Saya dan News Feed


Saya seharusnya nggak heran. Kalau saya buka fesbuk tanggal 1 Januari, news feed saya pasti bakal dipenuhi oleh resolusi-resolusi hasil kontemplasi satu malam. Kalau saya buka tanggal 21 April, saya pasti bakal ketemu sama feminis-feminis 70’an yang asyik menuntut kesetaraan hak. Satu hari sebelumnya, tanggal 20 April, saya juga bakal amazed sama aktivis-aktivis lingkungan digital yang tiba-tiba menuduh cuaca panas sebagai akibat global warming (padahal salah dia sendiri yang datang ke Jatinangor jam 12 siang naik Damri sambil pake kaos dan jaket warna item).

Nah, karena itulah seharusnya saya nggak heran kalau tanggal 17 Agustus ini news feed saya tiba-tiba dipenuhi ucapan dirgahayu untuk Indonesia dengan beragam ekspresi!

Bagaimana dengan news feed Teman-teman? Apakah terisi dengan post serupa? Atau Teman-teman kebetulan sedang tidak tersambung dengan internet jadi nggak bisa lihat fenomena alam tersebut? Hmm, jangan khawatir. Nggak usah nunggu satu tahun lagi untuk menyaksikan fenomena itu. Coba nanti log in lagi, deh tanggal 28 Oktober dan 10 November, pasti Teman-teman bakal menemukan post senada.

Akibat selepas solat subuh bukannya baca quran, tapi malah buka fesbuk, saya pun jadi latah nulis posting terkait dengan perayaan kemerdekaan RI. Ada hal yang ingin saya garisbawahi setelah saya berkelana di news feed hingga terperosok masuk ke profil-profil orang dan profil-profil temennya temen saya. Hmmm, saya pun jadi makin sadar bahwa bangsa kita benar-benar bangsa yang plural, yang besar, yang bermacam-macam, yang gede bangetlah pokoknya! Melihat potret bangsa saya yang demikian membuat saya semakin penasaran terhadap potret bangsa-bangsa lain di luar bangsa saya. Apakah news feed mereka juga penuh dengan pujian, cacian, kekaguman, dan kekecewaan terhadap negaranya ketika negara tersebut berulang tahun? Apakah mereka juga akhirnya terlibat perang status, perang wall, perang komen, dan perang batin ketika mereka memiliki cara pandang yang berbeda satu sama lain? Apa mereka juga merasa bahwa hanya pendapatnyalah yang paling benar? Hmmmm….

Ark. Agt’10.

Slice of Ceremony, Bowl of Myth, and Cup of Propaganda: Good Morning, World! It is Meal Bouquet from Postcolonial Civilization!


Beberapa hari lalu saya menemukan satu ayat menarik dan pas sekali dengan tema bulan ini dari surat Al-Baqarah. Namun, karena keterbatasan otak, saya lupa ayat berapa dan bagaimana bunyinya secara persis. Intinya begini, mengapa kita (kalau di ayat itu sih dibilangnya, Kamu) cenderung untuk mengabaikan seruan yang baru dan yang benar hanya karena kita sudah memiliki ritual yang kita lakukan secara turun-temurun alias warisan nenek moyang padahal nenek moyang kita yang melakukan ritual tersebut pun tidak mendapatkan esensi dan maksud dari ritual tersebut. Menghubungkan pertemuan saya dengan ayat tersebut, status kawan saya, Bima Prawira Utama, mengenai kepercayaan kita akan kuntilanak, dan beberapa hasil kontemplasi kuliah Studi-Studi Budaya (Cultural Studies), Teori Hubungan Internasional 1, serta beberapa literature yang sempat saya baca, saya pun jadi mengucap, Maha Suci Allah yang benar-benar memiliki pengetahuan luas akan makhluk-Nya! Ayat itu tidak hanya bisa kita pandang secara sempit dalam urusan keagamaan, tapi juga fenomena sosial, khususnya di Negara Postkolonial atau bekas jajahan, yang sangat lekat pada praktek pemitosan.


Kuntilanak dan Kemerdekaan

Bima bilang, “Jangan mengaku merdeka kalau masih percaya sama kuntilanak. Doi bikinan Belanda, loh. Gatau tah kalau pocong.”

Saya sempat mencandai status Bima tersebut, “Naha ai kita 17-an malah mistis kieu?” Pancingan saya berhasil, akhirnya Bima mengungkapkan mengapa ia memasang stat demikian. Menurut Bima, permasalahannya tidak terletak pada mistis-mistisan, tetapi pada cermin betapa masih terlekatnya kita pada konstruksi dari penjajah. Nah, jika kita masih terlekatkan dengan hal tersebut, bagaimana kita bisa menyebut diri kita merdeka? Yup, saya tahu poinnya. Saya setuju dengan pendapat Bima.

Nye bilang soft power itu jauh lebih efektif ketimbang hard power. Soft power macam penyebaran budaya akan menciptakan sebuah keterikatan, bahkan ketergantungan yang tentu lebih efektif daripada penggunaan ancaman dan instrument militer yang hanya akan membuat ketakutan. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa ketika suatu kelompok ditekan dengan ancaman dan kekerasan, efek jangka pendeknya mereka akan menurut, namun efek jangka panjangnya mereka akan menjadikan bibit-bibit kedendaman menjadi sebuah semangat revolusi yang menentang status quo. Penundukkan pun bersifat sementara. Jika ingin mengeternalisasikan penundukkan, penggunaan soft power pun harus digunakan.

Saya nggak tahu ada hubungan apa antara Jan Pieterzon Coen, Daendels, dan Ratu Wilhelmina sama Joseph Nye. Mereka hidup di zaman yang berbeda, namun praktek yang dijalankan oleh kompeni tersebut nyatanya sama persis seperti yang diungkapkan Nye. Selama tiga ratus lima puluh tahun, penjajahan secara fisik jelas kita alami. Ancaman, kekerasan, perbudakan, mmmm….kata-kata buruk dari kelompok kata penindasan apa lagi coba yang belum kita alami selama tiga ratus lima puluh tahun itu? Didorong oleh perasaan marah, dendam, sakit hati yang lebih dalam daripada ketika putus sama pacar, kita pun be-revolusi, berani bersatu, berani mengumandangkan perang, dan akhirnya berani memproklamasikan kemerdekaan. Yup, oke memang. Tapi coba perhatikan, deh, kenapa kemerdekaan itu baru bisa kita kumandangkan pada tahun 1945? Kenapa juga selama tiga ratus lima puluh tahun, negeri yang melingkupi tiga belas ribu pulau ini hanya memiliki segelintir nama pahlawan besar?

Adanya soft power itulah, Teman-teman!

Ada praktek-praktek budaya yang diciptakan oleh penjajah untuk tetap mengungkung kita pada suatu sistem status quo. Pas lagi perang sama Belanda sore-sore, eh para prajurit tiba-tiba ciut. Ditanya sama komandannya, “Kenapa berhenti?” si prajurit pun menjawab, “Punten, Ndan, udah mau malam. Mak Lampir suka cari mangsa bada magrib.”

Nggak jauh beda kalau misalnya orang Belandanya kabur ke hutan. Tiba-tiba panglima dari laskar pribumi memberhentikan kudanya. Ditanya kan tuh sama anak buahnya, “Berhenti ini teh? Ada apa? Kita dijebak?” terus panglimanya jawab, “Eta hutan bukannya angker ya? Kan katanya ada mayat yang dibuang cenah?”

Lalu Teman-teman ingat juga, kan betapa tersulutnya emosi salah satu pahlawan nasional saat pemakaman leluhurnya dipasangi patok-patok jalan oleh Belanda? Sang pahlawan yang biasanya mampu menahan emosi tiba-tiba menjadi sosok yang begitu murka sehingga logikanya pun runtuh. Hasilnya? Apakah dengan kemarahan atas penginjakkan harga diri tersebut membuat sang penjajah terusir dari tanah air sang pahlawan, minimal tanah pemakaman leluhur yang diperjuangkan itu?

Itu sedikit gambaran betapa hebatnya penggunaan soft power. Sebarkan isu sensitif, maka sang target akan menurut bak kerbau dicocok hidungnya dan dicolok matanya.


Mendarah Daging

Masalahnya lagi, penjajah itu juga nggak cuman pakai soft power ala Nye, tapi juga kekerasan simbolik dari ala Om Gramsci. Melalui kekerasan simbolik itu, sang penjajah tetap bisa mempertahankan hegemoninya di tanah jajahan meskipun di tanah jajahan itu juga hidup Sultan-Sultan, Raja-Raja, Ratu-Ratu, dan pemuka agama yang begitu disegani oleh rakyat asli. Buku sejarah yang kita baca ketika masa sekolah pasti mengenalkan kita pada seorang Belanda yang begitu baik sama orang pribumi gara-gara dia memperjuangkan dibukanya akses pendidikan dan dilonggarkannya undang-undang pertanahan. Nah, saya dulu sempat kagum juga tuh sama orang itu. Namun, ketika saya membaca lebih lengkap lagi, saya pun merasa terkhianati. Ternyata, selain atas dasar kemanusiaan, tujuan sang Belanda yang baik hati itu juga untuk mengekalkan kekuasaan Belanda di Indonesia dengan meminimalkan gelombang protes dan revolusi rakyat.

Orang itu tahu benar bahwa penindasan yang begitu hebat dan lama harus diredakan tidak dengan penindasan lagi, tetapi dengan fasilitas yang menjanjikan dan menyamankan. Ditambah lagi, bukankah dengan mendidik tenaga pribumi maka biaya yang harus dikeluarkan oleh Belanda bisa ditekan? Orang pribumi nggak usah digaji gede, nggak usah dikasih fasilitas menak, priyayi, luxury. Dikasih sedikit saja hati, mereka akan tersenyum dan loyal selamanya. Buruh murah, nurut, dan cepat tanggap, apa lagi coba yang tidak lebih diinginkan oleh penjajah daripada hal itu?

Ketika pada akhirnya muncul pahlawan-pahlawan besar nasional, ketika revolusi fisik akhirnya berlangsung, dan ketika kemerdekaan pun akhirnya lahir, penjajahan memang berakhir. Namun, garisbawahi, hanya penjajahan fisiklah yang berakhir. Sementara itu, penjajahan mental dari penggunaan soft power dan kekerasan simbolik nyatanya tetap bersemayam dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kepercayaan kita. Segala praktek seremonial, ancaman mistis, ajakan propaganda yang diciptakan penjajah dan diamini oleh nenek moyang kita pun akhirnya menjadi sebuah pengetahuan biasa, pengetahuan umum, bahkan falsafah hidup yang selalu kita anut kebenarannya.

Kita pun akhirnya menjadi kelompok yang serupa dengan kelompok manusia di Yunani Kuno yang hidup di dalam gua yang sangat yakin bahwa hanya gua itulah yang berperadaban dan benar hingga rela mencincang kawan mereka yang baru saja keluar gua dan membawa pengetahuan baru. Ketika kita berbeda sedikit dari komunitas kita, kita akan dicap aneh. Ketika kita teguh dengan identitas kita, mereka menolak kita. Ketika kita menghadapi penolakan itu, mereka menganggap kita adalah musuh berbahaya. Ujungnya ya itu tadi, dicincanglah kita.


Neokolonialisme? Neo?

Banyak orang dan organisasi garis keras yang mengatakan bahwa globalisasi pada masa ini merupakan perpanjangan dari imperialisme. Neokolonialisme. Penjajahan bentuk baru.

Kata mereka, ya kita memang tidak dijajah dalam arti disuruh membajak sawah sambil ditemani satu senjata laras panjang yang siaga dalam radius dua ratus meter, tapi sebagai gantinya kita memiliki ketergantungan untuk menggadaikan kekayaan alam kita kepada produsen Barat serta membeli dan membanggakan produk olahan Barat daripada produk yang dibuat oleh Timur. Melalui hubungan ekonomi itulah kita kembali dijajah. Pendapat tersebut ada benarnya juga. Namun saya rasa, penjajahan macam itu bukanlah penjajahan baru dalam arti penjajahan yang baru dipikirkan. Prosesnya bukan begini,

Negara Barat A : Kumaha yeuh, daerah jajahan udah pada lepas gini.

Negara Barat B : Iya, nih, proyekan macet semua.

Negara Barat C : Hayulah urang ngajajah deui!

Negara Barat D : Hussss, ai kita bukannya udah jadi anggota PBB sama ratifikasi Deklarasi HAM? Ya engga bisa atuh ngajajah kayak abad 18-19 dulu.

Negara Barat A: Ah, saya punya akal!

Negara Barat B : Gimanah?

Negara Barat A : Kita kuras kekayaan alam mereka terus kita olah jadi produk jadi terus kita jual ke sana lagi.

Negara Barat C : Ah, heu euh bener! Kita beli SDA-nya dengan harga murah, kita jual hasil olahan dengan harga mahal. Kualitas yang biasa weh lah. KW 10 juga udah cukup lah.

Negara Barat D : Mun mereka protes, hayu ajakan aja. Jadiin buruh-buruh murah, kasi beasiswa dikit biar rada maju otaknya tapi larang mereka buat jadi orang pinter. Atuh ntar ketauan rahasia kita kalau mereka pinter mah.

Negara B : Hayu atuh mulai besok der ah!

Proses yang terjadi dalam fenomena yang dinamakan neokolonialisme itu bisa jadi sudah direncanakan sejak lama, bahkan mungkin sejak mereka pertama kali menginjakkan kaki di Batavia! Para negara-negara Dunia Kesatu itu udah nggak usah susah-susah lagi rapat dan bikin rencana aksi untuk menciptakan penjajahan baru seperti yang saya ilustrasikan di atas. Ketika mereka pertama kali menjajah, mereka sudah tahu bagaimana mengendalikan rakyat jajahannya. Pendefinisian mereka akan kita nyatanya sangat tepat! Buktinya, mereka bisa mengulur waktu hingga tiga ratus lima puluh tahun dan meninggalkan wilayah jajahannya dalam keadaan begitu bodoh, lemah, dan tidak percaya diri. Ketepatan mereka dalam mendefinisikan kita telah membuat mereka menemukan cara-cara untuk mengendalikan kita, baik dalam bentuk kekerasan maupun bentuk budaya, pada masa lalu hingga masa depan.

Kaum penjajah pada pertengahan abad 20 lalu saya rasa tidak terpojok ketika gelombang dekolonialisasi melanda Asia dan Afrika. Mereka santai aja, kali.

Negara Barat A : Nggak apa-apa, gan itu orang Asia ama Afrika pada minta kemerdekaan?

Negara Barat B : Santai, bray! Biarin aja. Biar dulu mereka larut dalam euforia kemerdekaan. Bentar lagi juga paling bingung itu negara mau digimanain. Abis ini juga paling bakal ada banyak kudeta, konflik etnis, perang voodoo, hiperinflasi. Ntar juga kita-kita lagi yang turun tangan.

Negara Barat A : Ah, serius? Naha bisa? Nasionalisme mereka gede beuts, kali.

Negara Barat B : Halah, tahu apa mereka tentang nasionalisme? Eta istilah nasionalisme ge urang keneh nu nyiptakeun basa kakek saya masih jadi tuan tanah di Eropa. Mereka mah baru aja kenal sama kata nasionalisme. Biarin ajah. Saya mah udah ninggalin banyak warisan kolonial yang nanti bisa bikin mereka sakit kepala mikiran nasib negara sendiri.

Negara Barat A : Contohnya?

Negara Barat B : Saya udah bikin mereka percaya kalau kiblat solat boleh aja di Kabah, tapi kalo kiblat peradaban jelas dong di kita. Mereka pasti bakal selalu minta petunjuk kita. Kita mah ga usahlah ribet-ribet kayak orang Jepang yang bikin slogan 3A, sok sok saudara tua. Yeuhhhhh, dalam praktek saya menjajah mereka, dari cara jalan saya aja gituh ya mereka tuh udah silau. Pasti ngikutan. Nah, nanti mah pas mereka minta petunjuk dari kita, kita keluarin semua istilah-istilah sulit dari kita. Kata-kata mahadewa lah. Demokrasi, hak asasi, liberalisasi, pasar bersama, negara-bangsa, keluarin gan keluarin. Mereka silau geura, da. Langsung ngikut! Dijamin.

Negara Barat A : Loh, bukannya nanti kalau mereka ngikutin kita ntar mereka jadi bisa nyusul kita?

Negara Barat B : Nggak bakal. Pada dasarnya, kita sama mereka mah beda. Kita udah punya peradaban kayak begini dari dulu. Udah teruji dan sesuai dengan keadaan alam dan mental bangsa kita. Keadaan dasar mereka beda sama keadaan kita. Kalau keadaan udah beda, harusnya resepnya juga beda, kan? Nah, justru kalau kita kasih resep yang beda dari kita bisa jadi mereka bakal tahu identitas dan hakikat hidup mereka. Kita kebakaran jenggot ntar. Mending kasih resep yang sama. Kan nanti terjadi ketidaksesuaian kan tuh? Nahhhhhh, itu diaaaaa. Ntar pasti mereka ketagihan datang ke kita. Nanya terus. Yasudah, kita sesatkan saja terus. Hehehe.

Negara Barat A : Kalau mereka sadar gimana?

Negara Barat B : Emangnya mereka berani ngelawan kita? Emangnya mereka punya power? Pas mereka sadar juga percuma atuh, kan kita udah bikin banyak institusi yang menjerat mereka. Kalau mereka macam-macam dan mengganggu institusi yang kita buat itu, marahin aja balik. Hehehehe.

Namun demikian, dari ilustrasi yang barusan saya sampaikan, saya juga nggak bisa bilang kalau penjajah itu jahat banget. Kejahatan mereka adalah hal yang wajar, menurut saya. Bukankah mereka butuh makan di tengah alam negara mereka yang tidak berlimpah sumber daya alam? Saya justru melihat permasalahannya terletak pada kelemahan bangsa kita dan bangsa terjajah lain yang begitu menurut, baik hati, dan tulus kepada penjajah. Permasalahannya bukan karena terlalu lama dijajah, (justru terlalu lama dijajah adalah akibatnya) melainkan kenapa bangsa yang hidup di belahan dunia bagian Selatan ini menurut untuk selalu dijajah? Mengapa mereka begitu cepat percaya dan sangat mengamini konstruksi dari komunitas lain? Mengapa mereka begitu persis dengan ayat Al-Baqarah yang tadi saya sadur?

Saya melihat prosesnya begini, pertama, rakyat Dunia Selatan ini adalah manusia yang polos dan hidup baik-baik saja di atas alam yang indah serta kaya. Mereka pikir semua orang di dunia ini hidupnya nyaman kayak mereka. Tiba-tiba mereka tersentak, terkejut, sekaligus kagum waktu tanah mereka didatangi orang asing. Orang asingnya juga kagum waktu melihat ada tanah yang begitu kaya didiami orang yang begitu polos, baik, ramah, dan tidak tahu kalau tanahnya kaya. Plot sinetron pun terjadi mulai detik itu.

Si asing memperdaya si pribumi. Si pribumi awalnya masih sabar. Si asing makin menjadi. Si pribumi lalu mulai panas. Si pribumi pun mulai bikin perlawanan. Eh, si asing, sebagaimana layaknya orang licik dan jahat lainnya, selain memiliki umur panjang kok ya alhamdulillah gitu dianugerahi akal yang juga panjang. Ia pun menyusun rencana untuk menjegal si pribumi. Si pribumi ditakut-takutin. Pribumi pun takut dengan mitos rekaan pemeran antagonis. Si asing khawatir lagi takutnya si pribumi mulai mikir kalau mitos itu bohongan. Si asing pun pura-pura menyerah. Ia pun mendatangi si pribumi dengan muka manis dan senyum lebar. Tapi tenang aja, coba kameranya disorot ke kanan, tuh tuh tuh lihat, senyum dan wajah sumringah itu berubah jadi senyum serigala. Pada adegan itu, si asing mulai mengeluarkan jurus kekerasan simbolik buat si pribumi.

Si pribumi nih, layaknya Alisa Subandono, Marshanda, Ririn, Dini Aminarti, dan Desi Ratnasari, terenyuh melihat kebaikan hati si asing. Dia pikir doanya tadi malem yang bilang, “Ya Allah, maafin temen-temen Baim, ya Allah. Sadarkan mereka, Ya Allah,” udah dikabulin secara kilat. Dia langsung percaya kata-kata si asing. Ia pun lalu mengagumi si asing. Ia nurut kata-kata si asing. Sampai akhir hayatnya!

Waktu sakaratul maut udah deket, wejangannya buat keturunannya selain tunaikan solat, puasa, zakat, dan haji bila mampu, “Jagalah silaturahmi dengan asing. Sesungguhnya ia adalah orang yang benar. Jika ada keraguan mengenai sesuatu, tanya padanya dan langsung laksanakan.” Satu keluarga itu karena sangat menghormati si pribumi, langsung mengiyakan amanah si pribumi. Waktu ada anak si pribumi yang protes, seluruh keluarga mengutuk dia jadi kapal batu kayak Malin Kundang. Katanya durhaka.

Lalu bagaimana dengan asing yang tahu sahabat pribuminya meninggal? Oh, dia ikut nangis dong, tapi coba om kameramen digeser dong kameranya ke kiri, tuh tuh tuh si asing matanya mengerling ke atas sambil tersenyum penuh kepuasan. Ya, itulah drama reality show terbaik dari negara Dunia Ketiga.

Saya nggak tahu apa yang harus saya usulkan buat Teman-teman untuk menghentikan alur cerita sinetron yang sangat mengharukan itu selain tolong banyak-banyak baca Al-Baqarah biar ngehhhhh sama petunjuk bahwa diri kita ini berkecenderungan untuk jadi kerbau yang hidung dan matanya dicolok. Heuheu. Selain itu saya nggak tahu lagi harus ngasih usul apa. Saya juga takut kali kalau dikutuk jadi batu kayak anak sulung pribumi. Saya juga belum mau mati dicincang karena saya menyampaikan pengetahuan baru. Saya juga nggak bisa janji kalau nanti saya udah punya power, saya bakal menentang cengkraman asing di bahu saya. Jangan-jangan ketika saya sudah memiliki power, power itu nggak sebanding dengan penambahan kekuatan institusi yang sudah dibangun oleh orang-orang pribumi di sekitar saya atas usulan, nasihat, dan propaganda asing. Jangan-jangan power yang saya punya juga diberi sama orang asing itu.

Hmmm, melalui posting ini, saya cuman pengen memperlihatkan kepada Teman-teman bahwa kita sudah terlalu lama didoktrin dengan segala hal yang datang dari penjajahan. Kita sudah terlalu akrab, lekat, bersahabat, dan bergantung dengan hal-hal tersebut. Kita sudah tidak bisa mendefinisikan diri kita sendiri karena kita sudah dibuat percaya bahwa kita adalah bangsa nomor dua. Kita nggak tahu siapa diri kita, bagaimana kemampuan kita, apa tujuan kita, dan apa yang bisa kita lakukan untuk mencapai tujuan kita.

Hal itu pulalah yang bisa menjadi salah satu bukti bahwa kita memang berkecenderungan untuk menolak seruan alias pengetahuan baru dan tetap mengikuti ritual dari nenek moyang padahal nenek moyang itu pun tidak memiliki sedikit pengetahuan pun dari ritual yang mereka lakukan. Disuruh A, hayuuuu. Sambil mereka nggak ngerti kenapa harus melakukan A. Disuruh B, manggggaaaa. Padahal mereka juga nggak tahu kenapa dulu A, sekarang jadi B. Pokoknya disuruh sama orang-orang yang sudah lebih dulu beradab mah hayu ajalah. Hmmm, itu juga yang membuat saya melihat bahwa kita cenderung untuk menomorsatukan instrumen dan praktek seremonial ketimbang memikirkan substansi kemudian beralih pada penghayatan dan pengaplikasian substansi baru. Itu juga yang dibilang Bima bahwa kita belum merdeka.

Nah, kalau menurut Teman-teman?




Ark. Agt’10.

Beliau Wafat Karena Kelucuan Bangsanya…

Awal tahun selalu membawa kejutan bagi bangsa Indonesia. Setidaknya dalam dua tahun terakhir ini. Setelah awal tahun 2007 lalu dihiasi dengan hilangnya pesawat Adam Air, kini, awal tahun 2008, muncul kabar kehilangan yang lebih mengguncang. Bangsa Indonesia kehilangan bapaknya yang telah berjasa 32 tahun mengasuh. Bapak Haji Muhammad Soeharto atau yang kita kenal sebagai Pak Harto wafat pada hari Minggu, 27 Januari 2008.

Kabar ini bagi saya merupakan bantahan riil dari Tuhan atas tudingan pihak-pihak ‘penuntut keadilan’ yang menyangsikan kebenaran sakitnya Pak Harto sejak kelengserannya dua belas tahun silam. Tidak cukup bagi mereka untuk melihat lambaian lemah dan senyum lesu Pak Harto, barangkali, hingga Tuhan pun harus turun tangan menutupkan usia beliau, sekaligus menutupkan telinga beliau dari hujat rakyat yang makin berlebihan.

Memaknai masa akhir Pak Harto yang dihabiskan dengan pemberitaan demonstrasi penyeretan Pak Harto ke meja hijau, saya melihat bangsa ini sebagai bangsa yang lucu. Lucu karena terdapat ketidaksinkronan antara tuntutan dengan sikap, itu yang pertama. Pada saat para penuntut menuntut keadilan pengungkapan semua kasus Pak Harto, mereka juga melarut-larutkan proses peradilan dengan membuat sakit Pak Harto bertambah parah. Bagaimana peradilan dapat terjalankan dengan kondisi Pak Harto yang bahkan tidak sanggup merintihkan sakitnya sendiri ?

Dalam perspektif saya, lumrah apabila Pak Harto sakit. Bukan karena ’kualat’ atau ’karma’ seperti yang dicemoohkan publik selama ini melainkan karena kebertubian hujatan setelah beliau lengser. Tiga puluh dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk ditabahkan kehilangannya, terutama bila ia hilang lewat hadirnya tuntutan anarkis rakyat dan desakan elit yang selama ini nampak tunduk-tunduk saja. Belum sembuh juga rasa kehilangan itu, beliau juga harus menyaksikan gelombang hujatan yang bertubi dilayangkan untuknya. Nonstop. Bahkan hingga detik sebelum kewafatannya.

Mengenang masa ordenya yang bertahan begitu lama, bahkan dalam sejarah perpolitikan dunia, presiden setelah era Soekarno ini telah berhasil membagi perspektif rakyat Indonesia dalam dua wacana kontras. Segala kebijakan dalam orde tiga dekade yang beliau lahirkan memancing kekritisan rakyat, dalam diam maupun dalam ungkap, dan dalam kajian argumentasi yang beragam, yang tentu dilandasi bukti realita namun sayang masih kabur batasan obyektif-subyektifnya.

Pada saat pandangan negatif yang menuntut hukuman terberat bagi Pak Harto hadir bersama segudang bukti fisik dan logika, ada simpati kemanusiaan yang mengiyakan bahwa Orde Baru melahirkan korban bagi sekelompok masyarakat. Namun simpati ini mempertanyakan lagi hal yang menggelitik, apakah mungkin tuntutan peradilan berdasar bukti yang obyektif tersebut lahir murni tanpa ada subyektivitas dendam dari para keluarga dan kerabat korban?

Jika mereka benar-benar obyektif didasari nama kemanusiaan, mengapa dalam penuntutannya mereka mengabaikan prinsip kemanusiaan? Mengapa Pak Harto dipojokkan sedemikian rupa bahkan terkesan mengabaikan kondisi fisik Pak Harto yang membutuhkan bantuan mekanik? Mengapa kebebasan berpendapat yang dibidani oleh reformasi malah menjurus pada kebebasan menyakiti secara verbal?

Pun dalam pandangan positif yang mengaku lebih nyaman berada dalam asuhan Pak Harto. Pengelu-eluan capaian signifikan dalam ekonomi tersebut perlu ditanyakan kemurnian obyektivitasnya. Apakah mungkin melepaskan pandangan demikian dari sangkaan ketidakpuasan terhadap orde pemerintahan yang kini? Apakah mungkin pandangan itu tetap bertahan apabila pemerintah reformasi dapat memberikan kondisi yang lebih memuaskan dibanding tiga dekade tersebut? Atau bila keadaannya demikian, mungkinkah keterkotakkan seluruh perspektif bangsa dalam kutub negatif terjadi? Pak Harto dipukul rata sebagai sejarah kelam bangsa.

Kita tentu tidak bisa melepaskan diri dari dua pandangan tersebut setiap saat kita mengangkat permasalahan bapak bangsa ini atau bapak bangsa yang lain. Tidak ada manusia yang murni putih dan murni hitam, yang jelas. Dengan demikian, bagi saya sendiri, kecaman dan pujian bagi Pak Harto adalah hal yang lumrah. Yang tidak lumrah adalah pada saat kita membicarakannya dalam bingkai yang cacat. Kita hanya membicarakan sisi negatifnya tanpa menyinggung sisi positifnya, begitu pula sebaliknya, pada saat kita hanya membatasi diri dalam pujian untuk beliau tanpa kita membuka mata kepada sekelompok yang mengaku bahwa dirinya korban, itu kelucuan kedua.

Kecacatan bingkai inilah yang selama ini saya lihat dalam menyikapi jejak sejarah Pak Harto. Inilah yang membuat bangsa kita terkotakkan dalam perspektif yang kontrasnya tajam. Inilah yang membuat Pak Harto makin parah sakitnya, pandangan negatif sebagian masyarakat yang didirikan di atas pandangan positif yang dianut Pak Harto dan sebagian masyarakat lain. Akhirnya, inilah yang membuat proses peradilan yang dituntut keberadaannya terhambat dan utamanya, inilah yang ’membunuh’ Pak Harto.

Saya sendiri berpendapat bahwa dua argumentasi baik dan buruk dalam kepemimpinan Pak Harto adalah sebuah rentetan yang saling mendukung, saling berjalan, dan saling memberi alasan. Nothing’s free such a free lunch, mengutip pakar ekonomi AS, Mankiw, alias tidak ada yang gratis di dunia ini. Semua memiliki resiko dan mengharuskan adanya pihak yang mengalah, jika tidak ingin disebut korban.

Dalam permasalahan ini, keberhasilan ekonomi dan pembangunan ternyata mengharuskan ada sekelompok yang mengalah. Hak-hak yang seharusnya dinikmati oleh kelompok ini ternyata harus dijadikan alat pembayaran bagi penikmatan hak-hak orang lain, yang kastanya sama seperti mereka, yang lebih rendah, dan yang lebih tinggi. Kesimpulannya, di balik pengorbanan mereka, kita melihat adanya hasil, dan sebaliknya ternyata dalam hasil yang dinikmati oleh suatu lapisan, ada lapisan lain yang kehilangan haknya.

Lapisan kedua inilah yang kini bersuara. Menceritakan pengorbanan mereka yang tak terungkap dan menuntut kompensasi atas luka mereka yang selama ini disembunyikan dalam gaun patuh (baca:diam). Proses peradilan dijadikan alat tumpuan pengobat mereka. Namun lagi-lagi kembali pada penekanan saya sebelumnya, kaum ini terlalu subyektif dan egois menyuarakan geloranya. Rasa sakit hati rupanya telah menutup hati mereka dari kenyataan positif yang berhasil dibangun Pak Harto dan menutup hati mereka untuk menyuarakan kebungkaman tiga dekade mereka dalam kaidah yang tidak memprovokasi serta tidak kebablasan.

Gelombang demi gelombang hujatan terus berdatangan. Memojokkan Pak Harto dan pegawainya. Bahkan hingga Pak Harto dinyatakan sakit pun masih ada yang berspekulasi bahwa hal tersebut adalah strategi untuk menghindari hukum. Jika mereka dapat mengatakan Pak Harto harus diadili demi kemanusiaan, lalu dimana kemanusiaan mereka sendiri? Siapa yang mereka perjuangkan dalam penuntutan penyelewengan kekuasaan Pak Harto? Semua kaum mereka atau hanya mereka sendiri, dalam arti memuaskan dendam dari mereka yang jadi korban?

Jika Pak Harto kini bukannya meninggal tapi hidup, sehat wal afiat dan kuat sehingga bisa menghadiri persidangan sampai muncul putusan hukum, akankah mereka akan puas dengan putusan tersebut? Atau mereka akan berebut menjadi hakim agar legallah aksi main hakim sendiri?

Di sinilah alasan ketiga mengapa bangsa ini begitu lucu dalam perspektif saya, mengatasnamakan kepentingan golongan demi kepentingan pribadi. Agregasi latar belakang yang sama-sama terpinggirkan hanya dijadikan kumpulan statistik untuk meyakinkan diri bahwa tuntutan pribadi legal disuarakan dan kesewenang-wenangan Pak Harto (dalam perspektif mereka) sah digembar-gemborkan dan dicaci-caci.

Sungguh bangsa ini bangsa yang lucu namun sayangnya kelucuan ini tidak membuahkan kerileksan bagi Pak Harto dan proses hukumnya. Kelucuan ini malah mengorbankan nyawa mantan pemimpin bangsa yang mereka cap otoriter dan otomatis menutup semua misteri latar belakang tindakannya dalam era Supersemar hingga Supermoneter satu dekade lalu.

Kelucuan bangsa ini membuat saya berpikir bahwa inilah alasan mengapa Tuhan harus memanggil Pak Harto dalam kondisi peradilan yang masih menggantung. Tuhan Maha Tahu apa yang akan terjadi bila Pak Harto diadili bangsa yang lucu ini. Tuhan Maha Menyayangi makhluk-Nya, termasuk Pak Harto. Ia-lah yang akan mengadili Pak Harto tanpa perlu meghujat Pak Harto, seperti bangsa ini.

(Ark.Jan’08)

Mau Menjadi Orang Indonesia (Lagi)kah Kita...?

Terinspirasi dari cetusan salah seorang teman saya yang ganteng (kata si Iman), sebut saja namanya Mr.13, yang kebetulan pada suatu seminar ia duduk di sebelah saya, tulisan ini akhirnya lahir.

Dan cetusan itu adalah,

“....terserah. Tapi yang jelas, saya bukan orang Indonesia.”

Hoho.

Bukan sekali dua kali memang saya mendengar cetusan serupa, malah bisa dikatakan hingga telinga saya menjadi cukup kebal dan bertoleransi untuk mendengar cetusan seperti itu. Tak mengherankan karena cetusan seperti itu banyak lahir baik di radio, televisi, koran, milis, maupun di samping depan belakang saya. Namun entah kenapa untuk satu kali ini saya cukup merasa 'gerah' dan akhirnya berkeputusan untuk mengutarakan juga pandangan saya yang sangat bertolak belakang,

“Gua orang Indon dan gua cinta tanah air gua.”

Bukan karena saya penikmat novel best seller Donny Dirgantoro, 5cm atau karena sering memutar lagu Cindy Cenora yang populer sepuluh tahun lalu, Aku Cinta Rupiah, saya berpandangan seperti itu, namun karena saya melihat ada ketidakadilan saat kita dengan bangga dalam balutan nada emosi, memaki, atau minimal sinis mencetuskan ungkapan bahwa kita bukan orang Indonesia. Singkatnya, saya mau menjadi orang 'adil' dengan tetap berprinsip bahwa saya cinta tumpah darah saya, Indonesia.

Ketidakadilan pertama bagi saya adalah ketidakadilan bagi para pahlawan yang lebih dari tiga abad memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jika kita sebagai generasi penikmat malah mengisi nikmat kemerdekaan kita dengan cercaan dan ketidakbanggaan kita sebagai orang Indonesia, buat apa dulu mereka berjuang?

Mungkin di antara Teman-teman ada yang berpandangan,

“Oh, itu terserah mereka. Emangnya kita minta mereka supaya berjuang gitu? Enggak, kan? Toh mereka juga udah mati, so kenapa juga kita masih harus memikirkan 'jasa-jasa' mereka?”

Atau,

“Memangnya dulu mereka berjuang buat kita gitu? Bukannya mereka berjuang untuk kepentingan mereka pada masa mereka?”


Meskipun pada saat mereka berjuang kita sama sekali belum berada di dunia atau dengan kata lain maka kita tidak pernah meminta agar kemerdekaan Indonesia mereka perjuangkan, tapi pada kenyataannya pada masa sekarang ini kita menikmati kemerdekaan, bukan? Meminta atau tidak meminta tidak penting untuk dibahas toh yang jelas sekarang kita bebas sekolah, jalan-jalan, belanja, main, tidur tanpa ancaman bom, teror -ambil pengecualian untuk kasus teror bom yang dilakukan oknum sok Islam-, perkosaan, perbudakan, diskriminasi dari kaum kolonial. Dan untuk semua kenyamanan yang kini kita rasakan, kita patut untuk berterimakasih kepada para pahlawan yang meninggalkan keluarganya dan mengorbankan waktunya, pemikirannya, bahkan nyawanya 'hanya' untuk meneriakkan, “Merdeka!”.

Bagaimana cara kita berterimakasih kepada mereka?

Menjadi orang yang adil dengan bangga menjadi orang Indonesia dan mengisi kemerdekaan Indonesia dengan hal yang berguna dan membangun, minimal untuk diri sendiri dan orang-orang terdekat.

Cara yang klasik dan terlalu wacana?

Hmmmm, sekilas mungkin.

Namun coba kita tanya diri kita sendiri, jika cara ini cara klasik, apa kita sudah melakukannya? Cara ini sudah kita kenal sejak SD, tapi apakah kita sudah menerapkannya di dalam aspek lain selain hanya sebagai pengisi lembar jawaban ulangan PPKN kita? Dan jika cara ini terlalu wacana alias hanya sekedar imbauan yang masuk kiri keluar kanan, kenapa juga kita memikirkan cara yang terlalu kompleks? Padahal hanya dengan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas di Indonesia dan mengakui bahwa kita orang Indonesia, kita sudah berhasil menjadikan cara ini menjadi cara yang tidak wacana.

Ketidakadilan kedua bagi saya adalah ketidakadilan bagi ibu pertiwi. Siapa yang tidak tahu betapa luasnya, kayanya, suburnya alam Indonesia ? Siapa juga yang tidak tahu betapa kompleksnya perbedaan budaya di tiap sentimeter Indonesia? Dan siapa juga yang tidak tahu bahwa kita bisa berdiri di antara semua perbedaan tersebut dan membuat bingung orang luar negeri gara-gara si mancung, si pesek, si lurus, si keriting, si hitam, si putih sama-sama berkata, “I'm Indonesian.” ? Sudah banyak pula yang diberikan ibu pertiwi untuk kita. Air, udara, budaya, ilmu, kasih, pengalaman, tambang, kayu, kapas, padi, dan masih banyak lagi, namun kenapa juga kita masih membuat ia meneteskan air mata? Satu yang paling penting, kenapa kita masih membuatnya nampak lebih buruk lagi?

Bagi saya, yang bobrok bukan Indonesia, bukan pula sistem di Indonesia, tapi yang bobrok adalah penjalan sistemnya dan penghuni Indonesia. Pejabat yang mata duitan, oknum yang menggelapkan uang negara yang dimaksudkan untuk mencerdaskan dan memajukan bangsa, guru-guru yang hanya bisa menjadi pengajar bukan pendidik, realisasi teori yang banyak diwarnai faktor X dan akhirnya kacau, dan tak ketinggalan, KITA, kita si generasi penikmat, si generasi calon pemimpin yang menyerah dengan keadaan seperti itu, kita yang bukannya tergerak untuk memperbaiki segala kebobrokan yang kasat mata, bahkan untuk hal yang kecil tapi malah melarikan diri dari tanggung jawab membangun bangsa menjadi bangsa yang lebih baik dengan cara tidak mau mengaku sebagai bangsa Indonesia dengan alasan, “Saya tidak atau belum mendapatkan sesuatu dari Indonesia, karena itulah kenapa juga saya harus bangga menjadi orang Indonesia?”

Kalau boleh menyebut nama orang yang saya anggap sebagai orang Indonesia sejati, saya akan menyebut dua nama, Butet Manurung dan -wah, lupa, euy...- juara Olimpiade Fisika dari SMA BPK Penabur Jakarta.

Butet Manurung? Saya yakin dia juga lelah dengan sikap pemerintah yang sama sekali tidak peduli dengan kemajuan pendidikan di daerah pedalaman, tapi ternyata ia mampu mentransformasikan rasa lelahnya terhadap penjalan sistem dengan berinisiatif menjelajahi daerah pedalaman dan mengajarkan anak suku membaca dan menulis. Ia mencintai Indonesia dengan membangun anak bangsanya, walaupun 'hanya' untuk mengajari membaca dan menulis. Satu lagi yang saya kagumi, ia adalah perempuan dan ia menentang bahaya untuk mendatangi alam dan penghuni alam pedalaman lain, demi ketidakpuasannya kepada pemerintah yang lepas tangan.

Ia mungkin bisa pergi ke luar negeri dan mencari negara yang perhatian dengan pendidikan warga negaranya dan ia bekerja di sana atau bila ia tidak ke luar negeri, ia hanya di sini, sekedar diam di tempat, demonstrasi di sudut pintu MPR/DPR – yang pasti tidak akan terdengar hingga gedung MPR/DPR karena 'pintu demo' dan pintu kerja anggota DPR sangat-sangat jauh-, mengompori praktisi lain, menjadi aktivis konyol yang hanya bisa berbicara tanpa bertindak, memprovokasi rakyat untuk benci Indonesia, atau melakukan banyak bodoh lain yang sama sekali tidak membawa ke arah perubahan.

Namun apakah ia melakukan hal tersebut?

Tidak, bukan?

Tanpa banyak berkomentar, ia wujudkan cinta dan prihatinnya bagi bangsanya dengan cara membangun calon pemimpin bangsa. Ia sama sekali tidak lari dan benci, kalau boleh mengambil istilah kasar.

Kedua, si juara Olimpiade. Dalam suatu kesempatan makan siang bersama Pak Menlu, DR.N. Hassan Wirayuda, laki-laki Tionghoa yang bangga menyebut dirinya sebagai orang Indonesia ini mengungkapkan bahwa pagi-pagi di kamar hotelnya setelah pengumuman juara Olim, di bawah pintu ia menemukan formulir Nanyang Technology University, full beasiswa, full fasilitas, dan ada tawaran bekerja di Singapura dengan berbagai full-full lain. Ia kaget dan ternyata tak hanya ia yang mendapatkan formulir di bawah pintu, namun hampir semua anak pemenang olimpiade dari negara di Asia.

Menanggapinya, Pak Menlu bertanya apakah akhirnya ia menerima penawaran langka tersebut, dan ternyata si pendiam ini menjawab dengan polos dan dengan nada yakin, “Nggak, Pak... Itu kan namanya ekspliotasi anak pintar. Saya lebih memilih di Indonesia.”

Bagi saya yang tahu bahwa NTU adalah impian setiap orang yang mempunyai potensi untuk maju dan jenius, seperti si juara Olim Fisika ini atau bagi sederetan nama lain di sekolah saya yang mengikuti olimpiade, menolak tawaran langka ini adalah suatu hal yang sangat mengagumkan, terutama dengan alasan ia ingin membangun Indonesia saja. Satu hal yang membanggakan lagi, si olim ini menegaskan, “Kalau cuma sekedar belajar di sana ya nggak apa-apa, tapi kalau untuk sekalian bekerja...wah, berat juga soalnya sampai SMA ini saya dapat ilmu fisika dari guru saya yang orang Indonesia dan di Indonesia.”

Saya yakin, bukan cuma saya dan Pak Menlu saja yang bangga dengan pernyataan anak ini namun juga seluruh undangan makan siang yang ada di ruangan. Itulah yang saya harapkan dari teman-teman saya yang kebetulan dianugerahi otak encer dan kesempatan bertanding dengan negara lain, yang alhamdulillah juga mereka mampu bersaing mengalahkan peserta dari negara lain yang banyak kita contek ilmunya lewat globalisasi. Keinginan untuk membangun Indonesia itulah. Bukannya pergi ke negara lain, full 100% meninggalkan Indonesia karena di Indonesia mereka tidak dihargai, kasarnya karena perbandingan materi yang mereka terima di Indonesia tidak sebanding dengan apa yang mereka terima di luar negeri, melupakan bahwa selama lebih dari dua belas tahun mereka mendapatkan dasar di Indonesia dan melihat segala kebobrokan Indonesia dan tidak tergerak sedikit pun untuk memperbaiki Indonesia lewat ilmu yang mereka miliki, ditambah lagi mereka tidak mau mengakui bahwa mereka adalah orang Indonesia. Yang saya sayangkan dari sikap anak-anak pintar yang melarikan diri tersebut adalah mereka pintar, cerdas, berpotensi, namun mereka sama sekali tidak membuat adanya perubahan di dalam wajah Indonesia yang jelas-jelas mereka ketahui, tercarut marut.

Kasihan ibu pertiwi, setelah apa yang ia berikan kepada tarunanya, ia malah dicaci dan ditinggalkan.

Saya tidak menutup mata dengan fenomena bahwa memang ilmuwan, ambil contohnya, jarang ada yang bisa hidup makmur atau jarang ada yang bisa melakukan penelitian dengan biaya dari pemerintah. Saya juga mengakui bahwa penghargaan kepada orang jenius dibandingkan penghargaan untuk wajah penghias layar kaca sangat tidak sebanding. Saya juga mengerti bahwa kita harus tetap hidup dan hidup itu mahal. Saya juga mengerti bahwa hidup di luar negeri adalah pilihan. Saya hanya tidak setuju dengan pernyataan segelintir orang yang menyebutkan bahwa mereka bukan orang Indonesia atau mereka tidak bangga dengan Indonesia karena mereka tidak mendapatkan sesuatu dari Indonesia karena pada kenyataannya, ada banyak hal yang mereka dapatkan dari Indonesia, jika mereka mau merenungkannya sebentar.

Mereka boleh malu jadi orang Indonesia, seperti puisi Taufik Ismail. Mereka boleh enggan mengakui bahwa Indonesia adalah tumpah darah mereka pertama kali. Tapi mereka juga harus pintar bahwa yang seharusnya mereka benci bukanlah si Indonesia, tapi si oknum kotor Indonesia. Yang salah si oknum-oknum tertentu namun mengapa mereka harus membenci Indonesia secara keseluruhan? Sinekdoke, namanya.

Permasalahan utama bukan terletak pada Indonesia karena Indonesia adalah wadah, organisasi. Permasalahan terletak pada SDM yang bobrok. Yang bobrok menjalankan sistem, yang bobrok mengaplikasikan teori, yang bobrok dan tega menghancurkan harga diri sendiri, yang sangat berkiblat pada dunia lain tanpa bisa mengambil sikap dengan dalih mengikuti trend, yang mau digilas globalisasi tanpa berpegang pada falsafah yang sedari TK sudah dicekoki lewat upacara bendera, pembacaan UUD, dan Pancasila, yang hanya menjadi petani tradisional yang mampu menjadi penghasil CPO kedua setelah Malay, yang mampu menjadi penghasil kina terbesar di dunia, yang mampu memasok 16% kebutuhan daun teh di Asia, dan bukannya menyontek ilmu negara Asia Timur dan Amerika Utara untuk menjadi motor industri dan bisnis.

Ironinya lagi, hampir 200juta rakyat Indonesia capai untuk membuat perubahan. Semua jika tidak kembali meneruskan sistem dan aplikasi yang terjalankan salah maka lari ke luar negeri, melepas identitas sebagai orang yang lahir di Surabaya, Bandung, Manado, Maluku, Lampung, Padang, Aceh, Flores, Merauke, Pontianak, Garut, Fak-fak, Kupang, Minahasa, Toraja sebagai suku Sunda, Jawa, Batak, Aceh, Padang, Bugis, Dayak, Asmat. Jika bukan juga, mereka malah mengoyak-ngoyak dan memprovokasi rakyat untuk lebih dalam lagi membenci sekaligus menyerah dengan Indonesia.
Jika begini terus, maka kapan kita mau jadi orang Indonesia? Kapan kita mau banting stir dan bangga menjawab , “Saya orang Indonesia.” ?

Salah apabila kita lari. Seharusnya kita memperbaiki.

Menjadi pejabat yang tidak mata duitan, mengaplikasikan teori menjadi praktek yang benar, menjadi pendidik, menjadi SDM yang berkualitas dan tetap mau membangun bangsa atau minimal mengakui bahwa kita orang Indonesia meski kita suatu saat nanti menghirup udara dari pohon dan iklim berbeda di belahan dunia lain.

Indonesia bagi saya, sampai kapanpun tetap menjadi negara saya yang eksotis, yang unik, yang indah, yang menakjubkan, yang kaya, yang menyenangkan, yang nyaman, yang membanggakan, dan saya bangga bisa menjadi salah satu bagian dari perbedaan yang dimiliki dari rentang 95 BT-141 BT ini, meski ada kebobrokan SDM di dalamnya. Dan semoga di luar sana ada banyak orang yang sama bangganya seperti saya sebagai orang Indonesia dan mau menularkannya kepada orang lain dengan jalan memperbaiki kebobrokan SDM Indonesia minimal dimulai dari diri mereka sendiri.

Dengan kenyataan yang saya yakin semua orang setuju bahwa Indonesia terpandang bobrok karena SDM-nya, masih maukah kita memperbaiki ? Masih mau (mengakui) menjadi orang Indonesia (lagi)kah kita...?

(Ark.Mei'07)




PS : No ofens ya, Mr.13. Sy sbnrny nghormatin pandangan kamu, kok. Pbdaan mbuat qt kaya, rite?