Moral yang Bermateri

Salah satu tanda ketika orang-orang sadar bahwa mereka bersalah karena menghilangkan moral demi mengejar prestise dan pengakuan adalah ketika mereka berlomba-lomba menciptakan bentuk material dari moral itu sendiri. (Septari Bahagiarini, 2012)

Septari Bahagiarini itu ibu saya. Saya yakin ibu saya ini masih ada keturunan dari filsuf zaman-zaman dulu atau minimal reinkarnasi dari Aristoteles atau Ibnu-Ibnu di tanah Saudi sana. Kalau ibu saya dulu kuliahnya nggak ngambil Farmasi tapi Ilmu Budaya atau Sosiologi atau Psikologi terus saya waktu kecil nggak rewel-rewel banget jadi bisa ditinggal, saya yakin ibu saya sudah nongol di tivi atau koran-koran jadi narasumber masalah sosial di era globalisasi xixixixixixixixi. 

Quote yang secara persis saya kutip dari ibu saya itu lahir dari keprihatinan ibu saya (dan kami sekeluarga sih sebenarnya) atas nilai-nilai ujian yang luar biasa tinggi. Nggak cuma prihatin, sih, tapi juga nggak habis pikir karena (1) adik saya yang dari kelas 1 SD selalu ranking 1 ternyata pada saat UN mendapat nilai 25.2 yang seharusnya sudah bagus tapi karena zaman ini sudah menelurkan ribuan anak dengan nilai lebih dari 27 maka nilai 25.2 pun menjadi nilai yang 'hanya' mendapat tempat di sekolah cluster 3, (2) teman-teman adik saya di SD-nya banyak yang mendapat nilai lebih dari nilai adik saya padahal mereka menghitung operasi perkalian saja masih sulit dan dulu waktu masih kelas 6 sering dimarahi oleh guru, (3) nggak cuma di SD adik saya saja, tetapi juga di sekolah-sekolah menengah yang murid-muridnya jadi murid saya di Ganesha. Ada murid yang saya tahu pintar tapi 'hanya' mendapat nilai 36-37 yang membuat mereka harus sekolah di cluster 2 dan 3, sementara itu ada murid saya yang dulu membuat saya stres karena penyerapan materi dan aplikasi ke dalam soal sangat minim ternyata mendapat nilai 38 ke atas. Ini bukan cuma tentang keberuntungan yang diberikan secara terpilih oleh Allah kepada hamba-Nya yang tawaddu, tetapi juga tentang bagaimana mereka yang ragu dengan kemampuan diri sendiri didukung oleh lingkungannya untuk memilih jalan yang daripada mendapat malu, lebih baik menggadaikan moral. We know lah ya apa maksud saya dengan cara 'menggadaikan moral' ketika UN. 

Di tengah kondisi masyarakat yang bukannya malu telah menghilangkan moral mereka demi capaian prestasi semu jangka pendek, malah merayakan dengan tertawa-tawa, muncul sekolah yang menetapkan syarat penerimaan siswa baru tidak hanya dengan nilai UN, tetapi juga dengan sertifikan BTQ. Tahu BTQ? Hati-hati kalau kalian nggak tahu, nanti kalian dicap nonis atau non-Islam sama guru di sekolah itu hahahaha. Ngeselin emang capnya. BTQ itu Baca Tulis Quran, tapi nggak cuma baca dan tulisnya saja, tetapi juga mencakup pengetahuan fiqh, tauhid, dan sebagainya. Sertifikat ini hanya bisa diberikan oleh institusi, saya lupa instutusi apa, yang jelas semacam TPA resmi yang ditunjuk oleh negara. Ujiannya meliputi tes baca dan tulis Quran serta pertanyaan seputar keislaman.

Saya awalnya juga nggak ngerti apa maksud BTQ, apalagi sertifikat BTQ. Dari kecil keluarga saya memang nggak pernah memasukkan anak-anaknya ngaji di masjid. Saya dan adik-adik saya sejak TK sampai hampir SMP dipanggilkan guru mengaji di rumah setiap Sabtu dan Minggu dari jam Duhur/Asar sampai Isya. Baca Quran, hapalan surat, nulis huruf Arab, tanya jawab. Mas Tono bangetlah pokoknya mahzab kita hahahaha. Solat tarawih juga selalu di musola rumah. Kalau bukan Aba yang mengimami, ya Aba memanggil imam dan beberapa murid si imam dari pesantren di kampung bawah. Kenapa harus di rumah, ya karena bagi orang tua saya kalau ke masjid lebih banyak godaan. Jajan, misalnya. Ngobrol. Saingan. Ribut. Main. 

Kalau mau diadu dengan anak-anak jebolah pengajian masjid, ya silakan. Hampir sepuluh tahun belajar ngaji seminggu dua kali dalam waktu enam jam, ya masa kalah. Ya kami memang tidak belajar secara rigid dalam arti, "Sekarang kita belajar fiqh ya,"; "Sekarang kita masuk ke tauhid, ya." Tapi saya yakin pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan dulu ya bisa dipiliha ke dalam sub-sub itu. Hmmmm. 

Eh, tapi ternyata nggak bisa begitu nih sekarang. Di tengah kondisi masyarakat yang minim moral, menurut ibu saya, mereka tahu mereka telah menghilangkan moral mereka demi capaian semu. Tapi bagaimanapun juga mereka adalah manusia yang masih menganut agama dan mereka tahu bahwa seharusnya mereka memegang agama tersebut sampai ke liang lahat. Mereka juga sebenarnya masih takut neraka. Menutupi rasa bersalah dan keterancaman mereka akan Allah tersebut, ya mereka mencari suatu bentuk kasat mata atau bentuk material dari moral. Mereka kini berpegang pada penjamin untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa, "Murid yang masuk sini murid yang bermoral, lho. Yang tahu agama. Nih ada sertifikatnya!" Padahal murid tersebut saat UN lalu sudah menggadaikan moral dan melupakan Allah sejenak. Dari sisi murid, melalui sertifikat tersebut, mereka berkilah, "Aku kan beragama, aku bisa baca dan tulis quran. Kata siapa aku nggak bertuhan? Aku beragama! Aku benar! Aku nggak berdosa!"

Bagi saya dan ibu saya, moral dan agama itu seharusnya saling berkaitan. Agama adalah guide bagi moral, kemudian moral menjadi guide bagi pengambilan keputusan kita. Seharusnya proses itu terjadi secara otomatis di dalam hati dan otak kita. Seharusnya dengan agama dan moral sebagai pemandu hidup kita, kita jadi orang yang baik dan menjaga harmoni kehidupan. Tapi ternyata tidak. Demi hal-hal duniawi yang semu, yang pendek, dan yang nantinya malah menyiksa kita, baik dunia dan akhirat, kita menghilangkan keduanya. Kita pun berpaling pada bentuk material yang menerangkan bahwa kita bermoral. Konon persyaratan setifikat BTQ itu sudah di-Perda-kan, yang artinya negara sudah mendukung. Tapi lucu, sih. Ini sekolah umum, lho, bukan madrasah atau pesantren. Mengapa harus ada perwujudan material akan sesuatu yang seharusnya diwujudkan melalui perilaku yang baik? Mengapa sertifikat BTQ lebih dipentingkan daripada sikap yang bermoral dan ingat Allah saat ujian? Mengapa kita harus berpegang pada selembar kertas buatan manusia ketimbang azab dan pahala yang dijanjikan Allah? Apakah Allah mewujud di dalam selembar kertas?

Ark. Jul'12.

4 comments

hem, nyokap lu bener banget pe bilang gitu. tapi kalau menggadaikan moral saat uan, persoalannya kasuistis. Adik gw skrg mau masuk SMA. Waktu SMP dia males naudzubillah, jarang masuk lima besar di kelas, dan telat mikir. Gw aja sering marahin dia karena males banget belajar. Tapi hasil uan dia lumayan bagus, ada di angka 37. Jelas gw sekeluarga juga kaget. Ya mungkin ini rezeki dari Allah. Sama aja kaya spmb. temen sma gw yang jadi juara kelas dengan nilai uan tertinggi malah ga berhasil masuk PTN. Banyak banget faktor yg bisa memengaruhi itu semua, dan emang ga bisa dipungkiri ada (sebagian) yang main curang. Tapi ini juga perlu disikapi positif, kalau emang betul kenyataanya nilai-nilai mereka beneran bagus berarti emang anak-anak sekarang pada pinter kan. Kompetisi di era globalisasi ini udah makin panas aja.

Gw juga kurang setuju dengan BTQ itu pe.

Reply

nama gue riki yessss not pe,pe,pe...gerepe kali hahahhaha

sy juga perecaya dip sama faktor2 yang kamu sebutin itu. tapi ini konteksnya lain. satu dua orang beruntung boleh lah. tapi kan saya nulis ini juga kan berdasarkan fakta dan pengamatan yang saya temukan di lapangan dalam beberapa tahun terakhir, baik dalam kapasitas sebagai guru les yang paham tingkat kemampuan intelektual murid secara personal maupun sebagai kakak yang tiap tahun selalu ngurus adik2nya nyari sekolahan.

saya nggak bisa lagi berpikir positif bahwa ketika un anak2 itu banyak diberi keberuntungan dalam arti anugrah oleh allah. ya allah maha kuasa, dip, tapi juga logis. allah juga ga bakal ngasih nilai 28 koma sekian dalam satu kelas, kan? Nilai 28 itu nilai luar biasa, dip. Kalau semua anak bisa mencapai nilai 28 dengan mudah, saya dan rekan2 guru di Ganesha nggak akan stres lihat nilai-nilai TO yang selalu kurang dari 6. Kalau dalam satu sekolah atau satu kelas ada satu sampai lima anak mendapat 28, ya saya bisa percaya anak itu pintar luar biasa. Lah, tapi bagaimana kalau dalam satu kelas itu setengahnya mendapat nilai 28?

Setengah kelas, dip. Apa semua anak itu mendapat ranking satu ketika enam tahun sekolahnya? Nilai 28 itu nggak main-main tingginya.

Kita juga harus kritis dengan nilai itu, dip. Sekarang zaman teknologi, dimana anak-anak Sd udah pada punya BB. Jangan dilihat dari sudut pandang kita yang waktu kita masih ujian sekolah SD, SMP kita belum ngerti apa itu hape dan guru-guru juga masih nrimo dengan kemampuan kita. Nantilah saya ceritakan fakta-fakta di lapangan soal kunci jawaban terstruktur. Jangan di sini, bisi direport as spam eui blog saya. Hahaha.

Monggo sih kalau kamu mau berpikir positif. Ya, Indonesia butuhlah pemikiran dan semangat positif seperti yang kamu punya. Tapi saya yang sudah empat tahun terjun di lapangan sebagai pengajar udah nggak bisa lagi melihat hal seperti itu tanpa bersikap kritis dan cape.

Nggak cuma karena adik saya yang pintar jadi kalah bersaing, tapi karena apa ya...merasa dibercandain gitu, dip. Saya ngajar mereka dengan serius dan harapan hal yang saya ajarkan bisa menimbulkan rasa percaya diri di hati murid-murid jadi mereka nggak usah khawatir dengan ujian nasional, eh taunya satu tahun saya ngajar mereka secara intensif ditutup dengan beredarnya kunci jawaban. Apa gunanya les dan sekolah kalau begitu? Apa gunannya guru juga kalau begitu?

Reply

*belum beres*

maksud saya adalah, justru yang kasuistik itu bukan yang curang, melainkan yang beruntung. saya percaya kok ada banyak faktor keberuntungan. allah maha kuasa, saya percaya. tapi itu sedikit. yang curang yang jadi tren. bahkan sekarang mucul jargon, "Elu sih bego, pake jujur segala. Orang udah ada kunci jawaban!"
Hal seperti itu sih yang bikin miris. Gile, justru sekarang yang nggak jujur ya yang dibanggakan.

Terus tentang nilai adik kita. Kalau di zaman kita, dip, nilai 25 untuk SD dan 37 untuk SMP itu sudah bagus, loh, serius, deh. Tapi untuk zaman sekarang, 25 sama 37 ya kalau mau bertahan daftar di cluster 1 sih monggo, tapi pilihan duanya harus kuat. Sekarang nilai SMP yang diterima di SMA Negeri, itu juga cluster 3, minimal 34. Padahal 34 itu rata2 8 koma. Itu bagus. Tapi sekarang nggak kepake. Inflasi banget. Miris sih, nilai 9 jadi mainan yang sayangnya itu bukan datang dari kecerdasan atau anugrah Allah yang bener2, tapi karena 'lingkungan'.

Kalau semua anak udah dapet nilai 9 dan 10 dengan mudah, harus ngapain lagi coba negara?

Gw ngga bangga, sih, dip. Karena gw tau BANGET itu nilai banyaknya nilai yang semu.

Reply

pengalaman pribadi pas SMP nih; nilai hancur lebur. Pas masuk SMA juga NEM cuma 26,8 kalo gak salah, nilai Matematika 5,7 (like a boss). Ini jujur aja, dipengaruhi sama masa SMP yang emang kurang asik dan kebanyakan main game online (yeaaa ragnarok online).

Pas SMA beda lagia, cuma kebetulan saya ada di kelas Bahasa, dan emang pelajaran yang di-UAN kan nya pun terhitung SANGAT MUDAH bagi anak Bahasa. Bukannya sombong, tapi beneran, karena kita anak Bahasa seminggu dapat 9 jam pelajaran Bahasa Indonesia, 6 Jam Bahasa Inggris dan 4 jam Bahasa Jerman. Kalau kelas lain, 6 jam Bhs Indonesia, 4 Jam Bhs Inggris dan gak ada Bahasa Jerman. Kebetulan soal UN Bahasa Jerman 'cuma' se-level sama pelajaran Bahasa Jerman pas kelas 2, jadi yaah, cingcay lah..

sedihnya, udah mah UN kelas kita gak terlalu susah, masih aja sih ada yang 'tega' untuk ngelicik.. ada temen yang masih aja nyari kunci jawaban dan masih cari cara untuk nyontek, walaupun pada akhirnya dia gak nyontek sih (alhamdulillah)..

tapi ngeliat dan dengar cerita dari kelas lain, banyak yang dapet kunci jawaban pas pagi2, dan ternyata pas dicocokin jawabannya, ternyata cocok.. sedih juga.. Tapi kayaknya gak semua anak pake kunci jawaban itu, dan kalau ada yg pake pun ga dibenerin semua, wallahualam, karena gak ada yg dapet nilai sempurna di sekolah saya..

tapi ada satu kejadian yang bisa dibilang bikin bangga. Ada satu anak ketika itu, sebut saja si D, dia anak yang bener2 urakan, pernah berantem sama guru, pernah ngebentak guru. Si D ini adalah salah satu anak yang gak lulus di angkatan saya, sebenernya ada 2 orang, tp yang 1 gak lulus karena dia emang 'sakit' (akhirnya lulus Ujian paket C dan sekarang kuliah di UPI). Nah, si D ini, secara akademis juga gak bagus, emang sering bolos gitu, tapi, pas UN, dia sama sekali GAK MAU DIBANTU sama temennya, dia MAU USAHA SENDIRI, walaupun pada akhirnya dia gagal, tapi, cerita tentang si D ini adalah salah satu cerita di masa SMA yang paling spektakuler. Saya salut sama si D ini walaupun akhirnya gak lulus, tapi dia mau usaha sendiri, saya jauh lebih respek sama dia daripada yang lulus dengan nilai sangat tinggi, tapi hasil dari nyontek kunci jawaban..

dan anyway, kebetulan di sekolah saya, 3 orang yang mewakili nilai tertinggi di sekolah saya (dari kelas BHS, IPA, IPS), rata2 nilainya 9, gak sampe ada yang 10 dan mereka adalah anak2 yang pintar, tapi tukang nge-game, bukan anak2 yang kerjaannya belajar terus, dan saya yakin mereka gak pake kunci jawaban :D

btw, kalo nilai TO mah bukannya kalo TO soalnya selalu lebih susah dari UN ya ? soalnya dulu TO di sekolah saya sampe gak diumumin saking ancurnya (katanya)

btw lagi, yang BTQ itu aneh. Jadinya tingkat keimanan dan ketaqwaan seseorang diukur pake nilai yang duniawi. Aneh aja sih, khan gak ada yang bisa menilai ibadah kita kecuali Allah, lah ini, orang2 berusaha keimanan dan ketaqwaan pake ujian, asa bodor. Da yang dinilai juga bukan nilai moral secara utuh, tapi hasil hafalan dalam pelajaran agama. Karena mungkin aja, dalam pemahaman agama yang berbeda, bisa dinilai jelek dalam kartu BTQ itu, karena si penilai punya pemahaman yang berbeda kan ? Mungkin mereka lupa, kalo agama bukan untuk dihafal, tapi untuk dipahami dan diamalkan.. huhuhu cyedih dech

Reply