Pelayan Masyarakat

Satu minggu lalu saya seneng banget, deh! Akhirnya setelah dinanti berbulan-bulan lamanya, waktu saya ke kantor pajak, saya nggak kebagian dilayani sama ibu-ibu judesssssssssssssssssssssssss tapi sama mas-mas yang baik hati dan sabar sekaliiiiii!!!

Penyakit Birokrasi Jilid I

Berdoa bagi saya nggak cukup pas awal tahun aja, tapi juga awal bulan. Gimana enggak, setiap awal bulan, pokoknya sampai sebelum tanggal 20, saya harus melaporkan data yayasan orang tua saya ke kantor pajak di Jalan Peta yang jauhnya naudzubillah dan dengan probabilitas dijudesin sama petugas pajak sekitar 50:50. Perjalanan menuju kantor pajak adalah perjalanan yang penuh doa. Doa pertama adalah doa semoga selamat di perjalanan, doa kedua adalah doa mohon ampunan dosa karena saya suka keceplosan memaki pengguna jalan raya yang kelakuannya serba ajaib, doa ketiga adalah doa semoga saya sabar dalam perjalanan, doa keempat adalah doa semoga nggak hujan, doa kelima adalah semoga saya nggak dapet dilayanin sama ibu-ibu tapi sama mas-mas!

Di loket PPh, kita bakal menemukan dua loket. Satu loket neraka yang dijaga sama ibu-ibu yang judes, dan satu lagi adalah loket kesejukan yang diduduki oleh mas-mas yang suka senyum sendirian walaupun belum saya senyumin. Selama empat bulan, saya selalu kebagian sama ibu-ibu! Kejadiannya selalu kayak begini :

Saya : (Duduk terus menyerahkan dokumen ke meja si ibu)

Ibu Judes : (Melirik sebentar, ngambil lembar Pasal 21)

Saya : (Diem aja)

Mas-mas : (Senyum kecil)

Ibu Judes : Lembar ketiga!

Saya : Hee..? Kenapa, Bu?

Ibu Judes : Lembar ketiga (sambil matanya lihat ke komputer)

Saya : (Nggak ngerti, diem aja)

Ibu Judes : (Mulai kalap) SSP-nya lembar ketiga aja, Neng!

Saya : Oh..

Mas-mas : (Mulai nahan ketawa)

Ibu Judes : (Api keluar dari hidungnya) Kasih ke saya lembar ketiga aja!

Saya : Ada kok, Bu di situ…

Ibu Judes : Iya, ambilin!

Saya : (dalam hati รจASTAGFIRULLOHHHH!!! AMBIL SENDIRI NGAPAHHHH???)

Ibu Judes : (Tangannya berhenti nggerakin kursor)

Saya : (Bingung, ini udah beres apa belom yak…)

Mas-mas : (Senyum lagi)

Saya : Udah selesai, Bu?

Ibu Judes : (Mata melirik kejam…siap-siap, bagian ini klimaks menyebalkan) Ya belum, dong, Neng! Sabar sebentar nggak bisa, ya? Udah bagus kantor pajak yang ini mah nggak antri. Lihat, tuh di kantor yang lain mah bisa antri satu jam lebih! Ini cuman nunggu sebentar aja nggak bisa.

Saya : (Melongo! Kaget! Weh, buset buset buset, nggak kayak gini maksut gue)

Mas-mas : (Makin geli nahan ketawa)

Ibu Judes : Nih, udah! Lain kali yang sabar, ya! (melengos)

Mas-mas : (Ngetawain trus pura-pura buang muka pas saya liatin balik)

Neraka sekali, Sodara-sodara!

Nah, tapi pada bulan kelima sejak saya menggantikan tugas ibu saya lapor PPh bulanan ke kantor pajak, tepatnya pada bulan Agustus yang dipenuhi oleh berkah Ramadhan dan semangat kemerdekaan ini, akhirnya saya kebagian di loket mas-mas yang ramah! Begini kejadiannya,

Saya : (Ngambil nomor antrian, dapet no 38, sementara di loket ibu-ibu lagi dipanggil no 37 dan di loket mas-mas lagi no 14)

Mas-mas : (Sambil membimbing laporan pajak bapak dengan no antrian 14, langsung kasak-kusuk sama temennya pas liat saya duduk di bangku tunggu. Mereka pun tersenyum kecil sama saya)

Saya : (Deg-degan lihat nomor antrian. Mulai berdoa, “Ya Allah, plis nomer 14 cepet udahan sebelum no 37 udahan, Ya Allah…semoga bulan ini saya dapet sama mas-mas)

Bapak no 14 : (Mulai geserin pantat. Tanda mau udahan)

Ibu no 37 : (Udah ngangkat pantat. Tanda udah beres)

Saya : (Deg-degan)

Ibu judes : (Udah mau mencet bel antrian)

Mas-mas : (Ngeliat muka ngarep saya, ngelirik Ibu Judes, mergokin tangan Ibu Judes yang mau mencet bel, DAN TAU NGGAK, SODARA-SODARA, MAS-MAS ITU PUN LANGSUNG MENIKUNG TANGAN SI IBU JUDES! MASNYA MENCET BEL DULUAN!!!!)

Saya : (Tersenyum merekahhhh!!!! Mau sembah sujud tapi kasian ntar Ibu Judesnya tau kalau dia nggak diharapkan sama saya!)

Mas-mas : (Senyum menyambut kedatangan saya!)

Saya : (Berasa kayaknya ada sound effect lagu We are the Champion yang mengiringi langkah saya menuju loket si mas-mas)

Mas-mas : (Ngambil dokkumen saya) Udah ini aja?

Saya : (Mengangguk)

Mas-mas : Eh, sebentar, ini laporan untuk bulan Juli atau Agustus?

Saya : Hmmm? Yang ditulis di situ apaan emang, Mas?

Mas-mas : 08.

Saya : Harusnya?

Mas-mas : Kalau bulan Juli 07, kalau Agustus 08

Saya : (Ya iyalahhh!)

Mas-mas : Kalau ini untuk bulan 08, dilaporinnya bulan depan. Kalau dilaporinnya bulan sekarang, harusnya bulan 07. Nih, di sini ditulisnya 08.

Saya : Wah, nggak tau, Mas. Yang jelas, saya tiap bulan ke sini kok. Jadi nggak telat.

Mas-mas : Sebentar, ya saya cek. Yayasan Sejahtera ya…

Saya : Wah, Mas, serius nih kalau sekarang saya harusnya ngelaporin bulan Juli, saya nggak telat kan? (Gawat kalau telat, denda seratus ribu! Gabawa duit!)

Mas-mas : Iya, sebentar ya, ini saya cek dulu. Wah iya, Juli belum masuk.

Saya : Hahhh…? Tapi sekarang nggak telat kan?

Mas-mas : Engga, kok. Masih belum tanggal 20. Ini dibetulkan dulu kolomnya.

Saya : Pfuiihhhh. Kirain. Hehehe. Pinjem pulpen ya, Mas…?

Mas-mas : Oh iya, silakan…

Saya : Udah..

Mas-mas : (Ngetik lagi)

Saya : (Nungguin)

Mas-mas : Nah, ini udah selesai.

Saya : Oh, udah, Mas?

Mas-mas : Iya, sudah.

Saya : Terima kasih, Mas…

Mas-mas : Sama-sama…J

Sumpah yaaaaa….saya bersyukur bangetttttt hari itu saya kebagian di loket si Mas-mas. Kebayang, kan gap keramahan antara Mas-mas dan Ibu Judes? Coba kalau saya kebagiannya sama Ibu Judes. Habislah saya disemprot jauh lebih kejam dari bulan-bulan sebelumnya soalnya bulan ini laporan pajak saya ada yang salah tulis.

Huffff.

Saya rada aneh, deh sama orang-orang yang bekerja di garda depan. Jelas-jelas mereka berhadapan langsung dengan wajib pajak, pelanggan, nasabah, dan lain-lain. Jelas-jelas juga kalau nggak banyak dari para customer itu yang minim pengetahuannya. Jelas-jelas juga mereka ditugaskan di situ untuk memberikan arahan kepada customernya. Nah, tapi banyak di antara mereka yang malah judes, bahkan ada pula yang mempersulit customer?

Penyakit Birokrasi Jilid II

Saya punya pengalaman lain yang menyebalkan juga dalam hal ini.

Ini adalah masalah pertama yang saya dapatkan ketika akan ke Malaysia. Oke, kita runut kejadian ini dari beberapa waktu sebelumnya. Kesalahan pertama saya adalah tidak mengikuti suara hati yang sudah memangil-manggil sejak berbulan-bulan lalu agar segera membuat NPWP agar saya bisa mudah bepergian ke luar negeri tanpa beban fiskal 2,5juta. Ada dua pertimbangan mengapa saya tak kunjung menuruti suara hati yang begitu mulia tersebut. Pertama, saya juga nggak yakin-yakin amat kalau saya bakal ke luar negeri lagi dalam waktu dekat. Kedua, penghasilan saya kadang melampaui PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) namun lebih sering membuat saya berada pas di garis kepas-pasan.

Nah, berdasarkan dua hal tersebut, saya pun mengurungkan niat untuk membuat NPWP. Ah, tapi saya jadi merasa bersalah ketika tanggal 9 Juni dosen saya menelepon saya menanyakan apakah saya bisa ke Malaysia. Tak lama setelah saya mengiyakan pertanyaan tersebut, beliau pun mengingatkan saya untuk mengurus NPWP. Wuittttssss, okelah tanggal 9 Juni saya pun mengurus NPWP ke Kantor Pajak dan akhirnya tepat pada tanggal tersebut saya pun memiliki NPWP. Ya ya ya ya, akhirnya saya merasa lengkap hidup sebagai warga Indonesia. Saya punya KTP, SIM C, Paspor, dan NPWP. Hanya tinggal mencari SIM A, SIM B (siapa tahu saya nanti disuruh mengendarai bus atau truk).

Nah, namun ternyata kegembiraan saya setelah memiliki NPWP ini sirna dan pupus ketika saya menyerahkan NPWP saya ke loket pembayaran fiskal. Menurut mas-mas yang jaga di loket tersebut, NPWP saya belum berumur 2 hari jadi belum bisa digunakan. Menurutnya, saya harus membayar fiskal!!!! Hidup macam apa ini????

Hal lain yang mengesalkan dan menegangkan dari ditolaknya NPWP saya adalah kenyataan bahwa saya hanya memiliki waktu 15 menit untuk menyelesaikan masalah tersebut. Saat itu jam menunjukkan pukul 05.45 sementara saya dan teman-teman harus sudah siap pada pukul 06.00 karena pesawat akan berangkat pada pukul 06.10. SETREESSS itu sumpah!!! Saya lalu menghubungi dosen saya dan menceritkan hambatan yang sedang saya alami. Akhirnya beliau bergerak cepat dengan meminta nomor rekening saya dan paling lama 10 menit kemudian uang fiskal tersebut akan sampai. Namun masalahnya, 10 menit tersebut terlalu riskan. Akhirnya teman-teman berinisiatif untuk mengumpulkan uang mereka dan berharap semoga dari enam orang yang akan berangkat ke Malaysia tersebut uang bisa terkumpul 2,5 juta.

Dengan harapan tipis, kami menghitung uang kami. Ketika kami telah menghitung hingga 2 juta, tiba-tiba ada seorang petugas bandara yang mendatangi kami,

Bapak Bandara : Maaf, sedang apa ini kok menghitung-hitung uang?

Teman saya : Ini, Pak, kita harus bayar fiskal soalnya ada NPWP yang belum diaktifkan.

Bapak Bandara : Memangnya kalian ini rombongan dari mana?
Teman saya : Dari Unpad, Pak.

Bapak Bandara : Kok harus bayar fiskal? Umur kalian sudah 21 memangnya?

Teman saya : Belum sih, Pak.

Bapak Bandara : Lah harusnya kalian nggak usah bayar fiskal! Siapa yang tadi disuruh bayar fiskal? Berapa dia umurnya? Udah 21 belum?

Saya : Wah, beneran, Pak? Umur saya 21 nanti September. Tapi saya sekarang ngga bawa NPWP orang tua atau Kartu Keluarga.

Bapak Bandara : Nggak usah, lihatin aja paspor kamu ke petugasnya. Kaish tahu tanggal lahir kamu. Nggak usah takut sama mereka. Mereka cuma mau menggertak saja tadi. Sudah sana ayo cepat!

Saya dan Teman-teman : Terima kasih banyak, Pak.

Daaaannnnnnn…..kami pun langsung mengambil langkah seribu untuk kembali ke loket pembayaran fiskal. Benar saja. Ternyata memang untuk orang yang masih berusia di bawah 21 tahun, ngga ada kewajiban membayar fiskal. Mereka juga nggak harus menyerahkan NPWP orang tuanya dan memperlihatkan KK atau Akte Kelahiran tapi cukup memperlihatkan paspor atau menyerahlan fotokopi paspor! Kampretos memang itu mas-mas penjaga fiskal.

Dia lalu menanggapi, “Oh, maaf tadi saya nggak memperhatikan paspornya, saya tadi terkonsentrasi dengan NPWP.”

Argggghhhhhh. Apa coba deh yang ada di otak mas-mas itu? Parah banget ngaku nggak meriksa paspor. Ini kelemahan banget nih. Mungkin ini juga salah satu alasan kenapa masih ada penjahat yang lolos keluar masuk suatu wilayah. Untung mas-nya manis. Nggak jadi ngamukin si mas-nya deh saya. Hehehhehe.

Ah, tapi sumpah deh itu saya jadi mikir. Bener nggak sih yang diomongin mas itu bahwa dia tadi salah karena lupa nggak merhatiin paspor? Beneran lupa nggak merhatiin pasor atau ada kepentingan lain untuk menutup-nutupi kemudahan? Kenapa sih dia harus mempersulit orang-orang dengan mengatakan melalui kertas yang ditempel di loket bahwa untuk membebaskan diri dari pembayaran fiskal maka kita harus menyerahkan NPWP orang tua dan fotokopi KK padahal sebenarnya hanya dengan menyatakan dan membuktikan bahwa umur kita belum 21 kita sudah bisa lolos di loket fiskal? Mengapa kemudahan tersebut harus ditutupi?

Parahnya lagi, dia juga bukan pelayan masyarakat yang baik. Harusnya nih dia itu tahu kalau orang-orang macam saya dan teman-teman saya itu nggak tahu mengenai peraturan NPWP yang harus berumur tiga hari. Karena itu, harusnya dia tahu betapa paniknya kita waktu tahu peraturan itu tepat 15 menit sebelum pesawat berangkat dan kita juga jelas-jelas bukan orang yang punya uang segar 2,5juta. Saya juga yakin dia tahu kita itu mahasiswa yang umurnya belum menginjak 21 tahun karena sebelumnya dia sempat bertanya kita rombongan dari mana. Nah, karena dia tahu semua kenyataan itu harusnya dia refleks membuka paspor untuk memberi jalan keluar kedua kalau NPWP tidak berfungsi. Buka kek itu paspor yang ada di tangannya. Eh, dia mah waktu tahu NPWP saya masih berumur 2 hari malah bilang, “Aduh, maaf ya kami nggak bisa Bantu. Fiskal 2,5 jutanya harus dibayar.”

Tu orang emang minta dirayu dan disogok dah kayaknya!!!!!

Maaf, Mas. Walaupun Anda manis, sayang sekali saya nggak pinta merayu dan saya juga nggak mau menjatuhkan harga diri saya dengan menyogok Anda. Lebih baik nggak usah berangkat atau bayar 2,5 juta deh daripada saya harus mengiba-iba dan merayu supaya dia bilang, “Mmmmm, sebenernya sih bisa sih kalau umur situ belum 21 dan mau ngasih uang administrasi 500ribu….”

Noooo!!!

Alhamdulilah Allah masih melindungi saya dengan mengirimkan Bapak-Bapak penyeleksi barang di pintu masuk dan memberikan petunjuk tersebut.

Hedeuh!

Huffff. Kalau inget kejadian itu, saya jadi makin yakin, deh, kalau birokrasi kita udah nggak sehat lagi. Pegawai-nya itu loh!

Seperti yang didiskusikan dalam mata kuliah Pengantar Imu Administrasi dua minggu lalu, ada banyak teori birokrasi yang dikembangkan untuk memperbaiki kinerja birokrasi itu sendiri. Namun masalahnya, ketika kita membicarakan birokrasi, kita tidak akan bisa membicarakan sistem birokrasi sebagai sistem yang bisa dengan mudah kita kontrol karena predictable. Birokrasi itu diisi manusia-manusia yang selalu dinamis dan tidak dapat digeneralisasi. Akan ada banyak kondisi yang membuat teori birokrasi itu tidak dapat dengan mulus diimplementasikan di lapangan.

Saya malah jadi mikir, udah deh mending dibanyakkin aja deh program online untuk hal-hal yang selama ini diurus oleh pegawai garda depan. Petugas dalam bentuk manusianya ntar aja deh munculnya kalau misalnya ada beberapa orang yang kesulitan atau kalau ada kasus-kasus khusus aja. Dengan adanya pelimpahan tugas kepada mesin (internet), maka kestresan dan kejenuhan pegawai yang saat ini mengakibatkan tidak primanya layanan mereka bisa diatasi. Mereka akan terspesialisasikan menangani kasus-kasus khusus dengan wajah yang lebih ramah.

Namun memang, sih biayanya mahal dan gap teknologi juga masih banyak. Namun, bukan berarti dua masalah tersebut merupakan masalah yang tidak dapat ditangani, kan? Jika ternyata manfaatnya jauh lebih banyak, mengapa tidak? Saya dan masyarakat lain di Indonesia juga nggak mau menghabiskan seluruh hidup saya dengan kejudesan dan tipuan petugas garda depan.

Ark. Agt’10.

Koruptor juga Manusia, Punya Rasa Punya Hati, Jangan Samakan dengan Pisau Belati…

Kemarin saya nggak sengaja mindahin channel ke Metro TV pas lagi jeda Indonesia Mencari Bakat. Ada satu liputan menarik tentang pemberian grasi kepada koruptor yang (tentu saja) menuai kontroversi.

Kemanusiaan

Saya pernah menulis tentang kondisi tentara yang tecerabut kemanusiaannya. Saya juga selalu memperhatikan potret buruh, pengamen, dan kaum-kaum marginal lain yang juga tidak dianggap manusia. Nah, ketika saya menonton liputan yang disiarkan Metro TV Sabtu malam lalu, saya jadi merasa akhirnya trilogi manusia-manusia yang tidak lagi dianggap manusia pun mulai lengkap! Melalui tayangan tersebut, saya pun jadi menemukan bahwa sosok ketiga yang dicabut kemanusiaannya sehingga tidak lagi dianggap manusia adalah koruptor.

Liputan Metro TV tadi malam memberitakan tentang pemberian grasi kepada terdakwa (atau terpidana, ya?) korupsi yang juga mantan bupati sebuah kabupaten di luar pulau Jawa. Menurut Presiden, pemberian grasi tersebut didasari oleh rasa kemanusiaan. Saya pun ketika mengetahui kondisi sang Pak Mantan Bupati tersebut memaklumi pemberian grasi tersebut. Justru saya akan kecewa jika Pak Presiden pelit memberikan grasi kepadanya.

Apa pasal?

Kondisi Pak Mantan Bupati itu sungguh memilukan. Ia hanya terbaring di kasur atau duduk di kursi roda dengan selang oksigen yang tidak pernah dilepaskan. Ia juga tidak dapat mengingat namanya. Bahkan, ia pun tertatih-tatih saat berbicara. Kondisi tersebut melatari rasa kemanusiaan Pak SBY untuk memberikan grasi setengah masa tahanan. Dari enam tahun hukumannya, sang Pak Mantan Bupati itu hanya akan menjalani tiga tahun saja.

Nah, sampai di situ saja si Pak Mantan dianggap sebagai manusia. Liputan selanjutnya membuat saya miris.

Pemberian grasi yang didasari oleh kemanusiaan itu tak pelak mendapatkan reaksi keras, khususnya dari sebuah LSM yang bergerak dalam dunia pemberantasan korupsi. Menurut mereka, pemberian grasi tersebut merupakan rapor merah SBY dalam pemberantasan korupsi. Menurut mereka, SBY tak konsisten dalam memberantas korupsi. Di satu sisi, beliau berkomitmen memberantas korupsi, namun di sisi lain beliau malah memberikan grasi bagi koruptor.

Yang saya persoalkan, apakah dalam memberantas korupsi kita juga harus menutup rasa kemanusiaan kita? Apa tujuan dari penutupan kemanusiaan itu? Apakah untuk menimbulkan efek jera? Atau hanya luapan emosi belaka?

Lalu ada pula tanggapan dari salah satu tokoh politik nasional mengenai pemberian grasi tersebut. Beliau menghormati keputusan SBY untuk memberikan grasi, hanya saja ia mewanti-wanti SBY atas implikasi yang timbul pascapemberian grasi tersebut. Menurutnya, isu ini adalah isu sensitif. Rakyat akan rawan mengadakan protes.

Nah, dari pernyataan tokoh politik nasional tersebut, saya menangkap bahwa ternyata tidak hanya LSM itu saja yang enggan melihat latar kemanusiaan pemberian grasi, tapi juga masyarakat secara luas. Secara dangkal, ya memang janggal nampaknya jika di satu sisi SBY menggembar-gemborkan program pemberantasan korupsi namun di sisi lain ia malah memberikan grasi. Namun, masalahnya, secara jelas kita bisa melihat kondisi sesungguhnya dari sang pemohon grasi. Apakah kondisi seperti itu bisa ditangani di dalam rumah tahanan? Apakah kondisi tersebut akan memancing ‘kambuh’-nya tindakan korupsi yang dulu pernah ia lakukan?

Dalam memberantas korupsi, ketegasan memang diperlukan, namun yang harus dicatat adalah sampai mana batasan ketegasan itu sendiri dilakukan. Hakim dan pemimpin harus tahu kapan menggunakan ketegasan secara murni dan kapan harus menomorsatukan kemanusiaan. Saya kemarin menemukan seruan ini dalam beberapa ayat di juz 6, hmmm intinya kita harus berperilaku adil kepada siapa saja, meskipun mereka adalah golongan yang mencelakakan kita.

Mahal

Saya akhirnya menyadari bahwa kemanusiaan adalah hal yang sangat mahal di dunia ini. Dunia ternyata hanya menghendaki hukuman yang dilandasi dengan kepuasan nafsu dibanding dengan keadilan perasaan. Orang-orang yang berperilaku menyimpang dianggap sebagai murni pesakitan dan diambil hak-hak kemanusiaannya.

Saya pernah membaca notes salah seorang sahabat saya, Ayos Purwoaji, saya lupa judulnya apa, yang jelas dalam notes itu Mas Ayos menggambarkan betapa kasihannya seseorang yang diliput di televisi dengan tangan yang diborgol lalu diseret ke meja hijau dengan dakwaan korupsi. Sebelum permasalahan tersebut diberi putusan hukum, sang terdakwa sudah menuai banyak putusan sosial yang menyudutkannya. Para pemberi putusan sosial tersebut dengan ringannya mencaci, memaki, menghina, dan melontarkan berbagai hal keji lain kepada sang terdakwa. Mereka tidak memperhatikan adanya sosok-sosok yang berdiri di belakang terdakwa yang terluka atas lontaran menyakitkan tersebut. Pernahkah mereka memikirkan perasaan anak dan istri koruptor tersebut?

Kejamnya reaksi masyarakat terhadap terdakwa membuat Ayos bersyukur bahwa bapaknya adalah orang yang lurus sehingga insya allah terlindung dari persoalan demikian. Ayos merasa bahwa jika ia berada dalam posisi keluarga seorang terdakwa, ia tidak akan sanggup memikul beban tersebut. Mungkin ia akan lebih memilih menghilang dari lingkungannya.

Hidup dengan Cara yang Benar

Namun demikian, saya juga tidak akan seratus persen membela bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara yang terlanjur melakukan perbuatan yang dikutuk semesta alam itu. Mahalnya kemanusiaan pascamelakukan kesalahan sosial, baik yang dialami oleh diri terdakwa tersebut seperti pemprotesan grasi yang ia dapat padahal ia jelas-jelas sakit, maupun yang dialami oleh anggota keluarganya seperti penolakan, pengucilan, dan pengejekkan seharusnya cukup menjadi bayangan sehingga ia mencegah dirinya dari tindakan korupsi atau tindakan menyimpang lainnya. Inilah nurani yang seharusnya ia percayai dan ia dengarkan ketika ia dalam masa bimbang mau korupsi atau engga, ya….

Seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, kehidupan kita ini disusun oleh diri kita dan diri orang-orang di sekitar kita. Kita nggak bisa mengontrol pandangan dan hukuman yang diberikan oleh orang di sekitar kita, tapi setidaknya kita bisa mengontrol diri kita sendiri agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang memancing hukuman sosial yang luar biasa kejamnya itu.

Yah, memang, saat mereka menghukum kita dengan penyudutan yang tak berperikemanusiaan, sesungguhnya itulah buah tindakan kita yang dulu tidak memanusiakan diri kita sendiri dengan mengabaikan seruan dari nurani untuk tidak melakukan tindakan tercela, ah tapi saya lebih menghargai lagi orang-orang yang masih mengedepankan perasaannya dengan tidak berlebihan menghukum dan mencaci saudaranya yang pernah berbuat salah.

Ark. Agt’10.

Penerimaan

Posting ini berawal dari ketidaksengajaan saya bertemu seorang teman lama beberapa waktu lalu. Suatu sore, karena ada barang yang harus saya beli, saya pun melenggang ke sebuah mall di Bandung. Ketika mata sedang saya tujukan untuk memilih barang, tiba-tiba bahu saya ditepuk. Ketika saya menoleh, ada sesosok laki-laki yang gagah dan agak manis tersenyum pada saya. Agak lama saya mengingat wajahnya yang sebetulnya familiar. Sebelum saya sempat mengingat namanya, ia menegur saya duluan, “Apa kabar, Ki? Sama siapa ke sini?”

Agak terbata saya menjawabnya –soalnya otak masih loading mikirin ni bocah temen saya dimana yaaaa..-, “Mmmm…Baik. Sendirian…Oh my god! Ya ampun, ternyata kamu!” Ya, akhirnya saya mengingat siapa dia.

Perlukah saya menyebut namanya? Tentu tidak! Hehehe. Oke, berhubung posting ini saya posting pada bulan Ramadhan, kita sebut saja ia Fulan.

Fulan yang ada di depan saya adalah Fulan yang jauh berbeda dari Fulan yang dulu saya kenal. Fulan yang dulu adalah Fulan yang pendiam, bermuka nurut, nggak banyak gaya, rendah hati, dan sederhana. Nah, sedangkan Fulan yang sore itu ada di hadapan saya adalah Fulan dengan penampakan yang gahul, sangar, gaya, luwes, dan ngartis banget! Saat itu ia ditemani oleh tiga orang kawannya yang juga laki-laki, gahul, dan ngartis. Saya tepiskan sejenak keheranan saya atas perubahannya itu. Pura-pura nggak noticed aja deh sama perubahan itu. Nggak sopan, dong udah disapa tapi malah balik merhatiin dengan tatapan aneh. Hehehe.

Sepeninggal Fulan, saya baru ingat saya belum membalas sms teman saya. Sambil membalas pertanyaannya, saya juga bilang kalau tadi saya ketemu Fulan yang saat ini penampilannya sudah jauh berbeda. Tak lama kemudian, teman saya membalas, “Wah, serius? Jangan-jangan berita itu beneran lagih…”

Berita itu? Ya, beberapa bulan yang lalu saya dan beberapa teman saya yang juga mengenal Fulan mendapat kabar (atau lebih tepatnya desas-desus) bahwa Fulan berubah jadi nggak straight. Maksudnya bukan jadi banci tapi orientasi seksualnya udah berubah. Waktu pertama dengar berita itu, saya dan teman-teman saya nggak percaya. Fulan yang kami kenal itu ya Fulan yang baik-baik sajah. Nah, tapi waktu saya ketemu Fulan secara langsung dan melihat perubahannya, kok saya jadi mulai ikut kejam juga ya percaya sama desas-desus itu…

Kasus Fulan pun akhirnya dibawa sampai pertemuan saya dan teman-teman saya beberapa waktu kemudian. Untungnya, sebelum prasangka buruk kami berjalan jauh dan bisa jadi menyimpang, ada satu teman yang mengingatkan, “Lah, emang kalau Fulan pakai dandanan ngartis, gayanya udah jadi gaul abis, dan ke mall sore-sore bareng tiga cowok itu bisa jadi bukti kuat kalau dia jadi gay? Suudzan amat deh ini!”

Iya juga, sih. Siapa tahu emang dia udah berubah gara-gara lingkungannya mensyaratkan penampilan demikian. Lagian, kenapa juga kok jadi percaya sama berita Fulan jadi gay yang sumber aslinya juga nggak kita ketahui. Pembicaraan kami tentang Fulan pun ditutup dengan peringatan si teman saya itu.

Marginalisasi

Pembicaraan santai itu boleh aja memberhentikan diskusi kami tentang si Fulan, tapi selepas kumpul-kumpul saya dengan mereka itu, saya masih belum dapat melepaskan perenungan tentang kasus Fulan. Sejak hari itu, saya kok merasa diri saya munafik banget gituh ya..Heuheu.

Saya heran sama diri saya sendiri, kok saya bisa terkejut atas perubahan Fulan dan langsung menyimpulkan bahwa mungkin aja Fulan menjadi gay. Saya lebih heran lagi sama diri saya yang sepertinya keberatan kalau Fulan menjadi gay. Aduh!

Pertama, kalaupun iya Fulan menjadi gay, Fulan bukan satu-satunya kawan saya yang memiliki orientasi sejenis. Saya sudah sering menemukan kawan yang berorientasi demikian.

Kedua, ketika saya sepertinya merasa keberatan dengan dugaan orientasi Fulan itu, artinya saya belum bisa mengaplikasikan pengetahuan yang saya dapat dari berbagai buku, seminar, talkshow mengenai kesetaraan gender dan kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Secara teoretik, kayaknya saya bisa dan selalu deh berkoar-koar mengenai kesetaraan bagi mereka. Otak dan hati saya pun sepertinya bisa banget berkompromi untuk membuat tulisan dan bepersuasi mengenai keseharusan kita dalam mempedulikan mereka dan tidak menyingkirkan mereka dari lingkungan kita. Nah, namun ketika persoalan ini dihadapkan kepada saya secara langsung, yaitu kawan saya ternyata termasuk dalam golongan LGBT itu, kok saya malah jadi sedih dan menganggap bahwa ia telah menyimpang? Kenapa saya merasa keberatan dengan pilihannya itu?

Saya pun jadi ingat pembicaraan saya dengan dosen saya beberapa bulan lalu (tapi ini bukan ngomongin Fulan),

Saya : Iya, Bu, jadi teman saya itu akhirnya mengakui bahwa dia lebih menyukai hubungan sejenis.

Bu Dosen : Mmmm. Oh, gitu.

Saya : Tapi saya udah lama juga, sih, Bu, nggak ketemu dia lagi. Saya nggak tahu kabar dia sekarang, Apa dia udah sembuh atau belum.

Bu Dosen : Kok kamu ngomongnya gitu? Itu kan bukan penyakit jadi nggak bisa kita bilang sembuh atau belum sembuh. Kalau penyakit, harusnya menular, dong.

Saya : Astagfirulloh. Iya, Bu. Kok saya jadi keceplosan jahat gitu, ya. LGBT kan bukan penyakit. Huhu. Maafkan.

Ah, saya jadi sebal sama diri saya sendiri. Beberapa waktu sebelum saya bertemu Fulan juga saya sempat mendengar siaran radio yang demikian,

Penyiar : [sebut saja] Bunga yang awalnya berperan menjadi laki-laki dalam hubungan sejenisnya dengan [sebut saja] Melati akhirnya kembali menjadi berperan sebagai perempuan menggantikan Melati yang tidak bisa hamil karena rahimnya mengalami kelainan. Nah, ini dia akibat menyalahi kodrat kan.

Waktu saya mendengar siaran radio tersebut, dih, bener-bener deh saya melongo dan nggak nyangka penyiar itu bisa memarginalkan kaum lesbian di ruang publik. Selain itu, saya juga merasa bahwa dalam menyampaikan berita, tidak etis jika pembaca berita memberikan pandangan pribadi, apalagi jika pandangannya merupakan pelecehan. Namun ketika saya melihat pada diri saya sendiri yang secara tidak sadar menempelkan istilah sembuh dan yang secara tidak sadar mempercayai dugaaan saya sekaligus menyesalkan dugaan jika Fulan berorientasi sejenis, saya pun malu. Ternyata saya masih sama dengan penyiar radio itu, masih sama dengan orang-orang tua, masih sama dengan teman-teman lainnya yang memarginalkan kaum LGBT, melecehkan kaum LGBT, dan tidak memanusiakan kaum LGBT. Ternyata saya masih belum dapat menghormati, menghargai, dan menerima kaum LGBT atas nama kesetaraan dan kemanusiaan. Sikap saya ternyata belum semanis ajakan saya untuk mengakui mereka dalam tulisan-tulisan saya.

Ark. Agt’10.

Night Walking

I think I should list this Night Walking as routine agenda whenever and wherever I’m pointed to go outside Bandung. It does make me please and reduce my uneasy feeling. I had started it in Singapore. Walking around the hotel, crossing the road, entering 711, eating ice cream, and taking some photographs. Then in India. Stepping the road around hotel, letting my foot move by itself, and parking at the margin between Arabian Sea and Mumbai Land. I also did it in Surabaya, accidentally because I needed some copies of important files but I hardly found the photocopy center (I got lost) and in Jember, breaking the rules that every participants weren’t allowed to leave hotel. Hmmm, but I didn’t do it in Bojonegoro. Okay. Next time I’ll do.

The newest Night Walking I did in Malaysia. Of course. That was the last place I was outing. What did I do? With whom? And why? Haha. I write this and make some attractive questions as if these were very important. In fact it isn’t.

Okay. That’s okay. This is my blog and I’m free to write all the things I want to write. Jump to other site if you don’t wish reading this, guys. Trust me. This is junk post. Haha.

Saya dan News Feed


Saya seharusnya nggak heran. Kalau saya buka fesbuk tanggal 1 Januari, news feed saya pasti bakal dipenuhi oleh resolusi-resolusi hasil kontemplasi satu malam. Kalau saya buka tanggal 21 April, saya pasti bakal ketemu sama feminis-feminis 70’an yang asyik menuntut kesetaraan hak. Satu hari sebelumnya, tanggal 20 April, saya juga bakal amazed sama aktivis-aktivis lingkungan digital yang tiba-tiba menuduh cuaca panas sebagai akibat global warming (padahal salah dia sendiri yang datang ke Jatinangor jam 12 siang naik Damri sambil pake kaos dan jaket warna item).

Nah, karena itulah seharusnya saya nggak heran kalau tanggal 17 Agustus ini news feed saya tiba-tiba dipenuhi ucapan dirgahayu untuk Indonesia dengan beragam ekspresi!

Bagaimana dengan news feed Teman-teman? Apakah terisi dengan post serupa? Atau Teman-teman kebetulan sedang tidak tersambung dengan internet jadi nggak bisa lihat fenomena alam tersebut? Hmm, jangan khawatir. Nggak usah nunggu satu tahun lagi untuk menyaksikan fenomena itu. Coba nanti log in lagi, deh tanggal 28 Oktober dan 10 November, pasti Teman-teman bakal menemukan post senada.

Akibat selepas solat subuh bukannya baca quran, tapi malah buka fesbuk, saya pun jadi latah nulis posting terkait dengan perayaan kemerdekaan RI. Ada hal yang ingin saya garisbawahi setelah saya berkelana di news feed hingga terperosok masuk ke profil-profil orang dan profil-profil temennya temen saya. Hmmm, saya pun jadi makin sadar bahwa bangsa kita benar-benar bangsa yang plural, yang besar, yang bermacam-macam, yang gede bangetlah pokoknya! Melihat potret bangsa saya yang demikian membuat saya semakin penasaran terhadap potret bangsa-bangsa lain di luar bangsa saya. Apakah news feed mereka juga penuh dengan pujian, cacian, kekaguman, dan kekecewaan terhadap negaranya ketika negara tersebut berulang tahun? Apakah mereka juga akhirnya terlibat perang status, perang wall, perang komen, dan perang batin ketika mereka memiliki cara pandang yang berbeda satu sama lain? Apa mereka juga merasa bahwa hanya pendapatnyalah yang paling benar? Hmmmm….

Ark. Agt’10.

Slice of Ceremony, Bowl of Myth, and Cup of Propaganda: Good Morning, World! It is Meal Bouquet from Postcolonial Civilization!


Beberapa hari lalu saya menemukan satu ayat menarik dan pas sekali dengan tema bulan ini dari surat Al-Baqarah. Namun, karena keterbatasan otak, saya lupa ayat berapa dan bagaimana bunyinya secara persis. Intinya begini, mengapa kita (kalau di ayat itu sih dibilangnya, Kamu) cenderung untuk mengabaikan seruan yang baru dan yang benar hanya karena kita sudah memiliki ritual yang kita lakukan secara turun-temurun alias warisan nenek moyang padahal nenek moyang kita yang melakukan ritual tersebut pun tidak mendapatkan esensi dan maksud dari ritual tersebut. Menghubungkan pertemuan saya dengan ayat tersebut, status kawan saya, Bima Prawira Utama, mengenai kepercayaan kita akan kuntilanak, dan beberapa hasil kontemplasi kuliah Studi-Studi Budaya (Cultural Studies), Teori Hubungan Internasional 1, serta beberapa literature yang sempat saya baca, saya pun jadi mengucap, Maha Suci Allah yang benar-benar memiliki pengetahuan luas akan makhluk-Nya! Ayat itu tidak hanya bisa kita pandang secara sempit dalam urusan keagamaan, tapi juga fenomena sosial, khususnya di Negara Postkolonial atau bekas jajahan, yang sangat lekat pada praktek pemitosan.


Kuntilanak dan Kemerdekaan

Bima bilang, “Jangan mengaku merdeka kalau masih percaya sama kuntilanak. Doi bikinan Belanda, loh. Gatau tah kalau pocong.”

Saya sempat mencandai status Bima tersebut, “Naha ai kita 17-an malah mistis kieu?” Pancingan saya berhasil, akhirnya Bima mengungkapkan mengapa ia memasang stat demikian. Menurut Bima, permasalahannya tidak terletak pada mistis-mistisan, tetapi pada cermin betapa masih terlekatnya kita pada konstruksi dari penjajah. Nah, jika kita masih terlekatkan dengan hal tersebut, bagaimana kita bisa menyebut diri kita merdeka? Yup, saya tahu poinnya. Saya setuju dengan pendapat Bima.

Nye bilang soft power itu jauh lebih efektif ketimbang hard power. Soft power macam penyebaran budaya akan menciptakan sebuah keterikatan, bahkan ketergantungan yang tentu lebih efektif daripada penggunaan ancaman dan instrument militer yang hanya akan membuat ketakutan. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa ketika suatu kelompok ditekan dengan ancaman dan kekerasan, efek jangka pendeknya mereka akan menurut, namun efek jangka panjangnya mereka akan menjadikan bibit-bibit kedendaman menjadi sebuah semangat revolusi yang menentang status quo. Penundukkan pun bersifat sementara. Jika ingin mengeternalisasikan penundukkan, penggunaan soft power pun harus digunakan.

Saya nggak tahu ada hubungan apa antara Jan Pieterzon Coen, Daendels, dan Ratu Wilhelmina sama Joseph Nye. Mereka hidup di zaman yang berbeda, namun praktek yang dijalankan oleh kompeni tersebut nyatanya sama persis seperti yang diungkapkan Nye. Selama tiga ratus lima puluh tahun, penjajahan secara fisik jelas kita alami. Ancaman, kekerasan, perbudakan, mmmm….kata-kata buruk dari kelompok kata penindasan apa lagi coba yang belum kita alami selama tiga ratus lima puluh tahun itu? Didorong oleh perasaan marah, dendam, sakit hati yang lebih dalam daripada ketika putus sama pacar, kita pun be-revolusi, berani bersatu, berani mengumandangkan perang, dan akhirnya berani memproklamasikan kemerdekaan. Yup, oke memang. Tapi coba perhatikan, deh, kenapa kemerdekaan itu baru bisa kita kumandangkan pada tahun 1945? Kenapa juga selama tiga ratus lima puluh tahun, negeri yang melingkupi tiga belas ribu pulau ini hanya memiliki segelintir nama pahlawan besar?

Adanya soft power itulah, Teman-teman!

Ada praktek-praktek budaya yang diciptakan oleh penjajah untuk tetap mengungkung kita pada suatu sistem status quo. Pas lagi perang sama Belanda sore-sore, eh para prajurit tiba-tiba ciut. Ditanya sama komandannya, “Kenapa berhenti?” si prajurit pun menjawab, “Punten, Ndan, udah mau malam. Mak Lampir suka cari mangsa bada magrib.”

Nggak jauh beda kalau misalnya orang Belandanya kabur ke hutan. Tiba-tiba panglima dari laskar pribumi memberhentikan kudanya. Ditanya kan tuh sama anak buahnya, “Berhenti ini teh? Ada apa? Kita dijebak?” terus panglimanya jawab, “Eta hutan bukannya angker ya? Kan katanya ada mayat yang dibuang cenah?”

Lalu Teman-teman ingat juga, kan betapa tersulutnya emosi salah satu pahlawan nasional saat pemakaman leluhurnya dipasangi patok-patok jalan oleh Belanda? Sang pahlawan yang biasanya mampu menahan emosi tiba-tiba menjadi sosok yang begitu murka sehingga logikanya pun runtuh. Hasilnya? Apakah dengan kemarahan atas penginjakkan harga diri tersebut membuat sang penjajah terusir dari tanah air sang pahlawan, minimal tanah pemakaman leluhur yang diperjuangkan itu?

Itu sedikit gambaran betapa hebatnya penggunaan soft power. Sebarkan isu sensitif, maka sang target akan menurut bak kerbau dicocok hidungnya dan dicolok matanya.


Mendarah Daging

Masalahnya lagi, penjajah itu juga nggak cuman pakai soft power ala Nye, tapi juga kekerasan simbolik dari ala Om Gramsci. Melalui kekerasan simbolik itu, sang penjajah tetap bisa mempertahankan hegemoninya di tanah jajahan meskipun di tanah jajahan itu juga hidup Sultan-Sultan, Raja-Raja, Ratu-Ratu, dan pemuka agama yang begitu disegani oleh rakyat asli. Buku sejarah yang kita baca ketika masa sekolah pasti mengenalkan kita pada seorang Belanda yang begitu baik sama orang pribumi gara-gara dia memperjuangkan dibukanya akses pendidikan dan dilonggarkannya undang-undang pertanahan. Nah, saya dulu sempat kagum juga tuh sama orang itu. Namun, ketika saya membaca lebih lengkap lagi, saya pun merasa terkhianati. Ternyata, selain atas dasar kemanusiaan, tujuan sang Belanda yang baik hati itu juga untuk mengekalkan kekuasaan Belanda di Indonesia dengan meminimalkan gelombang protes dan revolusi rakyat.

Orang itu tahu benar bahwa penindasan yang begitu hebat dan lama harus diredakan tidak dengan penindasan lagi, tetapi dengan fasilitas yang menjanjikan dan menyamankan. Ditambah lagi, bukankah dengan mendidik tenaga pribumi maka biaya yang harus dikeluarkan oleh Belanda bisa ditekan? Orang pribumi nggak usah digaji gede, nggak usah dikasih fasilitas menak, priyayi, luxury. Dikasih sedikit saja hati, mereka akan tersenyum dan loyal selamanya. Buruh murah, nurut, dan cepat tanggap, apa lagi coba yang tidak lebih diinginkan oleh penjajah daripada hal itu?

Ketika pada akhirnya muncul pahlawan-pahlawan besar nasional, ketika revolusi fisik akhirnya berlangsung, dan ketika kemerdekaan pun akhirnya lahir, penjajahan memang berakhir. Namun, garisbawahi, hanya penjajahan fisiklah yang berakhir. Sementara itu, penjajahan mental dari penggunaan soft power dan kekerasan simbolik nyatanya tetap bersemayam dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kepercayaan kita. Segala praktek seremonial, ancaman mistis, ajakan propaganda yang diciptakan penjajah dan diamini oleh nenek moyang kita pun akhirnya menjadi sebuah pengetahuan biasa, pengetahuan umum, bahkan falsafah hidup yang selalu kita anut kebenarannya.

Kita pun akhirnya menjadi kelompok yang serupa dengan kelompok manusia di Yunani Kuno yang hidup di dalam gua yang sangat yakin bahwa hanya gua itulah yang berperadaban dan benar hingga rela mencincang kawan mereka yang baru saja keluar gua dan membawa pengetahuan baru. Ketika kita berbeda sedikit dari komunitas kita, kita akan dicap aneh. Ketika kita teguh dengan identitas kita, mereka menolak kita. Ketika kita menghadapi penolakan itu, mereka menganggap kita adalah musuh berbahaya. Ujungnya ya itu tadi, dicincanglah kita.


Neokolonialisme? Neo?

Banyak orang dan organisasi garis keras yang mengatakan bahwa globalisasi pada masa ini merupakan perpanjangan dari imperialisme. Neokolonialisme. Penjajahan bentuk baru.

Kata mereka, ya kita memang tidak dijajah dalam arti disuruh membajak sawah sambil ditemani satu senjata laras panjang yang siaga dalam radius dua ratus meter, tapi sebagai gantinya kita memiliki ketergantungan untuk menggadaikan kekayaan alam kita kepada produsen Barat serta membeli dan membanggakan produk olahan Barat daripada produk yang dibuat oleh Timur. Melalui hubungan ekonomi itulah kita kembali dijajah. Pendapat tersebut ada benarnya juga. Namun saya rasa, penjajahan macam itu bukanlah penjajahan baru dalam arti penjajahan yang baru dipikirkan. Prosesnya bukan begini,

Negara Barat A : Kumaha yeuh, daerah jajahan udah pada lepas gini.

Negara Barat B : Iya, nih, proyekan macet semua.

Negara Barat C : Hayulah urang ngajajah deui!

Negara Barat D : Hussss, ai kita bukannya udah jadi anggota PBB sama ratifikasi Deklarasi HAM? Ya engga bisa atuh ngajajah kayak abad 18-19 dulu.

Negara Barat A: Ah, saya punya akal!

Negara Barat B : Gimanah?

Negara Barat A : Kita kuras kekayaan alam mereka terus kita olah jadi produk jadi terus kita jual ke sana lagi.

Negara Barat C : Ah, heu euh bener! Kita beli SDA-nya dengan harga murah, kita jual hasil olahan dengan harga mahal. Kualitas yang biasa weh lah. KW 10 juga udah cukup lah.

Negara Barat D : Mun mereka protes, hayu ajakan aja. Jadiin buruh-buruh murah, kasi beasiswa dikit biar rada maju otaknya tapi larang mereka buat jadi orang pinter. Atuh ntar ketauan rahasia kita kalau mereka pinter mah.

Negara B : Hayu atuh mulai besok der ah!

Proses yang terjadi dalam fenomena yang dinamakan neokolonialisme itu bisa jadi sudah direncanakan sejak lama, bahkan mungkin sejak mereka pertama kali menginjakkan kaki di Batavia! Para negara-negara Dunia Kesatu itu udah nggak usah susah-susah lagi rapat dan bikin rencana aksi untuk menciptakan penjajahan baru seperti yang saya ilustrasikan di atas. Ketika mereka pertama kali menjajah, mereka sudah tahu bagaimana mengendalikan rakyat jajahannya. Pendefinisian mereka akan kita nyatanya sangat tepat! Buktinya, mereka bisa mengulur waktu hingga tiga ratus lima puluh tahun dan meninggalkan wilayah jajahannya dalam keadaan begitu bodoh, lemah, dan tidak percaya diri. Ketepatan mereka dalam mendefinisikan kita telah membuat mereka menemukan cara-cara untuk mengendalikan kita, baik dalam bentuk kekerasan maupun bentuk budaya, pada masa lalu hingga masa depan.

Kaum penjajah pada pertengahan abad 20 lalu saya rasa tidak terpojok ketika gelombang dekolonialisasi melanda Asia dan Afrika. Mereka santai aja, kali.

Negara Barat A : Nggak apa-apa, gan itu orang Asia ama Afrika pada minta kemerdekaan?

Negara Barat B : Santai, bray! Biarin aja. Biar dulu mereka larut dalam euforia kemerdekaan. Bentar lagi juga paling bingung itu negara mau digimanain. Abis ini juga paling bakal ada banyak kudeta, konflik etnis, perang voodoo, hiperinflasi. Ntar juga kita-kita lagi yang turun tangan.

Negara Barat A : Ah, serius? Naha bisa? Nasionalisme mereka gede beuts, kali.

Negara Barat B : Halah, tahu apa mereka tentang nasionalisme? Eta istilah nasionalisme ge urang keneh nu nyiptakeun basa kakek saya masih jadi tuan tanah di Eropa. Mereka mah baru aja kenal sama kata nasionalisme. Biarin ajah. Saya mah udah ninggalin banyak warisan kolonial yang nanti bisa bikin mereka sakit kepala mikiran nasib negara sendiri.

Negara Barat A : Contohnya?

Negara Barat B : Saya udah bikin mereka percaya kalau kiblat solat boleh aja di Kabah, tapi kalo kiblat peradaban jelas dong di kita. Mereka pasti bakal selalu minta petunjuk kita. Kita mah ga usahlah ribet-ribet kayak orang Jepang yang bikin slogan 3A, sok sok saudara tua. Yeuhhhhh, dalam praktek saya menjajah mereka, dari cara jalan saya aja gituh ya mereka tuh udah silau. Pasti ngikutan. Nah, nanti mah pas mereka minta petunjuk dari kita, kita keluarin semua istilah-istilah sulit dari kita. Kata-kata mahadewa lah. Demokrasi, hak asasi, liberalisasi, pasar bersama, negara-bangsa, keluarin gan keluarin. Mereka silau geura, da. Langsung ngikut! Dijamin.

Negara Barat A : Loh, bukannya nanti kalau mereka ngikutin kita ntar mereka jadi bisa nyusul kita?

Negara Barat B : Nggak bakal. Pada dasarnya, kita sama mereka mah beda. Kita udah punya peradaban kayak begini dari dulu. Udah teruji dan sesuai dengan keadaan alam dan mental bangsa kita. Keadaan dasar mereka beda sama keadaan kita. Kalau keadaan udah beda, harusnya resepnya juga beda, kan? Nah, justru kalau kita kasih resep yang beda dari kita bisa jadi mereka bakal tahu identitas dan hakikat hidup mereka. Kita kebakaran jenggot ntar. Mending kasih resep yang sama. Kan nanti terjadi ketidaksesuaian kan tuh? Nahhhhhh, itu diaaaaa. Ntar pasti mereka ketagihan datang ke kita. Nanya terus. Yasudah, kita sesatkan saja terus. Hehehe.

Negara Barat A : Kalau mereka sadar gimana?

Negara Barat B : Emangnya mereka berani ngelawan kita? Emangnya mereka punya power? Pas mereka sadar juga percuma atuh, kan kita udah bikin banyak institusi yang menjerat mereka. Kalau mereka macam-macam dan mengganggu institusi yang kita buat itu, marahin aja balik. Hehehehe.

Namun demikian, dari ilustrasi yang barusan saya sampaikan, saya juga nggak bisa bilang kalau penjajah itu jahat banget. Kejahatan mereka adalah hal yang wajar, menurut saya. Bukankah mereka butuh makan di tengah alam negara mereka yang tidak berlimpah sumber daya alam? Saya justru melihat permasalahannya terletak pada kelemahan bangsa kita dan bangsa terjajah lain yang begitu menurut, baik hati, dan tulus kepada penjajah. Permasalahannya bukan karena terlalu lama dijajah, (justru terlalu lama dijajah adalah akibatnya) melainkan kenapa bangsa yang hidup di belahan dunia bagian Selatan ini menurut untuk selalu dijajah? Mengapa mereka begitu cepat percaya dan sangat mengamini konstruksi dari komunitas lain? Mengapa mereka begitu persis dengan ayat Al-Baqarah yang tadi saya sadur?

Saya melihat prosesnya begini, pertama, rakyat Dunia Selatan ini adalah manusia yang polos dan hidup baik-baik saja di atas alam yang indah serta kaya. Mereka pikir semua orang di dunia ini hidupnya nyaman kayak mereka. Tiba-tiba mereka tersentak, terkejut, sekaligus kagum waktu tanah mereka didatangi orang asing. Orang asingnya juga kagum waktu melihat ada tanah yang begitu kaya didiami orang yang begitu polos, baik, ramah, dan tidak tahu kalau tanahnya kaya. Plot sinetron pun terjadi mulai detik itu.

Si asing memperdaya si pribumi. Si pribumi awalnya masih sabar. Si asing makin menjadi. Si pribumi lalu mulai panas. Si pribumi pun mulai bikin perlawanan. Eh, si asing, sebagaimana layaknya orang licik dan jahat lainnya, selain memiliki umur panjang kok ya alhamdulillah gitu dianugerahi akal yang juga panjang. Ia pun menyusun rencana untuk menjegal si pribumi. Si pribumi ditakut-takutin. Pribumi pun takut dengan mitos rekaan pemeran antagonis. Si asing khawatir lagi takutnya si pribumi mulai mikir kalau mitos itu bohongan. Si asing pun pura-pura menyerah. Ia pun mendatangi si pribumi dengan muka manis dan senyum lebar. Tapi tenang aja, coba kameranya disorot ke kanan, tuh tuh tuh lihat, senyum dan wajah sumringah itu berubah jadi senyum serigala. Pada adegan itu, si asing mulai mengeluarkan jurus kekerasan simbolik buat si pribumi.

Si pribumi nih, layaknya Alisa Subandono, Marshanda, Ririn, Dini Aminarti, dan Desi Ratnasari, terenyuh melihat kebaikan hati si asing. Dia pikir doanya tadi malem yang bilang, “Ya Allah, maafin temen-temen Baim, ya Allah. Sadarkan mereka, Ya Allah,” udah dikabulin secara kilat. Dia langsung percaya kata-kata si asing. Ia pun lalu mengagumi si asing. Ia nurut kata-kata si asing. Sampai akhir hayatnya!

Waktu sakaratul maut udah deket, wejangannya buat keturunannya selain tunaikan solat, puasa, zakat, dan haji bila mampu, “Jagalah silaturahmi dengan asing. Sesungguhnya ia adalah orang yang benar. Jika ada keraguan mengenai sesuatu, tanya padanya dan langsung laksanakan.” Satu keluarga itu karena sangat menghormati si pribumi, langsung mengiyakan amanah si pribumi. Waktu ada anak si pribumi yang protes, seluruh keluarga mengutuk dia jadi kapal batu kayak Malin Kundang. Katanya durhaka.

Lalu bagaimana dengan asing yang tahu sahabat pribuminya meninggal? Oh, dia ikut nangis dong, tapi coba om kameramen digeser dong kameranya ke kiri, tuh tuh tuh si asing matanya mengerling ke atas sambil tersenyum penuh kepuasan. Ya, itulah drama reality show terbaik dari negara Dunia Ketiga.

Saya nggak tahu apa yang harus saya usulkan buat Teman-teman untuk menghentikan alur cerita sinetron yang sangat mengharukan itu selain tolong banyak-banyak baca Al-Baqarah biar ngehhhhh sama petunjuk bahwa diri kita ini berkecenderungan untuk jadi kerbau yang hidung dan matanya dicolok. Heuheu. Selain itu saya nggak tahu lagi harus ngasih usul apa. Saya juga takut kali kalau dikutuk jadi batu kayak anak sulung pribumi. Saya juga belum mau mati dicincang karena saya menyampaikan pengetahuan baru. Saya juga nggak bisa janji kalau nanti saya udah punya power, saya bakal menentang cengkraman asing di bahu saya. Jangan-jangan ketika saya sudah memiliki power, power itu nggak sebanding dengan penambahan kekuatan institusi yang sudah dibangun oleh orang-orang pribumi di sekitar saya atas usulan, nasihat, dan propaganda asing. Jangan-jangan power yang saya punya juga diberi sama orang asing itu.

Hmmm, melalui posting ini, saya cuman pengen memperlihatkan kepada Teman-teman bahwa kita sudah terlalu lama didoktrin dengan segala hal yang datang dari penjajahan. Kita sudah terlalu akrab, lekat, bersahabat, dan bergantung dengan hal-hal tersebut. Kita sudah tidak bisa mendefinisikan diri kita sendiri karena kita sudah dibuat percaya bahwa kita adalah bangsa nomor dua. Kita nggak tahu siapa diri kita, bagaimana kemampuan kita, apa tujuan kita, dan apa yang bisa kita lakukan untuk mencapai tujuan kita.

Hal itu pulalah yang bisa menjadi salah satu bukti bahwa kita memang berkecenderungan untuk menolak seruan alias pengetahuan baru dan tetap mengikuti ritual dari nenek moyang padahal nenek moyang itu pun tidak memiliki sedikit pengetahuan pun dari ritual yang mereka lakukan. Disuruh A, hayuuuu. Sambil mereka nggak ngerti kenapa harus melakukan A. Disuruh B, manggggaaaa. Padahal mereka juga nggak tahu kenapa dulu A, sekarang jadi B. Pokoknya disuruh sama orang-orang yang sudah lebih dulu beradab mah hayu ajalah. Hmmm, itu juga yang membuat saya melihat bahwa kita cenderung untuk menomorsatukan instrumen dan praktek seremonial ketimbang memikirkan substansi kemudian beralih pada penghayatan dan pengaplikasian substansi baru. Itu juga yang dibilang Bima bahwa kita belum merdeka.

Nah, kalau menurut Teman-teman?




Ark. Agt’10.

Agustus Ayeyyy!!!!!

Setelah mengalami hal-hal yang ingin saya lupakan pada Juni dan Juli lalu, semoga Agustus ini akan membawa saya pada hal-hal yang menakjubkan, semenakjubkan datangnya Ramadhan dan perayaan kemerdekaan Indonesia. Pokoknya Agustus ini harus diwarnai dengan semangat postkolonialisme! Daripada kita percaya sama pandangan orientalis yang meletakkan kita pada posisi kelas dua yang barbar, tidak berperadaban, dan dipenuhi oleh kebodohan, mari kita pede terhadap semangat kesucian manusia seperti yang dijanjikan Allah apabila kita berhasil melewati Ramadhan tanpa hawa nafsu! Mari juga kita pede dengan identitas kita sebagai orang Timur yang memiliki nilai berbeda dari nilai Barat, misalnya mengisi kemerdekaan ini dengan lomba makan kerupuk ketimbang nonton video Keong Racun di Youtube, hihihi. Kasian tau Jojo dan Shinta. Sebagai sesama mahasiswa HI yang terlalu banyak mikirin Morgenthou dan Woodrow Wilson pada semester awal, saya paham gejolak jiwa yang begitu iseng memanfaatkan teknologi macam Youtube buat menyalurkan bakat menyanyikan lagu yang termasuk dalam genre to-the-point-banget-deh-ngga-ada-puitis-puitisnya-sama-sekali. Kalian pikir mereka bangga sama lagu itu? Taruhan, deh sama saya, pasti mereka nyanyiin lagu itu trus dimasukkin ke Youtube tuh niatnya cuman buat ketawa-ketawa doang. Hmmm, nanti saya bakal bikin posting tentang gejala sosial macam Keong Racun itu.

Oke, daripada mikirin nasib Jojo dan Shinta yang makin banyak masuk ke infotenmen atau mikirin infotenmen yang katanya udah difatwa haram, lebih baik saya meneruskan hidup. Jadwal saya mengajar di Ganesha sekarang udah padat lagi. Padatnya mah gapapa, masalahnya ada banyak yang tabrakan. Lagi-lagi harus memilih di antara dua pilihan. Saya benci memilih. Ah. Hmmm. Lalu, selain di Ganesha, ada lagi nih murid privat. Janji saya untuk nggak pulang malam lagi kayaknya harus dilanggar, deh. Saya kira jadwal saya di Ganesha nggak bakal padat-padat gimana gituh jadi sorenya bisa buat ngajar privat. Eh, nyatanya tidak demikian. Intinya, Welcome back to the night life, Riki!

Ketika saya menyetujui untuk mengajar dalam jadwal yang padat, permasalahannya bukan terletak pada uang. Saya lebih cinta sama kesehatan fisik dan mental saya daripada sama uang. Masalahnya, saya nggak tega buat bilang ENGGAK BISA atau DADAH di depan muka murid. Yasudahlah terima kelemahan diri sendiri.

Agenda lain mulai Agustus ini selain puasa adalah menulis dengan rajin. Menulis di blog, tentu saja, dan satu lagi, rutin menulis untuk koran. Cerpen saya dimuat lagi, hore! Tapi kali ini nggak bisa dicari di Google. Nggak tahu deh kenapa. Eh, ada lagi, saya juga harus menulis untuk tugas akhir. Hahha. Semester tujuh hayolohhhh. Bahan-bahan buat skripsi udah numpuk banyak banget di laptop dan rak buku sejak semester empat atau lima lalu. Tinggal dibaca, disortir, dan diajukan buat skripsi.

Intinya mulai Agustus ini hidup saya akan ‘normal’ lagi. Tapi saya bakal mengatur waktu dengan lebih baik, kok! Senin-Jumat untuk kuliah dan mengajar, Sabtu untuk mencuci, menulis, dan mungkin jalan-jalan, dan Minggu untuk istirahat dan nyiapin bahan buat pekan selanjutnya. Semoga istiqamah.

Special thanks Agustus ini untuk e-paper Kompas, warnet deket rumah, Indosiar dan CTChannel yang memutarkan film Jang Geun Suk, toko DVD bernama Chelsea yang menjual aneka film Jang Geun Suk dan Lee Min Ho, perpustakaan FISIP yang entah kapan beres melakukan katalogisasi buku jadi saya terpaksa cuman bisa pinjem skripsi doang, dan orang ganteng yang beberapa hari lalu ngobrol sama saya. Alhamdulillah, akhirnya saya ketemu juga sama orang ganteng. Alhamdulillah dia ngajak saya ngobrol. Selama ini hidup saya stak diajak ngobrol cuman sama pria-pria di kampus yang gantengnya masih kalah dibanding Bill Clinton atau Andre Taulani tapi mengaku mahaganteng. Sumpah, walaupun kegantengan oknum yang ngajak saya ngobrol lepas magrib itu belum bikin saya ngiris jari atau nyaris bunuh diri, saya tetap senang karena khzanah saya tentang orang ganteng akhirnya terluaskan. Hahaha. Preeet.

Big Congratulations buat adik saya yang Agustus ini akan mulai menjadi mahasiswa Sastra Jepang Unpad. Hubungan dekat HI-Sastra Jepang yang biasanya hanya dekat setiap ospek karena kita butuh PSBJ buat tempat SDC akhirnya akan dikukuhkan lagi dengan status adik saya yang menjadi mahasiswa di sana. Semoga nanti teman-teman HI bisa bilang gini ke penjaga PSBJ kalau mau minjem PSBJ, “Saya temen kakaknya Raki.” Hehehehhehe.

Yasudah. Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menunaikan, selamat hari kemerdekaan Indonesia bagi yang merayakan, dan selamat menikmati blog saya bagi yang mau menikmati.

Ark. Agt’10.

Tidak Menulis

Dua bulan tanpa tulisan? Hmmm…Ya, saya memang sengaja tidak menulis. Tepatnya, saya menahan diri untuk menulis. Saya sedang dalam proses membuang episode-episode tertentu dalam dua bulan terakhir ini dan membiarkannya larut bersama nafas yang saya buang.

Bukannya ingin membuang pelajaran yang saya dapatkan melalui episode mengerikan itu, hanya saja saya tak habis pikir mengapa pelajaran yang begitu indah itu harus datang melalui lorong yang membuat saya sesak. Saya hanya ingin menyingkirkan memori saya mengenai lorong itu. Hidup terus berjalan. Ada hal yang harus kita simpan, tetapi ada juga hal yang harus kita singkirkan. Jika saya ingin menyimpan memori tersebut, saya akan menulis, tetapi jika saya ingin menyingkirkan memori tersebut maka saya harus menghentikan keinginan dan kebiasaan saya untuk menulis semua hal yang saya lihat.

Pada akhirnya, saya sadar bahwa saya hanya manusia biasa yang tidak tahan atas hal buruk. Ketika saya dihadapkan pada hal buruk tersebut saya harus rela untuk menutup mata dan mengikat tangan. Saya harus berhenti berpikir untuk mencari jawaban atas pertanyaan Mengapa. Saya harus berhenti menuliskan rentetan pertanyaan Mengapa dan semua probabilitas jawabannya. Saya harus menyerah dan membiarkan Allah menyisipkan kekuatan pada saya agar bisa menerima dan memaafkan.

Ya, menerima dan memaafkan. Lagi-lagi saya harus berhadapan dengan dua terminologi ini. Menerima bahwa mereka adalah manusia biasa. Manusia yang selalu diincar setan. Manusia yang hatinya ditutupi oleh jelaga sehingga tidak dapat menerima hidayah yang begitu bening. Saya pun terbius. Saya benar-benar mengamini Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya. Saya benar-benar melihat jenis manusia yang dipaparkan Allah dalam kitab-Nya.

Saya sedih. Saya tahu bahwa perasaan sedih yang saya rasakan ini adalah ejawantah dari ketidakterimaan saya akan diri mereka yang selama ini saya anggap sebagai teladan namun ternyata mereka hanya manusia biasa. Ah, namun sepertinya mereka tak sebiasa itu. Bukankah Allah memberikan kita nurani sebagai indera terpenting kita yang akan menyelamatkan kita bila kita mulai terjerumus ke jalan yang tidak Ia ikhlasi? Masalahnya mereka telah menenggelamkan nurani tersebut entah kemana. Mereka pun tersesat dan malah membanggakan kehilangan nurani tersebut.

Lalu apa yang bisa saya lakukan?

Apa yang bisa saya lakukan selain menerima kecacatan hati mereka dan memaklumi tingkah mereka?

Mengapa saya harus berusaha untuk menemukan nurani mereka sehingga membuat saya lupa akan hidup yang harus saya lewati sendirian dan terus menghinakan diri saya di bawah tawa mereka yang begitu nyaman dengan ketiadaan nurani tersebut?

Saya yakin sudah saatnya saya berhenti.

Saya harus menerima keadaan mereka. Bagaimanapun juga, mereka bagian hidup saya. Menerima mereka tak ubahnya menerima jalan hidup saya. Saya tahu saya harus menyusun kepingan-kepingan dalam hidup saya dan memperbaiki lukisan hidup saya. Namun, sepertinya saya harus mengubah perspektif saya mengenai penyusunan dan perbaikan tersebut. Hidup saya merupakan sebuah sistem yang tersusun dari diri saya dan mereka. Tak ada yang bisa saya lakukan terhadap mereka, tetapi setidaknya saya bisa melalukan sesuatu terhadap diri saya. Saya harus melepaskan mereka lalu mengalihkan pada diri saya sendiri. Hari esok terlalu manis untuk saya lewati dengan kegalauan dan kekecewaan saya terhadap mereka.

Saya sayang mereka.

Lalu seperti yang selalu saya yakini, perasaan sayang, cinta, dan sejenisnya adalah racun yang bisa membunuh saya kapan saja. Ya, itulah yang saya rasakan beberapa waktu lalu. Andai mereka bukan siapa-siapa bagi saya, saya mungkin kebal terhadap wajah asli mereka. Namun mereka adalah pusat tata surya bagi saya. Saya adalah Bumi, atau mungkin Neptunus, yang bergantung pada sinar yang mereka pancarkan. Saya tidak bisa mengusir mereka dari kehidupan saya. Saya juga tidak sanggup bila harus beranjak dari orbit saya. Ketika saya tahu bahwa mereka tak semegah matahari, saya pun hancur.

Saya ingin membenci mereka. Namun tidak pernah bisa. Saya menyayangi mereka. Akhirnya, tanpa saya sadari saya pun memohon pada Allah agar mengampuni mereka. Ah, lagi-lagi itu refleksi pemaafan saya terhadap mereka. Persis seperti yang saya yakini, cinta, sayang, dan segala jenisnya adalah racun. Racun yang mengekalkan penerimaan atas penindasan.

Menerima dan memaafkan. Sejauh apa pun saya berlari dan setinggi apa pun saya meloncat, dua hal itu tak pernah bisa saya halau. Mereka bersemayam bahkan ketika saya tertunduk dalam jongkok dan berusaha membungkam sisi hati saya yang lain yang ngotot memperjuangkan argumentasi bahwa saya harus menghindari mereka, bahkan jika perlu mengganti identitas saya.

Namun saya juga sadar. Meski saya menerima dan ternyata memaafkan mereka, perasaan saya terhadap mereka sudah berubah jauh. Saya tidak bisa lagi mencintai mereka dengan cara yang sama seperti ketika saya belum tahu wajah asli mereka. Penerimaan saya atas mereka terutama tentang pengertian bahwa mereka hanyalah manusia yang tak luput dari jilatan setan membuat saya tak sanggup menengadahkan wajah lalu memandang mata mereka. Bahkan lidah saya pun kelu bila terpaksa harus bercakap dengan mereka. Saya waswas bila melihat mereka beramah tamah dengan saya. Entah mengapa otak saya selalu memutar episode kelam yang baru saya lewati dan berlanjut pada kemungkinan episode kelam yang nanti akan saya lewati lagi. Saya pun terancam. Saya yakin bahwa manis senyum yang mereka tawarkan hanyalah satu babak fana yang cepat tercerabut. Setelah senyum itu, saya tahu saya akan tenggelam lagi bersama lendir ingus yang keluar lebih banyak daripada air mata saya.

Terang pasti ‘kan datang. Itu kata Pure Saturday, kata Astrid, kata Bees. Saya juga selalu yakin akan hal itu. Keyakinan itu yang membuat saya tetap hidup meski jalan selalu berat, tak beraspal, lubang-lubang, dan menjadi lautan lumpur saat hujan datang. Namun saya juga sadar bahwa terang hanya akan datang ketika saya berada dalam gelap. Saya pun kini mengamini bahwa kehidupan ini hakikatnya memang gelap. Lihat saja luar angkasa. Semilyar bintang tetap tak dapat membuatnya menjadi terang benderang.

Akan ada banyak terang yang mampir dalam kehidupan saya, saya tahu itu. Tapi mereka akan pergi lagi dengan cepat. Saya pun harus berlari dengan cepat sambil membuka penglihatan saya lebar-lebar. Saya juga harus dapat melintasi jalur terang itu dengan tepat. Tidak boleh oleng sedikit pun. Saya tahu itu sulit. Dan itulah jembatan syiratal mustaqim sejati yang saya temukan.

Saya hanya ingin berlari menuju gerbang surga. Saya tidak mau terperangkap dalam kegelapan tata surya, kebutaan penglihatan, kejelagaan nurani, dan jangkitan penyakit hati. Saya sudah melihat orang-orang yang berarti dalam kehidupan saya yang tercocok hidungnya akan kegelapan dan menolak terang yang datang dalam kehidupan mereka.

Saya sedih. Ya, saya sedih. Namun kesedihan itu kemudian saya sadari tidak hanya sebagai ejawantah bahwa saya tidak dapat menerima bahwa mereka adalah manusia biasa yang gampang teperdaya, tapi juga sebagai kesedihan karena ternyata kami memiliki pilihan hidup berbeda. Kami berpisah. Secara jelas kami berpisah pada Juli 2010 ini. Saya pun akhirnya menyadari, bumi memang benar-benar berotasi dan be-revolusi. Perjalanannya telah mengantarkan kami menjadi individu-individu yang memiliki persepsi, falsafah, dan pilihan hidup berbeda. Tak ada yang bisa saya lakukan terhadap hidup mereka. Begitu pun mereka. Tak ada yang bisa mereka lakukan terhadap hidup saya.

Saya sebenarnya tidak tahu apakah jalan yang saya pilih jauh lebih baik daripada jalan mereka. Yang saya tahu, saya tidak mengucapkan hal-hal yang mereka ucapkan. Yang saya tahu, hal yang mereka ucapkan itu adalah hal yang tidak diperbolehkan oleh peraturan manapun. Saya juga tidak tahu benarkah terang yang saya lihat adalah terang yang dikirimkan Allah untuk saya untuk menunjukkan saya sebuah syiratal mustaqim yang harus saya lewati. Atau jangan-jangan terang yang saya lihat adalah muslihat setan? Atau jangan-jangan jalan hidup yang mereka pilih justru jalan hidup yang benar? Namun dalam menggapai terang yang saya rasakan ini, saya tidak melakukan hal-hal yang mereka kerjakan. Yang saya tahu, mereka mengerjakan hal-hal yang seharusnya dihindari.

Wallahu alam bi shawab.

Jika yang saya pikirkan dan kerjakan saat ini ternyata hal yang salah, semoga Allah menyeret saya ke jalan yang sejatinya benar. Saya akan selalu membuka penglihatan saya agar malaikat bisa masuk kapan saja untuk meletakkan peta jalan yang benar di hati saya. Saya juga akan mengatifkan radar agar setan bisa terdeteksi dengan mudah jika ingin memanipulasi peta tersebut.

Hmmm…

Ya, hidup akan terus berjalan dengan segala kilatan terangnya yang mampir. Saya sudah sendirian di sini. Dan memang sudah seharusnya saya sendirian. Menikmati memori indah, membuang kenangan buruk, dan menelusuri jembatan syiratal mustaqim saya.

Menyesakkan juga ternyata.

Ah, tapi mungkin karena saya belum terbiasa.

Semua akan menggelinding dengan baik pada akhirnya.

Ark. Jul’10.