Slice of Ceremony, Bowl of Myth, and Cup of Propaganda: Good Morning, World! It is Meal Bouquet from Postcolonial Civilization!


Beberapa hari lalu saya menemukan satu ayat menarik dan pas sekali dengan tema bulan ini dari surat Al-Baqarah. Namun, karena keterbatasan otak, saya lupa ayat berapa dan bagaimana bunyinya secara persis. Intinya begini, mengapa kita (kalau di ayat itu sih dibilangnya, Kamu) cenderung untuk mengabaikan seruan yang baru dan yang benar hanya karena kita sudah memiliki ritual yang kita lakukan secara turun-temurun alias warisan nenek moyang padahal nenek moyang kita yang melakukan ritual tersebut pun tidak mendapatkan esensi dan maksud dari ritual tersebut. Menghubungkan pertemuan saya dengan ayat tersebut, status kawan saya, Bima Prawira Utama, mengenai kepercayaan kita akan kuntilanak, dan beberapa hasil kontemplasi kuliah Studi-Studi Budaya (Cultural Studies), Teori Hubungan Internasional 1, serta beberapa literature yang sempat saya baca, saya pun jadi mengucap, Maha Suci Allah yang benar-benar memiliki pengetahuan luas akan makhluk-Nya! Ayat itu tidak hanya bisa kita pandang secara sempit dalam urusan keagamaan, tapi juga fenomena sosial, khususnya di Negara Postkolonial atau bekas jajahan, yang sangat lekat pada praktek pemitosan.


Kuntilanak dan Kemerdekaan

Bima bilang, “Jangan mengaku merdeka kalau masih percaya sama kuntilanak. Doi bikinan Belanda, loh. Gatau tah kalau pocong.”

Saya sempat mencandai status Bima tersebut, “Naha ai kita 17-an malah mistis kieu?” Pancingan saya berhasil, akhirnya Bima mengungkapkan mengapa ia memasang stat demikian. Menurut Bima, permasalahannya tidak terletak pada mistis-mistisan, tetapi pada cermin betapa masih terlekatnya kita pada konstruksi dari penjajah. Nah, jika kita masih terlekatkan dengan hal tersebut, bagaimana kita bisa menyebut diri kita merdeka? Yup, saya tahu poinnya. Saya setuju dengan pendapat Bima.

Nye bilang soft power itu jauh lebih efektif ketimbang hard power. Soft power macam penyebaran budaya akan menciptakan sebuah keterikatan, bahkan ketergantungan yang tentu lebih efektif daripada penggunaan ancaman dan instrument militer yang hanya akan membuat ketakutan. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa ketika suatu kelompok ditekan dengan ancaman dan kekerasan, efek jangka pendeknya mereka akan menurut, namun efek jangka panjangnya mereka akan menjadikan bibit-bibit kedendaman menjadi sebuah semangat revolusi yang menentang status quo. Penundukkan pun bersifat sementara. Jika ingin mengeternalisasikan penundukkan, penggunaan soft power pun harus digunakan.

Saya nggak tahu ada hubungan apa antara Jan Pieterzon Coen, Daendels, dan Ratu Wilhelmina sama Joseph Nye. Mereka hidup di zaman yang berbeda, namun praktek yang dijalankan oleh kompeni tersebut nyatanya sama persis seperti yang diungkapkan Nye. Selama tiga ratus lima puluh tahun, penjajahan secara fisik jelas kita alami. Ancaman, kekerasan, perbudakan, mmmm….kata-kata buruk dari kelompok kata penindasan apa lagi coba yang belum kita alami selama tiga ratus lima puluh tahun itu? Didorong oleh perasaan marah, dendam, sakit hati yang lebih dalam daripada ketika putus sama pacar, kita pun be-revolusi, berani bersatu, berani mengumandangkan perang, dan akhirnya berani memproklamasikan kemerdekaan. Yup, oke memang. Tapi coba perhatikan, deh, kenapa kemerdekaan itu baru bisa kita kumandangkan pada tahun 1945? Kenapa juga selama tiga ratus lima puluh tahun, negeri yang melingkupi tiga belas ribu pulau ini hanya memiliki segelintir nama pahlawan besar?

Adanya soft power itulah, Teman-teman!

Ada praktek-praktek budaya yang diciptakan oleh penjajah untuk tetap mengungkung kita pada suatu sistem status quo. Pas lagi perang sama Belanda sore-sore, eh para prajurit tiba-tiba ciut. Ditanya sama komandannya, “Kenapa berhenti?” si prajurit pun menjawab, “Punten, Ndan, udah mau malam. Mak Lampir suka cari mangsa bada magrib.”

Nggak jauh beda kalau misalnya orang Belandanya kabur ke hutan. Tiba-tiba panglima dari laskar pribumi memberhentikan kudanya. Ditanya kan tuh sama anak buahnya, “Berhenti ini teh? Ada apa? Kita dijebak?” terus panglimanya jawab, “Eta hutan bukannya angker ya? Kan katanya ada mayat yang dibuang cenah?”

Lalu Teman-teman ingat juga, kan betapa tersulutnya emosi salah satu pahlawan nasional saat pemakaman leluhurnya dipasangi patok-patok jalan oleh Belanda? Sang pahlawan yang biasanya mampu menahan emosi tiba-tiba menjadi sosok yang begitu murka sehingga logikanya pun runtuh. Hasilnya? Apakah dengan kemarahan atas penginjakkan harga diri tersebut membuat sang penjajah terusir dari tanah air sang pahlawan, minimal tanah pemakaman leluhur yang diperjuangkan itu?

Itu sedikit gambaran betapa hebatnya penggunaan soft power. Sebarkan isu sensitif, maka sang target akan menurut bak kerbau dicocok hidungnya dan dicolok matanya.


Mendarah Daging

Masalahnya lagi, penjajah itu juga nggak cuman pakai soft power ala Nye, tapi juga kekerasan simbolik dari ala Om Gramsci. Melalui kekerasan simbolik itu, sang penjajah tetap bisa mempertahankan hegemoninya di tanah jajahan meskipun di tanah jajahan itu juga hidup Sultan-Sultan, Raja-Raja, Ratu-Ratu, dan pemuka agama yang begitu disegani oleh rakyat asli. Buku sejarah yang kita baca ketika masa sekolah pasti mengenalkan kita pada seorang Belanda yang begitu baik sama orang pribumi gara-gara dia memperjuangkan dibukanya akses pendidikan dan dilonggarkannya undang-undang pertanahan. Nah, saya dulu sempat kagum juga tuh sama orang itu. Namun, ketika saya membaca lebih lengkap lagi, saya pun merasa terkhianati. Ternyata, selain atas dasar kemanusiaan, tujuan sang Belanda yang baik hati itu juga untuk mengekalkan kekuasaan Belanda di Indonesia dengan meminimalkan gelombang protes dan revolusi rakyat.

Orang itu tahu benar bahwa penindasan yang begitu hebat dan lama harus diredakan tidak dengan penindasan lagi, tetapi dengan fasilitas yang menjanjikan dan menyamankan. Ditambah lagi, bukankah dengan mendidik tenaga pribumi maka biaya yang harus dikeluarkan oleh Belanda bisa ditekan? Orang pribumi nggak usah digaji gede, nggak usah dikasih fasilitas menak, priyayi, luxury. Dikasih sedikit saja hati, mereka akan tersenyum dan loyal selamanya. Buruh murah, nurut, dan cepat tanggap, apa lagi coba yang tidak lebih diinginkan oleh penjajah daripada hal itu?

Ketika pada akhirnya muncul pahlawan-pahlawan besar nasional, ketika revolusi fisik akhirnya berlangsung, dan ketika kemerdekaan pun akhirnya lahir, penjajahan memang berakhir. Namun, garisbawahi, hanya penjajahan fisiklah yang berakhir. Sementara itu, penjajahan mental dari penggunaan soft power dan kekerasan simbolik nyatanya tetap bersemayam dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kepercayaan kita. Segala praktek seremonial, ancaman mistis, ajakan propaganda yang diciptakan penjajah dan diamini oleh nenek moyang kita pun akhirnya menjadi sebuah pengetahuan biasa, pengetahuan umum, bahkan falsafah hidup yang selalu kita anut kebenarannya.

Kita pun akhirnya menjadi kelompok yang serupa dengan kelompok manusia di Yunani Kuno yang hidup di dalam gua yang sangat yakin bahwa hanya gua itulah yang berperadaban dan benar hingga rela mencincang kawan mereka yang baru saja keluar gua dan membawa pengetahuan baru. Ketika kita berbeda sedikit dari komunitas kita, kita akan dicap aneh. Ketika kita teguh dengan identitas kita, mereka menolak kita. Ketika kita menghadapi penolakan itu, mereka menganggap kita adalah musuh berbahaya. Ujungnya ya itu tadi, dicincanglah kita.


Neokolonialisme? Neo?

Banyak orang dan organisasi garis keras yang mengatakan bahwa globalisasi pada masa ini merupakan perpanjangan dari imperialisme. Neokolonialisme. Penjajahan bentuk baru.

Kata mereka, ya kita memang tidak dijajah dalam arti disuruh membajak sawah sambil ditemani satu senjata laras panjang yang siaga dalam radius dua ratus meter, tapi sebagai gantinya kita memiliki ketergantungan untuk menggadaikan kekayaan alam kita kepada produsen Barat serta membeli dan membanggakan produk olahan Barat daripada produk yang dibuat oleh Timur. Melalui hubungan ekonomi itulah kita kembali dijajah. Pendapat tersebut ada benarnya juga. Namun saya rasa, penjajahan macam itu bukanlah penjajahan baru dalam arti penjajahan yang baru dipikirkan. Prosesnya bukan begini,

Negara Barat A : Kumaha yeuh, daerah jajahan udah pada lepas gini.

Negara Barat B : Iya, nih, proyekan macet semua.

Negara Barat C : Hayulah urang ngajajah deui!

Negara Barat D : Hussss, ai kita bukannya udah jadi anggota PBB sama ratifikasi Deklarasi HAM? Ya engga bisa atuh ngajajah kayak abad 18-19 dulu.

Negara Barat A: Ah, saya punya akal!

Negara Barat B : Gimanah?

Negara Barat A : Kita kuras kekayaan alam mereka terus kita olah jadi produk jadi terus kita jual ke sana lagi.

Negara Barat C : Ah, heu euh bener! Kita beli SDA-nya dengan harga murah, kita jual hasil olahan dengan harga mahal. Kualitas yang biasa weh lah. KW 10 juga udah cukup lah.

Negara Barat D : Mun mereka protes, hayu ajakan aja. Jadiin buruh-buruh murah, kasi beasiswa dikit biar rada maju otaknya tapi larang mereka buat jadi orang pinter. Atuh ntar ketauan rahasia kita kalau mereka pinter mah.

Negara B : Hayu atuh mulai besok der ah!

Proses yang terjadi dalam fenomena yang dinamakan neokolonialisme itu bisa jadi sudah direncanakan sejak lama, bahkan mungkin sejak mereka pertama kali menginjakkan kaki di Batavia! Para negara-negara Dunia Kesatu itu udah nggak usah susah-susah lagi rapat dan bikin rencana aksi untuk menciptakan penjajahan baru seperti yang saya ilustrasikan di atas. Ketika mereka pertama kali menjajah, mereka sudah tahu bagaimana mengendalikan rakyat jajahannya. Pendefinisian mereka akan kita nyatanya sangat tepat! Buktinya, mereka bisa mengulur waktu hingga tiga ratus lima puluh tahun dan meninggalkan wilayah jajahannya dalam keadaan begitu bodoh, lemah, dan tidak percaya diri. Ketepatan mereka dalam mendefinisikan kita telah membuat mereka menemukan cara-cara untuk mengendalikan kita, baik dalam bentuk kekerasan maupun bentuk budaya, pada masa lalu hingga masa depan.

Kaum penjajah pada pertengahan abad 20 lalu saya rasa tidak terpojok ketika gelombang dekolonialisasi melanda Asia dan Afrika. Mereka santai aja, kali.

Negara Barat A : Nggak apa-apa, gan itu orang Asia ama Afrika pada minta kemerdekaan?

Negara Barat B : Santai, bray! Biarin aja. Biar dulu mereka larut dalam euforia kemerdekaan. Bentar lagi juga paling bingung itu negara mau digimanain. Abis ini juga paling bakal ada banyak kudeta, konflik etnis, perang voodoo, hiperinflasi. Ntar juga kita-kita lagi yang turun tangan.

Negara Barat A : Ah, serius? Naha bisa? Nasionalisme mereka gede beuts, kali.

Negara Barat B : Halah, tahu apa mereka tentang nasionalisme? Eta istilah nasionalisme ge urang keneh nu nyiptakeun basa kakek saya masih jadi tuan tanah di Eropa. Mereka mah baru aja kenal sama kata nasionalisme. Biarin ajah. Saya mah udah ninggalin banyak warisan kolonial yang nanti bisa bikin mereka sakit kepala mikiran nasib negara sendiri.

Negara Barat A : Contohnya?

Negara Barat B : Saya udah bikin mereka percaya kalau kiblat solat boleh aja di Kabah, tapi kalo kiblat peradaban jelas dong di kita. Mereka pasti bakal selalu minta petunjuk kita. Kita mah ga usahlah ribet-ribet kayak orang Jepang yang bikin slogan 3A, sok sok saudara tua. Yeuhhhhh, dalam praktek saya menjajah mereka, dari cara jalan saya aja gituh ya mereka tuh udah silau. Pasti ngikutan. Nah, nanti mah pas mereka minta petunjuk dari kita, kita keluarin semua istilah-istilah sulit dari kita. Kata-kata mahadewa lah. Demokrasi, hak asasi, liberalisasi, pasar bersama, negara-bangsa, keluarin gan keluarin. Mereka silau geura, da. Langsung ngikut! Dijamin.

Negara Barat A : Loh, bukannya nanti kalau mereka ngikutin kita ntar mereka jadi bisa nyusul kita?

Negara Barat B : Nggak bakal. Pada dasarnya, kita sama mereka mah beda. Kita udah punya peradaban kayak begini dari dulu. Udah teruji dan sesuai dengan keadaan alam dan mental bangsa kita. Keadaan dasar mereka beda sama keadaan kita. Kalau keadaan udah beda, harusnya resepnya juga beda, kan? Nah, justru kalau kita kasih resep yang beda dari kita bisa jadi mereka bakal tahu identitas dan hakikat hidup mereka. Kita kebakaran jenggot ntar. Mending kasih resep yang sama. Kan nanti terjadi ketidaksesuaian kan tuh? Nahhhhhh, itu diaaaaa. Ntar pasti mereka ketagihan datang ke kita. Nanya terus. Yasudah, kita sesatkan saja terus. Hehehe.

Negara Barat A : Kalau mereka sadar gimana?

Negara Barat B : Emangnya mereka berani ngelawan kita? Emangnya mereka punya power? Pas mereka sadar juga percuma atuh, kan kita udah bikin banyak institusi yang menjerat mereka. Kalau mereka macam-macam dan mengganggu institusi yang kita buat itu, marahin aja balik. Hehehehe.

Namun demikian, dari ilustrasi yang barusan saya sampaikan, saya juga nggak bisa bilang kalau penjajah itu jahat banget. Kejahatan mereka adalah hal yang wajar, menurut saya. Bukankah mereka butuh makan di tengah alam negara mereka yang tidak berlimpah sumber daya alam? Saya justru melihat permasalahannya terletak pada kelemahan bangsa kita dan bangsa terjajah lain yang begitu menurut, baik hati, dan tulus kepada penjajah. Permasalahannya bukan karena terlalu lama dijajah, (justru terlalu lama dijajah adalah akibatnya) melainkan kenapa bangsa yang hidup di belahan dunia bagian Selatan ini menurut untuk selalu dijajah? Mengapa mereka begitu cepat percaya dan sangat mengamini konstruksi dari komunitas lain? Mengapa mereka begitu persis dengan ayat Al-Baqarah yang tadi saya sadur?

Saya melihat prosesnya begini, pertama, rakyat Dunia Selatan ini adalah manusia yang polos dan hidup baik-baik saja di atas alam yang indah serta kaya. Mereka pikir semua orang di dunia ini hidupnya nyaman kayak mereka. Tiba-tiba mereka tersentak, terkejut, sekaligus kagum waktu tanah mereka didatangi orang asing. Orang asingnya juga kagum waktu melihat ada tanah yang begitu kaya didiami orang yang begitu polos, baik, ramah, dan tidak tahu kalau tanahnya kaya. Plot sinetron pun terjadi mulai detik itu.

Si asing memperdaya si pribumi. Si pribumi awalnya masih sabar. Si asing makin menjadi. Si pribumi lalu mulai panas. Si pribumi pun mulai bikin perlawanan. Eh, si asing, sebagaimana layaknya orang licik dan jahat lainnya, selain memiliki umur panjang kok ya alhamdulillah gitu dianugerahi akal yang juga panjang. Ia pun menyusun rencana untuk menjegal si pribumi. Si pribumi ditakut-takutin. Pribumi pun takut dengan mitos rekaan pemeran antagonis. Si asing khawatir lagi takutnya si pribumi mulai mikir kalau mitos itu bohongan. Si asing pun pura-pura menyerah. Ia pun mendatangi si pribumi dengan muka manis dan senyum lebar. Tapi tenang aja, coba kameranya disorot ke kanan, tuh tuh tuh lihat, senyum dan wajah sumringah itu berubah jadi senyum serigala. Pada adegan itu, si asing mulai mengeluarkan jurus kekerasan simbolik buat si pribumi.

Si pribumi nih, layaknya Alisa Subandono, Marshanda, Ririn, Dini Aminarti, dan Desi Ratnasari, terenyuh melihat kebaikan hati si asing. Dia pikir doanya tadi malem yang bilang, “Ya Allah, maafin temen-temen Baim, ya Allah. Sadarkan mereka, Ya Allah,” udah dikabulin secara kilat. Dia langsung percaya kata-kata si asing. Ia pun lalu mengagumi si asing. Ia nurut kata-kata si asing. Sampai akhir hayatnya!

Waktu sakaratul maut udah deket, wejangannya buat keturunannya selain tunaikan solat, puasa, zakat, dan haji bila mampu, “Jagalah silaturahmi dengan asing. Sesungguhnya ia adalah orang yang benar. Jika ada keraguan mengenai sesuatu, tanya padanya dan langsung laksanakan.” Satu keluarga itu karena sangat menghormati si pribumi, langsung mengiyakan amanah si pribumi. Waktu ada anak si pribumi yang protes, seluruh keluarga mengutuk dia jadi kapal batu kayak Malin Kundang. Katanya durhaka.

Lalu bagaimana dengan asing yang tahu sahabat pribuminya meninggal? Oh, dia ikut nangis dong, tapi coba om kameramen digeser dong kameranya ke kiri, tuh tuh tuh si asing matanya mengerling ke atas sambil tersenyum penuh kepuasan. Ya, itulah drama reality show terbaik dari negara Dunia Ketiga.

Saya nggak tahu apa yang harus saya usulkan buat Teman-teman untuk menghentikan alur cerita sinetron yang sangat mengharukan itu selain tolong banyak-banyak baca Al-Baqarah biar ngehhhhh sama petunjuk bahwa diri kita ini berkecenderungan untuk jadi kerbau yang hidung dan matanya dicolok. Heuheu. Selain itu saya nggak tahu lagi harus ngasih usul apa. Saya juga takut kali kalau dikutuk jadi batu kayak anak sulung pribumi. Saya juga belum mau mati dicincang karena saya menyampaikan pengetahuan baru. Saya juga nggak bisa janji kalau nanti saya udah punya power, saya bakal menentang cengkraman asing di bahu saya. Jangan-jangan ketika saya sudah memiliki power, power itu nggak sebanding dengan penambahan kekuatan institusi yang sudah dibangun oleh orang-orang pribumi di sekitar saya atas usulan, nasihat, dan propaganda asing. Jangan-jangan power yang saya punya juga diberi sama orang asing itu.

Hmmm, melalui posting ini, saya cuman pengen memperlihatkan kepada Teman-teman bahwa kita sudah terlalu lama didoktrin dengan segala hal yang datang dari penjajahan. Kita sudah terlalu akrab, lekat, bersahabat, dan bergantung dengan hal-hal tersebut. Kita sudah tidak bisa mendefinisikan diri kita sendiri karena kita sudah dibuat percaya bahwa kita adalah bangsa nomor dua. Kita nggak tahu siapa diri kita, bagaimana kemampuan kita, apa tujuan kita, dan apa yang bisa kita lakukan untuk mencapai tujuan kita.

Hal itu pulalah yang bisa menjadi salah satu bukti bahwa kita memang berkecenderungan untuk menolak seruan alias pengetahuan baru dan tetap mengikuti ritual dari nenek moyang padahal nenek moyang itu pun tidak memiliki sedikit pengetahuan pun dari ritual yang mereka lakukan. Disuruh A, hayuuuu. Sambil mereka nggak ngerti kenapa harus melakukan A. Disuruh B, manggggaaaa. Padahal mereka juga nggak tahu kenapa dulu A, sekarang jadi B. Pokoknya disuruh sama orang-orang yang sudah lebih dulu beradab mah hayu ajalah. Hmmm, itu juga yang membuat saya melihat bahwa kita cenderung untuk menomorsatukan instrumen dan praktek seremonial ketimbang memikirkan substansi kemudian beralih pada penghayatan dan pengaplikasian substansi baru. Itu juga yang dibilang Bima bahwa kita belum merdeka.

Nah, kalau menurut Teman-teman?




Ark. Agt’10.