Mau Menjadi Orang Indonesia (Lagi)kah Kita...?

Terinspirasi dari cetusan salah seorang teman saya yang ganteng (kata si Iman), sebut saja namanya Mr.13, yang kebetulan pada suatu seminar ia duduk di sebelah saya, tulisan ini akhirnya lahir.

Dan cetusan itu adalah,

“....terserah. Tapi yang jelas, saya bukan orang Indonesia.”

Hoho.

Bukan sekali dua kali memang saya mendengar cetusan serupa, malah bisa dikatakan hingga telinga saya menjadi cukup kebal dan bertoleransi untuk mendengar cetusan seperti itu. Tak mengherankan karena cetusan seperti itu banyak lahir baik di radio, televisi, koran, milis, maupun di samping depan belakang saya. Namun entah kenapa untuk satu kali ini saya cukup merasa 'gerah' dan akhirnya berkeputusan untuk mengutarakan juga pandangan saya yang sangat bertolak belakang,

“Gua orang Indon dan gua cinta tanah air gua.”

Bukan karena saya penikmat novel best seller Donny Dirgantoro, 5cm atau karena sering memutar lagu Cindy Cenora yang populer sepuluh tahun lalu, Aku Cinta Rupiah, saya berpandangan seperti itu, namun karena saya melihat ada ketidakadilan saat kita dengan bangga dalam balutan nada emosi, memaki, atau minimal sinis mencetuskan ungkapan bahwa kita bukan orang Indonesia. Singkatnya, saya mau menjadi orang 'adil' dengan tetap berprinsip bahwa saya cinta tumpah darah saya, Indonesia.

Ketidakadilan pertama bagi saya adalah ketidakadilan bagi para pahlawan yang lebih dari tiga abad memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jika kita sebagai generasi penikmat malah mengisi nikmat kemerdekaan kita dengan cercaan dan ketidakbanggaan kita sebagai orang Indonesia, buat apa dulu mereka berjuang?

Mungkin di antara Teman-teman ada yang berpandangan,

“Oh, itu terserah mereka. Emangnya kita minta mereka supaya berjuang gitu? Enggak, kan? Toh mereka juga udah mati, so kenapa juga kita masih harus memikirkan 'jasa-jasa' mereka?”

Atau,

“Memangnya dulu mereka berjuang buat kita gitu? Bukannya mereka berjuang untuk kepentingan mereka pada masa mereka?”


Meskipun pada saat mereka berjuang kita sama sekali belum berada di dunia atau dengan kata lain maka kita tidak pernah meminta agar kemerdekaan Indonesia mereka perjuangkan, tapi pada kenyataannya pada masa sekarang ini kita menikmati kemerdekaan, bukan? Meminta atau tidak meminta tidak penting untuk dibahas toh yang jelas sekarang kita bebas sekolah, jalan-jalan, belanja, main, tidur tanpa ancaman bom, teror -ambil pengecualian untuk kasus teror bom yang dilakukan oknum sok Islam-, perkosaan, perbudakan, diskriminasi dari kaum kolonial. Dan untuk semua kenyamanan yang kini kita rasakan, kita patut untuk berterimakasih kepada para pahlawan yang meninggalkan keluarganya dan mengorbankan waktunya, pemikirannya, bahkan nyawanya 'hanya' untuk meneriakkan, “Merdeka!”.

Bagaimana cara kita berterimakasih kepada mereka?

Menjadi orang yang adil dengan bangga menjadi orang Indonesia dan mengisi kemerdekaan Indonesia dengan hal yang berguna dan membangun, minimal untuk diri sendiri dan orang-orang terdekat.

Cara yang klasik dan terlalu wacana?

Hmmmm, sekilas mungkin.

Namun coba kita tanya diri kita sendiri, jika cara ini cara klasik, apa kita sudah melakukannya? Cara ini sudah kita kenal sejak SD, tapi apakah kita sudah menerapkannya di dalam aspek lain selain hanya sebagai pengisi lembar jawaban ulangan PPKN kita? Dan jika cara ini terlalu wacana alias hanya sekedar imbauan yang masuk kiri keluar kanan, kenapa juga kita memikirkan cara yang terlalu kompleks? Padahal hanya dengan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas di Indonesia dan mengakui bahwa kita orang Indonesia, kita sudah berhasil menjadikan cara ini menjadi cara yang tidak wacana.

Ketidakadilan kedua bagi saya adalah ketidakadilan bagi ibu pertiwi. Siapa yang tidak tahu betapa luasnya, kayanya, suburnya alam Indonesia ? Siapa juga yang tidak tahu betapa kompleksnya perbedaan budaya di tiap sentimeter Indonesia? Dan siapa juga yang tidak tahu bahwa kita bisa berdiri di antara semua perbedaan tersebut dan membuat bingung orang luar negeri gara-gara si mancung, si pesek, si lurus, si keriting, si hitam, si putih sama-sama berkata, “I'm Indonesian.” ? Sudah banyak pula yang diberikan ibu pertiwi untuk kita. Air, udara, budaya, ilmu, kasih, pengalaman, tambang, kayu, kapas, padi, dan masih banyak lagi, namun kenapa juga kita masih membuat ia meneteskan air mata? Satu yang paling penting, kenapa kita masih membuatnya nampak lebih buruk lagi?

Bagi saya, yang bobrok bukan Indonesia, bukan pula sistem di Indonesia, tapi yang bobrok adalah penjalan sistemnya dan penghuni Indonesia. Pejabat yang mata duitan, oknum yang menggelapkan uang negara yang dimaksudkan untuk mencerdaskan dan memajukan bangsa, guru-guru yang hanya bisa menjadi pengajar bukan pendidik, realisasi teori yang banyak diwarnai faktor X dan akhirnya kacau, dan tak ketinggalan, KITA, kita si generasi penikmat, si generasi calon pemimpin yang menyerah dengan keadaan seperti itu, kita yang bukannya tergerak untuk memperbaiki segala kebobrokan yang kasat mata, bahkan untuk hal yang kecil tapi malah melarikan diri dari tanggung jawab membangun bangsa menjadi bangsa yang lebih baik dengan cara tidak mau mengaku sebagai bangsa Indonesia dengan alasan, “Saya tidak atau belum mendapatkan sesuatu dari Indonesia, karena itulah kenapa juga saya harus bangga menjadi orang Indonesia?”

Kalau boleh menyebut nama orang yang saya anggap sebagai orang Indonesia sejati, saya akan menyebut dua nama, Butet Manurung dan -wah, lupa, euy...- juara Olimpiade Fisika dari SMA BPK Penabur Jakarta.

Butet Manurung? Saya yakin dia juga lelah dengan sikap pemerintah yang sama sekali tidak peduli dengan kemajuan pendidikan di daerah pedalaman, tapi ternyata ia mampu mentransformasikan rasa lelahnya terhadap penjalan sistem dengan berinisiatif menjelajahi daerah pedalaman dan mengajarkan anak suku membaca dan menulis. Ia mencintai Indonesia dengan membangun anak bangsanya, walaupun 'hanya' untuk mengajari membaca dan menulis. Satu lagi yang saya kagumi, ia adalah perempuan dan ia menentang bahaya untuk mendatangi alam dan penghuni alam pedalaman lain, demi ketidakpuasannya kepada pemerintah yang lepas tangan.

Ia mungkin bisa pergi ke luar negeri dan mencari negara yang perhatian dengan pendidikan warga negaranya dan ia bekerja di sana atau bila ia tidak ke luar negeri, ia hanya di sini, sekedar diam di tempat, demonstrasi di sudut pintu MPR/DPR – yang pasti tidak akan terdengar hingga gedung MPR/DPR karena 'pintu demo' dan pintu kerja anggota DPR sangat-sangat jauh-, mengompori praktisi lain, menjadi aktivis konyol yang hanya bisa berbicara tanpa bertindak, memprovokasi rakyat untuk benci Indonesia, atau melakukan banyak bodoh lain yang sama sekali tidak membawa ke arah perubahan.

Namun apakah ia melakukan hal tersebut?

Tidak, bukan?

Tanpa banyak berkomentar, ia wujudkan cinta dan prihatinnya bagi bangsanya dengan cara membangun calon pemimpin bangsa. Ia sama sekali tidak lari dan benci, kalau boleh mengambil istilah kasar.

Kedua, si juara Olimpiade. Dalam suatu kesempatan makan siang bersama Pak Menlu, DR.N. Hassan Wirayuda, laki-laki Tionghoa yang bangga menyebut dirinya sebagai orang Indonesia ini mengungkapkan bahwa pagi-pagi di kamar hotelnya setelah pengumuman juara Olim, di bawah pintu ia menemukan formulir Nanyang Technology University, full beasiswa, full fasilitas, dan ada tawaran bekerja di Singapura dengan berbagai full-full lain. Ia kaget dan ternyata tak hanya ia yang mendapatkan formulir di bawah pintu, namun hampir semua anak pemenang olimpiade dari negara di Asia.

Menanggapinya, Pak Menlu bertanya apakah akhirnya ia menerima penawaran langka tersebut, dan ternyata si pendiam ini menjawab dengan polos dan dengan nada yakin, “Nggak, Pak... Itu kan namanya ekspliotasi anak pintar. Saya lebih memilih di Indonesia.”

Bagi saya yang tahu bahwa NTU adalah impian setiap orang yang mempunyai potensi untuk maju dan jenius, seperti si juara Olim Fisika ini atau bagi sederetan nama lain di sekolah saya yang mengikuti olimpiade, menolak tawaran langka ini adalah suatu hal yang sangat mengagumkan, terutama dengan alasan ia ingin membangun Indonesia saja. Satu hal yang membanggakan lagi, si olim ini menegaskan, “Kalau cuma sekedar belajar di sana ya nggak apa-apa, tapi kalau untuk sekalian bekerja...wah, berat juga soalnya sampai SMA ini saya dapat ilmu fisika dari guru saya yang orang Indonesia dan di Indonesia.”

Saya yakin, bukan cuma saya dan Pak Menlu saja yang bangga dengan pernyataan anak ini namun juga seluruh undangan makan siang yang ada di ruangan. Itulah yang saya harapkan dari teman-teman saya yang kebetulan dianugerahi otak encer dan kesempatan bertanding dengan negara lain, yang alhamdulillah juga mereka mampu bersaing mengalahkan peserta dari negara lain yang banyak kita contek ilmunya lewat globalisasi. Keinginan untuk membangun Indonesia itulah. Bukannya pergi ke negara lain, full 100% meninggalkan Indonesia karena di Indonesia mereka tidak dihargai, kasarnya karena perbandingan materi yang mereka terima di Indonesia tidak sebanding dengan apa yang mereka terima di luar negeri, melupakan bahwa selama lebih dari dua belas tahun mereka mendapatkan dasar di Indonesia dan melihat segala kebobrokan Indonesia dan tidak tergerak sedikit pun untuk memperbaiki Indonesia lewat ilmu yang mereka miliki, ditambah lagi mereka tidak mau mengakui bahwa mereka adalah orang Indonesia. Yang saya sayangkan dari sikap anak-anak pintar yang melarikan diri tersebut adalah mereka pintar, cerdas, berpotensi, namun mereka sama sekali tidak membuat adanya perubahan di dalam wajah Indonesia yang jelas-jelas mereka ketahui, tercarut marut.

Kasihan ibu pertiwi, setelah apa yang ia berikan kepada tarunanya, ia malah dicaci dan ditinggalkan.

Saya tidak menutup mata dengan fenomena bahwa memang ilmuwan, ambil contohnya, jarang ada yang bisa hidup makmur atau jarang ada yang bisa melakukan penelitian dengan biaya dari pemerintah. Saya juga mengakui bahwa penghargaan kepada orang jenius dibandingkan penghargaan untuk wajah penghias layar kaca sangat tidak sebanding. Saya juga mengerti bahwa kita harus tetap hidup dan hidup itu mahal. Saya juga mengerti bahwa hidup di luar negeri adalah pilihan. Saya hanya tidak setuju dengan pernyataan segelintir orang yang menyebutkan bahwa mereka bukan orang Indonesia atau mereka tidak bangga dengan Indonesia karena mereka tidak mendapatkan sesuatu dari Indonesia karena pada kenyataannya, ada banyak hal yang mereka dapatkan dari Indonesia, jika mereka mau merenungkannya sebentar.

Mereka boleh malu jadi orang Indonesia, seperti puisi Taufik Ismail. Mereka boleh enggan mengakui bahwa Indonesia adalah tumpah darah mereka pertama kali. Tapi mereka juga harus pintar bahwa yang seharusnya mereka benci bukanlah si Indonesia, tapi si oknum kotor Indonesia. Yang salah si oknum-oknum tertentu namun mengapa mereka harus membenci Indonesia secara keseluruhan? Sinekdoke, namanya.

Permasalahan utama bukan terletak pada Indonesia karena Indonesia adalah wadah, organisasi. Permasalahan terletak pada SDM yang bobrok. Yang bobrok menjalankan sistem, yang bobrok mengaplikasikan teori, yang bobrok dan tega menghancurkan harga diri sendiri, yang sangat berkiblat pada dunia lain tanpa bisa mengambil sikap dengan dalih mengikuti trend, yang mau digilas globalisasi tanpa berpegang pada falsafah yang sedari TK sudah dicekoki lewat upacara bendera, pembacaan UUD, dan Pancasila, yang hanya menjadi petani tradisional yang mampu menjadi penghasil CPO kedua setelah Malay, yang mampu menjadi penghasil kina terbesar di dunia, yang mampu memasok 16% kebutuhan daun teh di Asia, dan bukannya menyontek ilmu negara Asia Timur dan Amerika Utara untuk menjadi motor industri dan bisnis.

Ironinya lagi, hampir 200juta rakyat Indonesia capai untuk membuat perubahan. Semua jika tidak kembali meneruskan sistem dan aplikasi yang terjalankan salah maka lari ke luar negeri, melepas identitas sebagai orang yang lahir di Surabaya, Bandung, Manado, Maluku, Lampung, Padang, Aceh, Flores, Merauke, Pontianak, Garut, Fak-fak, Kupang, Minahasa, Toraja sebagai suku Sunda, Jawa, Batak, Aceh, Padang, Bugis, Dayak, Asmat. Jika bukan juga, mereka malah mengoyak-ngoyak dan memprovokasi rakyat untuk lebih dalam lagi membenci sekaligus menyerah dengan Indonesia.
Jika begini terus, maka kapan kita mau jadi orang Indonesia? Kapan kita mau banting stir dan bangga menjawab , “Saya orang Indonesia.” ?

Salah apabila kita lari. Seharusnya kita memperbaiki.

Menjadi pejabat yang tidak mata duitan, mengaplikasikan teori menjadi praktek yang benar, menjadi pendidik, menjadi SDM yang berkualitas dan tetap mau membangun bangsa atau minimal mengakui bahwa kita orang Indonesia meski kita suatu saat nanti menghirup udara dari pohon dan iklim berbeda di belahan dunia lain.

Indonesia bagi saya, sampai kapanpun tetap menjadi negara saya yang eksotis, yang unik, yang indah, yang menakjubkan, yang kaya, yang menyenangkan, yang nyaman, yang membanggakan, dan saya bangga bisa menjadi salah satu bagian dari perbedaan yang dimiliki dari rentang 95 BT-141 BT ini, meski ada kebobrokan SDM di dalamnya. Dan semoga di luar sana ada banyak orang yang sama bangganya seperti saya sebagai orang Indonesia dan mau menularkannya kepada orang lain dengan jalan memperbaiki kebobrokan SDM Indonesia minimal dimulai dari diri mereka sendiri.

Dengan kenyataan yang saya yakin semua orang setuju bahwa Indonesia terpandang bobrok karena SDM-nya, masih maukah kita memperbaiki ? Masih mau (mengakui) menjadi orang Indonesia (lagi)kah kita...?

(Ark.Mei'07)




PS : No ofens ya, Mr.13. Sy sbnrny nghormatin pandangan kamu, kok. Pbdaan mbuat qt kaya, rite?

1 comments:

Aku Cinta Kamu...eh salah,Aku Cinta Indonesia...hihihi...

Reply