Sebal yang Kini Tak Bisa Sembarangan

Rasa sebal bisa terjadi karena banyak sebab musabab. Saya pernah disebali oleh orang yang baru mengenal saya hanya karena saya mirip dengan mantan orang yang kini jadi kekasihnya. Saya mahfum. Sebagai sesama perempuan, saya tahu rasa sebal itu. Haha.

Saya juga sebal kepada banyak orang untuk alasan-alasan yang tak masuk akal. Tidak hanya untuk alasan kepentingan bersama seperti bau yang menyeruak setiap kali ia mengayunkan tangannya, tetapi juga untuk alasan nonteknis seperti karena ia adalah teman perempuan pacar saya yang saat bertemu di toilet umum tidak membalas senyum saya. 

Saya akui, saya mudah sebal untuk hal-hal yang kelewat antimainstream di benak saya. Hal-hal yang tidak pernah saya temui sebelumnya dalam hidup saya yang tenang. Hal-hal yang terjadi tidak sesuai dengan ekspekstasi saya. Hal-hal yang mengingatkan saya akan hal-hal yang tidak ingin saya tahu dan rasakan. Hal-hal yang mengganggu secara kodrati dan terlintas begitu saja. 

Dulu saya mudah mengekspresikan rasa sebal saya tanpa berpikir panjang. Waktu SMP saya pernah menenpeleng kawan lelaki saya karena ia terasa begitu mengganggu selama seminggu memamerkan nilainya yang 10 sementara saya hanya 9. Saya juga pernah mengalami teror kelas saya dikepung belasan kakak kelas karena saya bersikeras tidak mau memberikan komputer umum di perpustakaan saat kakak kelas saya menyelonong hendak memotong antrian saya. Itu hanya dua kisah heroik. Sejak TK, tiap tahun saya memiliki tumbal berupa orang yang terlibat baku mulut dan baku hantam dengan saya tanpa memandang gender dan usia. Prinsipnya, saat saya menganggap dia aneh karena tidak sesuai kaidah yang saya terima dalam sistem pendidikan saya, saya akan mati-matian membela keyakinan saya dan memojokkannya. 

Namun demikian, nampaknya saya kini harus mulai mengendalikan ketidaksukaan saya kepada orang. Alasannya klise, karena saya adalah makhluk sosial yang kelak pasti akan membutuhkan bantuannya. Dorongan lain adalah rasa tidak nyaman setiap kali saya harus bertemu dia dengan perasaan yang selalu gondok. Pertimbangan ini tentu berbeda dari pertimbangan saya saat mencoba untuk tidak sering-sering sebal kepada pacar saya. Untuk pacar, alasan saya adalah demi terwujudnya relasi sehat yang dilandasi oleh kesalingpahaman dan belajar untuk menertawakan hal-hal yang menyebalkan di masa kini menjadi hal lucu di masa mendatang. Plus, apalah saya ini yang sebenarnya juga memiliki banyak hal menyebalkan di mata pacar saya. Saya tentu tidak boleh kufur nikmat untuk gampang sebal dengan kebiasaan pacar saya yang kalau kentut buru-buru menempelkan hape ke pantat agar saya juga menikmati kentutnya dari kejauhan, padahal saya juga sering menyuruhnya menunggu saya di bawah terik matahari saat saya masih belum selesai mencatok rambut.

Kalau pilihan untuk banyak berdamai dengan orang-orang yang saya sebali untuk berbagai alasan dan motivasi, ya saya hanya ingin hidup tenang. Saya pikir, janganlah saya sering-sering menampakan ketidaksukaan saya karena ujungnya meja, kursi, pintu, dan silaturahmi menjadi taruhan. Berkarir dari bawah dan sendirian, saya pikir saya harus hati-hati memilih waktu untuk menyerang dan menahan diri. 






Ark.Okt.14

Untuk Nisan yang Memaksa untuk Dipercaya

Tidak banyak yang bisa saya ingat mengenai pertemuan-pertemuan saya dengan nenek saya yang baru seminggu ini menyandang gelar almarhumah. Entah kenapa. Saya hanya ingat ada suatu saat ketika nenek saya terkejut melihat kedatangan saya di rumahnya kemudian menanyakan banyak hal, termasuk apakah saya punya pacar. Dulu belum. Ah ya, jika jawaban saya adalah saya belum punya pacar, berarti hal tersebut terjadi antara tahun 2008-2012. 

Saya juga hanya ingat ketika saya pamit pulang sebentar untuk menginap di rumah nenek saya yang lain, almarhumah nenek saya yang ini menanyakan apa saya kan kembali lagi. Saya jawab ya. Esoknya saat saya kembali dengan perasaan malas, saya terkejut karena nenek saya sudah memasakkan saya nasi kuning, makanan yang menurut tante saya jarang dimasak oleh beliau dan memang beliau khusus memasakkannya untuk saya. Saya menyesal saya sempat merasa enggan menyambanginya hanya karena persoalan sepele macam malas mandi.

Pamit untuk pulang kembali ke Bandung, almarhumah nenek saya ternyata telah membekali saya dengan roti sisir yang dibelinya dari pasar. Saat melihat saya mengepaknya, beliau berkata dengan lega bahwa ternyata saya sudah bisa mengatur tas travel dengan sangat baik. Beliau kemudian juga membekali saya dengan banyak hal dari toko yang dibukanya di depan rumah. Dari mulai biskuit hingga pembersih wajah. Haha. Sembunyi-sembunyi dari tante saya, beliau membekali saya uang Rp20.000.

Itu yang saya ingat mengenai pertemuan terakhir saya dengan beliau bertahun-tahun lalu yang bahkan saya tak bisa mengingat pada tahun berapa itu terjadi. Tak sering saya ke Surabaya tapi bahkan saya tak bisa mengingat dengan baik kapan momen itu berlangsung.

Berat bagi saya untuk mempercayai bahwa nenek saya telah tiada, dua hari sebelum ulang tahun saya. Saya tahu beliau sakit-sakitan dan menjadi sangat pendiam sejak kakek saya meninggal 7 tahun silam. Saya juga berjanji pada diri saya sendiri untuk menjenguknya ke Surabaya tahun lalu. Ah, tapi ternyata janji tinggal janji. Saya tak kunjung menepatinya karena banyak hal dan banyak pertimbangan. Selama ini saya hanya bisa berkata dalam hati, "Tunggu ya, Mbah. Jangan dulu meninggal sebelum aku ke sana."

Ada perasaan terkhianati saat ayah saya mengabari bahwa nenek saya meninggal. Entah terkhianati karena apa. Toh, saya sendiri pula yang tak kunjung menyambanginya dan 'membayar' Rp20.000-nya yang dulu disisipkan kepada saya saat beliau tahu hidup terasa keras bagi saya. Selain itu, saya pula yang memutar-mutarkan pembicaraan saya dengan nenek saya di telepon setelah pertemuan terakhir itu saat nenek saya menanyakan kapan saya kembali dengan suara yang terisak. Saya pula yang....ah entahlah, ada banyak hal. Tapi saya terhenyak ketika saya merasa ditinggalkan di sini tanpa tahu keadaan beliau yang terakhir.

Perasaan ditinggalkan ini serupa dengan perasaan yang selalu saya miliki di usia SD saat almarhumah nenek saya sering bertandang ke Bandung untuk waktu yang lama kemudian kembali ke Surabaya untuk mengurus beberapa hal. Saya bisa berguling-guling menangis di kamar beberapa hari saat beliau pamit berangkat ke terminal. Saya akan kembali riang saat dikabari beliau akan ke Bandung lagi dan saat beliau datang, saya akan memberondongnya setiap hari dengan pertanyaan, "Sampai kapan di Bandung?" hanya untuk menyiapkan mental saya saat nanti ditinggal pulang. Tapi tetap, bahkan dengan perisai yang saya buat itu sendiri pun, saya masih akan tetap menangis saat beliau mengepak pakaiannya pulang.

Tak terlalu banyak alasan kenapa saya menyayangi beliau. Tidak seperti teman saya yang kerap diceritakan kisah revolusi kemerdekaan RI dari kakek dan neneknya, kenangan saya dengan nenek saya hanya sebatas beliau adalah orang yang selalu paling pertama saya temui saat saya ingin jajan. Saya tidak diberi uang saku oleh orang tua saya, hanya dibekali nasi goreng, indomie goreng, telur ceplok, teh kotak, susu ultra, dan terkadang dunkin donut dengan kupon bonus 2 donat untuk pembelian selusin yang digunting dari sampul depan Majalah Bobo. Makanan yang kurang ngetren di tengah kepungan cilok, baso ikan, dan es petojo di depan sekolah dan di ujung gang. Sementara itu, almarhumah nenek saya menyimpan banyak sekali recehan di tasnya dan banyak sekali makanan di toples yang disimpannya di lemari baju. Hanya dengan saya beliau berbagi makanan yang dibeli dan disimpannya sendiri. Kebiasaan saya saat di rumah setiap pagi minta jatah sesajen dari ibu saya yang pergi ke warung untuk juga dibelikan makanan ringan menyejarah dari situ juga.

Ah, iya, Almarhumah nenek saya pun punya sejarah dalam memupuk jiwa enterpreneurship. Ketika SD saya punya usaha menjual notes yang saya buat dari kertas HVS, karton, dan kertas kado. Hal tersebut tidak terlepas dari suntikan modal dari almarhumah nenek saya. Saat beliau ada di Bandung, beliau memberi saya uang seratus dua ratus rupiah. Ketika beliau kembali ke Surabaya, saya diberi Rp5.000. Uang itu yang saya putar untuk dapat terus jajan meski tidak disuplai oleh orang tua. Ahahaha.

Hal lain yang saya ingat dari nenek saya adalah titahnya untuk mencarikan uban dan memijat betisnya yang varises setiap malam. Sampai sekarang saya masih ingat tekstur kakinya sejak saya SD hingga SMA yang bertambah keriput. Ada kesenangan tersendiri bila saya menarik kulit kakinya. Rasanya gimana gitu, lho, seperti menarik payung di leher reptil yang sedang berteriak.

Dibanding dengan nenek dan kakek lainnya, saya paling dekat dengan almarhumah nenek saya yang ini. Kata ayah saya, karena saya adalah cucu pertama dan karena di masa balita, saya selalu diasuh nenek saya selama ibu saya kuliah. Saya tidak ingat bagaimana momen itu berlangsung, hanya saja menurut ayah saya, sambil menunggu ibu saya pulang, agar saya tidak selalu menangis, nenek saya mengajak saya berpanas-panas keliling kampung dan pasar. Mungkin dari situ juga saya selalu suka belanja.

Ah, entahlah. Hanya itu yang bisa saya ingat mengenai relasi saya dan nenek saya. Berat juga rasanya mulai saat ini saya harus menyadari bahwa nenek yang saya minta tunggu saya di Surabaya itu telah pergi tanpa menunggu saya yang memang tidak bisa ditunggu. Berat juga rasanya memori saya atas paras beliau kini harus bersanding dengan gambar gundukan tanah berbatu yang dijadikan kuburannya yang tadi pagi baru dikirim ayah saya. Seolah keyakinan yang saya pegang di dalam hati saya bahwa nenek saya masih di Surabaya memesan roti sisir sudah haram untuk dipertahankan. Seolah lidah saya dipaksa untuk segera mengucap selamat tinggal dengan paripurna, menutup dialog bergejolak dengan diri saya sendiri saat shalat gaib dan saat mengirimkan yasin dan alfatihah selepas shalat fardu.

Kangen Mbah Dewi.




Ark.Okt.14.

Selamat Jalan, Pak Indra


"Bu, Pak Indra meninggal, cek fesbuk Pak Rian."
"Innalillahi wa innailaihi rajiun, telah meninggal pimpinan Ganesha, Bapak Indrayanto Sabtu, 12 Juli 2014 pukul 23.15. Semoga amal ibadah beliau diterima Allah, diampuni dosanya, dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan."

Mata saya masih setengah tertutup dan kesadaran saya belum pulih benar saat saya membuka dua notifikasi sms pagi Ramadhan itu. Pak Indra? Meninggal? Maksudnya? Ya Allah? PAK INDRA? MENINGGAL? Hah, ini gimana, maksudnya apa?
Saya membalas dua sms tersebut dengan ketidakpercayaan lalu saya membuka fesbuk Pak Rian. Saya berusaha menolak apa yang saya baca. Namun memang itu kenyataannya. Pak Indra telah berpulang. Pikiran saya lalu melayang pada Bu Tari, istri Pak Indra. Lalu Ilham, Uzi, Rara, dan adik kecilnya yang baru beberapa belas bulan lalu lahir. Adik saya yang sejak tahun lalu meneruskan saya mengajar di Ganesha kemudian mengingatkan hal yang lebih ironis, "Mana besok [Ilham, Uzi, Rara] masuk sekolah..." Ah, iya, besok hari pertama Uzi dan Rara, anak kembar Pak Indra, masuk SMP. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya masuk sekolah baru dengan babak kehidupan yang juga baru tanpa ayah yang selama ini mewanti-wanti belajar yang keras agar bisa masuk sekolah yang baik.
Pagi itu, saya juga menyesali keputusan untuk tidak pulang pada pekan ini ke Bandung. Andai saya pulang, saya bisa memberi penghormatan terakhir kepada atasan yang dengan baik hati telah membesarkan saya selama 5 tahun. Saya berutang budi banyak sekali kepada beliau. Berat sekali akhirnya saya hanya bisa mengirim sms belasungkawa kepada Bu Tari.
Terduduk di kamar asrama, saya teringat pembicaraan pada suatu malam di Ramadhan tahun 2011, sehabis acara buka bersama Ganesha dalam perjalanan kembali menuju Cibiru setelah mengantarkan guru-guru cabang di area belakang. Di mobil ada Bu Sukroh yang menyetir, Pak Tedi di sebelah Bu Sukroh, dan saya yang duduk di kursi tengah Avanza.
"Gimana ya, Pak, Bu, kehidupan kita nanti setelah ini?" tanya saya memecah kantuk Bu Sukroh yang bosan dengan pemandangan jalan raya yang gelap-gelap saja.
Agak lama tak ada jawaban, akhirnya Pak Tedi buka suara, "Ya, yang pasti akan bertambah baik." Bu Sukroh mengamini namun pikiran saya masih melayang. Iya ya akan seperti apa hidup setelah ini, duh lulus kuliah juga belum, begitu pikir saya saat itu.
Saat bertanya itu, saya sedang takut-takutnya berpisah. Saat itu, terutama setelah outing Ganesha ke Pangandaran akhir tahun 2010, silaturahmi guru-guru Ganesha sedang erat-eratnya. Pak Indra juga sedang nyaman-nyamannya mengayomi kami. Persoalan padatnya jadwal promo -yang selalu berhasil saya hindari karena malas bangun pagi dan dibalut alasan, "Ada kuliah, Pak," dan iritnya jatah fotokopi latihan soal adalah hal lain. Yang jelas, Ganesha adalah rumah kedua, literally, bagi saya dan guru-guru lain. Bagaimana tidak, di Ganesha kami bisa menghabiskan waktu untuk mengajar sejak jam 7 pagi sampai setengah 9 malam, bahkan dari Senin hingga Minggu, minimal di 6 cabang, tak terhitung jumlah kelas yang dipegang.
Ya, tentu tidak setiap hari jadwal full Senin-Minggu seperti itu. Hanya beberapa kali saja di musim ujian. Lagipula ada jeda-jeda tertentu di antara kelas pukul 7-20.30. Meski lelah, nyatanya padatnya jadwal tersebut tidak membuat stres karena jalinan kebersamaan dengan murid, pengajar, dan sekretaris cabang juga begitu kuat. Kedekatan dengan Pak Indra dan keluarga juga sangat erat karena frekuensi peredaran Pak Indra, Bu Tari, Ilham, Uzi, dan Rara yang juga tinggi ke berbagai cabang.
Kembali pada ingatan saya akan malam Ramadhan di Avanza kantor, pembicaran itu sampai saat ini selalu terasa nyata. Terlebih saat ternyata perpisahan itu mulai datang pelan-pelan menyerang lingkaran pertemanan saya yang tercipta karena lamanya jam beredar di Ganesha dan mendapat jadwal berdekatan. Pak Tedi mulai sibuk di kantor barunya sehingga hanya mengajar di malam hari dan akhir pekan –lalu belakangan menghilang lalu juga menikah, Bu Ina pindah ke Jakarta, Bu Sukroh dan Pak Rian makin jauh melanglangbuana ke cabang-cabang baru, Bu Egy mengajar di sekolah dan lebih banyak mengambil jadwal di Cicalengka, Pak Ajat menikah, Pak Dicky menikah, Bu Ely dan Bu Sukroh juga menikah, dan beberapa bulan selepas saya lulus saya juga hijrah ke Jakarta. Kini, perpisahan itu makin terasa dengan berpulangnya Pak Indra ke sisi Sang Pencipta tanpa disangka-sangka karena sakit yang juga tiba-tiba.
Entahlah, rasanya……Byaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr….hal yang dulu retak-retak kini berhamburan pecah, hilang, dan meninggalkan banyak pertanyaan kenapa.
Saya benci sekali dengan perpisahan meski dalam hati saya selalu berusaha menerima bahwa perpisahan adalah hal yang pasti akan selalu saya alami. Pun mengenai perpisahan yang ini, yang bagi saya tak ubahnya seperti perpisahan dengan keluarga. Pak Indra, orang yang selalu kami ‘jaga’ kehadirannya dengan sms notifikasi semacam,
“Bu, jangan telat ya, Pak Indra udah otw ke Rancaekek dari Cicalengka,”
“Bu, Pak Indra lagi di Ujungberung ngga?”
“Si Bapak mau kemana Bu, habis ini?”
bagaimanapun juga adalah orang baik yang pernah memperkerjakan saya selama 5 tahun. Saya masih ingat saat pertama kali melamar pekerjaan, dites mengajar, diwawancarai oleh beliau saat saya masih menjadi mahasiswa semester 2. Kepercayaan beliau untuk menerima saya menjadi pengajar Bahasa Indonesia, lalu bertambah menjadi pengajar Bahasa Inggris pada saat itu adalah pintu yang dibukakan Allah untuk saya sehingga bisa hidup baik-baik saja selama kuliah. Gaji yang diterima tiap bulan tentu adalah salah satunya, tetapi yang lebih terasa hingga kini adalah ilmu dan kepercayaan diri yang terbangun selama di Ganesha.
Mengingat sosok Pak Indra, beliau adalah orang yang sangat kompleks dalam pemikiran saya, bahkan hingga saat ini. Itu juga yang menyebabkan saya masih belum bisa percaya bahwa Pak Indra sekarang sudah tiada. Dedikasinya yang begitu luar biasa akan usaha yang dibangunnya susah payah adalah hal yang begitu sulit dirumuskan dengan kata-kata. Kadang saya sebal pada Pak Indra. Biasa, bawahan males mah kayak begini hehe. Kadang saya paham dan menghargai juga mengapa Pak Indra mengambil keputusan A, B, C, dan sebagainya. Kadang Pak Indra juga nampak acuh dengan beberapa persoalan. Tapi tak jarang pula saya malu dan salah tingkah karena Pak Indra tahu hal-hal personal dan percintaan saya hahahaha. Pernah pula Pak Indra nampak keras kepada anak-anaknya dari soal jajan di luar hingga jadwal les yang sangat padat. Namun saya juga tersentuh saat melihat Pak Indra bercengkrama dengan anak-anaknya saat jeda jadwal belajar. Saya juga terpesona saat saya tahu Pak Indra memanggil Bu Tari dengan panggilan, “Yang” di umur mereka yang senior dan di depan kami semua.
Mengingat lagi pembicaraan di Ramadhan 3 tahun lalu itu, perginya Pak Indra tadi malam Ramadhan kali ini telah membuat tradisi Ramadhan yang baru bagi Ganesha. Biasanya tiap Ramadhan Pak Indra akan mengumpulkan kami dalam acara buka bersama. Saya selalu mendapat jatah membuat angket guru dan cabang, jadi MC dengan Pak Rian, dan ikut mengantar pulang guru-guru  dengan Bu Sukroh dan Pak Tedi. Bu Ely belanja hadiah, menyiapkan jadwal acara, makanan, dan dekorasi. Bu Sukroh jadi seksi sibuk segala urusan dalam dan transportasi. Pak Tedi menyiapkan slide acara dan pernah juga jadi ustad dadakan. Semua bergembira, terutama Pak Indra. Beliau banyak sekali menebar senyum –meski sempat juga tegang saat menyempaikan evaluasi tahunan hihi-, menyapa dan meledek guru dengan akrab, dan semangat mengajak foto bersama. THR dan bingkisan juga menjadi penyemarak. Ah, Pak Indra.
Mulai kini, sepeninggal beliau, entahlah bagaimana Ramadhan akan terlewati. Semua pasti akan berbeda tanpa Pak Indra meski saya yakin semua juga akan tetap baik-baik saja  atau bahkan lebih baik lagi seperti yang diyakini Pak Tedi. Sudah banyak kebaikan yang ditanam Pak Indra, baik bagi Ganesha dan bagi keluarganya sehingga tentu ya…hidup akan selalu berjalan dengan baik. Ya tapi, kehilangan itu akan selalu terasa.
Ada yang berkata bahwa orang yang meninggal pada bulan Ramadhan adalah orang baik. Saya jadi curiga bahwa memang memang kejadian yang begitu mendadak ini adalah skenario yang sengaja dibuat untuk menunjukkan bahwa Pak Indra memang orang baik. Ah, tapi bagi saya, beliau memang orang baik, tidak peduli beliau meninggal pada bulan Ramadhan atau bukan. Kalau saya menyesali mengapa beliau meninggal pada bulan Ramadhan tadi malam, itu hanya karena saya merasa masih berutang budi pada beliau dan belum sempat mengunjunginya setahun ini, bahkan ketika saya mendapat kabar beliau masuk rumah sakit dan malah kini niat saya ditikung ajal. Sedih sekali rasanya saya hanya bisa mengantar kepergian beliau melalui posting ini dan sedikit doa tadi pagi.
Saya tidak tahu harus menulis apa lagi. Perasaan saya masih penuh dan otak saya masih berusaha meyakinkan diri bahwa Pak Indra sudah tiada. Sementara ini, saya hanya bisa mengucapkan, “Selamat jalan, Bapak. Banyak tersenyumlah di sana.”


Ark.Jul’14.

Menunggu di Depan Pintu


Sepertinya tidak ada yang tahu mengenai hal yang ingin saya tuturkan di sini, termasuk ayah saya. Saya tidak pernah menganggap bahwa laki-laki adalah makhluk yang baik, terutama dalam hal ingin menyenangkan hati orang lain, ya salah satunya karena apa yang saya lihat sejak saya kecil.

Ayah saya seorang pekerja keras. Ketika masih bekerja di Bandung, setiap pagi saya selalu melihat ayah saya ganteng sekali mengancingkan lengan panjang bajunya yang rapi. Saya yang masih kecil akan dengan bersemangat mengambilkan sepatunya yang telah saya semir setiap jam 6 pagi sekadar agar saya terlibat dalam ritual pagi ganteng ala ayah saya. Ayah saya lalu akan berjalan untuk mengeluarkan mobil, saya mengantarnya dengan lambaian tangan di depan pagar.

Saya selalu bangga karena ayah saya ganteng dan pintar hehe. Pokoknya ayah saya yang paling hebat di dunia. Setiap hari saya selalu ingin menceritakan hal baru tentang ayah saya kepada kawan-kawan namun sayangnya tidak sampai di akhir pekan, saya kehabisan bahan. Oleh karena itu pula saya selalu merindukan momen libur di akhir pekan agar saya bisa bercengkrama dengan ayah saya.

Namun apa dikata, pekerjaan yang padat bagi seorang pekerja keras hanya akan meninggalkan lelah sejak Jumat malam. Itu yang saya baru pahami hari ini ketika saya sudah bekerja. Perjalanan pengertian yang sungguh lama sejak saya mulai mengenal konsep ayah dalam perkembangan pengetahuan anak.

Ayah saya tidak tahu betapa saya merindukan akhir pekan hanya untuk mendengar cerita-ceritanya atau mendengarkan cerita saya. Ayah saya juga tidak tahu bahwa di setiap tidurnya yang panjang pada akhir pekan, saya berkali-kali melongokkan kepala di pintu kamar untuk menunggunya terbangun lalu merangkul saya bersamanya sambil bercerita, jika memang ayah saya tidak cukup kuat untuk mengajak saya berjalan-jalan keliling kota dengan mobil Katana yang pada saat itu menjadi tren. Setiap Sabtu dan Minggu pada masa itu adalah penungguan akan kejutan menyenangkan namun sayangnya selalu ditutup dengan upaya penabahan diri anak-anak atas ungkapan, "Aba capek." 

Lama-kelamaan, sambil tetap menunggu Sabtu dan Minggu untuk bermain banyak dengan ayah saya, saya pun menjadi dewasa sendiri. Dewasa dalam arti menganggap bahwa keinginan terdalam saya itu tidak akan selalu disambut degan semangat ayah saya yang semenggebu saya. Ayah saya hanya tahu bahwa Sabtu dan Minggu adalah hari pelepasan penat, tanpa tahu bahwa saya sejak Senin hingga Jumat menunggu Sabtu dan Minggu untuk pelepasan rindu. Ya, walaupun saya setiap malam juga masih betemu ayah saya dan ditanyai soal sekolah. Entahlah, saya juga akhirnya menjadi lebih dewasa dengan berkata pada diri sendiri bahwa saya seharusnya sudah cukup bersyukur dengan pembicaraan singkat setiap malam dengan ayah saya.

Bukan berarti ayah saya sama sekali tidak pernah mengajak saya berjalan-jalan panjang pada Sabtu dan Minggu. Ada momen ketika ayah saya mengajak kami berjalan-jalan yang selalu saya anggap istimewa. Ayah saya tidak tahu bahwa selepas saya tahu rencana pergi esok hari, hati saya membuncah dan melonjak yang kekuatannya cukup untuk menggerakkan saya memilih-milih baju yang akan saya kenakan esok sambil otak saya berencana akan membicarakan apa saja besok dengan ayah saya dan tentu saja menerka-nerka besok ayah saya akan bercerita apa. Ya tapi momen itu terlalu istimewa  -penghalusan dari istilah : sedikit.

Beranjak umur, dengan tetap menyayangi ayah saya tidak peduli beliau suka mengajak saya berjalan-jalan atau tidak di Sabtu-Minggu masa kecil saya, kedewasaan yang ditempa dari pemaksaan diri untuk menerima apa yang saya terima ternyata menjadi ketidakpercayaan saya bahwa laki-laki memiliki kepedulian untuk menyenangkan orang di sekitarnya. Saya selalu menganggap bahwa ketika laki-laki membuat orang di sekelilingnya senang, ya dia melakukannya karena dia memang mau, bukan karena mau menyenangkan orang itu. Saya selalu skeptis dengan cerita teman-teman lelaki saya yang mengatakan betapa mereka ingin menyenangkan istrinya. Setahu apa mereka dengan keinginan yang sebenarnya ingin disuarakan istrinya tapi akhirnya tidak dibicarakan karena takut membebani mereka? Ya seperti ayah saya yang merasa sudah membuat saya senang sepanjang hidup tapi tidak tahu bahwa saya menunggunya bangun di setiap jam pada Sabtu dan Minggu.

Ah, iya. Sekarang ayah saya sudah pensiun, sudah banyak waktu untuk mengurus keluarga. Ada titik dimana saya iri dengan adik saya tapi juga saya sudah terlampau malas untuk mendekat. Adik saya bahkan tidak usah menunggu dengan sabar pada Sabtu dan Minggu untuk dibawa berkeliling kota atau dirangkul dalam tidur karena ayah saya setiap hari dengan semangat yang tinggi mengantar jemput adik saya ke sekolah dan ke tempat latihan renang dan kempo, bahkan les juga. Saat saya masih tinggal di rumah pun ayah saya beberapa kali berniat mengantarkan saya ke kampus atau rumah murid privat saya, tapi ah sudahlah saya malas. Saya sudah cukup terbiasa dengan penungguan yang tidak tentu akhirnya akan seperti apa sehingga saya menganggap bahwa tidak ada yang peduli juga dengan penungguan saya. Ya sudah.

Meskipun demikian, saya juga mungkin harus berterima kasih pada 'cara mendidik' ayah saya yang membuat saya menjadi seperti sekarang. Laki-laki pekerja keras dan tidak sadar kehadirannya ditunggu tentu bukan ayah saya saja. Selain itu, berkaca pada ketidakpercayaan saya akan laki-laki yang mau menyenangkan orang lain tanpa dorongan dari dirinya sendiri, ya berarti episode penungguan yang tidak disadari itu juga tidak akan sekali saya alami. Bahkan mungkin kelak juga akan dialami anak saya. Ya sudahlah. Semoga nanti anak saya juga akan baik-baik saja seperti yang akhirnya saya putuskan.

Surat Acak-acakan untuk Ayie Annisa



Untuk sahabatku tersayang, Annisa Utami Seminar yang baru saja menjadi seorang istri

Pertemuan pertama kita, sebagaimana yang dialami oleh HI Unpad 2007 adalah ketika menyiapkan Makrab. Beberapa kali kami menyambangi kostmu yang memiliki seprei bergambar strawberry dan halamannya bergazebo. Aku lupa kita mengerjakan apa, sepertinya tidak jauh-jauh dari membicarakan orang. Ahahaha. Pertemuan berikutnya adalah saat kita menjadi MC di Makrab bersama Dewa dan Nizar. Tapi, karena dulu aku tidak berpasangan denganmu, interaksi kita tidak terlalu intens.

Ah, iya! Sebelum Makrab juga kita sering bertemu. Saat itu kamu sering ke lapangan basket di POMA bersama abang-abang yang pada semester akhir kita sering diawasi manajer di Che.co, "Teh, teh, teh si Aa itu ke sini sama cewek lain loh, ih ga asik!" Ahahaha. Dulu jujur sih, aku sempat memandang sebal kepadamu, "Ngapain sih, itu outsider dibawa ke HI!" -ngga gini juga sih bahasanya- hahaha. Ya pokoknya dulu sempat heran kenapa gadis lucu sepertimu harus bersama pria yang penampilannya sangar dan suka menarik rambut ke belakang *ditawur se-Faperta.*

Kamu dulu adalah orang yang tidak mendapat banyak pandangan dariku. Alasannya ya karena kita jarang bercengkrama bersama. Aku baru menggantungkan hidupku pertama kali kepadamu saat ada tragedi angkatan hahaha. Itu tuh yang kesalahpahaman soal siapa menggunjingkan siapa. Meskipun aku jarang berinteraksi denganmu pada masa sebelum itu, aku yakin kamu mampu menjadi penengah yang netral antara dua kubu. 

Dan ternyata benar. Sejak saat itu, aku tahu bahwa Annisa Utami Seminar atau Ayi adalah orang yang akan menjadi saksi dalam momen penting pada hidup perkuliahanku. Ahahahahaha.

Ayi, si gadis lucu itu akhirnya memang menjadi sahabatku. Dia selalu jadi orang pertama untuk berlari setiap ada senang atau sedih. Chatting hingga subuh, smsan kayak orang bego, twitteran kayak orang gila, komen-komenan di fesbuk kayak orang bener, sampai stalking orang tak dikenal di kafe berwifi. 

Hmmm, tapi Ayi tak hanya menjadi sahabatku. Ayi adalah sahabat semua orang. Entah kenapa, padahal Ayi kalau naik mobil hanya mau duduk di sebelah kursi kemudi. Hmmm, mungkin semua itu terjadi karena Ayi selalu mendengar sambil berjoget. Mungkin Ayi selalu menasehati sambil bersikap lilin. Mungkin Ayi selalu memeluk sambil memesankan nasi goreng. Mungkin Ayi selalu bisa menghapus air mata *hoeeek* tanpa tisu. Mungkin Ayi selalu menanggapi gunjingan orang dengan komentar yang lucu menyentil hingga ke imajinasi yang tak terbayangkan. Mungkin karena idealisme Ayi tidak pernah bertentangan dengan moral kolektif. Mungkin karena Ayi punya segala sesuatu untuk dikatakan sebagai seorang sahabat publik.

Ayi adalah orang yang memodifikasi karya fotografinya untuk aku hanya untuk mengatakan jangan menyerah pada skripsi pada saat tertekan. Ayi juga yang membaca baris demi baris email dari si bedebah congcorang yang sudah menikamkan sembilu di hatiku *alaaah* dan tak jemu-jemu meneriaki aku untuk tidak lagi bersikap bodoh. Ayi adalah mama yang membuatkan scrapbook digital untuk Dewa sehingga seluruh dunia tahu bahwa Dewa pernah menari hula-hula pada masa kecilnya.

Hmmmm. Ayi sekarang sudah menikah dengan Kang Agus, orang yang aku yakin sudah menjadi orang paling bahagia di dunia ini sejak tanggal 12 Januari 2014 lalu, terlihat dari senyumnya yang sumringah dan ikhlas di dalam setiap jepretan foto. Aku curiga jangan-jangan Kang Agus ini memang punya bakat sebagai fotomodel kawakan yang wajahnya tipikal camera-face. Ah, tapi memang Kang Agus sangat sangat pantas bahagia. Bagaimana tidak, sekarang ada Ayi yang siaga menepuk punggungnya saat Kang Agus dihadapkan pada situasi sulit semacam ketika Fahmi menggendong Alex di pelaminan usai foto pernikahan. Tidak ada cobaan di dalam mahligai rumah tangga yang lebih berat setelah menyaksikan kerusuhan HI 2007 di panggung. Yakinlah itu, Kang Agus.

Hmmmm. Sebenarnya saya mau menulis hal romantis untuk pernikahan Ayi ini. Sebenarnya saat melihat pameran foto pernikahan yang diunggah Dewa di facebooknya, saya sudah terharu. Sudah mau menetes-neteskan air mata ke pelimbahan. Saya mau bilang, saya bahagia Ayi menikah. Saya senang Ayi sekarang sudah tidak jomblo seperti piiiiiiiiiiiiiiiiiiiiippppppppp sinyal ilang. Saya senang Ayi sudah punya sandaran bila sedang pegal punggungnya. Saya senang akan ada yang Ayi rajutkan sweater saat Ayi sedang ingin menjadi wanita seutuhnya. Saya senang Ayi telah menjadi perempuan yang sangat sangat sangat dicintai oleh suaminya. Ayi, kamu pasti pasti pasti akan bahagia seperti yang selalu kamu bilang di tembok-tembok rumah kosong!

Rasa senang saya sepertinya lebih besar daripada rasa kehilangan. Ya, apa sih artinya kehilangan kawan chatting hingga subuh, toh saya juga nggak punya akses internet di kamar kosan hehehe. Hmmm, ya tapi sedikit kehilangan beneran juga, sih. Masihkah engkau bisa kupeluk saat badai menerjang, Ayi? Aaaaaahhhh, atuhlah saya mau menulis serius tapi kenapa sulit sekali!! 
Oke, mari perbaiki. Iya Ayi, jadi ceritanya aku senang tapi aku sedih. Aku senang karena aku yakin kamu pasti akan bahagia, tapi aku sedih karena aku nggak tahu apa kita bisa seperti dulu saat tak punya siapa-siapa untuk digenggam. Ah, Ayi, tapi jangan peduli soal kesedihan. Fokus di sini adalah kebahagiaan.

Ayi, selamat ya sudah menjadi istri. Kamu sekarang punya orang pertama untuk kamu ceritakan banyak hal dari hari-harimu. Sekarang kamu hanya perlu untuk peduli mengejar cita-cita setinggi mungkin. Di bawah sudah ada yang akan menangkap dan membantumu untuk lompat lagi. Jangan lupa kalau masak diinfokan ke twitter pakai emoticon cun pipi ya. Biar Bayu tahu bahwa itulah keutamaan memiliki istri.

Ayi, aku nggak tahu harus bilang apa lagi. Posting ini juga sudah ngalor ngidul entah bicara apa, antarparagraf sudah tidak ada kohesi dan koherensi. Aku nggak tahu bagaimana caranya mengungkapkan semua semua semua semua perasaanku kepadamu. Ayi, aku senang punya sahabat seperti kamu. Aku senang kamu akhirnya masuk ke gerbang yang katanya sih ada happily ever afternya. Aku senang kamu senang di hari itu. Mmmmmmuuuuaaahhhh!!!

Ayi, aku sayang kamuuuuu Mamaaaaa~~~~~~~~



Pengantar 2014: Dari Migas, Jay Chou, dan Lolos Tes CPNS

Perasaan sih, terakhir saya tidur itu saya masih pakai seragam putih biru. Eh, kok pas bangun, saya tiba-tiba ada di dimensi waktu 2014 ini. Wah, apa yang terjadi?

Lebay, ahahaha.

Sudah masuk tahun 2014, nih sekarang. Akhirnya tahun 2013 terlewati sudah dengan beragam perisitiwa yang tidak terbayangkan pada waktu sebelumnya. Sebenarnya sih, saya ngga suka sama angka 13. Saya sempat pesimis juga sama tahun 2013, apalagi saya melewatkan tahun baru 2013 dengan penuh pertanyaan. Habis lulus, wisuda, dan diterima S2 HI Unpad, lalu apa? Apalagi, akhir tahun 2012 ada keputusan ngga mengenakkan juga soal kebijakan beasiswa dari kampus dan kesempatan untuk menjadi dosen. Intinya, saya menghadapi jalan buntu.

Namun demikian, ya ternyata kebuntuan itu membawa saya pada hal baru yang sekarang saya jalani. Senang juga ternyata menjalaninya.

Awal tahun 2013, saya diterima bekerja di perusahaan trading minyak nasional sebagai staf perizinan. Pekerjaan saya mengurusi perizinan usaha. Bacaan yang saya baca sudah bukan lagi Great Debate, tapi Peraturan Menteri hahaha. Mau tanya Peraturan Menteri yang mana? ESDM? Hukum dan HAM? Lingkungan Hidup? Silakan, silakan haha. Kebijakan perminyakan yang biasanya di koran saya baca biasa saja, berubah jadi malapetaka lembur di Ditjen Migas untuk melobi dari staf, Kasie, Kasubdit, Direktur, hingga Dirjen agar selembar kertas sakti terbit. Belum lagi urusan administratif kantor soal perizinan. Kronologis berupa surat menyurat juga saya wajib hapal untuk keperluan defensif kalau kantor komplain, "Kenapa izin ini keluarnya lamaaaaa? KENAPA?"

Sebenarnya jobdesk saya hanya untuk Government Relations, tapi di tengah perjalanan ada senior saya yang dipromosikan jadi manager sehingga pekerjaannya dilimpahkan ke saya, yaitu menangani sponsorship. Nah, ini yang susah. Telepon di meja saya ngga berhenti berdering. Bukan cuma dari direktorat lain yang menagih perizinan, tapi juga dari pihak-pihak yang meminta sponsorship. Ditanya ikut partisipasi atau engga, ditagih materi iklan, ditanya perkembangan pembayaran sponsor, tralala trilili banyakkkk. Masalahnya, saya juga jarang di kantor karena sering nongkrong di Migas. Ya udah, kalau yang nanyanya niat mah menghubungi sampai ke hp, kalau yang ngga niat-niat amat tapi butuh mah nelponnya tetap ke kantor tapi akibatnya saya jadi dijutekin resepsionis gara-gara jarang di tempat.

Saya kadang sebel, sih. Gila, ini ada aja pekerjaan. Baru duduk, udah ditelpon. Baru tutup telepon, udah dipanggil. Baru dipanggil, udah disuruh ke Migas lagi. Baru sampai di Migas, di kantor udah ada yang kirim titipan permintaan izin baru atau kirim bukti iklan. Ya Allah. Ahahahaha.

Tapi, tapi, tapi, tapi.....

Saya senang!

Pertama dan normatifnya, saya jadi punya pengetahuan baru. Yang paling penting, saya tahu bahwa kehidupan di lapangan itu jauh berbeda dari di buku teks. Saya juga jadi tahu bagaimana cara menghadapi orang-orang yang aneh dan bagaimana rumus melobi dengan melihat contoh dari manager saya. Saya beruntung nggak cuma hidup di dunia kampus. Ya, intinya tingkat kepolosan saya agak berkuranglah selama hidup di Jakarta sebagai staf external affairs.

Kedua, ini jauh lebih penting lagi sih dan riil. SAYA BISA NONTON KONSER JAY CHOU SETELAH 10 TAHUN LAMANYA SAYA SUKA JAY CHOU.

Sekian tulisan ini.

Ahahahahaha.

Itu anugrah, deh. Ngga kebayangnya pertama, Jay Chou masa sih konser di Indonesia? Eh, ternyata konser juga doi. Kedua, soal finansial. Ya, sebagai orang yang sangat sangat perhitungan dengan biaya hidup, kalau uang saya ngepas ya saya lebih memilih untuk merelakan Jay Chou konser tanpa saya di hadapannya. Nah, alhamdulillah uangnya ada berkat jasa uang THR dan uang SPPD hahahahahaha. Ketiga, soal waktu. Kalau saya di Bandung, saya nggak yakin bapak saya mengizinkan saya ke Jakarta HANYA untuk nonton konser. Sudahlah, intinya saya senang berada di kehidupan saya yang sekarang hahahaha. Alhamduuuuuuu~~~~~lillah.

Pas datang ke konser itu, kerasa banget jadi minoritas. Hampir semua yang datang di konser itu cici-cici dan koko-koko. Bahasa yang terdengar bukan Bahasa Indonesia tapi Bahasa Mandarin. Oh iya, saya juga datang ke konser itu sendirian. Makinlah terpojok. Eh, untungnya sesama fans ada rasa saling menyayangi. Saya diajak kenalan sama orang yang antri di belakang saya dan yang duduk di sebelah saya. Lumayan, ada interaksi.

 Oh iya, saya juga sempat hopeless soal konser Jay Chou. Saya sudah lama nggak menghapalkan lagu Jay Chou terbaru. Aduh beban mental banget. Saya cuma hapal dengan sangat-sangat-sanagt baik lagu Jay Chou di era saya SMP-SMA, sedangkan lagu sejak tahun 2007 sudah banyak yang luput. Aduh gimana banget. Saya nggak mau melewatkan konser hanya dengan mengeja lirik. Mau saya hapalkan juga sudah nggak terkejar. Yasudah pasrah. Ya sehapalnya saja.

Eh tapi apa dongggggg?

Manajemen Jay Chou nih kayaknya tahu banget bahwa era keemasan Jay Chou di Indonesia itu ya tahun 2004-2006. Di konser Jay Chou ini, berbeda dari konser di negara lain, Jay Chou menyanyikan lagu ngetopnya tahun 2004-2006! Saya ingat banget, saat yang paling standing-applaue-ible buat saya di konser Jay Chou itu pas musik Jian Dan Ai didendangkan.

"Anjiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiirrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr, JIAN DAN AI DONG ITU!!!!!!!!!!!"

*langsung berdiri, teriak, nyanyi, acak-acak rambut, bikin sikap lilin, salto*

Di konser itu, saya sudah nggak peduli lagi orang mau memandang apa. Pokoknya saya berdiri, joget-joget, lonjak-lonjak, teriak-teriak, nyanyi-nyanyi, semuanya dilakukan dengan asal dan diiringi oleh cinta. Bayangkan, Jay Chou menyanyikan lagu-lagu zaman cinta monyet saya yang bahkan ketika zaman itu masih saya jalani, saya nggak punya bayangan bahwa saya bisa mendengarkan lagu itu tanpa perantara kaset. Seluruh dunia harus tahu bahwa 12 OKTOBER 2013 ADALAH HARI TERBAHAGIA DALAM HIDUP SAYA YANG SAKING BAHAGIANYA SAYA PENGEN KETAWA-KETAWA GIRANG. JAY CHOU KARENAMU AKU PERCAYA LAGI AKAN MIMPI DAN CINTA.

Ah, saya jadi lupa tadi saya ngomong apa. Ini nuansanya jadi Jay Chou banget ini. Oke oke oke tarik nafas kembali ke jalan yang benar.

Ah, iya, soal 2013 yang saya lewati dengan bahagia.

Dikasih Jay Chou, saya sudah bahagia. Penungguan cinta 10 tahun akhirnya ada bayarannya, Nah, makin lengkap lagi soal penungguan karena adanya kebahagiaan paripurna yang muncul di akhir tahun. Kebahagiaan yang sudah ditargetkan sejak saya SMA. Apakah ituuuuuu.....

Hmmmm, saya lulus seleksi Kementerian Luar Negeri RI 2013!!

Saya nggak tahu harus senang dengan level apa untuk bilang bahwa saya beneran senangggggg. Ahahaha. Butuh waktu beberapa hari bagi saya untuk menyadari bahwa akhir tahun 2013 ini saya sudah bisa meraih cita-cita saya : Jadi Diplomat.

Pernah merasa ngga, sih, "Eh gila ya hidup gue sekarang udah masuk ke situ, ya?"; "Hidup yang gue kejar sejak kelas 2 SMA, yang membuat gue ngerasa nggak perlu lagi belajar hukum termodinamika karena nantinya gue bakal belajar konsep kedaulatan, sekarang udah ada jalannya, ya?"; "Gue udah bisa bilang ya kalau si anak SMA 3 Bandung yang dulu dibilang aneh sama seantero sekolah karena maunya masuk HI, bukan TI, sekarang bakal menjalani hidup yang akan disukainya?"

Ah, udahlah. Ini saking senengnya udah ngga tahu lagi harus merasa senang dengan cara bagaimana. Masih tepok-tepok pipi aja ahahahahha.

Proses seleksi Kemlu sampai akhirnya saya diterima juga lumayan bikin ngos-ngosan. Berawal dari izin ke manager untuk ke Bandung untuk mengurus SKCK dan Kartu Kuning yang saya tutupi dengan alasan mau mengurus ijazah, saya lolos seleksi administrasi. Masuk ke seleksi Tes Kemampuan Dasar yang tesnya bersamaan dengan tugas dari atasan untuk sosialisasi Surat Keterangan Penyalur Permen ESDM no 16 tahun 2011 di Makasar yang saya tolak dengan dalih mau membereskan sponsorship yang pending, stres juga pas dikasih soal semacam Matematika Dasar SMA. Untung masih ada yang tersisa di otak saya soal grafik fungsi. Sempat putus asa dengan hasilnya karena soal-soal yang seriusan sulit banget, akhirnya saya dapat skor 376 yang ternyata tertinggi di gelombang saya hehehehe. Lega.

Tes berikutnya Tes Kemampuan Bidang. Ada soal yang gampang cenderung gampang banget, ada yang saya ngga tahu jawabannya apa hahaha. Alhamdulillah masih lolos.

Tes berikutnya Tes Bahasa Inggris. Itu sempat stres. Beban mental seorang pengajar Bahasa Inggris selama 5 tahun yang setiap semester 2 membuat kunci jawaban soal SNMPTN untuk latihan kelas alumni dan 3 SMA, saya pasang target tinggi untuk saya raih. Namun, berhubung saya sudah hampir 6 bulan lepas dari Ganesha, di latihan soal yang saya kerjakan, saya nggak kunjung mencapai target skor TOEFL. H-1 tes, waktu lagi main ke Jakarta Biennale, saya cengo aja di tangga TIM sambil makan nasi goreng gratisan amanah Jokowi yang malam itu hadir dan nongol di depan mata saya. Takut banget kalau hasil TOEFL-nya ngga kayak yang ditargetkan supaya bisa lulus. Yaudah maksud hati ke Jakarta Biennale untuk refreshin, malah berkubang dalam kekhawatiran yang bahkan tesnya aja belum hahaha.

Pas tes TOEFL, yaudahlah konsen konsen konsen konsen dan bismillah. Eh, alhamdulillah di tes TOEFL saya masih lolos. Sebenarnya sih kuncinya adalah saya tetap memegang petuah dari Candra Wijaya waktu saya masih SD *hasil baca di Bobo*, anggap latihan itu pertandingan; anggap pertandingan itu latihan.

Tes final, itu juga lumayan uhwow. Pertama, psikotes. Hal yang menyebalkan itu waktu dikumpulkan tes dengan peserta lain, terlalu banyak peserta yang banyak omong dan banyak menanyakan hal yang ngga penting ditanyakan karena harusnya itu sudah masuk jadi logika dan akal sehat waktu instruktur memberi tahu cara pengerjaan soal. Berisik dan bikin lama. Apalagi, saya juga gelisah karena tes tanpa izin kantor. Itu juga bertepatan dengan sosialisasi SKP di Surabaya dan saya dikasih amanah di Jakarta untuk menyelesaikan urusan kantor dengan Migas. Supaya tetap konsentrasi, saya mematikan  hape saja seharian. Beres tes jam setengah lima sore, baru saya langsung meluncur ke Migas berharap Kasie dan Kasubdit Niaga masih ada buat ditanyai urusan kantor. Alhamdulillah, jam setengah 6 saya sampai di Kuningan, mereka masih ada. Hidup saya aman waktu atasan saya menelpon minta report jam setengah 9 malam hahahahaha.

"Hape kamu kenapa, Ki kok mati seharian?"
"Itu, Pak. Hape aku jatuh terus ngga bisa hidup aja dari tadi. Ini baru beres diservis. Tapi tadi aku udah ke Migas, Pak....bla bla bla bla."
"Oh, gitu, Ki. Bagus, bagus. Oke, oke"

Berikutnya tes wawancara substansi. Bagian paling bego sih waktu saya beberapa kali lupa Bahasa Inggris : KEKUASAAN. Sampah, POWER!!!!! Kenapa hal yang paling sering disebut dalam hidup sebagai mahasiswa HI itu jadi hal yang terlupa di saat yang sudah ditunggu sejak SPMB! Hahahaha. Saya ditanya soal skripsi saya. Saya bilang soal soft power. Lalu ditanya, siapa pemikir HI soal soft power. Aduh aduh aduh dijaga otaknya jangan sampai tiba-tiba lupa pas lagi mau jawab. Alhamdullilah dikasih ingat, yakni Joseph Nye!!! Eh, itu baru pembukaan. Selanjutnya saya ditanya apa soft power Indonesia yang saya bilang citra sebagai negara demokrasi, yang akhirnya sepaaaaaaanjang jalan kenangan, wawancara saya berkutat di urusan keteguhan hati saya untuk mempertahankan argumentasi bahwa demokrasi adalah citra yang baik untuk dijadikan sumber soft power Indonesia.

Oh iya, soal demokrasi, ada dua pertanyaan yang paling saya ingat. Pertama soal bagaimana citra demokrasi Indonesia kalau nanti Indonesia pascapemilu akan dipimpin oleh kekuasaan Islam radikal. Saya langsung ingat dengan hal-hal yang semacam khilafah. Ahahahahahahahaha. Kenapaaaa harus tema itu? Kenapaaaa harus selalu tema itu yang dikaitkan dengan hidup saya, bahkan untuk urusan wawancara pekerjaan. Kenapaaaaa wahai Felix Siauw? Kenapa hubungan kita bisa berserakan dimana-mana tidak hanya di twiter, Fel? Saya jawab apa gitu, ya. Agak terbata-bata. Intinya saya bilang, saya nggak yakin kalau hal itu akan terjadi, ini kaitannya dengan bentuk negara Indonesia yang kata pilar kebangsaan *lagi-lagi* hanya akan jadi NKRI, bukan khilafah. Kalaupun mereka berhasil mengubah, ya bukan citra Indonesianya yang hilang, malah Indonesianya yang hilang. Hal lain yang membuat nggak mungkin dikaitkan dengan preferensi rakyat Indonesia yang kayak saya, nggak simpati dengan perkumpulan bernuansa khikhilafahan. Nah, kalaupun memang dipaksa-paksa itu si khilafah berhasil menduduki kekuasaan, saya yakin mereka akan menyesuaikan prinsip-prinsip normatif idealis mereka pada saat ini -ketika belum menduduki kekuasaan- dengan apa yang nanti mereka temukan dalam sistem internasional. Dari titik penyesuaian idiosinkratik dengan dinamika sistem internasional itu, saya makin yakin bahwa saya akan selalu berpisah jalan dengan Felix Siauw.

Kedua, saya juga ditanya tentang Akil Mochtar yang menurut Bu Dubesnya telah mencoreng citra pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Bu Dubes bilang jabatan Akil Mochtar itu rawan korup karena dia berada di level yang mengawasi demokratisasi namun tidak ada yang mengawasi dia. Solusi yang  diajukan Bu Dubes, buat saja lembaga baru yang mengawasi lembaga yang (dulu) dipimpin Akil. Sesungguhnya saya kurang bersepakat karena berpotensi membuat tingkatan-tingkatan baru lagi di antara lembaganya.  Selain itu, yang lebih penting lagi, untuk membuat lembaga negara baru, butuh undang-undang yang prosesnya lama, panjang, dan tidak efisien padahal ada peristiwa atau perhelatan yang sedang atau akan segera diadakan. Bagaimana mengatasi kekosongan tersebut? Solusi yang diajukan Bu Dubes itu sebenarnya bukan tidak mungkin dilakukan, hanya saja harus dibarengi pula oleh solusi pada saat itu juga. Saya lebih memilih dibentuk Komite Pengawas yang dibentuk untuk perhelatan tertentu. Udah, terus salah satu panelis permisi mau ke toilet soalnya AC di ruangan dingin banget. Iya sih.

Oh iya, di luar tema itu, saya sempat ditanya sedikit juga soal kepentingan Indonesia di Laut Cina Selatan, soal kenapa Indonesia tidak mengakui Taiwan dan kenapa Indonesia mendukung Palestina. Oh iya, saya juga senang karena akhirnya ada pertanyaan yang menyangkut kisah cinta lama saya dengan Barry Buzan dalam komunitas keamanan yang diejawantahkan dalam ASEAN. Pokoknya, Kang Barry, amanah Regions and Power-mu telah kubisikkan pada tembok di sana.Wawancara substansi kemudian ditutup dengan wejangan bahwa nanti saya jangan hanya berharap akan ditempatkan di negara besar. "Kamu harus siap ditempatkan dimana saja, seperti misalnya di Lagos.” Sebenarnya saya waku itu ngga hapal Lagos dimana soalnya kayaknya waktu SD saya ngga beresin LKS peta buta keluaran Erlangga huhuhu tapi saya bilang hehe iya pak.

Tes hampir terakhir adalah tes kesehatan. Dokter gizi pribadi saya *yakni bapak saya* wanti-wanti jangan sampai saya digugurkan karena alasan kesehatan. Seminggu sebelum med-check, saya cuma boleh makan nasi merah, sayur, tahu tempe, dan nggak boleh makan buah dengan kandungan apaan gitu yang terlalu tinggi. Makan pepaya mah boleh. Udah aja kayak burung kakaktua. Bapak saya lewat (mantan) stafnya malah mengirimi saya beras merah ke kantor untuk persediaan seminggu. Dedikasi seorang bapak, coyyyy!

Tes paling terakhir adalah tes kesabaran. Tanggal 24 Desember 2013 yang menurut Teh Nisa akan menjadi tanggal pengumuman Kemlu dan memang dikukuhkan dengan notifikasi SistemMasihBerproses, nyatanya hanya harapan palsu. Aih galau. Pusing juga, soalnya tanggal 24 Desember itu saya dapat pengumuman kalau saya juga lolos di Kemenperin. Pemberkasannya berakhir tanggal 31 Desember 2013. Mana saya juga nggak yakin pula saya bisa lolos atau engga di Kemlu. Yasudah, sempat berusaha mencintai Kemenperin juga.

Tanggal 31 Desember 2013, dompet saya beserta kartu identitas hilang dicuri orang pas saya lagi solat di Pasar Festival. Pas galau bikin laporan kehilangan, saya iseng buka situs Kemlu. Udah ada dong ternyata pengumumannya. Pas log in, hah gila dong saya LULUS seleksi. Udah nggak tahu harus apa. Ini dompet gimana, ini Kemenperin gimana, saya nggak tahu harus apa. Gemetar aja gitu. Syok. Yaudah saya berusaha switch perasaan saya untuk jadi senang. Tapi susah. Saya baru bisa merasa sadar bahwa saya itu senang ya keesokan harinya. Itu juga rasa senang yang dihayati dalam sanubari saja. Ini adalah senang yang begitu mendalam dan rasanya pantas didapatkan sebagai anugrah dari Allah. Ya, apa ya. Hidup yang saya rangkai sejak SMA saat saya pindah ke bangku belakang setiap Pak Tata guru Fisika masuk ke ruangan, hidup yang saya cintai karena ada HI di dalamnya, dan hidup  sebagai mahasiswa yang jadi kodok budek karena banyak yang mencibir nggak semua anak HI bisa jadi diplomat tapi saya tentang dalam hati, sekarang sudah bisa saya titi. Ya, senang. Udah. Ngga tahu harus apa. Mungkin meminjam mesin waktu buat menoyor orang-orang yang suka meneriaki kodok budek.

Yah, begitulah. Sekarang saya masih menunggu kapan mulai prajab. Sambil menunggu, saya masih mengurus beberapa perizinan yang outstanding semacam Sertifikasi Kelayakan Penggunaan Instalasi/Peralatan di Kabil Batam dan di mobil-mobil tangki LPG sesuai amanah Kepdirjen 39.K, Izin Angkut B3 seperti yang diminta depo LSWR atau Low Sulphur Wax Residue, perpanjangan merek di HAKI, penambahan sarfas mobil BBM, rekomendasi impor yang FAME-nya masih susah mencapai 10%. Iyaaaaa, masih bakal sering nongkrong ke Migas. Masih mengurus sponsor yang belum tutup buku. Masih mengurus pertanggungjawaban keuangan manager saya. Masih menyimpan kromologis perizinan. Masih hidup biasa saja.

Saya juga akhirnya bilang ke manager saya dan kawan sedivisi (yang memang kawannya cuma satu dan dia pun baru diterima masuk kantor sekitar September), kalau saya ikut tes CPNS dan saya lolos. Manager saya senang sekali. Dulu dia waktu masih di BP juga sering bertemu Kemlu dan beliau sangat mengapresiasi saya masuk situ. Yang sedih Mbak Nisya, kawan sedivisi itu. Saya juga sedih soalnya Mbak Nisya adalah kawan yang baikkkkk banget dan kami langsung dekat meski baru sebentar kerja bareng. Manager saya lalu mengajak saya lapor ke VP Corsec yang jadi atasan kami. Beliau juga senang dan mendukung. Ya lalu standarlah, saya juga notify HRD soal rencana resign saya sekitar bulan Februari, mungkin.

Hmmm, saya juga nggak tahu apa hidup di 2014 akan semenyenangkan di 2013. Ya, tapi coba yakin saja. Toh, 2013 yang dibuka dengan hal yang membuat pusing kepala saja bisa dijalani dengan baik-baik saja, apalagi 2014 yang dibuka dengan sukacita. Hehe. Amin. Aduh, cape nulisnya.

Selamat bertahun 2014 :D