavery memang sangat visioner dan baik adanya. Namun, ketimbang AS dan negara maju hanya bisa menghimbau dan menutup pasar, saya rasa masih ada cara yang lebih bijak dan konkrit untuk menghentikan perbudakan anak.

Pertama, transfer teknologi yang nyata kepada negara berkembang sehingga selain skill tenaga kerja negara berkembang bisa meningkat dan dalam kasus MNC, MNC tidak perlu terlalu nomaden berpindah dari satu negara ke negara lain melulu, produksi dari negara berkembang juga bisa memenuhi standar negara maju, produknya masuk ke pasar negara maju, terus bisa bersaing, dan di dalam negeri, mereka bisa mengembangkan diri dan meningkatkan kemakmuran.

Kedua, agak malu nih bilangnya, hehe. Jika negara maju tidak menginginkan anak-anak menghabiskan waktunya menjadi pekerja, maka berilah mereka kesibukan sebagai pelajar dan pengembang bakat lewat bantuan dana pendidikan dan pengembangan diri. Sekarang sih SD-SMP memang gratis, tetapi apakah sekolah gratis tersebut telah menjamin diberikannya fasilitas pendidikan yang benar-benar maksimal dan gratis? Kalau bukan fasilitasnya biasa-biasa saja dan ngga ada peningkatan dari tahun ke tahun, pasti ada biaya-biaya tambahan, buat beli inilah itulah, yang ujung-ujungnya memberatkan orang tua yang jelas-jelas tidak mampu. Kalau sekolah malah menghabiskan uang padahal kebutuhan masih banyak yang belum dipenuhi, kenapa juga mereka harus sekolah? Bukankah lebih baik bekerja jadi buruh?

Hal lain yang mengganjal adalah sekolah gratis hanya sampai jenjang SMP. Lah, sekarang aja yang lulusan S1 belum tentu dapat kerja, apalagi yang lulusan SMP? Sejatinya, untuk membangun negara yang besar ini menjadi negara yang benar-benar besar tidak hanya dari segi besaran luas tapi juga dari segi kualitas, anak-anak Indonesia membutuhkan pendidikan lebih dari jenjang SMP. Ya, SMA dan universitas memang tersedia banyak sekali di bumi pertiwi ini. Kualitasnya juga ngga kalah sama kualitas luar negeri, tapi sayangnya, pendidikan pada kedua jenjang terakhir tersebut masih mahal, Sodara-sodara. Balik lagi ke pilihan rasional, mending juga jadi buruh daripada nerusin sekolah. Aduh, masa negara Indonesia yang pada zaman Revolusi Industri di Inggris sudah berjanji mau makan buah Palapa ini menjadi bangsa buruh yang produknya ditolak oleh negara maju karena pekerjanya kebanyakan anak-anak? Menuntut negara-negara maju untuk memberikan dana pendidikan kepada anak-anak di negara berkembang saya rasa sama pentingnya dengan kebersediaan mereka melakukan transfer teknologi dan membuka pasar mereka untuk negara berkembang.

Huffff. Okai. Nampaknya sudah cukup banyak huruf dalam ketikan ini. Panjang deh jadinya kalau udah ngomongin korelasi-korelasi. Posisi saya dalam melihat keberadaan pekerja anak jelas menolak. Tidak seharusnya anak-anak menghabiskan waktu mereka dengan memikirkan tanggung jawab menghidupi keluarga. Tapi permasalahannya, persoalan ini merupakan persoalan yang sangat nyata dan bahkan dekat dengan kehidupan kita. Persoalan ini tidak dapat kita hindari. Ia ada dan hidup di sekitar kita namun tidak dapat kita atasi. Kita juga tidak bijak jika melemparkan permasalahan ini sebagai kesalahan pemerintah kita. Permasalahan pekerja anak memiliki kaitan erat dengan kondisi global beserta rezim yang mengikat negara-negara. Lagipula, permasalahan pekerja anak adalah permasalahan yang lazim dialami negara berkembang sehingga tentu penyelesaian masalah ini berkaitan erat dengan solusi dari negara maju. Negara maju boleh menghimbau negara berkembang untuk memperhatikan hak anak, namun himbauan tersebut seharusnya diiringi dengan tindakan nyata yang membantu negara berkembang.

Woooooow, I have written so many wordssssssssss. Waktunya untuk tidur sekarang. Hohoohoohohohohohoho. Sampai jumpa pada analisis gaul lainnya di waktu mendatang!!!!


Ark.Sept'09.

Film Seri Korea dan ASEAN

Cerita lagi, ah. Mumpung laptop belum kambuh ngadatnya. Hehehhe. Ada dua hal yang saya lakukan dengan penuh pengorbanan nggak tidur semalaman dua bulan terakhir ini. Ini hal terhebat yang pernah saya lakukan selama masa kuliah saya. Bener-bener hal di luar kewajaranlah pokoknya. Bahkan untuk bikin bahan ngajar, bikin tugas kuliah, dan menjelang UAS pun saya nggak bakal ngorbanin waktu tidur saya. Hahha. Hayo apa coba yang saya kerjain sampai saya rela nggak tidur?
1. Nonton film seri Korea
2. Baca buku tentang ASEAN
Ahahahha.
Kenapa nonton film seri Korea dari abis solat isya sampai adzan subuh itu hebat bagi saya?
Pertama, karena itu adalah hal yang paling tolol yang pernah saya lakukan sejak UAN SMP dimana ketika masa itu saya juga nggak belajar sungguh-sungguh karena nonton film seri Taiwan ORIGINAL (menyisihkan uang jajan hingga terkumpul ratusan ribu cuma untuk memiliki film seri Taiwan itu), yang alhamdulillah saya masih bisa masuk SMA Negeri. Hahaha.
Kenapa tolol? Ya, untuk nonton tiga judul film Korea itu saya emang nggak beli atau nyewa, sih. Ada temen saya yang berbaik hati minjemin. Yang bikin tolol itu ya berapa beban listrik yang harus dibayar sebelum tanggal 20 setiap bulannya dengan saya melewatkan malam sama pria baik hati dan tampan di film Korea itu. Ahahahha. Menyesal selalu datang kemudian. Yah, tapai gimana lagi. Kalau saya nonton siang-sang, bisa-bisa saya males solat, lagian juga kalau siang ada banyak yang harus dikerjain. Kalau nggak malam, kapan lagi? Habis isya kan nggak ada solat wajib lagi (heheheh), malam-malam juga kamar saya jauh dari mana-mana, malam-malam juga nggak ada kerepotan yang berarti, lagian juga biar ada semangat buat solat Subuh. Bheuh, kalau hari biasa mah solat subuh males banget, diiingiiiiiiin. Nah, dengan menonton film sampai adzan, saya kan nggak punya alasan untuk nggak solat subuh. Secara nggak merem gituh. Adzan juga jelas-jelas kedengeran. heheheheh. Tapi ya tetep aja sih tolol banget gituh nonton film. Ngapain juga coba saya mengulang masa-masa abege yang mendambakan pria baik hati, serta rela mengorbankan segalanya demi gadis miskin, bodoh, konyol, namun periang dan baik hati???? hahahaha. Hal yang begituh mah cuma ada di film, mustahil di kehidupan nyata. Hmmmm. Saya sebenernya sadar kalau nonton film Korea itu adalah cara lain untuk menyakiti diri sendiri. Hahhaa.
Yah, memang sih tolol, tapi saya cukup senang dan terhibur dengan film Korea itu. Tenang aja, saya nggak akan jadi freak sama pria-pria itu kok. Hahaha. Seenggaknya, dari film Korea yang saya tonton semalaman suntuk itu saya bisa mendapat banyak pelajaran selain mendapat kesempatan bersenam mulut alias tertawa dan akhirnya terhibur. Dari mulai harus kuat, jangan gampang menyerah, harus yakin sama diri sendiri, nilai-nilai kekeluargaan, nilai-nilai pertemanan, kejujuran, ketepatan janji, cita-cita, sampai betapa berbahayanya orang-orang yang sok baik dan menusuk dari belakang. Hahaha.
Dari ketiga judul film seri Korea yang saya tonton, My Girl, Spring Waltz, dan tentu saja BOYS BEFORE FLOWERS yang sedang sangat digila-gilai itu, selain mengenai si tampan yang sayang sekali kurang berani dalam memperjuangkan cintanya secara radikal, arghhhhhh, saya nemuin kesamaan.
Satu, lagi-lagi pria kaya yang punya segalanya kecuali cinta yang jatuh cinta kepada seorang gadis yang miskin, rajin bekerja, periang, polos, dan baik hati. Always. Di balik kedua tokoh sentral tersebut ada beberapa tokoh seperti sahabat, dimana sang sahabat adalah pria yang juga kaya dan tampan dan baik hati, namun karena di tahu betapa besar cinta si kedua tokoh utama maka ia terpaksa harus memendam perasaannya sendiri. Lalu ada juga wanita pilihan orang tua, dimana wanita itu adalah wanita yang subhanallah sempurna banget, dari mulai fisik, otak, dan rezeki yang bling bling namun karena cintanya kepada si pria tokoh utama tak terbalas, si wanita itu pun diceritakan memiliki jiwa yang kejam dan muka yang judes. Hahhaha. Tokoh lain tentu saja adalah orang tua si kaya yang sangat protektif dan orang tua si gadis miskin yang sangat menyebalkan, dari mulai maniak judi dan terlilit utang sampai matre. Hihihihi. Jalan ceritanya juga sebenernya mah begitu-gitu aja. Awalnya tengkar trus taunya jatuh cinta, tapi ini masih tahap jatuh cinta yang masih saling gengsi dan cuman bisa ketawa-ketawa sendirian di belakang. Nah, tapi justru bagian ini yang paling saya sukain. Romatisnya dapet. Cihuyyyyy. Ahahahaha. Lucu aja gituh. Udah jelas, saling suka, tapi tetep aja itu gengsi dan sok jual mahal. Udah gitu yang bikin deg deg syerrrrr itu kalau si tokoh utama laki-laki itu melakukan hal-hal di luar kebiasaannya. Kan biasanya si tokoh utama laki-laki itu kan diceritainnya kaku, kesepian, sombong, arogan, yah begitu-begitulah, nah sejak dia jatuh cinta ya dia jadi perhatian dan sering senyum, tapi perhatian dan sering senyumnya itu nggak diliatin secara ekstrim ke cewek itu. Yah, gara-gara gengsinya ituh tuh. Maksud hati sih perhatian, tapi pas keluar di mulut dan di tangan ya kayak marah-marah. Nah, habis beres di bagian ini, mulailah masuk ke tahap jatuh cinta yang agak susah. Nah, mereka udah mulai saling ngaku nih kalau mereka nggak bisa hidup jauh-jauh satu sama lain, tapi masalah mulai muncul dengan kehadiran si perusak kebahagiaan, baik dari si wanita antagonis yang mukanya, cih judes dan licik bener, dan dari orang tua tokoh utama pria yang suombonggggggnyaaaa masya allah. Pasti mereka adalah orang-orang pertama yang masuk neraka dah kalau mereka dihisab di hari Kiamat. Nah, masuk tahapan itu yang selalu bikin saya malas. Kalau saya sih setiap masuk ke bagian ini DVD-nya langsung saya forward. Nggak suka ah liat yang kejam-kejam. Tapi kalau bagian ini termasuk penting dan sayang untuk dilewatkan dengan beberapa kali diforward, nah bagian itu langsung saya stop dan saya ganti sama episode terakhir. Ahahahhahah. Kalau hasil akhirnya hepi ending, baru saya terusin lagi nontonnya. Yah, seengganya saya udah ada peganganlah mau begimana jahatnya itu si wanita penyihir dan orang tua kaya, yang jelas, usaha mereka akan sia-sia karena filmnya bakal hepi ending. Hahahha. Selepas dari berbagai kesulitan, masuklah ke tahap ending. Di tahap ending, sebenernya persoalan lebih klimaks, tapi karena si tokoh utama pria dan wanita sudah memiliki ketetapan hati yang lebih baik daripada episode-episode sebelumnya, klimaks pun dengan segera berubah menjadi antiklimaks. Hmmmm, antiklimas ini yang saya suka. Romantis lagi gituh. Cihuyyyyy. Romantisnya nggak harus karena menikah juga, tapi simbol yang mengatakan bahwa mereka emang nggak bakal terpisahkan lagi itu yang bikin romantisssssssssssssss. Bheuhhhhhhhh. Dapet bener dah itu cerita. Ahayyyyy. Ya ya ya, saya tahu itu nggak akan terjadi dalam kehidupan nyata, tapi biarlah sekali ini saya merasa bahagia untuk kebahagiaan orang lain. Hahahha.
Selain karena jalan cerita yang romantis, film-film Korea juga menarik karena jalan cerita yang logis dan sangat rapi. Logis karena pada setiap hal yang diketengahkan selalu ada lanjutan dari adegan sebelumnya. Jadi nggak tiba-tiba jatuh cinta, nggak tiba-tiba benci, nggak tiba-tiba amnesia, dan nggak tiba-tiba sadar. Kerapian juga sangat kentara terlihat dalam film seri Korea karena adanya jalinan simbol yang berkelanjutan dari awal episode sampai akhir. Misalnya waktu episode awal diceritain kalau si tokoh utama wanita dapet kado, nah pas di episode terakhir, kado itu masih ada dan ternyata jadi simbol apaaaaa lah gitu. Oia, hal lain yang saya sukai adalah meski tokoh jahat diceritakan sanagt jahat, tapi jahatnya nggak lebai kayak di film-film kita. Nggak sesaiko penjahat di sinetronlah. Ketika seorang tokoh melakukan hal yang kita bilang jahat, ternyata dia punya alasan kenapa melakukan kejahatan tersebut dan ketika kejahatan tersebut terbongkar, dia mau mengakui kejahatan tersebut. Ending bagi si jahat pun nggak kejam-kejam amat kayak di film kita. Kan kalau di film kita mah ending buat si jahat, kalau bukan masuk rumah sakit jiwa ya pasti mati, kalau dia berubah jadi baik pun kayaknya maksa banget gituh prosesnya, ga logislah. Nah, beda sama film seri Korea, si jahat juga diceritain menerima sebuah proses panjang yang logis sehingga akhirnya dia sadar, jadi orang baik, dan akhirnya nemuin kebahagiaannya sendiri. Sungguh film Korea adalah film yang sangat menjunjung tinggi HAM. Hahaha. Nggak cuma orang baik aja yang berhak bahagia, tapi orang jahat juga berhak bahagia. Hahhaha.
Tapi euy, film Korea teh agak aneh juga. Itu, tentang tokoh utama pria. Satu, kenapa dandanannya harus kayak cewek? Bheuh, gantengnya lebih ke arah cantik dan sangat metroseksual sekali eung. Ya, emang sih saya juga jadi kemimpi-mimpi, mungkin nggak ya punya pacar setampan itu, tapi ya gituh weh, aneh deh kayaknya kalau di Jatinangor saya digandeng sama pria seperti di film itu. Berasa digandeng boneka kaca yang nggak boleh jatuh. Huhuhu. Dua, kenapa sih jati diri mereka munculnya lama banget? Kan katanya suka, ya perjuangin dong, aduhhhhhhh, masa yang selalu ada dalam masa-masa sulit si tokoh utama wanita harus selalu si sahabat tokoh utama cowok yang jelas-jelas cintanya bakal ditolak? Ini sungguh membuat penonton seperti saya geram dan iba karena kita jadi menaruh simpati ke si sahabat. Aduh, ngapain sih kamu baik-baik begituh, nanti kamu tuh bakal ditolak, sini dekatin aku ajah. Ahahhahahhahaa.
Yah, beneran eung ini mah, nonton film Korea nggak cuma berhasil bikin saya nggak tidur tapi juga bisa bikin saya gila sama jalan cerita. Hahahha. Suspensnya keren dah itu. Pasti penulisnya gila juga nih. Gila, keren banget.Hahha. Ya, kagum aja gituh saya sama orang-orang yang bisa nulis tema cinta. Dari awal saya nulis sampai sekarang, tema yang nggak pernah bisa saya tulis itu tema tentang cinta. Cinta laki-laki dan perempuan. Pernah sih nulis tema cinta, tapi ujungnya nggak hepi ending. Nggak tau eung. Nggak bisa saya nulis tema cinta.
Okey, beranjak ke kegiatan kedua yang saya lakukan sampai saya rela nggak tidur. Membaca buku tentang ASEAN. Kenapa membaca buku tentang ASEAN sangat menakjubkan bagi saya? Hmmmm. Saya bukan orang yang suka membaca kecuali besok UAS atau seminggu lagi ada deadline tulisan, apalagi kalau buku itu berbahasa asing. Kalau saya ada waktu luang ya lebih baik saya tidur atau paling rajin dan ada pulsa, baca koran online di hp. Beberapa waktu yang lalu, ketika saya sedang mengalami turbulensi kayak yang udah saya ceritain di postingan lain dan ketika itu saya mencoba kabur dengan nggak pengen ketemu atau ngobrol sama orang, saya sempat main ke perpus. Nah, pas di perpus, saya nemu beberapa buku, hmmmm, kayaknya ada sepuluh buku, deh, tentang ASEAN. Baca sedikit bagian pendahuluan, isi, dan bab akhir, eh ternyata menarik, akhirnya saya memutuskan untuk meminjam buku itu. Nggak langsung sepuluh buku, tapi tiga dulu. Bukunya menarik. Hmmm, sangat menarik malah. Saya terkesan sama penulisnya. Subhanallah, analisisnya mendalam sekali. Benar-benar mengajak saya mejelajahi alam yang nggak pernah saya pikirkan. Argh, keren, cuyyyyy!!!
Hmmmm. Lalu, mengapa harus buku tentang ASEAN? Mengenai ASEAN, sebenarnya ada alasan khusus kenapa dari zaman dulu masih sekolah sampai sekarang saya sangat tertarik dengan tema ini. Ya, kalau mau cerita yang bagian idealisnya ya karena ASEAN adalah hal yang paling dekat sama kita. Secara saya orang Indonesia gituh, kayaknya agak malu kalau saya lebih menguasai Uni Eropa ketimbang ASEAN. Ibarat pepatah tentang kuman dan gajah. Tapi di samping alasan itu, masih ada alasan khusus kenapa konsentrasi saya pada kawasan ini. Alasan ini berkaitan dengan kenapa saya memilih HI sebagai jurusan saya kuliah sampai saya rela nggak full ngisi LJK SPMB IPA supaya saya nggak diterima di pilihan pertama yang IPA dan diterimanya di HI aja. Gimana nyeritainnya ya? Yah, yang jelas, konsentrasi ke ASEAN ada sejarah pribadinya. Itu yang menyebabkan saya sangat menyukai tema ini. Kalau UAS semua mata kuliah ada pertanyaan tentang ASEAN-nya, bheuhhhhh, bisa lulus tanpa ada sejarah ngulang kayaknya. Hahahaha. Alasan kenapa bisa menjawab semua pertanyaan tentang ASEAN bukan karena saya sok ngerasa nguasain (ilmu saya mah jelas masih kurang, apalagi kalau dibandingkan dengan penulis buku ituh, arghhhhhh, bagaikan matahari dengan pluto, nggak cuma jauh jaraknya, tapi ukurannya juga beda) melainkan karena saya suka. Ada perasaan lain yang ikut kalau saya membaca dan menjawab pertanyaan tentang ASEAN. Perasaannya beda kalau saya mbaca atau ditanya tentang masalah Palestina-Israel, Korea Utara, atau masalah lainnya. Perasaan kalau menemukan tentang ASEAN tuh ibaratnya kayak perasaan nemuin Gu Jun Pyo si pria tampan dalam Boys Before Flowers berdiri di depan motor saya trus ngajakkin saya pulang naik mobilnya sampai maksa-maksa. Ahahahhahahahahha. Gila lagi. Ya enggak begitu juga, ah. Berasa abege aja itu statement. Hihi. Ya pokoknya ada perasaan yang beda lah kalau nemuin tentang ASEAN-lah. Mungkin nanti saya bakal jadi Sekjen ASEAN. Aaaaaaahahhahhaahaha. Bilang amin jangan ya? Hehe.
Dari kedua hal tidak biasa yang saya lakukan itu, saya jadi nemuin hal baru, perasaan baru, dan manfaat baru. Satu, saya jadi tahu bahwa menonton film, khususnya film romantis, terutama film tersebut kita dapatkan dengan cuma-cuma, heheh, bisa membuat perasaan kita lebih enak. Saya bukan orang yang suka nonton film, apalagi kalau itu adalah film di bioskop. Argh, sumpah dah nih dah, paling males kalau punya pacar atau lagi deket sama orang diajakinnya ke bioskop. Nggak suka!!!! Sayang banget gituh sepuluh ribu dibuang buat nonton film dua jam di bioskop dan film itu nggak bisa kita simpen. Selama hidup, bisa dihitung jari tuh saya berapa kali pergi ke bioskop. Itu juga bukan pake uang saya. Pasti dipaksa dan dibayarin. Pernah sih sekali ngerasa santai nonton di bioskop, walaupun tetep ngerasa ngantuk juga, hehehe, layarnya gede bener dah, hmmmm, itu waktu pas lagi ke Surabaya, diajak nonton Bourne sama kakak saya tercintaaaaaaaaaaaaaaaaaaa, hahhaa. Nah, Bourne adalah salah satu film terbaik sepanjang masa dan nggak rugi banget tuh nontonnya (rugi apaan, ngeluarin duit juga kaga..hehehe). Ya, baiklah, terima kasih sekali, Mas, sudah mengajak (memaksa) saya nonton film bagus. Dua, saya juga jadi tahu bahwa membaca itu membawamanfaat yang banyak. Membaca itu bisa mengasah daya analisis kita sampai kepada hal sederhana yang ternyata bermakna besar! Membaca juga membuat kita berani berpikir out of the box dan menemukan hal-hal baru. Ahahahha. Dasar saya si pemalas nomor satu. Hal yang baru saya temukan itu kan adalah hal yang sangat umum dan udah jadi pepatah sehari-hari. Hahahha. Ya, tapi liat-liat dulu isi bukunya, sih. Nggak semua buku ditulis dengan bahasa yang bagus dan membuat kita tertantang untuk membaca lebih banyak lagi. Ngggak semua penulis bisa menuliskan hal yang ia minati dengan bahasa yang mampu mengajak orang lain untuk ikut berminat pada bidang tersebut.
Yah, akhirnya dari fenomena yang jaaaaaaaaaaarrrrang sekali terjadi tersebut, baik menonton film yang mampu menghanyutkan logika, perasaan, dan emosi maupun membaca buku mengenai ASEAN yang sangat dalam analisisnya, saya jadi punya harapan baru untuk meningkatkan kemampuan menulis saya sehingga akan lahir orang-orang baru yang karena terinspirasi skenario film dan tulisan saya menjadi sadar pentingnya membaca. Ahahahha. Harapan lain adalah saya harus bisa mengatur waktu lebih baik supaya saya bisa meluangkan waktu untuk main ke perpustakaan dan menemukan buku-buku bagus lain dan tentu saja meluangkan waktu yang banyak untuk membaca. Yah, kalau untuk film sih, nggak bakal banyak-banyak, ah. Udah cukup nonton 3 judul, nih tinggal 1 judul lagi udah gitu udahan ah. Sayang duitnya buat bayar listrik, apalagi ini lagi menjelang krisis energi, pasti di luar sana di waktu yang akan datang akan ada orang yang kekurangan listrik padahal lagi buth-butuhnya pakai listrik tapi karena jatah listrik sudah saya habiskan pada abad ini hanya demi 25 episode film Korea yang pada akhirnya hanya akan membuat saya sakit hati karena percintaan di sana nggak bakal ada dalam kenyataan, si orang yang butuh tersebut akan mengalami kecelakaan fatal, hufffff...saya nggak mau nambah dosa di masa depan dan dihisab oleh Allah dengan tuduhan mencelakakan orang lain akibat keborosan. Oh tidak. Saya tidak mau hal tersebut terjadi. Hahahhaa. Yah, kalau untuk membaca buku pasti akan saya tingkatkan, tapi yang untuk film, seriusnya, nggak bakal saya tingkatkan. Hahaha. Suerrrrrrr. Tapi 1 film lagi yaaaaa!!! Hehehehhe.

Ark. Juli '09.

Cinta Oma Season 2

Tenang!!!! Ini bukan judul sinetron baru kok. Cinta Oma Season 2 adalah salah satu program kerja Departemen Sosial BPH HIMA HI 2009 yang telah dilaksanakan pada Sabtu lalu (21 Maret 2009), bertempat di Panti Sosial Tresna Wredha, sekitar Jalan Lodaya Bandung. Acara ini menghadirkan para Oma nan cantik dan berjiwa patriotik tinggi serta seorang gadis berambut panjang, berkulit sawo matang, dan memakai kaos Blogger Freedom sebagai MC, which is me. Haha. Kenapa dinamai Season 2? Apa karena mengikuti tren sinetron di salah satu stasuin televisi swasta? Oh, tentu saja tidak. Acara ini berembel-embel Season 2 karena memang Cinta Oma tahun ini adalah Cinta Oma yang kedua setelah tahun lalu diselenggarakan dengan sukses di tempat yang sama.
Seperti apakah Cinta Oma tahun ini? Oke, mari kita telusuri pengalaman gadis cantik yang telah sukses MENAHAN AIR MATA saat membawakan acara Cinta Oma Season 2 ini (foto menyusul ya..!!).
Acara dimulai pukul 10 pagi. Sebelumnya para panitia yang telah berada di TKP sejak pukul 09.30 mulai membagi tugas. Ada yang bertugas menjemput Oma dari kamarnya masing-masing, ada yang bertugas menyetel perangkat multimedia di aula Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW), ada yang mengatur konsumsi, dan ada juga yang sibuk mengobrol dengan para Oma yang dengan sangat fantastisnya, masih ingat dengan sekumpulan mahasiswa HI Unpad ini. Saya sendiri baru datang pada pukul 10.00 karena ketinggalan bis, hehehe. Setibanya saya di TKP –dijemput di LOdaya sama si ‘ganteng’ Irzanny, ailovyu beibeh!! Tq-, saya disambut oleh panitia yang lega karena akhirnya saya datang juga. Hehe. Maap. Saat sedang menunggu peralatan multimedia rampung, seorang Oma mendatangi saya. Di situlah drama haru pertama muncul. Sambil tersenyum, Oma tersebut menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Saya bukan terharu karena dinmyanyikan lagu ulang tahun, sumpah saya nggak ulang tahun hari itu, hehe, tapi melihat sang Oma yang ringkih dan bungkuk itu tersenyum sambil menyanyi padahal ia sebatang kara di dunia ini, huffffffffffff… itu mengharukan.
Setelah multimedia rampung disetel, acara pun dimulai. Saya sempat speechless bagaimana membawakan acara ini. Pertama, ini acara pertama saya di depan Oma. Saya nggak tahu selera Oma itu apa. Kedua, saya merasa air mata sudah nggak sabar pengen cepet tumpah, terutama karena melihat kondisi Oma di depan saya. Bayangkan, 41 orang Oma yang kemampuan fisiknya telah terbatas di hadapan saya ini melewatkan masa tuanya tanpa kehadiran anak dan cucu. Mereka tanpa keluarga. Ada yang kehilangan keluarganya saat perang, ada yang sejak kecil tidak pernah tahu siapa orang tuanya, ada yang ditinggal anak-anakanya bekerja di luar negeri, dan ada yang dengan sengaja menetapkan hati untuk tinggal di PSTW karena tidak mau membebani anaknya. Gila!! I didn’t know how to start!!!
Tapi akhirnya saya teringat oleh Oma yang tadi mengajak saya bernyanyi lagu selamat ulang tahun. Saya yakin, meski Oma di PSTW ini sudah tidak memiliki tenaga seperti anak muda, mereka masih memiliki semangat muda. Setelah mengucapkan selamat pagi dan memperkenalkan diri, saya berekspansi ke kursi Oma untuk mencari siapa Oma yang jago bernyanyi. Benar saja, dua Oma mengacungkan tangan. Pertama, Oma yang tadi mengajak saya bernyanyi di depan pintu dan Oma yang duduk di seberangnya. Oma yang pertama menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun lagi dan Oma kedua menyanyikan lagu Kasih Ibu. Kami semua ikut bernyanyi (dan saya? Huhu nyanyi tapi pengen nangis!!!).
Setelah Oma dan kami selesai bernyanyi, salah satu pengurus PSTW memberikan sambutan. Sambutan yang sangat panjang dan membuat kami terbengong-bengong. Ibu bertubuh kecil yang dikenal dengan nama Ibu Yetty ini menjelaskan panjang lebar mengenai PSTW, dari kendala hingga kesenangan. Kendala yang dihadapi oleh PSTW, jelas, yang utama mengenai masalah keuangan. Namun menurutnya, di tengah kendala tersebut, PSTW bukanlah panti sosial yang menyedihkan. Semua fasilitas dalam bangunan PSTW bersih dan masih kokoh. Oma-oma yang bernaung di bawah bangunan bercat krem itu pun bukanlah Oma yang hanya bisa duduk dan merenung. Mereka memiliki karya. Setiap Selasa dan Jumat mereka memiliki kegiatan bermain angklung hingga mereka sering diundang oleh pemerintah Kota Bandung dalam acara-acara penting untuk memainkan angklung. Mereka juga bukan Oma yang ringkih dan pikun. Mereka masih mengingat berbagai kejadian perang kemerdekaan yang mereka rasakan saat mereka seusia saya, 20 tahunan. Mereka juga masih ingat lagu-lagu Belanda serta sering berbalas-balasan pantun satu sama lain.
Acara lalu berlanjut. Keriangan mulai terasa terutama saat kami menonton film warkop bersama. Ada Oma yang rajin berkomentar, ada Oma yang tersipu-sipu –gatau gara-gara apa-, ada Oma yang tertawa geli –riang gembira banget kayaknya tuh-, ada juga Oma yang menebak jalan cerita. Acara makin seru saat memasuki sesi games. Keyakinan saya bahwa Oma masih memiliki semangat muda terbukti pada sesi ini. Nggak ada Oma yang malu-malu unjuk gigi ke depan public. Semua maju dengan semangat dan penuh dengan keyakinan!!! Haha.
Games pertama adalah Pesan Berantai. Satu tim terdiri dari 8 orang (4 mahasiswa dan 4 Oma). Orang pertama dibisiki satu kalimat panjang dan orang terakhir harus mampu mengulanginya dengan benar. Tahu apa yang terjadi? OMA TERAKHIR BISA MENGULANGINYA DENGAN BENAR. Haha Games kedua adalah Joget Koran. Wets, walaupun sudah tua, Oma punya kemapuan jogged dangdut yang sangat aduhai. Haha. Heboh dah gayanya! Games terakhir adalah Lomba Merias Wajah. Wajah yang dirias adalah wajah mahasiswa. Siapakah mahasiswa yang beruntung sekali dirias oleh Oma????
Pertama adalah Kahim HI tercinta, Kang Okky. Ahahaha. Seolah nggak mau kalah semangat sama Oma, Kang Oki ngga pake malu-malu waktu ditunjuk buat jadi model yang dirias wajahnya. Hasilnya? Wawwww, Kahim jadi cantik sekali. Ahaha.
Kedua adalah Fransis. Nah, kalo Fransis mah emang udah cantik, jadi waktu didandanin Oma ya jadinya tambah cantik. Ketiga adalah Ketua Pelaksana Cinta Oma Season 2 sekaligus Ketua Ospek HI 2009, jengjengjengjeng, bos saya tercinta, ailovyu MUFLI!!!!! Nggak cuma dirias wajahnya, Mufli juga dipakaikan kerudung. Ahahaha. Berkat gayanya yang heboh dan jogged catwalk yang diiringi oleh lagu Terajana, Mufli muncul sebagai pemenang.
Setelah puas bergames ria, Oma masih punya karya. Ada Oma yang spontan mengajukan diri untuk maju ke depan menyanyikan lagu Teluk Bayur secara solo dan satu Oma lagi mengajukan diri untuk mengeluarkan jurus mautnya bermain pantun. Keren nih Oma-oma. Masih aja inget sama pantun padahal murid-murid saya di bimbel susah banget kalo disuruh ngapalin pantun, apalagi bikin pantun.
Pukul dua siang, dengan diiringi hujan deras dan ditandai penyerahan hadiah secara simbolis dari Mufli kepada tetua Oma, acara Cinta Oma pun usai. Ada banyak hal yang bisa diambil dari acara ini selain 2 box nasi-ayam-capcay-pisang, sepiring camilan, berpiring-piring cake, dan bergelas air mineral. Nilai bahwa seharusnya kita malu dengan Oma yang hingga kini masih mengingat detail pelajaran yang ia dapat ketika muda. Nilai bahwa di usia tuanya yang sepi, Oma masih bisa bersemangat. Nilai bahwa kebersamaan kita dengan keluarga kita yang bahagia adalah bagian dari perjuangan Oma yang dulu ikut berperang dan merelakan anggota keluarganya menjadi pahlawan tak dikenal. Dan yang terpenting adalah nilai bahwa Oma adalah bagian dari bangsa Indonesia yang paling tua dan sangat mencintai bangsa Indonesia. Bisakah di usia tua nanti kita memiliki semangat seperti semangat yang dimiliki Oma-oma cantik di PSTW ini?


Ark.Mar’09

Perdebatan Dewa dan Bima

Dewa dan Bima adalah dua teman saya di kampus. Tahun Baru 2009 lalu, mereka membuat posting note yang sangat berseberangan. Huhuhu. Perdebatan besar setelah perdebatan antara Realis dan Idealis, nih (Realis dan Idealis adalah dua paradigm utama di HI yang memiliki cara pandang yang berbeda mengenai segala fenomena HI. Prinsip Realis yang paling terkenal adalah manusia pada dasarnya buruk sehingga tidak mungkin bagi manusia untuk diikat aturan, apalagi jika aturan tsb tidak menguntungkan dirinya, sebaliknya Idealis yang disebut sebagai Utopis berpendapat manusia pada dasarnya baik dan dapat diikat oleh peraturan karena manusia menginginkan perdamaian abadi). Nah, mengapa note Bima dan Dewa sangat berseberangan?
Bima dalam note-nya mengatakan bahwa ia tidak melihat signifikansi dari perayaan Tahun Baru yang wahhhhh. Bagi Bima, tahun baru tidak ubahnya seperti pergantian bulan dan pergantian hari biasa, jadi untuk apa dirayakan besar-besaran? Untuk informasi, selama malam tahun baru lalu, Bima menghabiskan waktunya dengan menamatkan game dan nonton film tahun baru di televisi –sama kayak saya-. Nah, tak beberapa lama setelah itu, Dewa, dengan tanpa disengaja membuat pula note tentang tahun baru. Menariknya, note Dewa ini sangat mencirikan suatu semangat baru yang khas. Semangat tahun baru. Yeahhh. Dewa momen tahun baru adalah momen yang special.
‘Perdebatan” Bima dan Dewa sebenarnya adalah perdebatan yang acapkali kita temukan di dalam kehidupan kita sehati-hari. Ada orang-orang yang menyukai perayaan tahun baru yang meriah dan ada pula orang-orang yang biasa saja dengan perayaan tahun baru. Menanggapi perdebatan di atas, Geza dan Pindonta memberikan tanggapan yang serupa, menurut mereka, perayaan tahun baru kalau dilihat dari tanggal memang tidak ubahnya seperti pergantian hari biasa, namun kespesialan tahun baru terletak pada hal yang kita lakukan pada saat tahun baru. Uwie mendukung pernyataan Geza dan Pindonta, ia mengakui bahwa meski ia biasa saja dengan tahun baru, ia merasa ada yang special pada tahun baru karena hanya pada saat itulah warga kompleks perumahannya meluangkan waktu untuk bercengkrama bersama di lapangan kompleks.
Saya?
Saya sebenarnya plin plan. Hehe.
Ada kalanya saya merasa tahun baru itu special, terutama apabila dikaitkan dengan pernyataan Geza, Pindonta, dan Uwie. Tahun bau special ketika ada sesuatu yang berbeda yang kita lakukan pada hari itu. Ketika tahun baru 2005, misalnya. Saat itu saya menghabiskan tahun baru di Lembang. Tapi ada kalanya juga saya merasa tahun baru biasa saja. Tahun ini saya setuju dengan Bima bahwa Tahun Baru itu biasa saja. Pertama, saya tidak melakukan apa pun pada tahun baru kali ini. Tahun baru kali ini sama seperti tahun baru sebelumnya, dihantui oleh bayang-bayang uas dan tugas akhir yang belum diselesaikan. Kedua, saya tidak membuat resolusi apa-apa untuk tahun 2009 karena saya sudah membuat resolusi, impian, harapan, renungan, evaluasi, dan sebagainya pada saat ulang tahun. Kalau boleh membandingkan, tahun baru yang sebenar-benarnya bagi saya adalah ketika ulang tahun. Satu, karena pada hari itu kita menerima ucapan dan doa. Kedua, karena ulang tahun bukan uatan manusia. Ulang tahun atau hari kelahiran merupakan pemberian tuhan yang tidak dapat kita ganti dan hanya pada tanggal itulah kite merasakan pergantian tahun yang sesungguhnya.
Saya juga nggak tahu sebenernya, apakah pendapat saya dilatarbelakangi karena saya tidak pernah diizinkan untuk keluar malam oleh ayah saya sehingga saya tidak pernah merasakan hingar binger perayaan tahun baru atau memang karena saya tidak terlalu suka dengan perayaan yang heboh ketika tahun baru. Hummm. Nggak tahu juga. Yang saya tahu, untuk tahun sekarang, tahun baru bagi saya masih merupakan hal biasa.