Dari Status Fesbuk Teh Anggalia soal HI yang Glamor

Teh Anggalia atau Teh Anggi adalah senior saya di HI Unpad *dan ternyata di SMAN 3 Bandung juga* yang kalau kata Barney di How I Met Your Mother, "LEGENDDD------DARY!" Satu hal yang cukup inspiratif buat saya dari Teh Anggi adalah keberaniannya untuk melakukan hal yang ingin dia lakukan ngga peduli titel yang disematkan oleh orang lain untuknya. Apakah itu? Teh Anggi luar biasa karena ngga nanggung-nanggung bikin skripsi. Skripsinya yang tebal tidak berisi bualan yang dia copy-pastekan dari omongan begawan belaka, tetapi memang benar-benar untuk memuaskan esensi dari penelitian itu sendiri. Konon untuk menyelesaikan skripsi tersebut Teh Anggi butuh waktu hampir 2 tahun *atau pas atau lebih ya? Saya agak-agak miss soal ini*. Untuk ukuran Teh Anggi yang intelektualitas dan IPK-nya terkenal gede banget se-HI, skripsi tebal yang dibuat dalam waktu yang cukup panjang saya yakin bukan bentuk eskapis dari kemalasan. Teladan dari Teh Anggi itu yang sedikit banyak menyemangati saya untuk nggak menye-menye soal skripsi dan hanya menujukannya sebagai syarat-lulus-6-sks belaka.

Satu hal lagi yang saya sukai dari Teh Anggi, sebagaimana juga yang saya kagumi dari Kang Wirya *Kang Wirya sudah saya ceritakan sedikit di page tumblr saya*, adalah kesederhanaan, kebijaksanaan, dan kerendahhatiannya dalam menyikapi jurusan kami tercinta, HI, yang bagi orang kebanyakan, termasuk mahasiswa-yang-sebenarnya-biasa-aja-ngga-hebat-hebat-banget-studi-HI-nya-tapi-sikapnya-agak-lebih-yo'i-dari-yang-pinter-beneran, menawarkan mimpi glamor. Saya berharap sekali status fesbuk Teh Anggi dibaca banyak orang, termasuk mahasiwa yang tadi saya sebutkan, agar mereka mau sedikit membongkar kejumawaan, menipiskan mimpi shallow, dan membuka wawasan bahwa HI dan segala mimpi yang disematkan kepadanya hanya mitos yang tidak berarti bila mereka hanya terus mempertahankan mindset sok jago sok elitis.

Berikut dua tutur status Teh Anggi.

  • Segala sesuatu yang berbau "diplomatik," seperti kedutaan besar, departemen luar negeri, PBB, perusahaan multinasional dan hal-hal 'keluarnegerian' lain biasanya jadi pujaan anak-anak HI. Akhirnya saya menemukan kata yang lebih baik dibanding "pretensius", yang kesannya terlalu memojokkan: glamor. Dunia HI yang pernah saya alami dulu penuh keglamoran: hal-hal yang fascinating, alluring, attracting. Saya yakin teman-teman yang sudah menempati posisi-posisi glamor tadi pada akhirnya menganggap hal itu biasa saja, tapi saya merasa keglamoran itu dipertahankan dari generasi ke generasi, bahkan dimitoskan. Waktu saya jadi salah satu alumni yang diminta berbicara di depan para mahasiswa/i baru, yang dipertontonkan adalah keglamoran ini. Saya juga bingung, kenapa yang didiskusikan bukan apa yang dikerjakan dan maknanya bagi dunia? Apakah definisi "sukses" sudah menjadi sememanjarakan ini? Kalau tidak menyebutkan sejarah ke luar negeri atau ikut Konferensi Internasional ini-itu, pasti kita dipandang sebelah mata. Einstein saja pernah bilang, try not to be a person of success, but a person of value. Sampai sekarang pun saya masih terus memikirkan dan menafsirkan ulang kalimat itu dan saya yakin diskusi dan debat tentang "sukses" dan "bernilai" ini harus terus disulut dan direka ulang dalam dunia glamor a la disiplin yang saya cintai ini (supaya tidak jadi penjara baru).


  • Untuk adik-adikku anak HI, hal terbaik yang bisa kalian dapatkan dari kuliah di disiplin (ilmu?) ini adalah kaca mata dalam memandang dunia. Jangan sia-siakan diskursus kaya tentang hampir semua ilmu sosial yang ada: sejarah, sosiologi, antropologi, hukum, filsafat, komunikasi, ilmu budaya, dan tentunya politik itu sendiri. Dengan wawasan seluas itu, seharusnya anak HI punya pandangan holistik terhadap kenyataan global dan peduli akan hal-hal yang ada di luar diri dan lingkungan terdekatnya, meskipun kelak bekerja di bidang yang berbeda-beda. Sayang ilmunya kalau anak HI akhirnya hanya jadi sebulir sekrup dalam mesin tanpa membuat mesin itu setidaknya berjalan ke arah yang lebih baik....


Happy Thinking, Happy Absorbing. Be a true international relation-ist! 

My First Day not Being a Teacher

Hari ini hari pertama saya bekerja nggak sebagai pengajar, tetapi sebagai pegawai. Saya punya meja di depan ruangan VP dan untuk pertama kali dalam hidup, saya baru tahu bahwa sidik jari adalah hal yang berharga dalam hidup. Tanpa sidik jari, saya nggak akan bisa ngebuka pintu ke lantai divisi saya. Lebih bahaya lagi, saya bisa terancam nggak digaji dan nggak dapat uang lembur. Sidik jari itu penting. Catat.

Hari ini belum banyak pekerjaan yang saya lakukan. Saya tadi cuma ngisi formulir permintaan ATK, IT, dan balik ke kosan ngambil laptop yang saya pakai buat ngetwit, donwload The Good Wife 2 epsiode, Modern Family 1 episode, dan The Big Bang Theory 1 episode. Nah, lumayan kan kerjaan saya hari ini? Haha. Tertawa miris. Hari ini saya bekerja dengan nilai gaji yang beberapa kali lebih tinggi dari gaji saya sebelumnya namun penggunaan otak saya hari ini sungguh sungguh minim hampir tak terpakai. Anak baru, coy, belom banyak kerjaan, cuma ngurus diri sendiri. Satu-satunya yang terpakai hingga habis hari ini adalah laptop. Habis ini laptop saya baterainya habis sehingga saya sangat berharap pacar saya nanti malam habis kerja mampir ke kosan buat colokin casan laptop. Yes, saya masih takut nyolokin listrik. Sampai kapan pun saya takut.

Sekarang jam setengah empat sore. Minggu lalu dan minggu-minggu lalu lainnya, kira-kira hitung hingga empat setengah tahun yang lalu, jam segini dan hari ini saya lagi berdiri ngajar. Kalau hari ini saya belum jadi seorang staf Corporate Communication, saya lagi ngebahas soal UTS Bahasa Indonesia kelas 8 dan nanti setengah lima sore saya ngebahas soal Ujian Nasional Bahasa Inggris tahun 2009 ke anak-anak kelas 9 SMP.

Ah iya, membicarakan murid saya, jadi ingat deh Sabtu lalu *kalau nggak salah*, saya terharu. Ada murid saya yang mengirim sms, "Bu, kenapa nggak ngajar kita kemarin?" Aih, saya baru sadar. Dari 14 kelas yang saya ajar semester ini, saya baru sempat pamit sama 3 kelas. Sedihnya lagi, dari 11 kelas yang tidak sempat saya pamiti itu, ada kelas-kelas yang menjadi favorit saya karena ketenangan, kemauan, dan kecerdasan anak-anaknya. Hmmmm, sedih. Saya akhirnya smsan sama murid saya itu. Sepertinya, si Silvia yang smsan sama saya itu ngesms temannya, Mia, jadi saya smsan juga sama Mia. Isi sms Silvia lumayan mellow, malah bilang dia sampai nangis segala terus jadi nggak semangat les. Entah itu lebay atau beneran, hehe, saya jadi terharu. Nah, beda sama Mia. Meski di awal Mia bilang, "Ibu kenapa nggak ngajar kita lagi padahal kita senang banget Ibu yang ngajar?", waktu saya cerita ke Mia kalau saya nggak ngajar karena ada cita-cita lain yang saya kejar, Mia menanggapi saya dengan sangat dewasa. Mia menyemangati saya sambil berpesan jangan lupa sama kelas mereka karena mereka bakal selalu kangen saya. Kalau bisa sih saya juga menyempatkan diri untuk mengunjungi kelas mereka kalau saya lagi ke Bandung.

Bersms ria dengan Mia dan Silvia membuat saya jadi termangu. Hmmmm, jadi ada rasa yang hilang dalam hati saya. Ya, bagaimana tidak, saya sudah mengajar sejak 4,5 tahun lalu dan menyaksikan murid keluar masuk. Nggak ada yang lebih membahagiakan selain mendengar laporan mereka yang berhasil UN dan SNMPTN lalu berterima kasih karena materi yang sudah saya terangkan dijadikan salah satu soal dan mereka berhasil menjawabnya. Saya juga sudah pernah bilang, kan, bahwa setiap kali saya pergi mengajar dengan hati dongkol, saya selalu pulang dengan hati riang karena interaksi dengan mereka yang selalu menyenangkan. Ya, mengajar selalu menyenangkan.

Sejauh ini saya belum bisa membuat perbandingan lebih menyenangkan mana, menjadi pengajar atau menjadi  staf. Periode waktunya belum mencukupi. Ah, saya hanya bisa melaksanakan apa yang ada di depan mata saya secara serius dan ikhlas. Dulu ketika saya pertama kali mengajar juga saya merasa asing, tapi akhirnya saya beradaptasi dan senang juga.  Saya rasa saya bukan orang idealis. Saya sih pragmatis saja. Di satu sisi saya merasa bahwa mengajar, apakah itu di Ganesha atau di kampus, adalah pekerjaan yang menyenangkan dan yang paling bisa mendefinisikan diri saya. Namun di sisi lain, saya tahu bahwa impian itu mahal harganya. Saya nggak bisa bilang bahwa apa yang saya kerjakan sekarang adalah upaya menyerah. Masih terlalu dini. Saya pikir saat ini belum waktunya saya bersikap keras untuk mempertahankan keinginan saya padahal saya tahu saya nggak mampu-mampu banget dan di belakang saya, ada keluarga saya yang mesti saya pikirkan. Ya tapi saya juga nggak bisa bilang juga bahwa suatu hari saya akan kembali meraih cita-cita saya sebagai pengajar. Ya, saya pikir, apa yang ada saat ini itulah yang saya kerjakan. Mengenai ke depan, saya akan merangkainya pelan-pelan sambil saya mengamati hal yang saya kerjakan pada saat ini.

Ah, baiklah, sudah hampir setengah lima, mari siap-siap pulang hehehehehe. Saya mau belanja buat kamar kosan mumpung besok libur jadi besok saya bisa beres-beres.

Ah iya, sebelum saya pulang, saya mau berpesan sedikit sama murid saya yang kemarin belum sempat saya pamiti dan accidentally mampir ke sini,

"Dear, students. Semua hal yang perlu aku kasih ke kalian untuk ujian udah aku kasih. Nanti bakal ada guru baru. Siapa pun gurunya, kalian harus tetap semangat belajar ya, jangan dikerjain gurunya. Dengarkan yang baik. Kalian juga belajar yang rajin. Jangan cuma di sekolah dan di tempat les saja. Kalian juga harus rajin belajar di rumah. Ingat, persaingan nilai UN makin ketat. Kalau kalian mau sekolah di negeri yang bagus, usaha kalian harus berlipat kali dari yang sekarang. Okeee? Nah, semoga nanti kita bertemu lagi ketika kalian sudah menjadi orang yang jauh lebih berhasil dari sekarang yaaa...Aku minta maaf aku banyak salah dan semoga ilmu yang udah aku kasih terus kalian ingat dan bermanfaat buat kalian."

Membicarakan Criminal Minds






Sepanjang tahun ini sepertinya saya menghabiskan banyak waktu untuk menonton serial. Tercatat judul-judul semacam The Big Bang Theory, Grey's Anatomy, Community, How I Met Your Mother, Modern Family, The Good Wife, Detective Conan, Sherlock Holmes, Accidentally on Purpose, dan yang baru saja saya tonton 3 season selama 2 minggu ini : Criminal Minds (CM). Thanks to Pak Rian atas jasanya meracuni saya dengan beragam serial tersebut. Nah, tapi dari banyaknya serial yang saya tonton, harus saya akui, CM menggelitik saya dengan cara yang berbeda. Jika serial lain hanya singgah sebentar di otak saya sebagai pelepas penat, CM yang mengambil fokus kegiatan para agen FBI, yakni Agen Aaron Hotcher, Agen David Rossi yang sebelumnya diisi oleh Agen Jason Gideon, Agen Spencer Reid, Agen Emily Prentiss, dan Agen Jennifer Jearou, serta Penelope Garcia, di Behaviorial Analysis Unit, sejak awal sudah membuat saya tidak bisa netral menonton dan hanya berfokus pada kehidupan semu yang ditampilkan sebagai alur cerita. Akhirnya, karena saya hanya manusia lemah yang kerap menulis posting panjang dan menyiksa pembaca, posting ini pun lahir, sekaligus menandai bangkitnya saya dari kebuntuan menulis tema serius selama beberapa bulan terakhir. Saya membagi tulisan mengenai CM ini menurut subjudul, yakni Criminal Minds dalam Dialog mengenai Supremasi Negara, Feminisme Radikal dari Korban Perempuan di Criminal Minds, dan Criminal Minds dan Ungkapan mengenai Kita dan Fantasi Kepahlawanan. Enjoy!

Criminal Minds dalam Dialog mengenai Supremasi Negara

Dengan posisi FBI sebagai substate atau bagian dari negara, sangat gamblang bagi saya untuk menyimpulkan bahwa keberadaan FBI sebagai fokus CM harus dilihat sebagai representasi negara. Dipilihnya FBI sebagai sentral penceritaan CM pun bagi saya tidak hanya bisa dilihat sebagai faktor sepele semacam alat penarik pasar. Terlalu kecil. Saya malah melihat bahwa bisa jadi CM merupakan salah satu alat yang diberdayakan negara, yang dalam hal ini adalah Amerika Serikat, untuk melakukan diplomasi pada publiknya sendiri mengenai pentingnya supremasi negara di atas individu. Hmm, semacam propaganda tapi bukan juga, mengingat propaganda membutuhkan retorika dan media yang lebih dari sekedar film serial yang tidak memiliki daya paksa agar terus ditonton. Sangat besar pula kemungkinan bahwa keberadaan FBI, sebagai salah satu agen negara yang menjamin keamanan individu, sebenarnya merupakan alat untuk mengalamiahkan ideologi realisme versi Hobbes yang meyakini bahwa pada dasarnya, berdirinya negara memang ditujukan demi menjamin keamanan individu dari adanya leviathan yang mengancam. Adanya FBI, yang tidak lain adalah "Negara", yang selalu dapat menyelesaikan kasus jelas menegakkan cita-cita Hobbes mengenai negara, sekaligus mengeliminasi norma liberalisme hingga kosmpolitanisme yang ingin membebaskan individu dari kekangan negara.
Membicarakan individu tidak dapat pula dilepaskan dari pembicaraan mengenai keluarga. Dengan mayoritas pelaku kekerasan sadistik pada CM yang selalu dibaca para agen BAU sebagai implikasi dari pola pengalaman masa lalu saat masih tinggal dengan keluarga, CM berusaha memperlihatkan bahwa keluarga merupakan faktor yang paling dominan dalam menciptakan trauma pada individu. Keluarga yang disfungsional dan tetap bersikeras merawat anaknya hanya akan memproduksi anak yang akan menyebabkan disfungsi pada masyarakat.
Agen Hotchner kepada tersangka pembunuhan pada episode Derailed season 1 menegaskan, "You were just responding to what you learned. When you grow up in an environemnt like that, an extremely abusive, violent household, it;s not surprising that some people grow up to become killers."
Keadaan yang berbeda akan terlihat apabila anak-anak dari keluarga disfungsional ini dirawat oleh negara seperti yang direpresentasikan oleh para agen BAU. Mereka juga lahir dari keluarga yang cacat, namun mereka dapat memilih menjadi penegak keamanan dan keadilan karena mereka memilih pergi dari keluarganya dan mengabdi pada negara.
Bagaimana dengan keluarga yang ideal, yang berjalan tanpa ayah yang sadis dan tanpa ibu yang melacur? Dengan fokus CM pada pengeliminasian keluarga, CM memang tidak menjadikan keluarga ideal sebagai oposan biner terhadap keluarga disfungsional dalam hal pameran gamblang bahwa dari kelurga yang ideal akan lahir individu yang ideal. Alih-alih, kekontrasan yang ditunjukkan CM malah meletakkan keluarga ideal sebagai keluarga yang menjadi korban dari keluarga disfungsional. Menjadi baik pun malah menjadikan mereka sebagai sasaran empuk. Rumah yang ditempati oleh keluarga ideal pun bukan lagi tempat yang dapat menjamin keamanan mereka, malahan menjadi lokus kriminal yang menghabisi nyawa.
Atas dasar tersebutlah, CM kemudian menegaskan pentingnya pengaksesan informasi yang terbuka yang dilakukan negara terhadap individu. Akses informasi tak terbatas mengenai individu ini direpresentasikan oleh kebergantungan para agen BAU kepada Penelope Garcia yang mampu dengan mudah menembus bank data sebagai faktor penting dalam menemukan unknown subject atau unsub dan mencegah bertambahnya korban. Dengan demikian, segala bentuk penutupan atau pembatasan akses terhadap individu, sebagaimana yang masih menuai kontroversi di Amerika Serikat, diperlihatkan sebagai ancaman terhadap tegaknya keamanan individu dan negara.            

Feminisme Radikal dari Korban Perempuan dalam Criminal Minds


Tindakan sadisme terhadap perempuan merupakan hal yang selalu hampir pasti ada dan menjadi fokus penceritaan episode-episode CM. Hal tersebut pula yang melatarbelakangi hengkangnya salah satu agen jagoan CM mengundurkan diri dari perannya meski CM baru berjalan dua season. Mandy Pattinkin, pemeran Jason Gideon, mengatakan bahwa kesalahan terbesarnya pada publik adalah membintangi CM. Terlalu banyak kekerasan pada perempuan yang berujung pada kematian mereka yang diekspos CM.
Pada lapis permukaan, tidak bisa dipungkiri bahwa CM, sebagaimana yang diungkapkan Pattinkin, memang banyak menekankan betapa lemahnya perempuan. Penculikan dari mobil yang mereka kendarai, penyiksaan dan pembunuhan sadis di rumah mereka sendiri, pemerkosaan dengan beragam kelainan seksual yang menyertai, merupakan gambaran gamblang yang seolah mengejek kelemahan perempuan dalam menjaga dirinya sendiri.
Akan tetapi, benarkah hanya demikian? Bagi saya, masih ada lapisan lain yang bisa kita lihat sebagai pesan yang ingin ditunjukkan CM. Gambaran bahwa perempuan itu lemah dan tidak menjaga dirinya sendiri sehingga rentan menjadi korban kekerasan hanya berfungsi sebagai makna denotasi yang terlalu deskriptif terhadap tayangan yang disajikan CM. CM sebenarnya menyajikan dua gambaran perempuan yang sangat kontras, atau singkatnya oposisi biner dari bagaimana seharusnya perempuan berperan di dalam masyarakat. Patut diingat bahwa CM pun menyajikan agen perempuan sebagai tokoh sentralnya. Agen Elle, yang kemudian digantikan Agen Emily Prentiss, lalu Agen JJ, dan bank data Penelope Garcia, yang kesemuanya tetap teguh sampai sekarang, dalam arti belum tewas karena tindak kekerasan pria.
Dua gambaran kontras tersebut merupakan representasi dari poor girl, good girl. Poor girl adalah perempuan yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri, atau lebih jelas dalam CM dipaparkan sebagai perempuan rumahan, pekerja sektor domestik, tidak memiliki bargaining position yang kuat di masyarakat, dan tentu saja, tidak bersenjata. Kontras dengan kategori pertama, good girl atau perempuan yang bisa melindungi dirinya sendiri merupakan perempuan yang bekerja di luar rumah, memiliki bargaining position yang kuat, bersenjata, yang dari ketiga identifikasi tersebut dapat disimpulkan bahwa good girl adalah perempuan yang memasukkan lebih banyak peran maskulin ke dalam wujud seksualnya yang perempuan.
Pesan dari makna konotasi itulah yang sebenarnya ingin ditunjukkan oleh CM. Berbagai pertunjukkan kekerasan terhadap perempuan dengan sifat-sifat feminin yang kental merupakan pelapisan ideologis yang kental demi menunjukkan bahwa perempuan harus mengeliminasi feminitasnya dan mengadopsi maskulinitas bila ingin memperoleh keamanan. Hmmm, sebuah pola yang sangat linear dengan prinsip-prinsip feminisme radikal. Setujukah? It is you decide!

Criminal Minds dan Fantasi Kepahlawanan Kita

Terdiri dari enam agen lapangan dengan berbagai karakternya dan satu agen bank data, memiliki markas yang tidak terjamah sipil biasa, bertugas membaca, mengejar, dan melumpuhkan penjahat, dan memiliki power yang tidak dimiliki secara massal, maka asosiasi yang muncul di benak saya mengenai CM tidak jauh dari Power Rangers atau serial kepahlawanan lain di masa kecil saya. Meski CM nampak lebih berbeda dari, katakan Power Rangers, perbedaan tersebut bagi saya hanya soal perbedaan pandangan kita untuk merealisasikan fantasi mengenai cerita kepahlawanan pada usia kini dan usia dulu. Bagi saya pribadi, akan sangat tidak catchy bila saya, pada umur 23 tahun dan sudah tahu bahwa kostum Ranger Pink itu berat, repot, dan panas, kemudian duduk tenang dan tetap terpukau mengamati aksi robotik, lengkap dengan pedang dan efek pencahayaannya, dari Power Rangers. Satu lagi, mustahil juga bagi saya sendiri yang sudah sangat tahu beda Gua Hira versi stalagtit dan stalagmit dengan gua yang dibuat dari kardus yang dipilox, tetap mau menghabiskan setengah hari untuk bertepuk tangan melihat kegagalan Rita menguasai dunia. Dengan adanya perkembangan pandangan yang dulu bisa disuapi dengan fantasi ala robot dari mobil -yang bagi saya terlalu jauh melampaui zaman- dan kini sudah akrab dengan kecanggihan teknologi informasi senada dengan slogan Yellow Pages, "Cari tahu dengan jarimu", maka penyesuaian sosok gank hero pun perlu dilakukan sebagaimana yang ditunjukkan oleh CM.
Monster berbagai bentuk dalam Power Rangers ditukar dengan manusia-manusia psikopat yang membunuh demi kesenangan dan kerap, kepuasan seksual. Seragam warna-warni Power Rangers cukup diganti kostum jas dan kaos kasual yang memperlihatkan karakter masing-masing agen secara jelas. Sabetan pedang dengan efek cahaya silau yang mematikan diganti dengan pistol berpeluru panas yang kita semua tahu bahwa pistol itu memang nyata adanya di dunia kontemporer. Pembacaan pikiran dan peta yang biasanya dilakukan dari kacamata supercanggih kini dinaturalisasi dari pengaksesan informasi tak berbatas, thanks to internet. Jam tangan telepon dan layar akuarium yang menampilkan muka secara mistik sudah dialamiahkan dengan telepon genggam, ipad, dan semacam skype. Ayayayayay Alpha yang menginformasikan kegiatan anak buah Rita di ujung kota tidak lagi diinformasikan secara misterius, tetapi melalui liaison officer BAU yang melayani laporan dan permintaan investigasi kepada FBI.
Beragam pengalamiahan setting, plot, tokoh, dan perentelan properti tersebut toh hanya bersifat kebendaan yang ditujukan demi menyasar segmen audiens berbeda. Dari banyaknya film kepahlawanan, baik pada masa kecil saya atau masa kini, pesan yang disampaikan tidak akan jauh berbeda dari dua subjudul di atas, dan yang paling penting lagi, film dengan tema ini masih menjadi alat pengaktualisasian fantasi kita mengenai sosok yang kita harapkan dari diri kita sendiri.
Hampir setiap orang ingin menjadi pahlawan, tidak peduli luas sempit lingkupnya. Menjadi pahlawan pun bukan soal ingin menegakkan keadilan dan menghancurkan kemungkaran, melainkan menyangkut keinginan untuk standing in the crowd. Menjadi berbeda, menjadi pusat perhatian, menjadi pihak yang paling dibutuhkan, dan tentu saja, menjadi pihak yang paling powerful di antara komunitas. Dalam pandangan saya, menonton film kepahlawanan bukan satu hal yang menunjukkan betapa rindunya kita akan sosok pahlawan yang bisa menyelamatkan kita, melainkan monolog kita bahwa kita ingin menjadi pahlawan itu. Contoh sederhananya, saya belum pernah, sih mendengar ada orang yang setelah menonton film kepahlawanan berkata, "Ah, coba di kampung saya ada FBI, pasti nggak akan lagi ada yang berani nyuri ayam ayah saya." Saya malahan mendengar, atau bahkan mengatakan pada diri saya sendiri, "Coba gue jadi FBI, pasti dari awal gue udah tau kalo mantan gue yang dulu itu brengsek." Oke ini bukan curcol.
Ya, CM pun terakhir membuat saya berpikir bahwa tak peduli berapa umur kita, kita selalu memfantasikan diri kita sebagai sesuatu yang lebih besar dari kita yang sekarang. Selama fantasi tersebut masih selalu kita pegang, maka film-film setema dengan CM pun akan tetap ada dan menjadi salah satu media yang potensial untuk menyebarkan pesan ideologis tertentu, seperti supremasi negara atau feminisme radikal. Mekanisme yang terjadi dalam penerimaan kita yang mudah akan pesan tersebut utamanya bertumpu pada kesesuaian ekspektasi kita dengan hal yang ditampilkan oleh film. Kesesuaian yang notabene merupakan bentuk pengalamiahan dan pelapisan makna tersebut kemudian mendorong kita untuk tertarik dan menyerap pesan-pesan ideologis dari film sebagai hal yang memang demikian adanya, yang given, yang berkausalitas logis, dan yang sudah seharusnya. Kesesuaian tersebut akhirnya menjadi benteng yang paling kuat untuk menolak kritisisime kita terhadap pesan dari film.
Pada kasus CM, betapapun saya tahu bahwa unsur ideologis mengenai supremasi negara dan feminisme radikal sangat kental diperlihatkan, dan secara pribadi saya bukan pendukung seratus persen ideologi tersebut, toh saya tidak berhenti menonton CM. Itu bagi saya yang aware terhadap pesan ideologis CM. Nah, bagi kawan saya yang juga menonton CM dan asing dengan istilah supremasi negara dan feminisme radikal malahan mungkin secara tidak sadar mereka akan bersikap antipati dan pesimis kepada keluarga disfungsional yang ada di sebelah rumahnya. Efek-efek seperti itu yang sebenarnya diharapkan si pembuat CM untuk mempengaruhi masyarakat agar bersikap sesuai dengan norma yang diidealkannya, yang mungkin tidak harus diwujudkan sekarang, bisa juga pada masa yang akan datang.
Lalu bagaimana?
Ya, bagaimana, dong? Saya tetap suka menonton CM. Ya, kelak kalau bertemu saya dalam versi wanita yang antipekerjaan domestik karena merasa terancam di rumah sendiri, ya jangan kaget saja. Hehe.

Ark.Des’12.