Awal tahun selalu membawa kejutan bagi bangsa
Kabar ini bagi saya merupakan bantahan riil dari Tuhan atas tudingan pihak-pihak ‘penuntut keadilan’ yang menyangsikan kebenaran sakitnya Pak Harto sejak kelengserannya dua belas tahun silam. Tidak cukup bagi mereka untuk melihat lambaian lemah dan senyum lesu Pak Harto, barangkali, hingga Tuhan pun harus turun tangan menutupkan usia beliau, sekaligus menutupkan telinga beliau dari hujat rakyat yang makin berlebihan.
Memaknai masa akhir Pak Harto yang dihabiskan dengan pemberitaan demonstrasi penyeretan Pak Harto ke meja hijau, saya melihat bangsa ini sebagai bangsa yang lucu. Lucu karena terdapat ketidaksinkronan antara tuntutan dengan sikap, itu yang pertama. Pada saat para penuntut menuntut keadilan pengungkapan semua kasus Pak Harto, mereka juga melarut-larutkan proses peradilan dengan membuat sakit Pak Harto bertambah parah. Bagaimana peradilan dapat terjalankan dengan kondisi Pak Harto yang bahkan tidak sanggup merintihkan sakitnya sendiri ?
Dalam perspektif saya, lumrah apabila Pak Harto sakit. Bukan karena ’kualat’ atau ’karma’ seperti yang dicemoohkan publik selama ini melainkan karena kebertubian hujatan setelah beliau lengser. Tiga puluh dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk ditabahkan kehilangannya, terutama bila ia hilang lewat hadirnya tuntutan anarkis rakyat dan desakan elit yang selama ini nampak tunduk-tunduk saja. Belum sembuh juga rasa kehilangan itu, beliau juga harus menyaksikan gelombang hujatan yang bertubi dilayangkan untuknya. Nonstop. Bahkan hingga detik sebelum kewafatannya.
Mengenang masa ordenya yang bertahan begitu lama, bahkan dalam sejarah perpolitikan dunia, presiden setelah era Soekarno ini telah berhasil membagi perspektif rakyat Indonesia dalam dua wacana kontras. Segala kebijakan dalam orde tiga dekade yang beliau lahirkan memancing kekritisan rakyat, dalam diam maupun dalam ungkap, dan dalam kajian argumentasi yang beragam, yang tentu dilandasi bukti realita namun sayang masih kabur batasan obyektif-subyektifnya.
Pada saat pandangan negatif yang menuntut hukuman terberat bagi Pak Harto hadir bersama segudang bukti fisik dan logika, ada simpati kemanusiaan yang mengiyakan bahwa Orde Baru melahirkan korban bagi sekelompok masyarakat. Namun simpati ini mempertanyakan lagi hal yang menggelitik, apakah mungkin tuntutan peradilan berdasar bukti yang obyektif tersebut lahir murni tanpa ada subyektivitas dendam dari para keluarga dan kerabat korban?
Jika mereka benar-benar obyektif didasari nama kemanusiaan, mengapa dalam penuntutannya mereka mengabaikan prinsip kemanusiaan? Mengapa Pak Harto dipojokkan sedemikian rupa bahkan terkesan mengabaikan kondisi fisik Pak Harto yang membutuhkan bantuan mekanik? Mengapa kebebasan berpendapat yang dibidani oleh reformasi malah menjurus pada kebebasan menyakiti secara verbal?
Pun dalam pandangan positif yang mengaku lebih nyaman berada dalam asuhan Pak Harto. Pengelu-eluan capaian signifikan dalam ekonomi tersebut perlu ditanyakan kemurnian obyektivitasnya. Apakah mungkin melepaskan pandangan demikian dari sangkaan ketidakpuasan terhadap orde pemerintahan yang kini? Apakah mungkin pandangan itu tetap bertahan apabila pemerintah reformasi dapat memberikan kondisi yang lebih memuaskan dibanding tiga dekade tersebut? Atau bila keadaannya demikian, mungkinkah keterkotakkan seluruh perspektif bangsa dalam kutub negatif terjadi? Pak Harto dipukul rata sebagai sejarah kelam bangsa.
Kita tentu tidak bisa melepaskan diri dari dua pandangan tersebut setiap saat kita mengangkat permasalahan bapak bangsa ini atau bapak bangsa yang lain. Tidak ada manusia yang murni putih dan murni hitam, yang jelas. Dengan demikian, bagi saya sendiri, kecaman dan pujian bagi Pak Harto adalah hal yang lumrah. Yang tidak lumrah adalah pada saat kita membicarakannya dalam bingkai yang cacat. Kita hanya membicarakan sisi negatifnya tanpa menyinggung sisi positifnya, begitu pula sebaliknya, pada saat kita hanya membatasi diri dalam pujian untuk beliau tanpa kita membuka mata kepada sekelompok yang mengaku bahwa dirinya korban, itu kelucuan kedua.
Kecacatan bingkai inilah yang selama ini saya lihat dalam menyikapi jejak sejarah Pak Harto. Inilah yang membuat bangsa kita terkotakkan dalam perspektif yang kontrasnya tajam. Inilah yang membuat Pak Harto makin parah sakitnya, pandangan negatif sebagian masyarakat yang didirikan di atas pandangan positif yang dianut Pak Harto dan sebagian masyarakat lain. Akhirnya, inilah yang membuat proses peradilan yang dituntut keberadaannya terhambat dan utamanya, inilah yang ’membunuh’ Pak Harto.
Saya sendiri berpendapat bahwa dua argumentasi baik dan buruk dalam kepemimpinan Pak Harto adalah sebuah rentetan yang saling mendukung, saling berjalan, dan saling memberi alasan. Nothing’s free such a free lunch, mengutip pakar ekonomi AS, Mankiw, alias tidak ada yang gratis di dunia ini. Semua memiliki resiko dan mengharuskan adanya pihak yang mengalah, jika tidak ingin disebut korban.
Dalam permasalahan ini, keberhasilan ekonomi dan pembangunan ternyata mengharuskan ada sekelompok yang mengalah. Hak-hak yang seharusnya dinikmati oleh kelompok ini ternyata harus dijadikan alat pembayaran bagi penikmatan hak-hak orang lain, yang kastanya sama seperti mereka, yang lebih rendah, dan yang lebih tinggi. Kesimpulannya, di balik pengorbanan mereka, kita melihat adanya hasil, dan sebaliknya ternyata dalam hasil yang dinikmati oleh suatu lapisan, ada lapisan lain yang kehilangan haknya.
Lapisan kedua inilah yang kini bersuara. Menceritakan pengorbanan mereka yang tak terungkap dan menuntut kompensasi atas luka mereka yang selama ini disembunyikan dalam gaun patuh (baca:diam). Proses peradilan dijadikan alat tumpuan pengobat mereka. Namun lagi-lagi kembali pada penekanan saya sebelumnya, kaum ini terlalu subyektif dan egois menyuarakan geloranya. Rasa sakit hati rupanya telah menutup hati mereka dari kenyataan positif yang berhasil dibangun Pak Harto dan menutup hati mereka untuk menyuarakan kebungkaman tiga dekade mereka dalam kaidah yang tidak memprovokasi serta tidak kebablasan.
Gelombang demi gelombang hujatan terus berdatangan. Memojokkan Pak Harto dan pegawainya. Bahkan hingga Pak Harto dinyatakan sakit pun masih ada yang berspekulasi bahwa hal tersebut adalah strategi untuk menghindari hukum. Jika mereka dapat mengatakan Pak Harto harus diadili demi kemanusiaan, lalu dimana kemanusiaan mereka sendiri? Siapa yang mereka perjuangkan dalam penuntutan penyelewengan kekuasaan Pak Harto? Semua kaum mereka atau hanya mereka sendiri, dalam arti memuaskan dendam dari mereka yang jadi korban?
Jika Pak Harto kini bukannya meninggal tapi hidup, sehat wal afiat dan kuat sehingga bisa menghadiri persidangan sampai muncul putusan hukum, akankah mereka akan puas dengan putusan tersebut? Atau mereka akan berebut menjadi hakim agar legallah aksi main hakim sendiri?
Di sinilah alasan ketiga mengapa bangsa ini begitu lucu dalam perspektif saya, mengatasnamakan kepentingan golongan demi kepentingan pribadi. Agregasi latar belakang yang sama-sama terpinggirkan hanya dijadikan kumpulan statistik untuk meyakinkan diri bahwa tuntutan pribadi legal disuarakan dan kesewenang-wenangan Pak Harto (dalam perspektif mereka) sah digembar-gemborkan dan dicaci-caci.
Sungguh bangsa ini bangsa yang lucu namun sayangnya kelucuan ini tidak membuahkan kerileksan bagi Pak Harto dan proses hukumnya. Kelucuan ini malah mengorbankan nyawa mantan pemimpin bangsa yang mereka cap otoriter dan otomatis menutup semua misteri latar belakang tindakannya dalam era Supersemar hingga Supermoneter satu dekade lalu.
Kelucuan bangsa ini membuat saya berpikir bahwa inilah alasan mengapa Tuhan harus memanggil Pak Harto dalam kondisi peradilan yang masih menggantung. Tuhan Maha Tahu apa yang akan terjadi bila Pak Harto diadili bangsa yang lucu ini. Tuhan Maha Menyayangi makhluk-Nya, termasuk Pak Harto. Ia-lah yang akan mengadili Pak Harto tanpa perlu meghujat Pak Harto, seperti bangsa ini.
(Ark.Jan’08)